Sembilan bulan kemudian, lahirlah dua bayi kembar buah hati Dalena. Mereka bayi laki-laki dan perempuan yang sangat lucu menggemaskan.
“Anak-anak Mami tersayang … Raccel-ku yang cantik dan Cassel-ku yang tampan.”Dalena berucap lembut seraya mengusap pipi dua bayinya yang tengah tertidur lelap di dalam gedongan biru dan merah muda yang kini tergeletak di atas ranjang setelah menangis beberapa menit yang lalu.Bayi-bayi menggemaskan yang baru lahir sepuluh hari yang lalu. Dalena tidak menyangka bila ia melahirkan dua anak kembar di tengah kehidupannya yang sulit.“Apa mereka sudah tidur?”Suara Heins membuyarkan lamunan Dalena. Ibu muda itu tersenyum dan mengangguk.Heins pun duduk di tepi ranjang dan mengusap gemas pipi dua bayi tersebut.“Cassel memiliki pipi sepertimu. Kalau Raccel... dia juga sama, cantik sepertimu,” puji Heins.“Tapi Heins, aku tidak bisa merawat mereka bersamaan. Aku tidak punya biaya untuk membesarkan mereka bersama-sama,” ujar Dalena dengan wajah sedih.Heins langsung menoleh dengan wajah serius. Sejauh ini, hanya dia orang yang tahu seberapa terjal kehidupan yang Dalena hadapi, meskipun wanita ini menolak banyak bantuannya, termasuk biaya hidup.“Apa maksudmu? Ada aku yang bisa membantu kalian!”Dalena menggeleng sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes.“Selama ini aku sudah sangat berterima kasih kau beri tumpangan, tapi aku tidak bisa tinggal bersamamu selamanya. Aku akan pergi jauh dari sini,” ujar Dalena, termenung menatap dua bayinya.“Lalu bagaimana dengan anak-anak, Dalena? Jangan bilang kau akan membuangnya! Kau jangan gila!” Heins memarahi wanita itu dengan kesal.Dalena memangku satu bayi bayinya, bayi perempuan cantik dan malang. Berat hati Dalena menatap putri mungilnya ini.Jari telunjuk Dalena mengusap lembut membentuk lingkaran berulang di pipi gembil putrinya.“Aku akan memberikan satu bayiku pada Papa kandungnya,” ujar Dalena tiba-tiba.“Papa kandungnya?!” Heins setengah terkejut.“Raccel akan hidup dengan bahagia dan layak bersama Papa kandungnya yang serba berkelimpahan. Aku akan membawa Cassel pergi.”Heins tidak berkomentar lagi. Ia tahu, kalau sudah memutuskan, Dalena tidak akan bisa dicegat.“Baiklah kalau memang itu keputusanmu. Aku tidak akan menghalangi apapun yang sudah kau putuskan, Dalena.”Dalena mengangguk dan tersenyum tipis.“Terima kasih, Heins.”**“Damien Escalante...”Nama itu terucap dari bibir Dalena.Wanita cantik berambut panjang hitam, berbalut dress merah muda tersebut kini berdiri di depan gerbang besar sebuah rumah megah.Dalena membawa sebuah stroller bayi dan tas besar di tangannya. Satu jam lagi, ia akan pergi ke London, menyusul seorang temannya yang jauh-jauh hari menawarinya pekerjaan.“Raccel-ku Sayang,” lirih Dalena menggendong dan memeluk bayi perempuan itu dengan erat.Air mata membasahi pipinya. “Maafkan Mami, Sayang... Maafkan Mami sekali lagi.” Dalena menatap bayi itu dan mengecup pipinya berkali-kali.“Mami tidak punya biaya untuk membesarkan Raccel dan Cassel bersamaan.” Jemarinya mengusap pipi Raccel yang kini menjadi basah.“Sekarang Raccel ikut Papi dulu ya? Mami yakin Papi akan mencintai Raccel dengan tulus,” isak Dalena tak tertahan.“Raccel-ku...”Dalena merasa dadanya begitu sesak, tak sanggup melepaskan buah hatinya seperti ini. Namun, ia tidak punya pilihan lain.Anaknya bisa hidup menderita kalau ikut bersamanya.Dalena mengecupi Raccel berkali-kali, mengusap pipi, kening, dan terus menangisi putri kecilnya.Setelah itu, ia meletakkan bayi cantik itu ke dalam stroller dan beralih menggendong Cassel.Dalena meletakkan sebuah surat, boneka beruang kecil, dan menyelimuti Raccel dengan hangat di dalam stroller bayi tersebut.“Anak pintar,” lirih Dalena tersenyum sedih penuh tangis. “Kita akan bertemu lagi, Sayang. Mami pasti akan kembali untuk menjemputmu. Mami janji Mami akan mempertemukan Cassel dan Raccel kembali. Mami berjanji pada kalian...”Dalena membungkukkan badannya dan mengecup wajah Raccel dengan air mata yang membanjiri. Untuk yang terakhir kalinya.Langkah Dalena terasa berat meninggalkan Raccel di sana.Dalena tidak berani menoleh. Ia memeluk erat Cassel yang berada di dalam dekapannya.“Semoga dia segera menemukan Raccel di depan rumahnya. Semoga dia mencintai dan menyayangi Raccel. Semoga … Ya Tuhan ...”**“Tuan, di luar ada keributan! Ada hal yang mengejutkan!”Seruan itu membuat Damien menatap dingin dan datar pada Mery, kepala pelayan di rumah megahnya.“Ada apa?” Damien menutup sebuah berkas di hadapannya.“D-di depan ada seseorang yang meninggalkan bayi! Ba-bayi perempuan!”“Bayi?” Kening Damien mengerut.Dengan sigap laki-laki itu beranjak dari kursi agungnya. Damien melangkah tegap berjalan keluar meninggalkan ruangan kerjanya.Di depan, ia melihat beberapa pelayan yang heboh dengan penemuan bayi perempuan yang berada di depan rumah megah Damien.Begitu Damien muncul, para pelayan itu langsung menepi. Bayi perempuan yang tengah merengek berada dalam gendongan seorang pelayan.“Anak siapa itu?! Siapa yang menaruhnya di sini?!” seru laki-laki itu pada para pelayan.“Kami tidak tahu, Tuan. Begitu saya membuka gerbang, bayi manis ini menangis,” kata seorang pelayan.Damien mendekati stroller dan menemukan sebuah boneka beruang kecil, selimut, kalung liontin, dan sebuah surat.Damien lantas membuka surat itu dan membacanya.‘Tuan Damien Escalante, sebelumnya aku meminta maaf padamu. Kumohon tolong rawat bayi ini dengan baik. Dia adalah putrimu, darah dagingmu. Aku memberinya nama Raccel. Tolong panggil dia dengan nama itu. Sekali lagi, maafkan aku tentang satu malam beberapa bulan lalu yang membuat Raccel terlahir di dunia ini. Maafkan aku.’Damien meremas kuat kertas itu, lalu melemparkannya dengan napas memburu dan wajah memerah penuh amarah.Bisa-bisanya wanita yang selama hampir sepuluh bulan ia buru itu, kini muncul sekedar meninggalkan bayinya di depan rumah Damien.Benar-benar tega membuang anaknya sendiri!“Wanita sialan!” sentak Damien marah. “Kenapa dia tidak menemuiku secara langsung?! Dasar wanita bodoh!”Para pelayan hanya diam. Suara bayi menangis itu membuat Damien menoleh ke belakang di mana Pelayan Mery kini menggendong Raccel.“Berikan dia padaku,” kata Damien.“Baik, Tuan.”Damien menggendong Raccel dengan hati-hati. Ia menatap wajah memerah bayi perempuan dalam dekapannya.“Siapkan semua perlengkapan bayi perempuan sekarang juga! Bayi ini ... adalah putriku!”“Baik, Tuanku.”Damien beralih pada Thom, ajudannya yang kini menatapnya terkejut.“Hubungi Dokter Ricky. Aku ingin melakukan tes DNA untuk memastikan!”Thom mengangguk tegas. “Saya akan menghubungi Dokter Ricky sekarang.”Damien lalu membawa putri kecilnya itu masuk ke dalam rumah. Ia menidurkan bayi itu di atas ranjang kamarnya.Kedua mata Damien berkilat marah dan benci pada wanita yang meninggalkan buah cinta mereka sembarangan.Sungguh wanita tidak bertanggung jawab dan tidak punya hati!Damien mengulurkan tangannya mengusap pipi gembil Raccel dengan lembut.“Jangan khawatir Raccel, Daddy ada di sini,” bisiknya. “Anakku... Daddy akan selalu melindungimu...” Damien tersenyum hangat begitu bayi itu menggeliat.Setelah Raccel tidur, Damien keluar dari kamar. Thom yang masih berjaga di depan pintu langsung menyambutnya.“Hentikan pencarian pada wanita itu, Thom! Aku tidak lagi membutuhkan wanita bodoh sepertinya!”Thom mengangguk dan menundukkan kepalanya tanda mengerti. “Baik, Tuan.”Tangan Damien terkepal kuat. Amarahnya kini berubah menjadi kebencian yang begitu besar.Bibir Damien menipis dengan rahang mengeras. “Wanita itu … siapapun dia, aku tidak akan pernah memaafkannya!”LIMA TAHUN KEMUDIAN... “Cassel-nya Mami, ayo cepat Sayang. Kita bisa terlambat!” Dalena menatap anak laki-laki mungil dan imut yang kini tengah berdiri sambil bersedekap di tengah keramaian bandara internasional Barcelona. Bocah itu cemberut menatap Maminya yang anggun dan cantik kembali menyeret koper mendekat untuk membujuk putra tampannya lagi. “Cassel, ayo dong Sayang. Tante Melinda dan Om Heins sudah menunggu kita,” kata Dalena sambil mengusap pipi gembil Cassel. “Atau mau Mami gendong saja?” “Cassel tidak mau! Cassel mau pulang ke London! Tidak mau digendong juga. Cassel itu sudah dewasa, Mami!” pekik anak itu sembari memeluk erat boneka dinosaurusnya. “Kita akan kembali setelah bertemu dengan teman Mami. Janji deh!” Dalena tersenyum mengarahkan jari kelingkingnya di hadapan Cassel. Si kecil tampan bermanik mata cokelat gelap, rambut hitam legam, kulit putih, serta bertubuh mungil itu menautkan jari kelingkingnya pada Dalena. Raut wajahnya masih cemberut. “Janji ya Mami,
"Tidak Tuan, saya belum pernah bertemu Tuan sebelumnya." Dalena was-was dengan tatapan mata Damien padanya. Barulah setelah itu jabatan tangan mereka terlepas. "Silakan duduk," titah Damien. "Terima kasih, Tuan." Dalena duduk menundukkan kepalanya. Damien tak henti memberikan tatapan dingin. Detak jantungnya berpacu hebat, Dalena takut kalau Damien mengenalinya. "Jadi Nona ingin menjadi pengasuh putriku? Nona punya pengalaman apa soal anak-anak, perlu Nona tahu kalau saya tidak sembarangan mencari seorang pengasuh!" tegas Damien menunjukkan sisi posesifnya. "Saya... Saya bisa menjaga putri Tuan dengan baik. Saya akan meluangkan semua waktu saya untuk menjaganya dan merawatnya sepenuh hati." Dalena berusaha membuat Damien percaya. Laki-laki itu berdehem pelan, ia meraih sebuah surat lamaran kerja milik Dalena yang berada di atas meja. Semua isi surat itu sedikitnya adalah kebohongan, apalagi tentang identitas Dalena yang pernah menetap di Barcelona. "Daddy! Dad... Raccel mau
"Mami ke mana saja, katanya pulangnya tidak lama-lama..." Cassel memeluk tubuh Dalena dengan erat, anak itu berada dalam gendongan Dalena dengan tangis sesenggukan. "Mami harus kerja Sayang, maafkan Mami ya nak," bisik Dalena mendekap tubuh kecil Cassel."Besok Mami jangan pergi lagi, temani Cassel pokoknya!" seru anak itu meremas punggung Dalena. "Iya Sayangku."Dalena berada di kediaman barunya, ia membeli sebuah rumah di kawasan perumahan mewah. Bahkan Dalena juga mendatangkan pengasuh Cassel yang di London untuk menemani putra kecilnya ini. Dalena mengusap rambut tebal hitam milik Cassel dan mata indahnya sudah tidak mampu terbuka. "Ngantuk ya Sayang, bobo sama Mami yuk," ajak Dalena mengusap pipi gembil putranya. Anak itu mengangguk, ia meletakkan kepalanya di pundak sang Mama dan memejamkan Kedua matanya. Langkah kaki Dalena terhenti saat ia mendengar deringan ponsel miliknya. "Thom," lirih Dalena. "Halo, Tuan..." "Tolong kirimkan alamat rumahmu. Raccel mengamuk mencari
Kedua mata Dalena terbuka perlahan, udara hangat kamar Raccel membuat wanita itu langsung terbangun. Menyadari dirinya meninggalkan Cassel. Tapi di sampingnya kini ada Raccel yang tertidur pulas. "Ya Tuhan, sudah pagi!" seru Dalena tanpa suara. Dia menepuk keningnya saat mengetahui jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Gegas Dalena menyahut mantel tebalnya dan kembali mendekati Raccel yang masih tertidur. "Sayang, Mami pulang ya nak... Raccel jangan menangis lagi ya, Sayang," bisik Dalena begitu lirih gak bersuara. Dalena mengecup pipi gembil anak perempuannya dan kembali menyelimuti tubuh mungil Raccel dengan hangat. Perlahan tanpa suara Dalena keluar dari dalam kamar Raccel. Langkahnya menuju ke lantai satu, namun Dalena tersentak saat ia mendapati Damien duduk di sofa ruang tamu. "Selamat pagi, Tuan," sapa Dalena menundukkan kepalanya. "Heem. Mau ke mana kau?" tanya Damien tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. "Saya pamit pulang, nanti siang saya akan ke sini lag
"Kenapa menangis? Siapa yang membuat Cassel sedih, Sayang?!" Dalena mencekal kedua pundak kecil Cassel. Anak itu menyeka air matanya dan menunjuk ke utara. "Cassel tidak sengaja melempar bola kena kepala anak perempuan, dia nangis Mi. Terus Papinya datangin Cassel dan bilang Cassel anak nakal hiks... Padahal Cassel sudah minta maaf! Tapi Om jahat malah tanya di mana Mami dan Papi, Cassel kan tidak punya Papi..." Bocah itu memeluk leher Dalena dengan erat. Geram dengan perlakuan orang angkuh itu yang berani memarahi anak kecil. Dalena langsung berdiri tegap menggendong Cassel. "Sudah Sayang, jangan sedih lagi. Ayo kita temui orang itu! Sombong sekali, dia pikir dia siapa?!" seru Dalena marah. "Marahin Om nakalnya Mam, marahin pokoknya!" pekik Cassel menunjuk-nunjuk ke arah tadi. Tanpa menunggu lagi, Dalena langsung bergegas menuju ke tempat yang Cassel tunjukkan padanya. Namun sesampainya di sana tidak ada siapapun. Orang itu pasti sudah pergi. "Sudah tidak ada," ucap
Damien terdiam menatap ke arah taman rumahnya. Di sana nampak Raccel yang bersenang-senang dengan pengasuhnya, mereka asik bermain sejak tadi. Bahkan Dalena juga sangat perhatian pada Raccel. Memeluknya, menggendongnya, dan memberikan apapun yang Raccel inginkan. "Wanita itu," lirih Damien memperhatikan Dalena. "Kenapa Tuan?" tanya Thom menoleh ke arah pandangan Damien. "Entahlah Thom, aku merasakan hal aneh pada Raccel saat melihatnya dengan pengasuh itu. Bagaimana bisa Raccel semudah itu dekat dengannya?" Damien memasang wajah dingin.Bahkan kini saat Raccel dan Dalena berjalan bergandengan tangan masuk ke dalam rumah. Suara tawa Raccel yang memenuhi ruang keluarga, ia terus memanggil Dalena untuk cepat mengikutinya. "Daddy... Lihat! Nanny buatkan mahkota dari bunga buat Raccel!" seru Raccel menunjukkan sebuah mahkota bunga yang dia pakai. "Wahh, cantik sekali Princess Daddy..." Damien berjalan mendekati putrinya dan menekuk lututnya di hadapan Raccel. "Tentu saja! Ini kan b
Pagi ini Dalena mendandani Raccel dengan sangat cantik. Memakai dress dari tile selutut berwarna merah muda, sepatu cantik berwarna senada. Rambut hitamnya dikepang dua dan dipasang pita yang lucu. "Raccel tidak boleh nakal kalau ikut Daddy ya, Cantik," ujar Dalena duduk di hadapan Raccel. Anak itu cemberut. "Raccel tidak mau ikut Daddy! Raccel masih mau main sama Nanny," ujar Raccel memeluk Dalena. "Ayolah Sayang, nanti Oma-mu bisa marah kalau kita terlambat, Princess!" Damien mendekati putrinya. "Nooo! Daddy jangan paksa Raccel dong! Ihhh, Raccel tidak suka ikut Daddy selalu saja maksa Raccel!" teriak anak itu makin erat dia memeluk Dalena. Damien berdecak kesal saat Raccel rewel seperti ini. Anak itu terlanjur lengket dengan Dalena hingga susah dibujuk oleh Damien. Padahal Damien sudah membuat janji dengan Mamanya untuk pertemuan di kediaman keluarga Escalante pagi ini. Namun lagi-lagi Raccel sangat rewel. "Nanny, ayo ikut Raccel sama Daddy... Mau ya, ikut kita ya Nanny," re
"Pokoknya pulang dari sini antarkan Raccel ke tempat Nanny!" Raccel turun dari dalam mobil dengan raut marah, anak itu menghentak-hentakkan kakinya. "Daddy dengarkan Raccel, tidak sih?!" teriak Raccel mendongak menarik-narik lengan Damien. "Iya Princess, Daddy mendengarmu. Sudah sekarang ayo masuk ke rumah Oma!" Damien menggandeng tangan mungil Raccel. Masih terus mengomeli Daddy-nya sembari berjalan masuk ke dalam rumah keluarga Escalante. Raccel dan Damien disambut oleh kedua orang tua Damien, Kakak perempuannya, dan seseorang wanita cantik yang tengah berada di ruang makan menanti Damien. Bibir Raccel langsung cemberut saat melihat Lora, Mama dari Damien dan juga Sevia, Kakak perempuan Damien yang kini menatapnya dengan tatapan angkuh. "Datang juga akhirnya, ayo duduk dan cepat makan bersama." Lora, Mama kandung Damien yang memintanya duduk. "Kenapa kau mengajak anak itu, Damien?""Merepotkan saja," imbuh Sevia. Damien menatap dingin Mama dan Kakaknya. "Raccel adalah anakku
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris