Denis mengeluarkan semua makian kasar untuk sang ayah, di depan Shaka yang masih terlihat santai mengutak-atik gitar elektriknya. Mereka berdua saat ini sedang berada di mini art studio, lantai dua Heaven Bakery.
Denis tak menyangka, jika biasanya sang ayah akan memberikan sedikit kelonggaran berpikir setelah memberinya sebuah mandat atau pilihan, kali ini sangat beda.
Segala fasilitas milik Denis, baik atm, credit card, tabungan, dan semuanya—kecuali mobil—diblokir oleh Adi. Lelaki paruh baya itu tak merespon sama sekali semua pesan WA Denis, baik ketika pemuda itu meminta waktu berpikir sampai selesai pameran seni akhir semester, atau tentang bagaimana dia mengutarakan keberatan.
Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Adi langsung melakukan tindakan pemblokiran itu. Membuat Denis emosi dan semakin kesal pada sang ayah.
"Benar-benar!" Denis yang telah lelah mengeluarkan semua makian, mengempaskan tubuh ke sofa dengan kesal. "Kalau begini caranya aku minggat saja dari rumah!"
"Terus, mau ke mana?" Pertanyaan santai Shaka membuat Denis mengerutkan kening.
Shaka terkekeh-kekeh. "Jangan salah paham dulu, Bro! Kamu tahu sendiri kan, kalau Om Adi gak bakal lepasin kamu sampai kapan pun. Mau kamu minggat ke ujung dunia pun pasti bakal dikejar."
"Kalau gitu, aku minggat ke akhirat aja—"
"Wah, gila kamu, ya!" Shaka meletakkan gitarnya, lalu berdiri sambil terbahak-bahak. "Mau mati? Bunuh diri? Apa gimana maumu?"
"Ah, sialan! Sialan!" Denis melempar kesal ponselnya ke tempat longgar di sampingnya. Dia lalu menyandarkan kepala ke punggung sofa, menatap langit-langit.
Shaka lalu menghela napas dan duduk di samping Denis, mengelus lembut bahu sahabatnya tersebut. "Den, coba kamu datangin baik-baik Om Adi. Minta waktu itu. Sekaligus, kamu perlihatkan kalau di pameran seni akhir nanti, kamu akan jadi yang terbaik lagi. Lukisan kamu akan terjual dengan harga paling tinggi, juga nilaimu paling bagus."
Denis tersenyum kecut, lalu menatap Shaka. "Apa hal itu masih bisa membuat Ayah tergerak hatinya? Gak mungkin, Shaka! Sangat tidak mungkin! Kamu tahu, 'kan, bagaimana ambisius dan sangat gilanya Ayah pada dunia itu?"
"Terus, bagaimana jika memang Tuhan menuntunmu pada takdir itu? Bahwa satu-satunya yang memang akan kamu jalani di kehidupan masa depan adalah di dunia bisnis. Sebab, Om Adi memang hanya punya kamu, Den."
Perkataan Shaka membuat Denis mendengkus kesal. Dia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan, ingin menjerit, menangis sekeras-kerasnya.
Kadang dia menyesal, kenapa harus dilahirkan di dunia ini ... tidak, atau lebih tepatnya lahir sebagai anak dari keluarga Wibisono. Dia tak mengharapkan hidup serba berkecukupan, mewah, dan apa-apa terpenuhi, tapi pada akhirnya terkekang dan tak bisa menjadi dirinya sendiri.
"Kamu masih bisa melukis atas nama hobi. Kalau mau kamu jual juga bisa, 'kan? Suatu hari, kalau kamu sudah memiliki kekayaan sendiri, kamu bisa membangun galeri seni. Bukankah itu cukup bagus kalau kamu pikir secara matang?"
Denis membuka kedua tangannya, menatap intens Shaka. "Tak semudah itu, Ka. Kamu tahu gak? Dunia bisnis dan tetek bengeknya itu seperti buah simalakama, apalagi kalau kamu sudah berputar dengan persaingan tender, saham, begitu-begitu ... yang akan membuat semua hidupmu, saat kamu tidur, makan, dan kegiatan dalam keseharianmu menjadi tak sewajarnya orang hidup. Kamu hanya akan memikirkan keuntungan, jabatan, posisi puncak, kemewahan ... sehingga lupa pada keluarga, eksistensi mereka, dan parahnya adalah jati dirimu sendiri."
Denis menghela napas panjang. "Aku tak mau seperti Ayah. Sejak dulu tak pernah ada tatapan cinta padaku, Mas David, apalagi ke Ibu. Dia hanya memikirkan bagaimana caranya terus naik ke puncak kesuksesan, agar bisa segera sejajar dengan Seno Wardoyo, mengambil lagi saham utama WW Tech, dan sebagainya."
Denis tersenyum samar. "Mas David ikut dalam pusaran arus itu karena tak mau hidup sengsara, ingin terus merasakan kemewahan, di antara mereka-mereka yang penuh uang dan kekayaan. Dia tak mau jatuh ke kehidupan yang apa-apa harus didahului dengan perjuangan."
"Entahlah," Denis menggeliat, "aku tak mau seperti itu. Aku masih memiliki kewarasan dalam diriku ini, tak ingin membuat keluargaku di masa depan hancur psikis maupun fisiknya, karena aku berkubang ambisi dalam dunia yang gila itu."
"Tapi, kamu sadar tak semua seperti itu juga, 'kan? Ada mereka pebisnis yang tetap waras—"
"Ya!" Denis menyahut dengan cepat. "Mereka yang tidak di WW Tech tepatnya."
Perkataan terakhir Denis itu membuat Shaka langsung terbahak-bahak.
***
Gerimis tipis turun membasahi Kota Malang. Denis yang telah puas tidur siang di sofa dalam mini art studio Heaven Bakery itu tengah bersiap pulang.
Ya, meski dia tahu tak pernah ada kehangatan di dalam rumah mewah tersebut. Namun, dia rindu kamarnya yang siap menjadi studio kecil tempatnya mengeluarkan segala imajinasi, hasrat, dan mimpi-mimpinya yang indah untuk bisa terus melukis, menginspirasi orang lain lewat karya-karyanya, dan menjalani kehidupan yang nyaman di masa depan.
Denis meraih kunci mobilnya, dan segera berjalan turun ke lantai bawah menyusul Shaka yang sudah menunggu untuk berangkat bersama ke hall kampus, tempat akan diadakanannya gladi bersih pameran seni akhir semester.
Belum juga kakinya menginjak lantai bawah, masih berjalan di tangga, dia merasakan ponselnya bergetar, dan menemukan Shaka menelepon. Membuat pemuda itu mengerutkan kening dan sambil terus berjalan ke bawah segera menerima telepon tersebut.
"Ada apa? Aku otewe ke bawah nih—"
"Cepat, Den. Ada Pak Yudho! Yudho Baskoro!"
"Ap—"
Shaka langsung memutus sambungan mereka. Membuat Denis menghentikan langkah dan menatap layar ponselnya. Dia yang sudah sampai di dua anak tangga terakhir menatap pojok timur lantai satu Heaven Bakery, dan jantungnya langsung berdegup kencang, seperti ada ledakan kebahagiaan, begitu melihat sesosok pria paruh baya berkacamata yang tengah duduk berhadapan dengan Shaka.
Yudho Baskoro!
Pria itu memiliki sebuah toko bahan-bahan bangunan yang lumayan besar di Malang, dan minat sangat tinggi pada dunia seni, terutama seni lukis.
Dia sudah tiga kali menjadi pembeli karya lukis Denis, di setiap pameran yang diikuti pemuda itu, dengan harga yang tinggi.
Selain itu, dia juga memiliki sebuah kafe chicken steak yang selalu minta diramaikan oleh Shaka dan teman-teman kuliahnya, untuk menghibur para pelanggan dengan penampilan musik yang manis.
Sebulan lalu, mengetahui Shaka akan membuat sebuah mini art studio yang bergabung dengan Heaven Bakery, membuat Yudho tertarik menjadi salah satu investor. Dia menawarkan dana tak sedikit untuk mendukung terealisasinya impian Shaka, Denis, dan Sarah itu, yaitu Rp 250.000.000,00.
Setiap bulan, dia juga akan memberikan tambahan dana maintenance dari setiap furniture dan fasilitas di kafe maupun studio, setelah menerima laporan penggunaan dana bulanan.
Denis dengan semangat berjalan menuju kedua orang yang tengah mengobrol itu. Dalam dadanya, meluap rasa kebahagiaan. Jika toh Adi, sang ayah, tak memberinya dukungan kelak, dia masih bisa terus berjuang untuk mewujudkan kebebasan hidup dan mimpinya dengan cara berjuang sendiri seperti ini.
Namun, tiba-tiba gemuruh bahagia itu hilang tatkala melihat ekspresi tak nyaman Yudho saat berbincang dengan Shaka yang terlihat sedih.
'Ada apa ini?' pikir Denis khawatir. Pelan-pelan dia mendekat.
Menyadari kehadiran Denis, Shaka dan Yudho langsung menghentikan pembicaraan mereka dan menatap sang pemuda. Shaka segera tersenyum dan mengajak Denis duduk di sebelahnya, berhadapan dengan Yudho.
"Ah, selamat malam, Nak Denis." Sapaan Yudho tak seperti biasanya, yang ramah dan santai. Kini, pria yang rambutnya sudah mulai banyak uban itu terlihat kikuk dan agak kurang nyaman.
Denis melirik Shaka, di mana sahabatnya itu ternyata juga mulai terlihat berbeda, ada sedikit sorot kesedihan terpancar di kedua matanya.
"Ada apa ini?" Denis tak bisa menahan lagi rasa penasarannya. Entah mengapa, dia memiliki perasaan dan dugaan buruk, dan itu akan membuatnya kesal nanti.
"Itu," Shaka yang menyahut, "Pak Yudho mau bicara sama kita tentang rencana investasi dan bantuan dana bulanan buat Heaven Bakery and Mini Art Studio ini."
Denis menatap Shaka, menunggu sahabatnya itu meneruskan cerita. Shaka menghela napas sejenak, lalu melanjutkan, "Sepertinya, Pak Yudho tak bisa merealisasikannya dengan sebuah alasan yang cukup berat, dan membuatnya tak bisa bergerak banyak."
"Apa?" Denis yang terkejut, tak sadar meninggikan nadanya. Dia menatap bergantian Yudho dan Shaka. Di mana Yudho langsung menunduk, dengan ekspresi sedih dan merasa bersalah, sedangkan Shaka menggelengkan kepalanya dengan pasrah.
"Apa maksudnya ini?" Denis tak sadar mengepalkan kedua tangan yang ada di atas pahanya, membuat Shaka terkejut, karena sahabatnya itu mulai dikuasai emosi. Segera, pemuda berkulit putih itu menyenggol lengan Denis, mengisyaratkan sahabatnya tersebut untuk menahan diri.
Yudho juga terkejut dengan reaksi Denis yang biasanya selalu kalem dan terlihat hampir tanpa emosi ... tenyata bisa seperti itu juga.
"Ma-maafkan saya, Nak Denis. Ini di luar kehendak saya. Sa-saya hanya pengusaha kecil biasa yang menghidupi anak-anak serta istri dari usaha tersebut. Saya ... saya sungguh ... benar-benar minta maaf!"
Yudho terlihat menunduk dengan sangat sedih. Antara menyesal dengan apa yang akan terjadi, juga merasa bersalah pada kedua pemuda yang ada di hadapannya itu. Mereka telah saling mengenal selama tiga tahun terakhir, rasanya kejadian tersebut benar-benar berat, dan bisa saja merenggangkan hubungan baik ketiganya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Denis bertanya dengan nada lebih merendah, setelah iba melihat ekspresi pria paruh baya itu.
Shaka dan Yudho saling pandang. Melihat gelagat Yudho yang sepertinya sangat sulit menjelaskan, Shaka akhirnya mengambil alih. Pemuda berkepribadian sabar dan tenang dalam setiap kondisi itu, dengan pelan lalu menjelaskan.
"Pak Yudho selalu menjadi salah satu pemasok bahan bangunan bagi beberapa proyek kecil dari Argopuro Konstruksi selama ini. Sendangkan perusahaan konsturiksi kecil itu adalah bagian dari WW Tech. Dia tak tahu kalau kamu adalah anak kedua Om Adi. Kemarin, Om Kuncoro menemuinya, dan mengatakan bahwa Om Adi menyuruh Om Kuncoro menawarkan sebuah tender, sebagai pemasok untuk proyek sekala menengah WW Tech langsung, yang bisa sangat menguntungkan usaha Pak Yudho. Namun, jika Pak Yudho menolak, maka kerja sama selama ini dengan Argopuro akan diputus sepihak. Ternyata, kerja sama yang menaungi adalah bidang milik Om Kuncoro."
Denis membelalakkan mata. Dia tak menyangka bahwa ayahnya akan melakukan hal sejauh iti hanya demi menjauhkan dirinya dari segala hal yang berada di luar keinginan sang ayah tersebut. Adi benar-benar ingin mencengkeram Denis kuat-kuat, dan menjadikan pemuda itu bidak catur permainannya.
"Dan," Shaka melirik Yudho yang masih terdiam dengan ekspresi sedih, "Pak Yudho jelas tak bisa melakukan apa pun. Jika dia melepas kerja sama, dia pun akan kesulitan mencari perusahaan rekanan baru, karena hampir semua yang ada di Malang Raya ini sudah di bawah kekuasaan WW Tech. Kamu tahu itu, 'kan, Den?"
Denis diam selama beberapa detik, hingga kemudian, tanpa di duga, pemuda tinggi tegap itu berdiri dengan ekspresi marah, sambil menggenggam erat kunci mobilnya.
"Saya pamit dulu, Pak. Aku izin juga nanti mungkin telat datang acara gladi bersih, sampaikan Mas Bagas, Ka."
"Hei," Shaka ikut berdiri dan mencekal lengan Denis yang hendak pergi, "kau mau ke mana?"
Dengan tatapan getir, Denis menjawab sambil setengah menggeram. "Menghajar ayahku yang berkelakuan seperti iblis itu!"
Denis lalu menepis tangan Shaka dengan kasar, menatap Yudho, lalu mengangguk pelan pada pria itu, dan segera pergi ke luar dengan amarah memuncak. Tak menghiraukan teriakan Shaka yang memanggil-manggil namanya.
"Denis, tunggu!" Teriakan Shaka membuat Denis menghentikan langkah dan langsung berbalik untuk menatap sahabatnya tersebut."Kamu ke mana dulu tadi, kok telat? Gak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"Denis mengernyitkan alis, lalu sebentar kemudian terbahak-bahak usia mendengar pertanyaan Shaka itu. "Emang apa yang mau kulakuin? Berusaha bunuh diri atau mabuk-mabukkan gitu?" Denis bertanya balik.Shaka menghela napas lega. Dia lalu menepuk pelan bahu kanan Denis dan berkata, "Den, kalau kamu ada ganjalan, cerita ke aku atau Sarah, ya? Please, jangan kamu pendam sendiri. Kami berdua akan siap sedia ada buat kamu. Kamu harus ingat itu."Denis menatap lekat-lekat sahabatnya tersebut. Lalu, pemuda berwajah manis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Tentu. Namun, kali ini aku ingin sendiri dulu, Ka. Yah, setidaknya, karena ini masalah keluarga, aku gak mau kamu repot dan akhirnya gak fokus dengan urusanmu sendiri.""Tapi—""It's okay, Bro. Santa
Denis menepis tangan Nadia. Pemuda itu terlihat akan beranjak pergi meninggalkan wanita cantik tersebut, tetapi Nadia segera meraih lengan Denis."Den!" Nadia terlihat kesal, karena seolah Denis menganggapnya main-main.Denis mengerutkan kening saat menatap tangan Nadia di lengannya. Namun, sebelum pemuda itu menepis lagi tangannya, Nadia lebih dulu melepaskan lengan Denis."Aku yakin tawaran ini akan menguntungkan dirimu—""Menguntungkan dari segi apa? Yang ada aku akan berada dalam bawah cengkeramanmu dan kamu akan bebas bermain-main dengan keluarga Wibisono!"Melihat Denis mulai tak bisa mengendalikan emosinya, Nadia kemudian segera menghela napas. Dia berpikir, memang harusnya dia yang bersikap lebih tenang di sini, mengingat Denis jauh lebih muda darinya."Kumohon, duduklah dulu!"Denis masih diam membisu. Nadia menghela napas lagi. Dengan agak kasar, dia hempaskan tubuh indahnya ke sofa, dan menarik pelan tangan Denis yang
Denis menatap langit-langit kamar sambil berbaring telentang di atas kasur king size miliknya. Otaknya berputar cepat, membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Dia lalu memijat kedua pelipisnya, sambil mulai memejamkan mata.Ingatan tentang ekspresi wajah Nadia, dan apa yang disampaikan wanita itu padanya di siang hari tadi, benar-benar membuatnya tak selera makan malam. Tubuhnya yang lelah setelah seharian beraktivitas di pameran seni, ditambah dengan memikirkan tawaran Nadia, membuatnya mual.Apalagi melihat menu makanan yang selalu itu-itu saja di meja makan. Hampir tak pernah ada sosok Adi Wibisono yang akan duduk bersama dengannya di sana.Sebelumnya, ketika David masih hidup, Denis agak terhibur atau sekadar masih memiliki minat makan di rumah itu, karena kakaknya tersebut masih sudi menemaninya makan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. David sudah tak ada di dunia ini lagi.Meski Denis tak menyangkal bahwa David juga tak banyak memberikan ci
Denis menatap makanan yang terhidang di hadapannya tersebut. Spaghetti saus bolognese, croissant, buah-buahan segar, puding susu, serta dua botol air mineral dan sebotol wine lengkap dengan sepasang gelas piala kosong.Nadia menatap Denis yang terlihat agak bingung menatap hidangan tersebut. Wanita itu lantas memanggil personal chef-nya dan setelah pemuda yang usianya mungkin hampir sama dengan Denis itu muncul, dia lalu berkata, "Singkirkan wine ini. Tamu saya tidak minum yang begini."Personal chef itu agak terkejut, secara spontan dia melirik ke arah Denis yang ternyata tengah menatapnya. "Baik, Nyonya," jawab sang personal chef dengan patuh.Dia lalu memanggil dua pelayan wanita untuk segera membereskan botol wine itu, dan mengganti dengan dua gelas es lemon tea. Setelah merasa bahwa Nadia tak meminta apa pun lagi, ketiganya lalu pamit undur diri."Maaf, Den. Mereka belum terbiasa. Lagi pula ini juga pertama kalinya kamu makan di sini, 'kan?" Nadia me
"Dari mana kamu?" Suara Adi membuat Denis yang baru saja datang dan melewati ruang keluarga, langsung menghentikan langkah kakinya.Pemuda itu menatap sang ayah yang tengah duduk di sofa beludru merah marun di tengah ruangan tersebut, dengan tangan kanan memegang gelas piala berisi wine, dan tangan kiri memegang cerutu."Bukan urusan Ayah." Denis hendak pergi meninggalkan ayahnya, tetapi Adi langsung berdiri dan berteriak padanya."Kurang ajar kamu lama-lama! Kamu pergi menemui Nadia, 'kan?"Denis mengurungkan niat melangkahkan kakinya dan balik menatap tajam Adi. "Kalau iya, memang kenapa?" tantang Denis.Wajah Adi terlihat memerah menahan amarah yang sepertinya mulai memuncak merasuki dirinya. Dengan kasar dia letakkan gelas pialanya ke meja samping sofa, dan kembali meneriaki putra satu-satunya tersebut."Berapa kali sudah kubilang! Aku tak mau kamu sama dengan David. Apa kamu jatuh cinta dengan Nadia? Kamu sadar bagaimana wanita itu? Dia
Ada tiga hal yang kusesali dalam hidup ini, kalau kamu tahu. Pertama adalah lahir menjadi anak dari seorang Adi Wibisono, kedua adalah menjadi adik dari David Wibisono, dan ketiga adalah mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya David, kakakku itu, bukanlah anak kandung ayahku. Dari mana aku tahu? Itu pasti yang akan kamu tanyakan ke aku, bukan? Hm, mungkin saat itu aku masih berusia sekitar 10 tahun, saat Ibu yang menangis menatap foto seorang lelaki di dalam kamarnya. Aku hendak memanggil wanita itu, tapi urung karena rasa penasaran untuk mengetahui siapa lelaki yang tengah ditangisi ibuku itu lebih besar daripada keinginan untuk mengalihkan atensi wanita tersebut dari foto yang tengah dipeluknya kepadaku. Aku mengintip dan terkejut, karena lelaki itu bukan Adi Wibisono. Ya, aku memang sudah sering dengar dari mulut-mulut busuk di sekitarku, bahwa pernikahan ibu dan ayahku karena bisnis semata. Tapi, kurasa ayahku cukup perhatian pada ibuku. Setidaknya,
Malang, Februari 2018.Hujan gerimis masih turun dengan indahnya di Bumi Arema. Membuat lelaki muda itu, yang tengah asyik menggoreskan kuasnya di atas kanvas, semakin terbawa suasana.Wanita yang kini sedang dia gambar, adalah sosok manusia paling indah menurutnya. Paling cantik, dan sungguh memesona.Wanita bernama Jenar Ayu, ibunya. Telah meninggal enam tahun lalu, saat dia masih berusia 18 tahun, dan dua bulan sebelum menempuh ujian masuk perguruan tinggi.Ada kalanya dia sedikit bersyukur, karena dengan kematian ibunya, banyak orang yang iba pada dirinya. Membuat sang ayah yang begitu keras memaksanya masuk ke Jurusan Ekonomi Bisnis, akhirnya menyerah, dan membolehkan dia menjadi mahasiswa Program Studi Seni Lukis.Semua itu tak lepas dari perkataan orang-orang sekitar, yang membuat sang ayah sedikit gusar."Kasihan, sejak kecil tidak mendapatkan kasih s
Malang, Desember 2016Suasana dalam ballroom Hotel Angkasa Cendana itu tampak ramai. Penuh tamu dengan pakaian indah mereka. Hidangan lezat tersaji dengan cantik di atas meja prasmanan. Beberapa pelayan mondar-mandir melayani dengan ramah dan sopan.Pemuda itu masih berdiri di sudut ruangan, berdiri sambil memainkan ponselnya. Denis Aditya Wibisono, anak kedua Adi Wibisono dan Jenar Ayu yang telah bercerai saat pemuda itu berusia 10 tahun."Apa kau tak punya partner?"Sebuah sapaan dari seorang perempuan cantik berbaju seksi warna merah marun, yang tengah menggenggam gelas piala berisi wine, membuat pemuda jangkung berkulit sawo matang itu terkejut.Terpaksa Denis mengalihkan fokus dari ponsel ke perempuan yang kini berjarak sangat dekat dengan tubuhnya itu."Oh, ada." Jawaban singkat dengan ekspresi wajah datar dari Denis, membuat perempuan itu menggerutu kesal, dan segera pergi meninggalkan pemuda tersebut.Setelah menghela na
Ada tiga hal yang kusesali dalam hidup ini, kalau kamu tahu. Pertama adalah lahir menjadi anak dari seorang Adi Wibisono, kedua adalah menjadi adik dari David Wibisono, dan ketiga adalah mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya David, kakakku itu, bukanlah anak kandung ayahku. Dari mana aku tahu? Itu pasti yang akan kamu tanyakan ke aku, bukan? Hm, mungkin saat itu aku masih berusia sekitar 10 tahun, saat Ibu yang menangis menatap foto seorang lelaki di dalam kamarnya. Aku hendak memanggil wanita itu, tapi urung karena rasa penasaran untuk mengetahui siapa lelaki yang tengah ditangisi ibuku itu lebih besar daripada keinginan untuk mengalihkan atensi wanita tersebut dari foto yang tengah dipeluknya kepadaku. Aku mengintip dan terkejut, karena lelaki itu bukan Adi Wibisono. Ya, aku memang sudah sering dengar dari mulut-mulut busuk di sekitarku, bahwa pernikahan ibu dan ayahku karena bisnis semata. Tapi, kurasa ayahku cukup perhatian pada ibuku. Setidaknya,
"Dari mana kamu?" Suara Adi membuat Denis yang baru saja datang dan melewati ruang keluarga, langsung menghentikan langkah kakinya.Pemuda itu menatap sang ayah yang tengah duduk di sofa beludru merah marun di tengah ruangan tersebut, dengan tangan kanan memegang gelas piala berisi wine, dan tangan kiri memegang cerutu."Bukan urusan Ayah." Denis hendak pergi meninggalkan ayahnya, tetapi Adi langsung berdiri dan berteriak padanya."Kurang ajar kamu lama-lama! Kamu pergi menemui Nadia, 'kan?"Denis mengurungkan niat melangkahkan kakinya dan balik menatap tajam Adi. "Kalau iya, memang kenapa?" tantang Denis.Wajah Adi terlihat memerah menahan amarah yang sepertinya mulai memuncak merasuki dirinya. Dengan kasar dia letakkan gelas pialanya ke meja samping sofa, dan kembali meneriaki putra satu-satunya tersebut."Berapa kali sudah kubilang! Aku tak mau kamu sama dengan David. Apa kamu jatuh cinta dengan Nadia? Kamu sadar bagaimana wanita itu? Dia
Denis menatap makanan yang terhidang di hadapannya tersebut. Spaghetti saus bolognese, croissant, buah-buahan segar, puding susu, serta dua botol air mineral dan sebotol wine lengkap dengan sepasang gelas piala kosong.Nadia menatap Denis yang terlihat agak bingung menatap hidangan tersebut. Wanita itu lantas memanggil personal chef-nya dan setelah pemuda yang usianya mungkin hampir sama dengan Denis itu muncul, dia lalu berkata, "Singkirkan wine ini. Tamu saya tidak minum yang begini."Personal chef itu agak terkejut, secara spontan dia melirik ke arah Denis yang ternyata tengah menatapnya. "Baik, Nyonya," jawab sang personal chef dengan patuh.Dia lalu memanggil dua pelayan wanita untuk segera membereskan botol wine itu, dan mengganti dengan dua gelas es lemon tea. Setelah merasa bahwa Nadia tak meminta apa pun lagi, ketiganya lalu pamit undur diri."Maaf, Den. Mereka belum terbiasa. Lagi pula ini juga pertama kalinya kamu makan di sini, 'kan?" Nadia me
Denis menatap langit-langit kamar sambil berbaring telentang di atas kasur king size miliknya. Otaknya berputar cepat, membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Dia lalu memijat kedua pelipisnya, sambil mulai memejamkan mata.Ingatan tentang ekspresi wajah Nadia, dan apa yang disampaikan wanita itu padanya di siang hari tadi, benar-benar membuatnya tak selera makan malam. Tubuhnya yang lelah setelah seharian beraktivitas di pameran seni, ditambah dengan memikirkan tawaran Nadia, membuatnya mual.Apalagi melihat menu makanan yang selalu itu-itu saja di meja makan. Hampir tak pernah ada sosok Adi Wibisono yang akan duduk bersama dengannya di sana.Sebelumnya, ketika David masih hidup, Denis agak terhibur atau sekadar masih memiliki minat makan di rumah itu, karena kakaknya tersebut masih sudi menemaninya makan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. David sudah tak ada di dunia ini lagi.Meski Denis tak menyangkal bahwa David juga tak banyak memberikan ci
Denis menepis tangan Nadia. Pemuda itu terlihat akan beranjak pergi meninggalkan wanita cantik tersebut, tetapi Nadia segera meraih lengan Denis."Den!" Nadia terlihat kesal, karena seolah Denis menganggapnya main-main.Denis mengerutkan kening saat menatap tangan Nadia di lengannya. Namun, sebelum pemuda itu menepis lagi tangannya, Nadia lebih dulu melepaskan lengan Denis."Aku yakin tawaran ini akan menguntungkan dirimu—""Menguntungkan dari segi apa? Yang ada aku akan berada dalam bawah cengkeramanmu dan kamu akan bebas bermain-main dengan keluarga Wibisono!"Melihat Denis mulai tak bisa mengendalikan emosinya, Nadia kemudian segera menghela napas. Dia berpikir, memang harusnya dia yang bersikap lebih tenang di sini, mengingat Denis jauh lebih muda darinya."Kumohon, duduklah dulu!"Denis masih diam membisu. Nadia menghela napas lagi. Dengan agak kasar, dia hempaskan tubuh indahnya ke sofa, dan menarik pelan tangan Denis yang
"Denis, tunggu!" Teriakan Shaka membuat Denis menghentikan langkah dan langsung berbalik untuk menatap sahabatnya tersebut."Kamu ke mana dulu tadi, kok telat? Gak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"Denis mengernyitkan alis, lalu sebentar kemudian terbahak-bahak usia mendengar pertanyaan Shaka itu. "Emang apa yang mau kulakuin? Berusaha bunuh diri atau mabuk-mabukkan gitu?" Denis bertanya balik.Shaka menghela napas lega. Dia lalu menepuk pelan bahu kanan Denis dan berkata, "Den, kalau kamu ada ganjalan, cerita ke aku atau Sarah, ya? Please, jangan kamu pendam sendiri. Kami berdua akan siap sedia ada buat kamu. Kamu harus ingat itu."Denis menatap lekat-lekat sahabatnya tersebut. Lalu, pemuda berwajah manis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Tentu. Namun, kali ini aku ingin sendiri dulu, Ka. Yah, setidaknya, karena ini masalah keluarga, aku gak mau kamu repot dan akhirnya gak fokus dengan urusanmu sendiri.""Tapi—""It's okay, Bro. Santa
Denis mengeluarkan semua makian kasar untuk sang ayah, di depan Shaka yang masih terlihat santai mengutak-atik gitar elektriknya. Mereka berdua saat ini sedang berada di mini art studio, lantai dua Heaven Bakery.Denis tak menyangka, jika biasanya sang ayah akan memberikan sedikit kelonggaran berpikir setelah memberinya sebuah mandat atau pilihan, kali ini sangat beda.Segala fasilitas milik Denis, baik atm, credit card, tabungan, dan semuanya—kecuali mobil—diblokir oleh Adi. Lelaki paruh baya itu tak merespon sama sekali semua pesan WA Denis, baik ketika pemuda itu meminta waktu berpikir sampai selesai pameran seni akhir semester, atau tentang bagaimana dia mengutarakan keberatan.Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Adi langsung melakukan tindakan pemblokiran itu. Membuat Denis emosi dan semakin kesal pada sang ayah."Benar-benar!" Denis yang telah lelah mengeluarkan semua makian, mengempaskan tubuh ke sofa dengan kesal. "Kalau begini caranya aku
Mata Denis melebar setelah mendengar perkataan Adi yang tengah memunggunginya, sambil menatap bulan purnama dari balik kaca jendela rumah mewah mereka itu."Ayah gak serius, 'kan? Kenapa tiba-tiba aku harus menggantikan Mas Dave di posisi Direktur kelak, padahal aku sama sekali tak pernah terjun ke dunia bisnis?"Adi tak langsung menjawab, masih menikmati langit malam cerah yang juga penuh bintang itu, sambil tetap menggenggam gelas pialanya meski benda itu sudah kosong, tak ada cairan di dalamnya."Yah!" Denis mulai merasakan kekesalan merambat dalam hatinya.Akhirnya Adi membalik tubuh dan menatap tajam putra keduanya tersebut. Dengan suara beratnya yang khas, lelaki paruh baya itu menjawab santai, "Kalau bukan kau, siapa lagi? Darmono, supirku? Atau Agung, tukang kebun kita?"Denis mendengkus kesal. "Jangan bercanda, Yah!""Apa kau lihat aku sedang melakukan pertunjukan komedi saat ini, Denis? Kau yang aneh! Jelas-jelas hanya kau yang kup
Malang, Desember 2016Suasana dalam ballroom Hotel Angkasa Cendana itu tampak ramai. Penuh tamu dengan pakaian indah mereka. Hidangan lezat tersaji dengan cantik di atas meja prasmanan. Beberapa pelayan mondar-mandir melayani dengan ramah dan sopan.Pemuda itu masih berdiri di sudut ruangan, berdiri sambil memainkan ponselnya. Denis Aditya Wibisono, anak kedua Adi Wibisono dan Jenar Ayu yang telah bercerai saat pemuda itu berusia 10 tahun."Apa kau tak punya partner?"Sebuah sapaan dari seorang perempuan cantik berbaju seksi warna merah marun, yang tengah menggenggam gelas piala berisi wine, membuat pemuda jangkung berkulit sawo matang itu terkejut.Terpaksa Denis mengalihkan fokus dari ponsel ke perempuan yang kini berjarak sangat dekat dengan tubuhnya itu."Oh, ada." Jawaban singkat dengan ekspresi wajah datar dari Denis, membuat perempuan itu menggerutu kesal, dan segera pergi meninggalkan pemuda tersebut.Setelah menghela na