Setelah kemarin tidak diizinkan pergi ke kampus oleh Nicholas. Hari ini Raccel datang ke kampus setelah Nicholas mengizinkannya untuk kuliah lagi. Raccel berjalan lemah masuk ke dalam kelasnya. Dia melihat teman-temannya yang kini menatap Raccel dengan tatapan yang tak seperti biasanya. "Kemarin ke mana saja, Raccel?" tanya Jeni menatap Raccel dari belakang. "Iya. Gara-gara dirimu nilai kelompok kita jadi minus!" pekik Vio yang menyahuti. "Tahu, nyebelin banget sih! Besok-besok tidak usah kelompokan dengan kita lagi!" Raccel hanya diam dan tidak menjawab, mau menjelaskan seperti apapun, pasti mereka semua tidak mau mendengarkannya. Hingga hari ini dia merasa seperti dikucilkan. Teman-temannya juga tidak ada yang sepemikiran dengannya untuk mengerti kondisinya, meskipun Levin dan Juan kemarin juga sudah memberitahu semua teman kelompoknya. 'Padahal dulu-dulu aku tidak pernah diperlakukan seperti ini dengan teman-teman, tapi kenapa sekarang...' Raccel merasa kecewa, dia sedih da
Setelah dua minggu berlalu. Raccel tetap tidak ditemani oleh siapapun di kampusnya hingga membuat gadis itu merasa sedih, ditambah tubuhnya saat ini yang sangat membuatnya tidak nyaman. Baru saja siang ini Raccel pulang kuliah saat Nicholas menjemputnya. Dan sesampainya di rumah, Raccel langsung berbaring di ranjang kamarnya setelah dia mengeluh tentang teman kampusnya yang membuat gadis itu tidak betah. "Sayang, ayo makan siang dulu, mau aku ambilkan?" tawar Nicholas menatap istrinya."Tidak mau. Aku tidak lapar," jawab gadis itu membenamkan wajahnya di bantal. "Kau nanti bisa sakit kalau tidak mau makan, Raccel..." Dalam hitungan detik, Raccel pun langsung beranjak dari tempat tidurnya. Gadis cantik itu bangun dan duduk menatap Nicholas yang kini menatapnya lekat-lekat. "Bagaimana kalau kau jadi aku saat ini?" tanya Raccel tiba-tiba. "Aku takut mau ke kampus, Nicho," ujar Raccel sedih. Nicholas berjalan mendekatinya dan ia menekuk kedua lututnya di hadapan Raccel. "Maafkan a
Dalena datang ke rumah Raccel setelah dikabari kalau putrinya sedang tidak enak badan. Satu bulan lebih beberapa hari Dalena tidak satu rumah dengan Raccel, wanita itu sangat kepikiran tiap mendengar kabar tentang putrinya. Hingga kini Dalena menjenguk Raccel. "Ya ampun Sayang, Raccel sakit apa?" tanya Dalena masuk ke dalam kamar Raccel. "Tidak tahu, Mom. Tidak panas juga kok ... cuma terus-menerus pusing, ngantuk terus, dan Raccel tidak suka makan. Mungkin karena stress," ujar gadis itu masih berbaring memeluk boneka miliknya. "Stress kenapa? Nicho marah-marah ya, sama Raccel?" tanya wanita itu. "Bukan. Teman di kampus semua memusuhi Raccel, karena Raccel tidak berangkat ke kampus saat dua mingguan yang lalu. Raccel hanya ditemani sama Revvan dan Camila saja, Mom. Tapi mereka kan beda kelas dengan Raccel..." Wajah Raccel langsung sedih. Dalena menggenggam kedua tangan sang putri dan menatapnya dalam-dalam. "Memangnya kenapa kok sampai Raccel tidak pergi ke kampus?" tanya Dalen
Hari ini Raccel kembali pergi ke kampus, gadis cantik berambut panjang itu berjalan lemas masuk ke dalam kelasnya. Gadis dengan balutan sweater putih itu berjalan sembari sesekali mengelus pipinya yang terasa hangat. "Aku kenapa sih, lemas sekali ... mual-mual terus. Apa asam lambungku kambuh, ya?" gumam gadis itu bertanya-tanya sembari memegangi perutnya. "Ingin tidur terus, kepala pusing. Ingin pulang lagi dan tidur saja di rumah..." Raccel terus menggerutu sampai akhirnya dia sampai di depan kelas. Raccel melihat Camila dan Abraham di dalam kelas, lantas Abraham pun melambaikan tangannya pada Raccel. "Raccel, sini ... duduk sini!" pekik Abraham. Raccel tersenyum tipis dan ia segera mendekati Camila yang memberikan ruang kosong di bangkunya. "Camila kok ada di sini?" tanya Raccel meletakkan tasnya. "Heem, teman-teman di kelasku itu tidak asik! Banyak ngomong kosong semuanya, kayak teman-temanmu di kelas ini!" sahut Camila menatap gerombolan gadis yang memusuhi Raccel. "Astag
Nicholas telah sampai di rumah sakit setelah beberapa menit perjalanan dari kantornya. Laki-laki itu berjalan cepat masuk ke dalam rumah sakit sampai dia menemukan Abraham dan Camila di depan sebuah ruangan. "Di mana Raccel?" tanya Nicholas menatap dua teman istrinya itu. "Ada di dalam dengan Revvan," jawab Camila. Tanpa mengatakan apapun, Nicholas masuk ke dalam ruangan itu dan di sana terlihat Revvan yang duduk diam di depan lorong ruangan. "Van," sapa Nicholas. Revvan pun langsung berdiri dan menatap dokter. "Dok, ini suami teman saya ... dia sudah ada di sini," seru Revvan. Barulah muncul seorang dokter laki-laki yang kini menghampiri Nicholas dan Revvan. "Benar, Anda suaminya?" tanya dokter itu. "Benar dok, saya suaminya Raccel," jawab Nicholas. "Baiklah. Mari silahkan masuk ikut dengan saya," ajak dokter itu pada Nicholas yang sudah panik. Mereka berdua pun masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana, Nicholas melihat istrinya yang terbaring dengan wajah pucat dan jarum i
Kabar kehamilan Raccel terdengar sampai di telinga Daniel dan Dalena, mereka berdua pun langsung datang ke rumah sakit membawakan beberapa hadiah untuk Raccel. Di sana juga ada Cassel yang kebetulan menjadi salah satu dokter bedah di rumah sakit di mana Raccel dirawat.Wajah bahagia ditunjukkan oleh Dalena dan Damien memeluk Raccel bersamaan dengan wajah mereka yang berseri-seri. "Ya ampun, Sayang ... Mama tidak percaya rasanya kalau Mama mau punya Cucu," ujar Dalena memeluk Raccel dan mengecup pipi putri cantiknya. Raccel pun membalas pelukan sang Mama. "Iya Mom, tapi kenapa cepat sekali ya, Mom," ujar gadis itu mengerjapkan kedua matanya. Dalena terkekeh. "Tidak papa, Sayang. Rencana Tuhan memang jauh lebih baik dan luar biasa dari rencana kita. Raccel mengerti?" Gadis cantik itu pun menganggukkan kepalanya. Raccel pun menoleh pada Papanya yang berdiri di sampingnya dan tersenyum senang. "Sudah, tidak usah ke kampus lagi. Kondisimu ini sekarang harus diperhatikan betul-betul,
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, kondisi Raccel pun semakin membaik hingga dokter mengizinkan dia untuk pulang. Nicholas selalu menemani Raccel kapan saja, laki-laki itu benar-benar menjaga istrinya dengan baik. Bahkan sampai di rumah, dia meminta Raccel untuk bersantai-santai saja di rumah. "Kau tidak lapar, Sayang? Kalau ingin makan sesuatu bilang saja padaku, okay?" ujar Nicholas seraya memberikan sebuah bantal pada Raccel yang duduk di sofa. "Aku sudah kenyang kok. Tidak ingin makan apapun," jawab Raccel menatap suaminya yang membawa banyak barang-barang ke dalam rumah. Raccel menatap pantulan dirinya pada lemari kaca di depan sana yang berada di samping televisi. Gadis itu tersenyum saat dia membayangkan melihat perutnya yang nanti akan membesar. "Sehat-sehat ya di dalam perut Mama, Sayang," bisik Raccel mengusap perutnya yang masih rata. Sampai akhirnya tak berselang lama, sebuah klakson mobil terdengar di depan. Pintu rumah Raccel terbuka dan muncul sosok C
Hari demi hari berjalan dengan baik dan menyenangkan. Raccel sangat menikmati momen kehamilan anak pertamanya ini. Setelah dia dikabarkan hamil dua bulan yang lalu, saat itu juga Raccel libur dari kampusnya dan dia memilih untuk menjaga kehamilannya. Gadis cantik itu tengah berdiri di depan sebuah cermin, dia memilih-milih baju yang akan dia pakai di acara keluarganya. "Huffff ... ini sedikit menyusahkan," gumam Raccel dengan wajah sedihnya. "Kenapa Sayang?" tanya Nicholas yang baru saja masuk ke dalam kamar. "Baju-bajuku tidak ada yang muat. Padahal ini mau empat bulan kan, tapi baju-bajuku macet semua sampai di perut," ujar gadis itu. Nicholas terkekeh, dia membuka lemari dan mengambil sebuah dress panjang untuk Raccel. "Pakai ini saja, aku rasa ini akan cocok kalau kau yang memakainya," ujar laki-laki itu. "Iya sih, tapi kan aku gerah!" seru Raccel. "Cuaca dingin seperti ini, gerah bagaimana? Pakai ini saja, nanti setelah pulang dari tempat Mommy, kita beli baju yang banya