Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
“Oh ... ternyata ini pertama kali untukmu,” bisik suara berat itu. “Kau masih perawan, Nona.”Kecupan dan sentuhan panas di atas permukaan kulit lembut Dalena membuat kepalanya terasa kosong. Ia tak kuasa menahan gairah yang memuncak, dan menginginkan sentuhan yang lebih panas dari laki-laki itu.“Tu-Tuan …” lirih Dalena di sela desahan yang saling bersahutan. Gadis itu bahkan tak sanggup untuk sekedar membuka lebar matanya karena terlalu pusing dan terlena. Pandangannya mengabur, aroma alkohol yang pekat menguar dari tubuhnya dan lelaki asing itu.Dalena meringis saat merasakan nyeri di inti tubuhnya. “Tuan, tolong berhenti sebentar ...”Sejenak laki-laki itu terdiam, mengusap air mata di pipi Dalena dengan lembut. Ia membubuhkan kecupan ringan di sudut matanya, menenangkan Dalena. Tangan gadis itu masih melingkar di lehernya. Dalena merasa gila karena tubuhnya langsung merespon dengan cepat tiap sentuhan laki-laki ini.“Aku tidak bisa berhenti, Manis. Kau yang memulainya. Kau
Hari sudah larut malam, tapi Dalena masih luntang-lantung di jalanan. Kepalanya pusing karena ia bingung mencari tempat tinggal. “Ke mana... Aku harus ke mana setelah ini? Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,” lirih Dalena berjuang menahan air matanya yang akan menetes. Tiba-tiba, setetes demi setetes air langit pun turun perlahan. Bila malam ini hujan deras, habislah Dalena menjadi seorang gelandangan. Dalena hendak berteduh, namun sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya. Muncul dari dalam mobil itu seorang laki-laki tampan, berambut hitam, berbalut kemeja biru langit menatap Dalena dengan wajah cemas. “Dalena?!” pekik laki-laki itu sembari mendekatinya. “Heins …” “Astaga, kenapa kau membawa tas besar seperti ini? Apa yang terjadi?!” Tatapan mata Heins terlihat terkejut melihat keadaan Dalena yang mengenaskan. Laki-laki itu adalah teman lama sekaligus kakak tingkatnya di sekolah dulu. Seingat Dalena, Heins kini sudah menjadi dokter muda yang memiliki kari
Beberapa minggu sudah berlalu dan Delena tetap tinggal di kediaman Heins. Dalena juga sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan. Namun, beberapa hari ini ia absen bekerja lantaran Dalena merasakan tubuhnya lemas dan selalu mual tiap kali usai makan dan menghirup aroma daging. Pagi ini pun Dalena mual-mual di dalam kamar mandi, hingga mengundang curiga Heins yang beberapa hari ini terus memperhatikannya. “Dalena,” panggil Heins masuk ke dalam kamar Dalena dengan berhati-hati. Laki-laki itu menatap Dalena yang kini keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah pucat. “Berbaringlah, aku akan memeriksamu,” ujar Heins membantu Dalena. Gadis itu berbaring. Heins mengambil peralatannya sebelum memeriksa betul-betul kondisi Dalena. “Aku tidak papa kan, Heins?” tanya Dalena lemah. Heins tertegun. Bagaimana mungkin ia akan diam saja dengan pemeriksaan yang cukup mengejutkankannya ini? “Maaf kalau aku lancang. Tapi kalau boleh aku bertanya, apa kau mengalami terlambat masa datang bu
Sembilan bulan kemudian, lahirlah dua bayi kembar buah hati Dalena. Mereka bayi laki-laki dan perempuan yang sangat lucu menggemaskan. “Anak-anak Mami tersayang … Raccel-ku yang cantik dan Cassel-ku yang tampan.” Dalena berucap lembut seraya mengusap pipi dua bayinya yang tengah tertidur lelap di dalam gedongan biru dan merah muda yang kini tergeletak di atas ranjang setelah menangis beberapa menit yang lalu. Bayi-bayi menggemaskan yang baru lahir sepuluh hari yang lalu. Dalena tidak menyangka bila ia melahirkan dua anak kembar di tengah kehidupannya yang sulit. “Apa mereka sudah tidur?” Suara Heins membuyarkan lamunan Dalena. Ibu muda itu tersenyum dan mengangguk. Heins pun duduk di tepi ranjang dan mengusap gemas pipi dua bayi tersebut. “Cassel memiliki pipi sepertimu. Kalau Raccel... dia juga sama, cantik sepertimu,” puji Heins. “Tapi Heins, aku tidak bisa merawat mereka bersamaan. Aku tidak punya biaya untuk membesarkan mereka bersama-sama,” ujar Dalena dengan wajah sedih.