Keesokan paginya, Raccel terbangun dengan tubuh masih dibalut erat oleh selimut. Gadis itu mendengar suara kicauan burung di luar dari celah pintu balkon kamar yang terbuka. Lamat-lamat dia juga mendengar suara gemericik air shower di dalam kamar mandi. Raccel menarik selimutnya menutupi wajah saat ia mengingat kejadian semalam. 'Ya ampun, malu sekali,' cicit gadis itu memejamkan kedua matanya. 'Kenapa semalam aku menangis? Tapi ... tapi memang sangat melelahkan dan sakit.' Raccel yang melamun memikirkan tentang semalam, ada rasa malu, lelah, dan segalanya bercampur aduk menjadi satu. Gadis itu tidak sadar Nicholas berada di belakangnya, laki-laki itu merangkulnya tiba-tiba dan memberikan kecupan di pipi Raccel. "Selamat pagi, Sayang," bisiknya dengan lembut. Raccel menoleh, wajahnya masih memerah dan lesu. "Pagi ... Kak Nicho mau ke mana?" tanya Raccel memegangi lengan Nicholas. "Setelah membuat aku tidak bisa melakukan apapun, kau mau pergi begitu saja!" Bibir gadis itu men
Sejak pagi hingga siang hari Raccel di rumahnya bersama sang Mommy. Gadis cantik itu juga mengajak Dalena untuk membuatkannya roti kering. Hingga saat jam sudah menunjukkan pukul satu siang, Dalena pun berpamitan pulang. "Mommy tidak pulang nanti saja, kah? Di sini saja dulu," ujar Raccel memegang lengan Dalena erat-erat. "Kalau Mommy tidak pulang, nanti kalau Daddy tiba-tiba pulang, bagaimana?" Dalena menjawab sembari tersenyum manis pada sang putri. Mendengar hal itu, Raccel pun cemberut. Mau tidak mau ia mengizinkan Mommy-nya untuk pulang. Dalena mengambil tas miliknya, wanita itu berjalan ke teras bersama dengan Raccel di belakangnya. "Mommy hati-hati ya," ujar Raccel melambaikan tangannya pada Dalena. "Iya Sayang. Raccel juga jangan ke mana-mana sampai Nicholas kembali ya, Nak..." Dalena memeluk Raccel dan mengecup pipi kiri putrinya. "Iya Mommy." Barulah Dalena masuk ke dalam mobil dan segera bergegas pulang. Di sana, Raccel berdiri dengan wajah sedih. Biasanya, dia aka
Raccel menemani Camila yang kini menyuapi Neneknya, karena Raccel juga membelikan makanan untuk Neneknya juga. Camila dengan sabar dan perhatian menyuapi sang Nenek. Raccel yang menatapnya pun merasa kasihan, sekaligus bangga. Di balik sikap Camila yang berisik dan ceria, suka menghiburnya, tapi dia juga menyimpan kesedihan, yaitu kondisi Neneknya. "Apa Mama dan Papamu tidak ke sini?" tanya Raccel mendekati Camila. "Pamanku yang ke sini. Tapi hanya membayar biaya administrasi Nenek saja, setelah itu langsung pulang. Papa katanya nanti akan ke sini," jawab Camila sedih. "Aku mungkin minggu depan juga belum bisa masuk ke kampus kalau kondisi Nenek belum baik, Raccel." "Iya Camila, tidak papa." Camila pun menyelimuti Neneknya. Gadis itu duduk di samping Raccel seraya mendongakkan kepalanya. "Aku lelah sekali, Raccel ... selama aku di sini Abraham juga tidak mau menemaniku, dia sibuk sendiri entah ke mana. Aku sangat kecewa dengannya," ujar Camila sedih. "Mungkin memang Abraham sed
Raccel terbangun dari tidurnya saat hari sudah malam. Gadis itu juga tidak mendapati Nicholas di sampingnya. Perlahan, gadis itu turun dari ranjang dan ia segera membersihkan tubuhnya untuk beberapa menit, sebelum akhirnya Raccel memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan mencari Nicholas di luar. "Ke mana Kak Nicho?" gumam Raccel lirih. Di sana, Raccel menemukan Mommy-nya yang tengah menyiapkan makan malam. "Mommy..."Dalena menoleh. "Oh ... hai Sayang," jawab Dalena. Wanita itu tersenyum begitu putrinya berjalan mendekat. Raccel memeluknya sebentar sembari menatap masakan apa saja di atas meja ruang makan sekarang ini. "Wahh ... Mommy masak kesukaan Raccel," ucap gadis itu. "Iya dong, Sayang." Raccel mengulurkan tangannya mengambil satu butir buah anggur di dalam sebuah piring. "Mom, Kak Nicho ke mana?" tanya Raccel menatap sang Mommy. "Suamimu baru saja ke belakang dengan Kakakmu, mungkin mereka sedang main billiard di belakang," jawab Dalena. Raccel mengerjapkan kedua
"Sayang, kau marah? Hemm ... kau tidak marah denganku, kan?" Nicholas mengejar Raccel masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu menahan lengan Raccel dan menggenggam pergelangan tangan Raccel. Langkah Raccel pun seketika terhenti, gadis itu menatapnya dengan tatapan lelah. "Jangan marah," ucap Nicholas lirih. "Kau sampai lupa waktu, aku menunggumu di sini sendiri, kau malah bertelefonan dengan temanmu. Satu lagi, aku katakan padamu sekarang ... aku tidak suka kau merokok!" tegas Raccel menatapnya marah. Nicholas menganggukkan kepalanya. "Okay, aku tidak akan merokok lagi! Sekarang aku akan menemanimu, please ... jangan marah!"Raccel mendorong dada Nicholas untuk mundur. Gadis itu menatapnya sekali lagi. "Jangan dekat-dekat, bau sisa asap rokok! Daddy-ku dulu pernah merokok, dan efeknya ke aku saat aku masih kecil. Aku sakit sesak walaupun hanya menghirup sedikit saja aromanya, sampai sekarang aku tidak suka aroma rokok," omel Raccel.Nicholas mengangguk patuh, dia mundur perlahan. "
Hari ini Nicholas akan sibuk di kantornya, dan dia sebelum berangkat tadi, dia juga mengatakan pada Raccel kalau kemungkinan besar dia tidak akan punya waktu sekedar untuk makan siang. Hingga Raccel berinisiatif untuk membuatkan suaminya itu makan siang, dibantu oleh Bibi yang juga membantunya. "Semuanya sudah selesai, Bi? Ini sudah mendekati jam makan siang suamiku di kantor," tanya Raccel, gadis itu baru saja turun dari lantai dua. Dia sudah cantik dengan balutan kaos lengan panjang dan memakai rok selutut berwarna biru navy. Raccel sangat cantik dengan rambutnya yang dikuncir satu. "Sudah Nyonya, semuanya sudah Bibi siapkan," ujar Bibi meletakkan rantangan makanan di atas meja. "Baiklah, kalau begitu aku berangkat dulu ya, Bi..." "Iya Nyonya, hati-hati." Bibi bahkan mengantarkan Raccel sampai di depan rumah. Wanita tua itu sangat-sangat baik pada Raccel dan selalu membantunya dalam menyelesaikan apapun. Raccel tak menunggu nanti-nanti, gadis itu bergegas menuju ke sebuah ha
Raccel sudah sampai di rumah Mamanya, gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah dan melihat sang Mama yang tengah duduk di ruang keluarga dan sibuk dengan beberapa bukunya. Kedatangan Raccel tidak diketahui oleh Dalena. Wanita itu masih sibuk hingga dia tersentak saat Raccel memeluknya tiba-tiba. "Ehh ... ya ampun Sayang, mengerutkan Mommy saja, Raccel," seru Dalena mendongakkan kepalanya menatap sang putri yang langsung terkekeh. Raccel cemberut menatap Dalena. Hingga Dalena perlahan-lahan menarik lengan putrinya yang cantik. "Kenapa, Sayang? Ada apa?" tanya wanita itu. Raccel menundukkan kepalanya. "Mom, berpakaian kayaknya istrinya seorang presdir itu, bagaimana sih Mom? Tadi Raccel mengantarkan makan siang di kantornya Nicho, terus ada karyawannya yang sedikit bilang kalau pakaiannya Raccel pasti membuat Nicho malu, padahal Nicho seorang presdir, kenapa memilih istri seperti Raccel ... perasaan baju yang Raccel pakai juga sangat sopan, lengan panjang dan roknya di bawah lutut,"
Pagi ini Raccel sudah bersiap pergi ke kampus. Gadis itu sudah siap dengan dress putih yang dia pakai dan membawa tasnya. Bersama dengan Nicholas, mereka berdua keluar dari dalam rumah bersama-sama setelah sarapan. "Nanti pulangnya hubungi aku, jangan naik taksi atau pulang dengan siapapun, mengerti?!" seru Nicholas menatap Raccel yang duduk di sampingnya. "Heem, aku mengerti. Nicho sudah hilang berapa kali coba dari semalam," jawab Raccel cemberut. Laki-laki itu mengangguk. "Antisipasi saja, istriku ini mudah lupa." Raccel menghela napasnya pelan. Dia membuka beberapa buku-buku miliknya sebelum gadis itu nampak diam mengingat-ingat. Sementara Nicholas masih fokus mengemudikan mobilnya. Laki-laki itu menoleh pada Istrinya yang kini terlihat diam melamun. "Kenapa, Sayang?" "Buku punyaku ada di Revvan, dia bilang akan mengembalikan ke rumah. Mungkin ke rumah Mama," ujar Raccel menerka-nerka. "Biar saja kalau di rumah Mama, asal jangan di rumah kita." Raccel terdiam seketika.
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris