Hari sudah larut malam, tapi Dalena masih luntang-lantung di jalanan. Kepalanya pusing karena ia bingung mencari tempat tinggal.
“Ke mana... Aku harus ke mana setelah ini? Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,” lirih Dalena berjuang menahan air matanya yang akan menetes.Tiba-tiba, setetes demi setetes air langit pun turun perlahan. Bila malam ini hujan deras, habislah Dalena menjadi seorang gelandangan.Dalena hendak berteduh, namun sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya.Muncul dari dalam mobil itu seorang laki-laki tampan, berambut hitam, berbalut kemeja biru langit menatap Dalena dengan wajah cemas.“Dalena?!” pekik laki-laki itu sembari mendekatinya.“Heins …”“Astaga, kenapa kau membawa tas besar seperti ini? Apa yang terjadi?!”Tatapan mata Heins terlihat terkejut melihat keadaan Dalena yang mengenaskan.Laki-laki itu adalah teman lama sekaligus kakak tingkatnya di sekolah dulu. Seingat Dalena, Heins kini sudah menjadi dokter muda yang memiliki karier gemilang.Dalena berkaca-kaca menatap Heins. “Bibi Calestia, di-dia...”“Dia mengusirmu?”Dalena mengangguk. Air mata jatuh membasahi pipinya. “Mereka ingin menjualku pada laki-laki hidung belang, tapi... tapi aku—”Dalena tidak menyelesaikan ceritanya, dadanya terlalu sesak hingga ia hanya bisa terus menangis.“Ya Tuhan … Sudah, tenanglah,” kata laki-laki itu menepuk lembut punggung Dalena.Heins terbilang cukup dekat dengan Dalena meskipun hanya berteman semasa sekolah dulu.Dia juga tahu bagaimana perlakuan buruk keluarga paman gadis itu. Bahkan sejak bersekolah, Dalena selalu disiksa dan mendapatkan perlakukan buruk.“Tinggallah denganku, Dalena. Aku sama sekali tidak keberatan untuk hal ini. Bagaimana?” tawar Heins ketika Dalena sudah tampak lebih tenang.“Tapi Heins... Apa aku tidak merepotkanmu?” tanya Dalena berkaca-kaca.Heins menggelengkan kepalanya dan tersenyum tulus. Laki-laki itu langsung meraih tas besar milik Dalena dan mengajaknya masuk ke dalam mobil.“Ayo.”Sepanjang perjalanan menuju rumah Heins, Dalena terus dihibur untuk tidak sedih oleh pria itu. Heins benar-benar sosok yang sangat baik.Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah berlantai dua yang berada di perumahan di tengah kota Barcelona. Rumah besar itu milik Heins, si dokter muda yang sukses.“Ayo, jangan ragu-ragu. Anggap saja rumah sendiri. Di sini tidak ada siapapun, jadi jangan takut,” ajak Heins membawa tas milik Dalena di tangannya.“Terima kasih banyak Heins,” ucap Dalena lirih.Laki-laki itu mengangguk tulus. Dia mengajak Dalena masuk ke dalam rumah megahnya.Heins juga menunjukkan beberapa kamar, hingga Dalena bebas memilih ingin tidur di kamar mana saja.Sungguh … Dalena tidak tahu harus membalas kebaikan Heins dengan cara apa.“Heins … terima kasih banyak. Aku akan tinggal di sini sampai aku menemukan tempat tinggal yang baru,” ujar Dalena.“Tidak perlu buru-buru untuk hal itu. Tinggallah di sini sampai kapanpun kau mau. Aku tidak akan pernah mengusirmu atau keberatan dengan kehadiranmu, oke?” Heins membungkukkan badannya menatap wajah cantik gadis itu lekat-lekat.Kilatan mata penuh luka itu … Heins tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Dalena, namun rona ceria yang biasanya Dalena pancarkan kini benar-benar sirna.Heins mengulurkan tangannya mengusap rambut panjang Dalena yang tergerai. Dia merasa sayang dengan teman perempuan yang dulu selalu membantunya ini.Dulu, Dalena menjadi orang pertama yang selalu mendengarkan keluh kesah Heins. Kini saatnya dia yang harus membantu Dalena.“Sekarang masuk ke dalam kamar. Bersihkan tubuhmu dan makan malam bersamaku, setelah itu baru istirahatlah.”Senyuman tipis beserta anggukan Dalena berikan.Setelah itu dia masuk ke kamar yang jauh lebih mewah dibandingkan kamarnya di tempat sang Paman dan Bibi. Gadis itu meletakkan tas besarnya di atas ranjang.Dalena langsung ke kamar mandi. Satu persatu pakaiannya pun ia lepaskan, jatuhnya dress itu bersamaan dengan menetesnya air matanya.Amarah dan kekecewaan yang besar menyala di hatinya begitu bercak-bercak merah di tubuhnya sangat jelas terlihat.Dalena terduduk di lantai kamar mandi menundukkan kepalanya dan membiarkan air shower mengguyurnya.“Aku tidak boleh menyerah sampai di sini … aku harus terus bertahan,” lirih Dalena dengan dada yang terasa sesak.“Ayah, Ibu … doakan aku dari atas sana, ya?”**Di dalam sebuah ruangan berbusana abu-abu, seorang laki-laki berbalut tuxedo hitam duduk di kursi agungnya menatap dua orang laki-laki berpakaian serba hitam yang berdiri penuh hormat di depannya.Damien Escalante, seorang CEO ternama sekaligus miliarder yang sangat disegani.Laki-laki berwajah tampan itu bersedekap, kedua alisnya menukik tajam, matanya menatap dingin dan tajam pada kedua orang kepercayaannya.“Bagaimana? Kau sudah menemukan informasi tentang gadis yang semalam berada di dalam kamar itu?” tanya Damien dengan iris hitam tajamnya yang berkilat.“Belum, Tuan. Dalam rekaman CCTV di lorong pun dia tidak diketahui pergi ke mana,” ungkap salah satu anak buahnya.“Mencari satu gadis pun kalian tidak becus, hah?!” berang Damien berdiri menggebrak meja dengan penuh emosi.Dua anak buahnya pun langsung tertunduk.Rahang Damien mengetat mengingat dirinya meniduri seorang gadis dengan sembarangan, terlebih lagi gadis itu ternyata masih suci.Damien merasa tertarik dan ingin mencari gadis itu sampai ia berhasil menemukannya.“Cari gadis itu sampai ketemu! Aku tidak peduli meskipun kalian harus mencarinya sampai ke ujung dunia!” perintah Damien dengan nada penuh penekanan.“Baik, Tuan. Kami akan mencarinya lebih teliti lagi.”“Cepat pergi! Dan bawa dia ke hadapanku!” berang Sang Tuan mengusir.Kedua anak buahnya pun melangkah pergi menutup pintu ruangan tersebut.Damien menyergah napasnya kasar. Ia beranjak dari duduknya dan melangkah berjalan mendekati dinding kaca yang menunjukkan pemandangan kota Barcelona yang tengah terguyur hujan.“Gadis itu, dia masih suci dan... Sial! Bagaimana bisa aku melakukannya?!” gerutu Damien mengutuk dirinya yang semalam mabuk berat.Dalam benaknya, terbayang samar wajah cantik gadis muda itu. Damien ingin menggali ingatannya lebih dalam, tapi bayangan itu malah semakin mengabur.Hal ini membuatnya frustrasi dan kesal.Damien mengepalkan tangannya di dinding kaca dengan raut dipenuhi rasa geram dan penasaran.“Siapa pun dirimu Nona, kau tidak akan mudah terlepas dariku begitu saja! Aku akan menemukanmu, cepat atau lambat!”Beberapa minggu sudah berlalu dan Delena tetap tinggal di kediaman Heins. Dalena juga sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan. Namun, beberapa hari ini ia absen bekerja lantaran Dalena merasakan tubuhnya lemas dan selalu mual tiap kali usai makan dan menghirup aroma daging. Pagi ini pun Dalena mual-mual di dalam kamar mandi, hingga mengundang curiga Heins yang beberapa hari ini terus memperhatikannya. “Dalena,” panggil Heins masuk ke dalam kamar Dalena dengan berhati-hati. Laki-laki itu menatap Dalena yang kini keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah pucat. “Berbaringlah, aku akan memeriksamu,” ujar Heins membantu Dalena. Gadis itu berbaring. Heins mengambil peralatannya sebelum memeriksa betul-betul kondisi Dalena. “Aku tidak papa kan, Heins?” tanya Dalena lemah. Heins tertegun. Bagaimana mungkin ia akan diam saja dengan pemeriksaan yang cukup mengejutkankannya ini? “Maaf kalau aku lancang. Tapi kalau boleh aku bertanya, apa kau mengalami terlambat masa datang bu
Sembilan bulan kemudian, lahirlah dua bayi kembar buah hati Dalena. Mereka bayi laki-laki dan perempuan yang sangat lucu menggemaskan. “Anak-anak Mami tersayang … Raccel-ku yang cantik dan Cassel-ku yang tampan.” Dalena berucap lembut seraya mengusap pipi dua bayinya yang tengah tertidur lelap di dalam gedongan biru dan merah muda yang kini tergeletak di atas ranjang setelah menangis beberapa menit yang lalu. Bayi-bayi menggemaskan yang baru lahir sepuluh hari yang lalu. Dalena tidak menyangka bila ia melahirkan dua anak kembar di tengah kehidupannya yang sulit. “Apa mereka sudah tidur?” Suara Heins membuyarkan lamunan Dalena. Ibu muda itu tersenyum dan mengangguk. Heins pun duduk di tepi ranjang dan mengusap gemas pipi dua bayi tersebut. “Cassel memiliki pipi sepertimu. Kalau Raccel... dia juga sama, cantik sepertimu,” puji Heins. “Tapi Heins, aku tidak bisa merawat mereka bersamaan. Aku tidak punya biaya untuk membesarkan mereka bersama-sama,” ujar Dalena dengan wajah sedih.
LIMA TAHUN KEMUDIAN... “Cassel-nya Mami, ayo cepat Sayang. Kita bisa terlambat!” Dalena menatap anak laki-laki mungil dan imut yang kini tengah berdiri sambil bersedekap di tengah keramaian bandara internasional Barcelona. Bocah itu cemberut menatap Maminya yang anggun dan cantik kembali menyeret koper mendekat untuk membujuk putra tampannya lagi. “Cassel, ayo dong Sayang. Tante Melinda dan Om Heins sudah menunggu kita,” kata Dalena sambil mengusap pipi gembil Cassel. “Atau mau Mami gendong saja?” “Cassel tidak mau! Cassel mau pulang ke London! Tidak mau digendong juga. Cassel itu sudah dewasa, Mami!” pekik anak itu sembari memeluk erat boneka dinosaurusnya. “Kita akan kembali setelah bertemu dengan teman Mami. Janji deh!” Dalena tersenyum mengarahkan jari kelingkingnya di hadapan Cassel. Si kecil tampan bermanik mata cokelat gelap, rambut hitam legam, kulit putih, serta bertubuh mungil itu menautkan jari kelingkingnya pada Dalena. Raut wajahnya masih cemberut. “Janji ya Mami,
"Tidak Tuan, saya belum pernah bertemu Tuan sebelumnya." Dalena was-was dengan tatapan mata Damien padanya. Barulah setelah itu jabatan tangan mereka terlepas. "Silakan duduk," titah Damien. "Terima kasih, Tuan." Dalena duduk menundukkan kepalanya. Damien tak henti memberikan tatapan dingin. Detak jantungnya berpacu hebat, Dalena takut kalau Damien mengenalinya. "Jadi Nona ingin menjadi pengasuh putriku? Nona punya pengalaman apa soal anak-anak, perlu Nona tahu kalau saya tidak sembarangan mencari seorang pengasuh!" tegas Damien menunjukkan sisi posesifnya. "Saya... Saya bisa menjaga putri Tuan dengan baik. Saya akan meluangkan semua waktu saya untuk menjaganya dan merawatnya sepenuh hati." Dalena berusaha membuat Damien percaya. Laki-laki itu berdehem pelan, ia meraih sebuah surat lamaran kerja milik Dalena yang berada di atas meja. Semua isi surat itu sedikitnya adalah kebohongan, apalagi tentang identitas Dalena yang pernah menetap di Barcelona. "Daddy! Dad... Raccel mau
"Mami ke mana saja, katanya pulangnya tidak lama-lama..." Cassel memeluk tubuh Dalena dengan erat, anak itu berada dalam gendongan Dalena dengan tangis sesenggukan. "Mami harus kerja Sayang, maafkan Mami ya nak," bisik Dalena mendekap tubuh kecil Cassel."Besok Mami jangan pergi lagi, temani Cassel pokoknya!" seru anak itu meremas punggung Dalena. "Iya Sayangku."Dalena berada di kediaman barunya, ia membeli sebuah rumah di kawasan perumahan mewah. Bahkan Dalena juga mendatangkan pengasuh Cassel yang di London untuk menemani putra kecilnya ini. Dalena mengusap rambut tebal hitam milik Cassel dan mata indahnya sudah tidak mampu terbuka. "Ngantuk ya Sayang, bobo sama Mami yuk," ajak Dalena mengusap pipi gembil putranya. Anak itu mengangguk, ia meletakkan kepalanya di pundak sang Mama dan memejamkan Kedua matanya. Langkah kaki Dalena terhenti saat ia mendengar deringan ponsel miliknya. "Thom," lirih Dalena. "Halo, Tuan..." "Tolong kirimkan alamat rumahmu. Raccel mengamuk mencari
Kedua mata Dalena terbuka perlahan, udara hangat kamar Raccel membuat wanita itu langsung terbangun. Menyadari dirinya meninggalkan Cassel. Tapi di sampingnya kini ada Raccel yang tertidur pulas. "Ya Tuhan, sudah pagi!" seru Dalena tanpa suara. Dia menepuk keningnya saat mengetahui jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Gegas Dalena menyahut mantel tebalnya dan kembali mendekati Raccel yang masih tertidur. "Sayang, Mami pulang ya nak... Raccel jangan menangis lagi ya, Sayang," bisik Dalena begitu lirih gak bersuara. Dalena mengecup pipi gembil anak perempuannya dan kembali menyelimuti tubuh mungil Raccel dengan hangat. Perlahan tanpa suara Dalena keluar dari dalam kamar Raccel. Langkahnya menuju ke lantai satu, namun Dalena tersentak saat ia mendapati Damien duduk di sofa ruang tamu. "Selamat pagi, Tuan," sapa Dalena menundukkan kepalanya. "Heem. Mau ke mana kau?" tanya Damien tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. "Saya pamit pulang, nanti siang saya akan ke sini lag
"Kenapa menangis? Siapa yang membuat Cassel sedih, Sayang?!" Dalena mencekal kedua pundak kecil Cassel. Anak itu menyeka air matanya dan menunjuk ke utara. "Cassel tidak sengaja melempar bola kena kepala anak perempuan, dia nangis Mi. Terus Papinya datangin Cassel dan bilang Cassel anak nakal hiks... Padahal Cassel sudah minta maaf! Tapi Om jahat malah tanya di mana Mami dan Papi, Cassel kan tidak punya Papi..." Bocah itu memeluk leher Dalena dengan erat. Geram dengan perlakuan orang angkuh itu yang berani memarahi anak kecil. Dalena langsung berdiri tegap menggendong Cassel. "Sudah Sayang, jangan sedih lagi. Ayo kita temui orang itu! Sombong sekali, dia pikir dia siapa?!" seru Dalena marah. "Marahin Om nakalnya Mam, marahin pokoknya!" pekik Cassel menunjuk-nunjuk ke arah tadi. Tanpa menunggu lagi, Dalena langsung bergegas menuju ke tempat yang Cassel tunjukkan padanya. Namun sesampainya di sana tidak ada siapapun. Orang itu pasti sudah pergi. "Sudah tidak ada," ucap
Damien terdiam menatap ke arah taman rumahnya. Di sana nampak Raccel yang bersenang-senang dengan pengasuhnya, mereka asik bermain sejak tadi. Bahkan Dalena juga sangat perhatian pada Raccel. Memeluknya, menggendongnya, dan memberikan apapun yang Raccel inginkan. "Wanita itu," lirih Damien memperhatikan Dalena. "Kenapa Tuan?" tanya Thom menoleh ke arah pandangan Damien. "Entahlah Thom, aku merasakan hal aneh pada Raccel saat melihatnya dengan pengasuh itu. Bagaimana bisa Raccel semudah itu dekat dengannya?" Damien memasang wajah dingin.Bahkan kini saat Raccel dan Dalena berjalan bergandengan tangan masuk ke dalam rumah. Suara tawa Raccel yang memenuhi ruang keluarga, ia terus memanggil Dalena untuk cepat mengikutinya. "Daddy... Lihat! Nanny buatkan mahkota dari bunga buat Raccel!" seru Raccel menunjukkan sebuah mahkota bunga yang dia pakai. "Wahh, cantik sekali Princess Daddy..." Damien berjalan mendekati putrinya dan menekuk lututnya di hadapan Raccel. "Tentu saja! Ini kan b