Kedua mata Dalena terbuka perlahan, udara hangat kamar Raccel membuat wanita itu langsung terbangun.
Menyadari dirinya meninggalkan Cassel. Tapi di sampingnya kini ada Raccel yang tertidur pulas."Ya Tuhan, sudah pagi!" seru Dalena tanpa suara.Dia menepuk keningnya saat mengetahui jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Gegas Dalena menyahut mantel tebalnya dan kembali mendekati Raccel yang masih tertidur."Sayang, Mami pulang ya nak... Raccel jangan menangis lagi ya, Sayang," bisik Dalena begitu lirih gak bersuara.Dalena mengecup pipi gembil anak perempuannya dan kembali menyelimuti tubuh mungil Raccel dengan hangat.Perlahan tanpa suara Dalena keluar dari dalam kamar Raccel. Langkahnya menuju ke lantai satu, namun Dalena tersentak saat ia mendapati Damien duduk di sofa ruang tamu."Selamat pagi, Tuan," sapa Dalena menundukkan kepalanya."Heem. Mau ke mana kau?" tanya Damien tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop."Saya pamit pulang, nanti siang saya akan ke sini lagi," jelas Dalena.Damien menutup laptopnya, ia mengangkat wajah dinginnya dan mata tajam laki-laki itu menghunus pandangan Dalena seketika."Aku ingin kau full mengasuh Raccel, saat anakku sudah kau rayu-rayu, kau jangan bermain-main dengan pekerjaan ini, Dalena!" seru Damien tajam.Dalena menunduk dan meremas kedua telapak tangannya."Mulai besok saya akan full menjaga Raccel, Tuan. Tapi tolong berikan saya libur satu minggu dua atau sehari sekali, saya juga punya tanggungan yang besar.""Tanggungan apa?! Harusnya kau tidak punya alasan dengan tanggunganmu itu!" sentak Damien marah.Ingin sekali Dalena berteriak, kalau tanggungan yang dia maksud adalah Cassel, anak Damien juga!Damien menyergah napasnya panjang melihat Dalena ketakutan. Laki-laki itu berlalu pergi meninggalkan Dalena sendirian di ruang tamu.Dalena meremas tali tasnya. Air matanya menetes begitu saja mengingat sentakan Damien barusan, dia ingin Dalena selalu berada di samping Raccel, lalu bagaimana dengan Cassel?"Dalena," panggil Thom padanya."Oh, Tu-Tuan...""Pulanglah, Tuan Damien sudah mengizinkanmu pulang. Kembalilah saat aku menghubungimu," ujar Thom.Dalena mengangguk setuju. "Baiklah. Terima kasih, Tuan. Saya permisi," pamit Dalena.Wanita itu berjalan melangkah keluar dari dalam rumah megah Damien.Tanpa Dalena ketahui sosok Damien Escalante kini berdiri bersedekap di balkon lantai dua rumahnya menatap kepergian Dalena.Tiap kali Damien berkontak mata dengan wanita itu, ia merasa familiar."Dalena Gabriella, aku seperti mengenalnya, tapi di mana? Kapan? Dan... Siapa sebenarnya wanita itu?"**Dalena berlari memasuki kawasan perumahan saat ia melihat di depan gerbang rumahnya ada Lizi bersama Cassel yang menunggunya.Hal yang membuat Dalena tergopoh-gopoh adalah, Cassel yang sedang menangis. Anak itu langsung merentangkan kedua tangannya saat melihat sang Mami."Mami huwaa... Mamiku!" tangis Cassel keras-keras."Sayangku, Cassel-nya Mami tenang nak. Mami ada di sini," bisik Dalena menggendong Cassel dengan erat.Segera Dalena mengajak Cassel masuk ke dalam rumah. Mendekapnya dengan hangat dan memenangkannya."Mami nakal hiks... Mami tinggalin Cassel. Mami tidak sayang Cassel lagi!""Mami kan sudah kembali nak, minum susu cokelat dulu ya Sayang, sambil gendong Mami ya?" Dalena menyahut gendongan milik Cassel dan menggendongnya.Cassel menyandarkan kepalanya dan memeluk tubuh Dalena dengan erat. Rasa sedih menyeruak di hati Dalena, ia harus mengorbankan waktunya untuk Cassel demi mendapatkan Raccel.Melihat wajah sedih dan tangisan Cassel seperti ini membuat Dalena tak tega."Minum susu cokelatnya, Sayang." Dalena memberikan botol minum berbentuk kepala rusa pada sang putra.Tangisan Cassel terhenti, hal itu membuat Dalena menjadi tenang. Berkali-kali dia mengecupi wajah tampan Cassel."Nona Dalena," panggil Lizi, gadis itu mendekat. "Lebih baiknya sebelum Nona pergi lagi, ajak Cassel jalan-jalan sebentar. Sejak semalam Cassel menangis, sampai tetangga sebelah datang ke sini."Mendengar hal itu membuat Dalena merasa tersayat-sayat, tak bisa ia bayangkan seperti apa tangisan Cassel."Aku juga kepikiran dengan Cassel. Tapi bagaimana, Lizi... Aku juga dibutuhkan oleh Raccel. Aku ingin mereka berdua bersatu, bertemu, dan bersama. Meskipun ini melelahkan untukku," ujar Dalena mengusap air matanya."Mami kok nangis?" tanya Cassel mendongak menatap wajah Dalena.Seketika Dalena menunduk, dia mengecup ujung hidung Cassel."Tidak kok, Mami tidak nangis. Cassel-nya Mami jangan marah-marah lagi ya, Sayang. Setelah sarapan kita jalan-jalan ke game zone, bagaimana?""Setuju! Cassel mau!" pekik anak itu kesenangan.Senyuman manis Dalena mengembang, ia mengecupi pipi Cassel dengan gemas dan segera mengajak putranya bersiap.Seperti janjinya pada Cassel, kini Dalena mengajak putra kecilnya pergi ke sebuah pusat perbelanjaan.Dalena menemani putranya bermain di arena game zone yang kebetulan tak terlalu ramai."Jangan nakal ya, Sayang. Mami duduk di situ, kalau haus Cassel tinggal ke Mami saja, okay?" Dalena merapikan rambut Cassel."Iya Mami. Cassel mau mandi bola di sana!" serunya tak sabaran."Iya Sayang. Hati-hati, Cassel!"Bocah laki-laki pemberani, dia berlari masuk ke kawasan game zone yang tak terlalu ramai.Dalena sungguh tidak mengetahui tentang satu hal saat ini. Dia duduk di sisi sebelah selatan, dan dibalik ruangan luas game zone sebelah utara ternyata ada seorang Damien Escalante mengajak Raccel pergi berjalan-jalan bersama di tempat yang sama.Raccel bermain di dalam kawasan itu, sementara Daddy-nya duduk menunggu di bangku panjang sebelah utara."Daddy... Bye-bye!" teriak Raccel melambaikan tangannya.Damien tersenyum dan membalas lambaian tangan Raccel."Jangan jauh-jauh, Princess!" pekik Damien."Siap Daddy!"Awalanya Damien memperhatikan putrinya yang bermain perosotan dengan asik hingga tiba-tiba saja sebuah bola terlempar ke arah Raccel hingga membuat tubuhnya oleng dan terjatuh."Raccel!" pekik Damien dan Thom bersamaan."Aaaaa... Daddy!" teriak Raccel menjerit saat dia jatuh dari perosotan."Princess, kau tidak papa Sayang?" Damien langsung mengangkat tubuh Raccel.Seorang anak laki-laki tampan seusia Raccel, manik mata cokelatnya tang teduh, tubuh mungilnya dibalut sweeter merah, dia mendekat mengambil bola besar di hadapannya.Tatapan mata anak itu begitu teduh dan takut saat Damien menyorotinya tajam. Namun entah kenapa, raut wajah anak itu sangat mirip dengan Raccel, namun dia versi laki-laki."Anak nakal!" desis Damien lirih.Bocah laki-laki itu berjinjit dan mengulurkan tangan mungilnya."Cassel minta maaf ya," ucapnya dengan tulus, seperti yang Maminya ajarkan."Kau membuat putriku menangis, dasar anak nakal! Mana Mama dan Papamu, hah?!" Damien menatapnya marah, karena Raccel kini menangis."Papi-nya Cassel..." Cassel tertunduk menggantung ucapannya seraya memeluk bola.Kedua mata anak itu berkaca-kaca dan ingin menangis antara takut pada orang di depannya, dan pertanyaan di mana Papinya.Detak jantung Damien seperti terhenti saat Cassel terisak dan menangis.Cassel mengangkat wajahnya dan mata berairnya yang kini begitu sedih."Cassel tidak punya Papi," ucapnya terisak sedih.Wajah menangisnya sangat persis dengan Raccel. Thom pun terpana dengan ekspresi sosok anak kecil laki-laki di depan mereka. Sungguh, perpaduan wajah Damien ada pada raut wajah bocah tampan ini."Ayo pulang Dad... Raccel mau pulang! Tidak mau main lagi!" Raccel memberontak dalam gendongan Damien.Damien pun melangkah pergi, namun dua langkah kakinya meninggalkan anak laki-laki mungil itu, sampai akhirnya langkah Damien kembali terhenti saat isak tangis Cassel kian menyesakkan hatinya."Cassel tidak punya Papi... Cassel juga mau punya Papi," lirih Cassel menangis sedih.Cassel menjatuhkan bolanya dan terduduk menangis di sana hingga seorang penjaga mendatanginya dan mengantarkan Cassel keluar.Perasaan Damien dipenuhi rasa bersalah, lagi dan lagi. Kenapa dia membentak anak itu? Kenapa ekspresinya sesedih itu? Bagaimana bisa wajah mereka sangat mirip? Bagaimana bisa?!Damien masih menatapnya. 'Anak itu, kenapa begitu mirip sekali denganku dan Raccel?'"Kenapa menangis? Siapa yang membuat Cassel sedih, Sayang?!" Dalena mencekal kedua pundak kecil Cassel. Anak itu menyeka air matanya dan menunjuk ke utara. "Cassel tidak sengaja melempar bola kena kepala anak perempuan, dia nangis Mi. Terus Papinya datangin Cassel dan bilang Cassel anak nakal hiks... Padahal Cassel sudah minta maaf! Tapi Om jahat malah tanya di mana Mami dan Papi, Cassel kan tidak punya Papi..." Bocah itu memeluk leher Dalena dengan erat. Geram dengan perlakuan orang angkuh itu yang berani memarahi anak kecil. Dalena langsung berdiri tegap menggendong Cassel. "Sudah Sayang, jangan sedih lagi. Ayo kita temui orang itu! Sombong sekali, dia pikir dia siapa?!" seru Dalena marah. "Marahin Om nakalnya Mam, marahin pokoknya!" pekik Cassel menunjuk-nunjuk ke arah tadi. Tanpa menunggu lagi, Dalena langsung bergegas menuju ke tempat yang Cassel tunjukkan padanya. Namun sesampainya di sana tidak ada siapapun. Orang itu pasti sudah pergi. "Sudah tidak ada," ucap
Damien terdiam menatap ke arah taman rumahnya. Di sana nampak Raccel yang bersenang-senang dengan pengasuhnya, mereka asik bermain sejak tadi. Bahkan Dalena juga sangat perhatian pada Raccel. Memeluknya, menggendongnya, dan memberikan apapun yang Raccel inginkan. "Wanita itu," lirih Damien memperhatikan Dalena. "Kenapa Tuan?" tanya Thom menoleh ke arah pandangan Damien. "Entahlah Thom, aku merasakan hal aneh pada Raccel saat melihatnya dengan pengasuh itu. Bagaimana bisa Raccel semudah itu dekat dengannya?" Damien memasang wajah dingin.Bahkan kini saat Raccel dan Dalena berjalan bergandengan tangan masuk ke dalam rumah. Suara tawa Raccel yang memenuhi ruang keluarga, ia terus memanggil Dalena untuk cepat mengikutinya. "Daddy... Lihat! Nanny buatkan mahkota dari bunga buat Raccel!" seru Raccel menunjukkan sebuah mahkota bunga yang dia pakai. "Wahh, cantik sekali Princess Daddy..." Damien berjalan mendekati putrinya dan menekuk lututnya di hadapan Raccel. "Tentu saja! Ini kan b
Pagi ini Dalena mendandani Raccel dengan sangat cantik. Memakai dress dari tile selutut berwarna merah muda, sepatu cantik berwarna senada. Rambut hitamnya dikepang dua dan dipasang pita yang lucu. "Raccel tidak boleh nakal kalau ikut Daddy ya, Cantik," ujar Dalena duduk di hadapan Raccel. Anak itu cemberut. "Raccel tidak mau ikut Daddy! Raccel masih mau main sama Nanny," ujar Raccel memeluk Dalena. "Ayolah Sayang, nanti Oma-mu bisa marah kalau kita terlambat, Princess!" Damien mendekati putrinya. "Nooo! Daddy jangan paksa Raccel dong! Ihhh, Raccel tidak suka ikut Daddy selalu saja maksa Raccel!" teriak anak itu makin erat dia memeluk Dalena. Damien berdecak kesal saat Raccel rewel seperti ini. Anak itu terlanjur lengket dengan Dalena hingga susah dibujuk oleh Damien. Padahal Damien sudah membuat janji dengan Mamanya untuk pertemuan di kediaman keluarga Escalante pagi ini. Namun lagi-lagi Raccel sangat rewel. "Nanny, ayo ikut Raccel sama Daddy... Mau ya, ikut kita ya Nanny," re
"Pokoknya pulang dari sini antarkan Raccel ke tempat Nanny!" Raccel turun dari dalam mobil dengan raut marah, anak itu menghentak-hentakkan kakinya. "Daddy dengarkan Raccel, tidak sih?!" teriak Raccel mendongak menarik-narik lengan Damien. "Iya Princess, Daddy mendengarmu. Sudah sekarang ayo masuk ke rumah Oma!" Damien menggandeng tangan mungil Raccel. Masih terus mengomeli Daddy-nya sembari berjalan masuk ke dalam rumah keluarga Escalante. Raccel dan Damien disambut oleh kedua orang tua Damien, Kakak perempuannya, dan seseorang wanita cantik yang tengah berada di ruang makan menanti Damien. Bibir Raccel langsung cemberut saat melihat Lora, Mama dari Damien dan juga Sevia, Kakak perempuan Damien yang kini menatapnya dengan tatapan angkuh. "Datang juga akhirnya, ayo duduk dan cepat makan bersama." Lora, Mama kandung Damien yang memintanya duduk. "Kenapa kau mengajak anak itu, Damien?""Merepotkan saja," imbuh Sevia. Damien menatap dingin Mama dan Kakaknya. "Raccel adalah anakku
"Namaku Cassel Om, Cassel Gabriel!" Anak laki-laki itu meraih telapak tangan besar milik Damien dan meletakkan tangan mungilnya di sana. Kedua mata indah milik Cassel mengerjap berbinar-binar. Damien masih terpaku dengan ekspresi anak ini, persis seperti ekspresi saat Raccel tengah penasaran."Kenapa?" tanya Damien menggenggam hangat tangan mungil Cassel. "Pasti genggaman tangan Papiku rasanya seperti ini," jawab Cassel menatap Damien, tersenyum manis sebelum kembali menatap genggaman tangan Damien. "Memangnya di mana Papimu, Cassel?" tanya Damien menarik lengan mungil Cassel dan dirangkul tubuh bocah kecil itu. Cassel menggeleng polos memberikan jawaban. "Kata Mami, Papi sedang pergi bekerja. Tapi Papi tidak pernah pulang-pulang sama sekali, Cassel tidak tahu seperti apa wajah Papi. Tapi kata Mami Papiku itu tampan sekali, Om!"Damien terdiam mengamati wajah Cassel lebih dekat lagi. Rasanya seperti ia berada bersama dengan Raccel, anak ini membuat hatinya merasa berdebar dan ha
"Nanny-ku belum kembali, rasanya sedih... Hatinya Raccel patah!" Bibir tipis gadis mungil itu cemberut. Raccel duduk di kursi kayu di teras rumahnya menatap ke arah gerbang. Raccel ditemani oleh Daddy-nya menunggu Dalena datang. Beberapa menit yang lalu Damien meminta Thom menghubungi Dalena, dan wanita itu sedang menuju ke sana. "Daddy, kenapa Nanny-ku belum ke sini? Apa dia tersesat?" tanya Raccel mendongak menatap sang Daddy. "Tidak Princess. Sebentar lagi pasti datang," jawab Damien. Laki-laki itu menekuk kedua lututnya di samping Raccel dan menatap wajah kecil sedihnya. Sekelebatan wajah anak kecil laki-laki di taman tadi mengganggu pikiran Damien. Cassel, dari sisi manapun dia sangat mirip dengannya dan Raccel. "Ck, sial!" umpat lirih Damien memijit pangkal hidungnya. Tiba-tiba Damien merasakan telapak tangan kecil Raccel menyentuh pipinya. Damien mengangkat wajahnya menatap raut cantik Raccel yang datar dan sedih. Anak itu mengelus pipi sang Daddy dan Raccel mengerjap
Dalena tertidur dengan posisi duduk memeluk Raccel. Wanita itu duduk bersandar di sofa, kedua tangannya mendekap Raccel yang juga terlelap dalam pelukannya. Damien yang menemani mereka berdua, laki-laki itu mengambil selimut di dalam kamarnya. Ia menyelimuti Dalena dan Raccel dengan pelan-pelan. "Dalena," lirih Damien menatap wajah Delana dari dekat. Saat matanya terpejam, raut wajah dan cara tidurnya sama seperti Raccel. Wanita muda ini mengorbankan banyak waktunya untuk Raccel. Damien perlahan duduk di samping Dalena, ia meluruskan kedua tangannya di atas sandaran sofa hingga tiba-tiba lengan kirinya dijadikan bantal oleh Dalena. Anehnya, Damien tidak ingin menarik lengannya. Ia memilih untuk diam membiarkan Dalena tertidur. 'Kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh tiap kali menatapmu, Dalena. Apa yang membuatmu terlihat seperti seorang Ibu untuk putriku yang keras kepala dan menolak dengan orang asing, tapi denganmu... Raccel-ku sungguh berbeda.' Damien menyergah napasnya panj
"Karena saya sangat menyayangi Raccel. Sudah, itu saja alasan saya, Tuan Damien." Dalena memberikan jawaban yang jujur dari dalam hatinya, meskipun kini dadanya terasa berdebar. Damien terdiam tak bereaksi menyadari konyolnya pertanyaan yang dia berikan pada wanita di sampingnya ini. "Mommy kepala Raccel sakit," rengekan Raccel kembali terdengar. "Iya Sayang, kita sudah sampai sebentar lagi..." Dalena menundukkan kepalanya mengusap pucuk kepala Raccel. Ketegangan antara Damien dan Delana pun berkurang. Damien kembali fokus mengemudi, begitupun Dalena yang kembali fokus pada Raccel. Sampai beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah sakit. Dalena berjalan masuk ke lebih dulu, ia membawa Raccel ke ruang perawatan anak dan langsung bertemu dengan dokter. "Dokter, tolong putriku demam sejak semalam belum turun-turun," ucap Dalena dengan wajah panik. "Baik. Tunggu sebentar, Nyonya!" Dokter itu masuk ke dalam sebuah ruangan mengambil beberapa peralatan. Dalena kesulitan membuka
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris