Hari yang dinanti-nantikan telah tiba, pernikahan Raccel dan Nicholas digelar di sebuah hotel berbintang milik keluarga Escalante. Semua tamu hadir dalam pesta pernikahan meriah tersebut. Pesta yang didominasi warna putih dan biru muda. Suasana di sana sangat hangat di tengah cuaca dingin di luar sana. Terlihat Raccel memakai gaun pernikahannya yang sangat cantik, gadis itu berdiri di depan cermin usai dia dirias dan wajahnya tertutup wedding veil atau tudung berwarna putih yang terbuat dari kain tile yang lembut. "Raccel, kau tidak papa, Sayang?" tanya Dalena mendekati putrinya. Raccel hanya diam tertunduk sejak tadi menggenggam erat ikat bunga pengantin yang dia bawa. "Sedih, Mom..," jawab gadis itu tiba-tiba. Dalena paham perasaan Raccel. Wanita itu mengusap punggung kecil putrinya dan ia memeluk Raccel dengan erat. "Tidak papa, Sayang. Jangan menangis, ya ... nanti Mommy dan Daddy akan menangis kalau Raccel sedih," ujar Dalena. Raccel mengangguk kecil, sampai tiba-tiba pin
Udara dingin di musim gugur membuat Raccel mengerang pelan dalam tidurnya. Gadis itu hendak merenggangkan kedua tangannya seperti biasa dia bangun. Namun, saat Raccel sedikit saja bergerak tiba-tiba sepasang lengan kekar merengkuh tubuhnya dengan erat hingga membuat kedua matanya terbuka seketika karena terkejut. "Masih pagi, jangan bangun dulu..," bisik Nicholas dengan suara seraknya. Raccel mengembuskan napasnya pelan memegang pinggang tangan Nicholas. "Kak Nicho sudah bangun dari tadi?" tanya gadis itu. "Heem. Tapi suara sangat dingin, aku malas untuk beranjak," jawab pemuda itu membenamkan wajahnya di punggung kecil Raccel. Raccel tersenyum tipis. Ia mengalihkan tangan Nicholas, mengangkatnya dan dengan cepat Raccel memutar tubuhnya menjadi menatap Nicholas. Seperti anak kecil, gadis itu membenamkan wajahnya dalam pelukan Nicholas yang hangat."Sekarang Raccel minta peluk kapan saja boleh, kan?" tanya gadis itu mendongak menatap suaminya yang tersenyum. "Apapun boleh kau m
Setelah seharian Nicholas menghabiskan waktunya di rumah dengan Raccel, mereka berdua hanya asik menonton dan bercerita seharian tanpa ada bosannya. Apalagi besok Nicholas juga harus kembali ke kantor karena pekerjaannya yang tidak bisa dia tinggal lama-lama. Sore ini, cuaca sangat dingin dan berangin. Raccel menutupi jendela rumahnya dan gadis itu berdiri di balik dinding kaca di dalam kamarnya. "Kak Nicho masih di belakang," gumam Raccel lirih. Gadis itu berjalan keluar dari dalam kamarnya, Raccel berjalan ke lantai dasar. Dia keluar dari dalam rumahnya yang melangkah di teras samping mencari Nicholas yang kini berada di belakang, laki-laki itu berada di ruang olahraga. Raccel membuka pintu kaca ruangan itu, hingga Nicholas yang menyadari keberadaannya pun menatapnya. "Sayang, kau sudah mandi?" tanya laki-laki itu begitu Raccel kini berdiri di sampingnya. "Heem, kau sendiri di sini olahraga atau hanya main ponsel saja?" tanya Raccel cemberut menatap Nicholas yang memegang pon
Keesokan paginya, Raccel terbangun dengan tubuh masih dibalut erat oleh selimut. Gadis itu mendengar suara kicauan burung di luar dari celah pintu balkon kamar yang terbuka. Lamat-lamat dia juga mendengar suara gemericik air shower di dalam kamar mandi. Raccel menarik selimutnya menutupi wajah saat ia mengingat kejadian semalam. 'Ya ampun, malu sekali,' cicit gadis itu memejamkan kedua matanya. 'Kenapa semalam aku menangis? Tapi ... tapi memang sangat melelahkan dan sakit.' Raccel yang melamun memikirkan tentang semalam, ada rasa malu, lelah, dan segalanya bercampur aduk menjadi satu. Gadis itu tidak sadar Nicholas berada di belakangnya, laki-laki itu merangkulnya tiba-tiba dan memberikan kecupan di pipi Raccel. "Selamat pagi, Sayang," bisiknya dengan lembut. Raccel menoleh, wajahnya masih memerah dan lesu. "Pagi ... Kak Nicho mau ke mana?" tanya Raccel memegangi lengan Nicholas. "Setelah membuat aku tidak bisa melakukan apapun, kau mau pergi begitu saja!" Bibir gadis itu men
Sejak pagi hingga siang hari Raccel di rumahnya bersama sang Mommy. Gadis cantik itu juga mengajak Dalena untuk membuatkannya roti kering. Hingga saat jam sudah menunjukkan pukul satu siang, Dalena pun berpamitan pulang. "Mommy tidak pulang nanti saja, kah? Di sini saja dulu," ujar Raccel memegang lengan Dalena erat-erat. "Kalau Mommy tidak pulang, nanti kalau Daddy tiba-tiba pulang, bagaimana?" Dalena menjawab sembari tersenyum manis pada sang putri. Mendengar hal itu, Raccel pun cemberut. Mau tidak mau ia mengizinkan Mommy-nya untuk pulang. Dalena mengambil tas miliknya, wanita itu berjalan ke teras bersama dengan Raccel di belakangnya. "Mommy hati-hati ya," ujar Raccel melambaikan tangannya pada Dalena. "Iya Sayang. Raccel juga jangan ke mana-mana sampai Nicholas kembali ya, Nak..." Dalena memeluk Raccel dan mengecup pipi kiri putrinya. "Iya Mommy." Barulah Dalena masuk ke dalam mobil dan segera bergegas pulang. Di sana, Raccel berdiri dengan wajah sedih. Biasanya, dia aka
Raccel menemani Camila yang kini menyuapi Neneknya, karena Raccel juga membelikan makanan untuk Neneknya juga. Camila dengan sabar dan perhatian menyuapi sang Nenek. Raccel yang menatapnya pun merasa kasihan, sekaligus bangga. Di balik sikap Camila yang berisik dan ceria, suka menghiburnya, tapi dia juga menyimpan kesedihan, yaitu kondisi Neneknya. "Apa Mama dan Papamu tidak ke sini?" tanya Raccel mendekati Camila. "Pamanku yang ke sini. Tapi hanya membayar biaya administrasi Nenek saja, setelah itu langsung pulang. Papa katanya nanti akan ke sini," jawab Camila sedih. "Aku mungkin minggu depan juga belum bisa masuk ke kampus kalau kondisi Nenek belum baik, Raccel." "Iya Camila, tidak papa." Camila pun menyelimuti Neneknya. Gadis itu duduk di samping Raccel seraya mendongakkan kepalanya. "Aku lelah sekali, Raccel ... selama aku di sini Abraham juga tidak mau menemaniku, dia sibuk sendiri entah ke mana. Aku sangat kecewa dengannya," ujar Camila sedih. "Mungkin memang Abraham sed
Raccel terbangun dari tidurnya saat hari sudah malam. Gadis itu juga tidak mendapati Nicholas di sampingnya. Perlahan, gadis itu turun dari ranjang dan ia segera membersihkan tubuhnya untuk beberapa menit, sebelum akhirnya Raccel memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan mencari Nicholas di luar. "Ke mana Kak Nicho?" gumam Raccel lirih. Di sana, Raccel menemukan Mommy-nya yang tengah menyiapkan makan malam. "Mommy..."Dalena menoleh. "Oh ... hai Sayang," jawab Dalena. Wanita itu tersenyum begitu putrinya berjalan mendekat. Raccel memeluknya sebentar sembari menatap masakan apa saja di atas meja ruang makan sekarang ini. "Wahh ... Mommy masak kesukaan Raccel," ucap gadis itu. "Iya dong, Sayang." Raccel mengulurkan tangannya mengambil satu butir buah anggur di dalam sebuah piring. "Mom, Kak Nicho ke mana?" tanya Raccel menatap sang Mommy. "Suamimu baru saja ke belakang dengan Kakakmu, mungkin mereka sedang main billiard di belakang," jawab Dalena. Raccel mengerjapkan kedua
"Sayang, kau marah? Hemm ... kau tidak marah denganku, kan?" Nicholas mengejar Raccel masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu menahan lengan Raccel dan menggenggam pergelangan tangan Raccel. Langkah Raccel pun seketika terhenti, gadis itu menatapnya dengan tatapan lelah. "Jangan marah," ucap Nicholas lirih. "Kau sampai lupa waktu, aku menunggumu di sini sendiri, kau malah bertelefonan dengan temanmu. Satu lagi, aku katakan padamu sekarang ... aku tidak suka kau merokok!" tegas Raccel menatapnya marah. Nicholas menganggukkan kepalanya. "Okay, aku tidak akan merokok lagi! Sekarang aku akan menemanimu, please ... jangan marah!"Raccel mendorong dada Nicholas untuk mundur. Gadis itu menatapnya sekali lagi. "Jangan dekat-dekat, bau sisa asap rokok! Daddy-ku dulu pernah merokok, dan efeknya ke aku saat aku masih kecil. Aku sakit sesak walaupun hanya menghirup sedikit saja aromanya, sampai sekarang aku tidak suka aroma rokok," omel Raccel.Nicholas mengangguk patuh, dia mundur perlahan. "