Petang ini Nicholas mengantarkan Raccel ke tempat gedung opera di mana ia akan tampil beberapa menit lagi. Bahkan laki-laki itu juga menemani Raccel saat gadisnya itu berlatih. Raccel menjadi paling muda di sana, di antara para para pemain musik klasik yang sudah berumur, bahkan sudah ada yang berambut putih dan tua. Permainan biola yang Raccel mainkan sangat memukau, padahal itu masih latihan, namun membuat Nicholas merinding saat begitu Raccel memainkan penuh penghayatan. Nicholas tersenyum. 'Dia jauh lebih hebat dariku ... padahal dari aku memandang Raccel, dia hanya gadis manja yang selalu bergantung pada Mama dan Papanya, tapi setelah aku melihatnya sekarang, dia adalah gadis hebat yang berbakat.'Setelah selesai satu kali berlatih, Raccel kini membawa biolanya. Dia berjalan dengan balutan dress panjang berwarna biru muda, rambut panjangnya digerai dengan hiasan bando mutiara dan make up natural yang menambah kecantikannya. "Kakak nanti tunggu di depan ya ... Raccel punya sat
Keesokan harinya, siang ini Raccel pergi ke sebuah butik milik teman Dalena untuk mencoba gaun pernikahan yang telah Dalena pesan. Dan di sana, Nicholas juga ikut bersama dengan Raccel dan Mamanya. Raccel pun mencoba gaun pernikahan yang ditunjukkan padanya. Seperti yang dia inginkan, kalau gadis itu menginginkan gaun yang tertutup. "Cantik sekali, Sayang ... gaunnya pas di tubuh Raccel," ujar Dalena menatap Raccel yang tengah mencoba gaun itu. "Oh ya, Mom?" Gadis itu menatap Dalena sembari tersenyum. Dalena mengangguk, wanita itu membuka sebuah tirai dan melambaikan tangannya memanggil Nicholas. Laki-laki itu berjalan mendekati mereka, senyuman Nicholas pun terukir saat dia melihat Raccel dengan balutan gaun pengantin putih bersih berlengan panjang dengan rok yang mengembang seperti kelopak bunga. Raccel menatap laki-laki itu dan menaikkan kedua alisnya. "Bagaimana, Kak?" Nicholas tersenyum manis, dia kagum melihat Raccel dengan balutan gaun itu membuatnya terlihat benar-bena
Hari demi hari berjalan dengan cepat. Tidak terasa pernikahan Raccel tinggal menghitung hari, dan saat itu tepat di hari libur kampusnya. Pernikahan Raccel dan Nicholas jatuh di saat pertengahan musim gugur. Ketika suhu udara yang sudah terasa hembusan angin dari musim dingin. Dan malam ini gadis itu terbangun dari tidurnya saat jam menunjukkan pukul dua dini hari. Raccel duduk di tepi ranjang kamarnya dan menatap ke arah jendela, dia diam merenung membayangkan seperti apa masa depannya nanti setelah dia menikah. "Natal dan tahun baru kali ini, aku tidak tinggal di sini lagi ... melainkan aku sudah punya suami, dan akan menghabiskan banyak waktuku dengan suamiku," ucap Raccel tersenyum tipis, namun dia tidak berbohong kalau ada rasa sedih di dadanya. Tidak pernah dia bayangkan dia bisa keluar dari rumah ini dan tinggal dengan suaminya, apa jadinya nanti bila ia hidup dari Cassel, Daddy, dan Mommy-nya yang selalu ada di setiap Raccel membutuhkan sesuatu. Memikirkan ini membuat Rac
"Persiapan untuk pernikahan Raccel dan Nicholas sudah terpenuhi semua. Tinggal tiga hari lagi." "Heem. Tapi Nicholas juga masih sibuk saja, aku memintanya untuk libur satu hari saja, tapi dia tidak bisa sepertinya, anak itu memang kadang-kadang..." Suara dua orang itu terdengar dari ruang tamu di kediaman Keluarga Escalante, nampak Karina dan Dalena yang tengah duduk berdua di sana. Mereka membicarakan anak-anaknya, nampak keduanya sedang asik berbincang sejak tadi."Nanti, aku ingin Nicholas membawa Raccel untuk pulang dan tinggal saja denganku, Dalena ... anakku kan hanya satu Nicho saja, jadi aku ingin kami satu rumah," ujar Karina sembari mengusap-usap lembut bulu kucing putih milik Raccel. Dalena mengerutkan keningnya. "Loh ... bukannya Nicholas sudah membeli rumah sendiri?" tanya Dalena. "Me-membeli rumah sendiri?" tanya Karina melebarkan kedua matanya. "Iya, Raccel yang bercerita padaku. Kalau Nicholas sudah membeli rumah dan menunjukkan pada Raccel juga, kok..." Karina
Hari yang dinanti-nantikan telah tiba, pernikahan Raccel dan Nicholas digelar di sebuah hotel berbintang milik keluarga Escalante. Semua tamu hadir dalam pesta pernikahan meriah tersebut. Pesta yang didominasi warna putih dan biru muda. Suasana di sana sangat hangat di tengah cuaca dingin di luar sana. Terlihat Raccel memakai gaun pernikahannya yang sangat cantik, gadis itu berdiri di depan cermin usai dia dirias dan wajahnya tertutup wedding veil atau tudung berwarna putih yang terbuat dari kain tile yang lembut. "Raccel, kau tidak papa, Sayang?" tanya Dalena mendekati putrinya. Raccel hanya diam tertunduk sejak tadi menggenggam erat ikat bunga pengantin yang dia bawa. "Sedih, Mom..," jawab gadis itu tiba-tiba. Dalena paham perasaan Raccel. Wanita itu mengusap punggung kecil putrinya dan ia memeluk Raccel dengan erat. "Tidak papa, Sayang. Jangan menangis, ya ... nanti Mommy dan Daddy akan menangis kalau Raccel sedih," ujar Dalena. Raccel mengangguk kecil, sampai tiba-tiba pin
Udara dingin di musim gugur membuat Raccel mengerang pelan dalam tidurnya. Gadis itu hendak merenggangkan kedua tangannya seperti biasa dia bangun. Namun, saat Raccel sedikit saja bergerak tiba-tiba sepasang lengan kekar merengkuh tubuhnya dengan erat hingga membuat kedua matanya terbuka seketika karena terkejut. "Masih pagi, jangan bangun dulu..," bisik Nicholas dengan suara seraknya. Raccel mengembuskan napasnya pelan memegang pinggang tangan Nicholas. "Kak Nicho sudah bangun dari tadi?" tanya gadis itu. "Heem. Tapi suara sangat dingin, aku malas untuk beranjak," jawab pemuda itu membenamkan wajahnya di punggung kecil Raccel. Raccel tersenyum tipis. Ia mengalihkan tangan Nicholas, mengangkatnya dan dengan cepat Raccel memutar tubuhnya menjadi menatap Nicholas. Seperti anak kecil, gadis itu membenamkan wajahnya dalam pelukan Nicholas yang hangat."Sekarang Raccel minta peluk kapan saja boleh, kan?" tanya gadis itu mendongak menatap suaminya yang tersenyum. "Apapun boleh kau m
“Oh ... ternyata ini pertama kali untukmu,” bisik suara berat itu. “Kau masih perawan, Nona.”Kecupan dan sentuhan panas di atas permukaan kulit lembut Dalena membuat kepalanya terasa kosong. Ia tak kuasa menahan gairah yang memuncak, dan menginginkan sentuhan yang lebih panas dari laki-laki itu.“Tu-Tuan …” lirih Dalena di sela desahan yang saling bersahutan. Gadis itu bahkan tak sanggup untuk sekedar membuka lebar matanya karena terlalu pusing dan terlena. Pandangannya mengabur, aroma alkohol yang pekat menguar dari tubuhnya dan lelaki asing itu.Dalena meringis saat merasakan nyeri di inti tubuhnya. “Tuan, tolong berhenti sebentar ...”Sejenak laki-laki itu terdiam, mengusap air mata di pipi Dalena dengan lembut. Ia membubuhkan kecupan ringan di sudut matanya, menenangkan Dalena. Tangan gadis itu masih melingkar di lehernya. Dalena merasa gila karena tubuhnya langsung merespon dengan cepat tiap sentuhan laki-laki ini.“Aku tidak bisa berhenti, Manis. Kau yang memulainya. Kau
Hari sudah larut malam, tapi Dalena masih luntang-lantung di jalanan. Kepalanya pusing karena ia bingung mencari tempat tinggal. “Ke mana... Aku harus ke mana setelah ini? Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,” lirih Dalena berjuang menahan air matanya yang akan menetes. Tiba-tiba, setetes demi setetes air langit pun turun perlahan. Bila malam ini hujan deras, habislah Dalena menjadi seorang gelandangan. Dalena hendak berteduh, namun sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya. Muncul dari dalam mobil itu seorang laki-laki tampan, berambut hitam, berbalut kemeja biru langit menatap Dalena dengan wajah cemas. “Dalena?!” pekik laki-laki itu sembari mendekatinya. “Heins …” “Astaga, kenapa kau membawa tas besar seperti ini? Apa yang terjadi?!” Tatapan mata Heins terlihat terkejut melihat keadaan Dalena yang mengenaskan. Laki-laki itu adalah teman lama sekaligus kakak tingkatnya di sekolah dulu. Seingat Dalena, Heins kini sudah menjadi dokter muda yang memiliki kari