"Persiapan untuk pernikahan Raccel dan Nicholas sudah terpenuhi semua. Tinggal tiga hari lagi." "Heem. Tapi Nicholas juga masih sibuk saja, aku memintanya untuk libur satu hari saja, tapi dia tidak bisa sepertinya, anak itu memang kadang-kadang..." Suara dua orang itu terdengar dari ruang tamu di kediaman Keluarga Escalante, nampak Karina dan Dalena yang tengah duduk berdua di sana. Mereka membicarakan anak-anaknya, nampak keduanya sedang asik berbincang sejak tadi."Nanti, aku ingin Nicholas membawa Raccel untuk pulang dan tinggal saja denganku, Dalena ... anakku kan hanya satu Nicho saja, jadi aku ingin kami satu rumah," ujar Karina sembari mengusap-usap lembut bulu kucing putih milik Raccel. Dalena mengerutkan keningnya. "Loh ... bukannya Nicholas sudah membeli rumah sendiri?" tanya Dalena. "Me-membeli rumah sendiri?" tanya Karina melebarkan kedua matanya. "Iya, Raccel yang bercerita padaku. Kalau Nicholas sudah membeli rumah dan menunjukkan pada Raccel juga, kok..." Karina
Hari yang dinanti-nantikan telah tiba, pernikahan Raccel dan Nicholas digelar di sebuah hotel berbintang milik keluarga Escalante. Semua tamu hadir dalam pesta pernikahan meriah tersebut. Pesta yang didominasi warna putih dan biru muda. Suasana di sana sangat hangat di tengah cuaca dingin di luar sana. Terlihat Raccel memakai gaun pernikahannya yang sangat cantik, gadis itu berdiri di depan cermin usai dia dirias dan wajahnya tertutup wedding veil atau tudung berwarna putih yang terbuat dari kain tile yang lembut. "Raccel, kau tidak papa, Sayang?" tanya Dalena mendekati putrinya. Raccel hanya diam tertunduk sejak tadi menggenggam erat ikat bunga pengantin yang dia bawa. "Sedih, Mom..," jawab gadis itu tiba-tiba. Dalena paham perasaan Raccel. Wanita itu mengusap punggung kecil putrinya dan ia memeluk Raccel dengan erat. "Tidak papa, Sayang. Jangan menangis, ya ... nanti Mommy dan Daddy akan menangis kalau Raccel sedih," ujar Dalena. Raccel mengangguk kecil, sampai tiba-tiba pin
Udara dingin di musim gugur membuat Raccel mengerang pelan dalam tidurnya. Gadis itu hendak merenggangkan kedua tangannya seperti biasa dia bangun. Namun, saat Raccel sedikit saja bergerak tiba-tiba sepasang lengan kekar merengkuh tubuhnya dengan erat hingga membuat kedua matanya terbuka seketika karena terkejut. "Masih pagi, jangan bangun dulu..," bisik Nicholas dengan suara seraknya. Raccel mengembuskan napasnya pelan memegang pinggang tangan Nicholas. "Kak Nicho sudah bangun dari tadi?" tanya gadis itu. "Heem. Tapi suara sangat dingin, aku malas untuk beranjak," jawab pemuda itu membenamkan wajahnya di punggung kecil Raccel. Raccel tersenyum tipis. Ia mengalihkan tangan Nicholas, mengangkatnya dan dengan cepat Raccel memutar tubuhnya menjadi menatap Nicholas. Seperti anak kecil, gadis itu membenamkan wajahnya dalam pelukan Nicholas yang hangat."Sekarang Raccel minta peluk kapan saja boleh, kan?" tanya gadis itu mendongak menatap suaminya yang tersenyum. "Apapun boleh kau m
“Oh ... ternyata ini pertama kali untukmu,” bisik suara berat itu. “Kau masih perawan, Nona.”Kecupan dan sentuhan panas di atas permukaan kulit lembut Dalena membuat kepalanya terasa kosong. Ia tak kuasa menahan gairah yang memuncak, dan menginginkan sentuhan yang lebih panas dari laki-laki itu.“Tu-Tuan …” lirih Dalena di sela desahan yang saling bersahutan. Gadis itu bahkan tak sanggup untuk sekedar membuka lebar matanya karena terlalu pusing dan terlena. Pandangannya mengabur, aroma alkohol yang pekat menguar dari tubuhnya dan lelaki asing itu.Dalena meringis saat merasakan nyeri di inti tubuhnya. “Tuan, tolong berhenti sebentar ...”Sejenak laki-laki itu terdiam, mengusap air mata di pipi Dalena dengan lembut. Ia membubuhkan kecupan ringan di sudut matanya, menenangkan Dalena. Tangan gadis itu masih melingkar di lehernya. Dalena merasa gila karena tubuhnya langsung merespon dengan cepat tiap sentuhan laki-laki ini.“Aku tidak bisa berhenti, Manis. Kau yang memulainya. Kau
Hari sudah larut malam, tapi Dalena masih luntang-lantung di jalanan. Kepalanya pusing karena ia bingung mencari tempat tinggal. “Ke mana... Aku harus ke mana setelah ini? Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,” lirih Dalena berjuang menahan air matanya yang akan menetes. Tiba-tiba, setetes demi setetes air langit pun turun perlahan. Bila malam ini hujan deras, habislah Dalena menjadi seorang gelandangan. Dalena hendak berteduh, namun sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya. Muncul dari dalam mobil itu seorang laki-laki tampan, berambut hitam, berbalut kemeja biru langit menatap Dalena dengan wajah cemas. “Dalena?!” pekik laki-laki itu sembari mendekatinya. “Heins …” “Astaga, kenapa kau membawa tas besar seperti ini? Apa yang terjadi?!” Tatapan mata Heins terlihat terkejut melihat keadaan Dalena yang mengenaskan. Laki-laki itu adalah teman lama sekaligus kakak tingkatnya di sekolah dulu. Seingat Dalena, Heins kini sudah menjadi dokter muda yang memiliki kari
Beberapa minggu sudah berlalu dan Delena tetap tinggal di kediaman Heins. Dalena juga sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan. Namun, beberapa hari ini ia absen bekerja lantaran Dalena merasakan tubuhnya lemas dan selalu mual tiap kali usai makan dan menghirup aroma daging. Pagi ini pun Dalena mual-mual di dalam kamar mandi, hingga mengundang curiga Heins yang beberapa hari ini terus memperhatikannya. “Dalena,” panggil Heins masuk ke dalam kamar Dalena dengan berhati-hati. Laki-laki itu menatap Dalena yang kini keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah pucat. “Berbaringlah, aku akan memeriksamu,” ujar Heins membantu Dalena. Gadis itu berbaring. Heins mengambil peralatannya sebelum memeriksa betul-betul kondisi Dalena. “Aku tidak papa kan, Heins?” tanya Dalena lemah. Heins tertegun. Bagaimana mungkin ia akan diam saja dengan pemeriksaan yang cukup mengejutkankannya ini? “Maaf kalau aku lancang. Tapi kalau boleh aku bertanya, apa kau mengalami terlambat masa datang bu
Sembilan bulan kemudian, lahirlah dua bayi kembar buah hati Dalena. Mereka bayi laki-laki dan perempuan yang sangat lucu menggemaskan. “Anak-anak Mami tersayang … Raccel-ku yang cantik dan Cassel-ku yang tampan.” Dalena berucap lembut seraya mengusap pipi dua bayinya yang tengah tertidur lelap di dalam gedongan biru dan merah muda yang kini tergeletak di atas ranjang setelah menangis beberapa menit yang lalu. Bayi-bayi menggemaskan yang baru lahir sepuluh hari yang lalu. Dalena tidak menyangka bila ia melahirkan dua anak kembar di tengah kehidupannya yang sulit. “Apa mereka sudah tidur?” Suara Heins membuyarkan lamunan Dalena. Ibu muda itu tersenyum dan mengangguk. Heins pun duduk di tepi ranjang dan mengusap gemas pipi dua bayi tersebut. “Cassel memiliki pipi sepertimu. Kalau Raccel... dia juga sama, cantik sepertimu,” puji Heins. “Tapi Heins, aku tidak bisa merawat mereka bersamaan. Aku tidak punya biaya untuk membesarkan mereka bersama-sama,” ujar Dalena dengan wajah sedih.
LIMA TAHUN KEMUDIAN... “Cassel-nya Mami, ayo cepat Sayang. Kita bisa terlambat!” Dalena menatap anak laki-laki mungil dan imut yang kini tengah berdiri sambil bersedekap di tengah keramaian bandara internasional Barcelona. Bocah itu cemberut menatap Maminya yang anggun dan cantik kembali menyeret koper mendekat untuk membujuk putra tampannya lagi. “Cassel, ayo dong Sayang. Tante Melinda dan Om Heins sudah menunggu kita,” kata Dalena sambil mengusap pipi gembil Cassel. “Atau mau Mami gendong saja?” “Cassel tidak mau! Cassel mau pulang ke London! Tidak mau digendong juga. Cassel itu sudah dewasa, Mami!” pekik anak itu sembari memeluk erat boneka dinosaurusnya. “Kita akan kembali setelah bertemu dengan teman Mami. Janji deh!” Dalena tersenyum mengarahkan jari kelingkingnya di hadapan Cassel. Si kecil tampan bermanik mata cokelat gelap, rambut hitam legam, kulit putih, serta bertubuh mungil itu menautkan jari kelingkingnya pada Dalena. Raut wajahnya masih cemberut. “Janji ya Mami,