Sepulang kuliah, Raccel langsung mengerjakan tugasnya. Dan Nicholas yang sedang tidak melakukan apapun, dia bermaksud membantu tugas Raccel malam itu. Laki-laki itu duduk di sampingnya dan memeluk Raccel yang tengah dia pangku. "Hemm, tugas yang ini kan sudah pernah aku buat kapan hari, kenapa kembali ditugaskan padaku lagi?" Raccel membuka lembaran-lembaran buku tebal di hadapannya. "Apa kau tidak mengantuk?" tanya Nicholas menyandarkan kepalanya di punggung kecil milik Raccel. "Ya ngantuk, ya lelah, ya lesu, segalanya aku rasakan. Nicho saja yang tadi terlambat menjemput Raccel, kalau tugas ini aku kerjakan dari awal, pasti malam ini masih bisa bersantai-santai!" omel gadis itu, wajahnya berubah cemberut. "Bersantai-santai bagaimana, Sayang?" bisik Nicholas menggodanya."Halah sudah ... salah sendiri terlambat jemput Raccel, jadi tidak usah meminta yang aneh-aneh malam ini!" pekik gadis itu. Nicholas berdecak pelan. "Sayang, aku kan sudah minta maaf!" "Maafnya Nicho tidak mem
"Harusnya kau tidak perlu cemburu seperti ini, Nicho! Aku juga tahu diri kalau aku sudah punya suami, tidak mungkin aku mau kencan dengan laki-laki manapun!"Raccel masih mendebat Nicholas yang kini berdiri di hadapannya. Laki-laki itu seolah tuli, dia mengabaikan Raccel yang marah-marah padanya. Dan dengan santainya Nicholas meraih kunci mobilnya di atas nakas. "Nicho ... kau tidak mendengarkan aku?!" pekik Raccel mengejarnya. "Aku dengar, Raccel. Tapi satu hal yang perlu kau tahu! Tidak usah kuliah atau keluar rumah hari ini, mengerti!" tegas Nicholas. "Lalu bagaimana dengan kuliahku, bagaimana dengan tugas-tugasku? Oh Ya Tuhan..." Raccel langsung terduduk dan ia memegang kepalanya. Nicholas menutup pintu kamar dengan cepat. Gadis itu ingin sekali berteriak marah atas kelakuan suaminya yang kelewat menyebalkan. Raccel menatap beberapa laporan-laporan tugas yang sudah ia kerjakan full satu minggu kemarin di kampusnya. "Hari ini ada presentasi di kampus, teman-teman pasti mar
Saat Nicholas sampai di rumah, laki-laki itu langsung dengan cepat turun dari sama mobil. Dia bergegas melangkah masuk ke dalam rumah. Kedatangannya disambut Bibi yang baru saja turun dari lantai dua membawa nampan berisi makanan. "Tuan..." Wajah keras Nicholas membuat Bibi pun terdiam saat Nicholas berjalan melewatinya begitu saja setelah laki-laki itu makan siang Raccel bahkan masih utuh. Nicholas berdiri mengetuk pintu kamarnya beberapa kali. Sementara di dalam kamar, Raccel diam berbaring memeluk boneka yang Cassel belikan untuknya dulu. "Bibi ... aku tidak mau makan! Jangan paksa aku lagi! Aku capek, mau tidur!" teriak Raccel dari dalam. Gadis itu menutup telinganya. "Berapa kali sih, Bibi ke sini hanya membujukku buat makan, aku kan sudah bilang berkali-kali aku itu tidak lapar," seru Raccel dengan wajah masamnya. Namun kenyataannya pintu tetap terketuk. "Oh My God...!" "Buka pintunya, Raccel!"Suara datar dan dingin itu membuat sekujur tubuh Raccel merinding. Gadis i
Setelah kemarin tidak diizinkan pergi ke kampus oleh Nicholas. Hari ini Raccel datang ke kampus setelah Nicholas mengizinkannya untuk kuliah lagi. Raccel berjalan lemah masuk ke dalam kelasnya. Dia melihat teman-temannya yang kini menatap Raccel dengan tatapan yang tak seperti biasanya. "Kemarin ke mana saja, Raccel?" tanya Jeni menatap Raccel dari belakang. "Iya. Gara-gara dirimu nilai kelompok kita jadi minus!" pekik Vio yang menyahuti. "Tahu, nyebelin banget sih! Besok-besok tidak usah kelompokan dengan kita lagi!" Raccel hanya diam dan tidak menjawab, mau menjelaskan seperti apapun, pasti mereka semua tidak mau mendengarkannya. Hingga hari ini dia merasa seperti dikucilkan. Teman-temannya juga tidak ada yang sepemikiran dengannya untuk mengerti kondisinya, meskipun Levin dan Juan kemarin juga sudah memberitahu semua teman kelompoknya. 'Padahal dulu-dulu aku tidak pernah diperlakukan seperti ini dengan teman-teman, tapi kenapa sekarang...' Raccel merasa kecewa, dia sedih da
Setelah dua minggu berlalu. Raccel tetap tidak ditemani oleh siapapun di kampusnya hingga membuat gadis itu merasa sedih, ditambah tubuhnya saat ini yang sangat membuatnya tidak nyaman. Baru saja siang ini Raccel pulang kuliah saat Nicholas menjemputnya. Dan sesampainya di rumah, Raccel langsung berbaring di ranjang kamarnya setelah dia mengeluh tentang teman kampusnya yang membuat gadis itu tidak betah. "Sayang, ayo makan siang dulu, mau aku ambilkan?" tawar Nicholas menatap istrinya."Tidak mau. Aku tidak lapar," jawab gadis itu membenamkan wajahnya di bantal. "Kau nanti bisa sakit kalau tidak mau makan, Raccel..." Dalam hitungan detik, Raccel pun langsung beranjak dari tempat tidurnya. Gadis cantik itu bangun dan duduk menatap Nicholas yang kini menatapnya lekat-lekat. "Bagaimana kalau kau jadi aku saat ini?" tanya Raccel tiba-tiba. "Aku takut mau ke kampus, Nicho," ujar Raccel sedih. Nicholas berjalan mendekatinya dan ia menekuk kedua lututnya di hadapan Raccel. "Maafkan a
Dalena datang ke rumah Raccel setelah dikabari kalau putrinya sedang tidak enak badan. Satu bulan lebih beberapa hari Dalena tidak satu rumah dengan Raccel, wanita itu sangat kepikiran tiap mendengar kabar tentang putrinya. Hingga kini Dalena menjenguk Raccel. "Ya ampun Sayang, Raccel sakit apa?" tanya Dalena masuk ke dalam kamar Raccel. "Tidak tahu, Mom. Tidak panas juga kok ... cuma terus-menerus pusing, ngantuk terus, dan Raccel tidak suka makan. Mungkin karena stress," ujar gadis itu masih berbaring memeluk boneka miliknya. "Stress kenapa? Nicho marah-marah ya, sama Raccel?" tanya wanita itu. "Bukan. Teman di kampus semua memusuhi Raccel, karena Raccel tidak berangkat ke kampus saat dua mingguan yang lalu. Raccel hanya ditemani sama Revvan dan Camila saja, Mom. Tapi mereka kan beda kelas dengan Raccel..." Wajah Raccel langsung sedih. Dalena menggenggam kedua tangan sang putri dan menatapnya dalam-dalam. "Memangnya kenapa kok sampai Raccel tidak pergi ke kampus?" tanya Dalen
Hari ini Raccel kembali pergi ke kampus, gadis cantik berambut panjang itu berjalan lemas masuk ke dalam kelasnya. Gadis dengan balutan sweater putih itu berjalan sembari sesekali mengelus pipinya yang terasa hangat. "Aku kenapa sih, lemas sekali ... mual-mual terus. Apa asam lambungku kambuh, ya?" gumam gadis itu bertanya-tanya sembari memegangi perutnya. "Ingin tidur terus, kepala pusing. Ingin pulang lagi dan tidur saja di rumah..." Raccel terus menggerutu sampai akhirnya dia sampai di depan kelas. Raccel melihat Camila dan Abraham di dalam kelas, lantas Abraham pun melambaikan tangannya pada Raccel. "Raccel, sini ... duduk sini!" pekik Abraham. Raccel tersenyum tipis dan ia segera mendekati Camila yang memberikan ruang kosong di bangkunya. "Camila kok ada di sini?" tanya Raccel meletakkan tasnya. "Heem, teman-teman di kelasku itu tidak asik! Banyak ngomong kosong semuanya, kayak teman-temanmu di kelas ini!" sahut Camila menatap gerombolan gadis yang memusuhi Raccel. "Astag
Nicholas telah sampai di rumah sakit setelah beberapa menit perjalanan dari kantornya. Laki-laki itu berjalan cepat masuk ke dalam rumah sakit sampai dia menemukan Abraham dan Camila di depan sebuah ruangan. "Di mana Raccel?" tanya Nicholas menatap dua teman istrinya itu. "Ada di dalam dengan Revvan," jawab Camila. Tanpa mengatakan apapun, Nicholas masuk ke dalam ruangan itu dan di sana terlihat Revvan yang duduk diam di depan lorong ruangan. "Van," sapa Nicholas. Revvan pun langsung berdiri dan menatap dokter. "Dok, ini suami teman saya ... dia sudah ada di sini," seru Revvan. Barulah muncul seorang dokter laki-laki yang kini menghampiri Nicholas dan Revvan. "Benar, Anda suaminya?" tanya dokter itu. "Benar dok, saya suaminya Raccel," jawab Nicholas. "Baiklah. Mari silahkan masuk ikut dengan saya," ajak dokter itu pada Nicholas yang sudah panik. Mereka berdua pun masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana, Nicholas melihat istrinya yang terbaring dengan wajah pucat dan jarum i