“Oh ... ternyata ini pertama kali untukmu,” bisik suara berat itu. “Kau masih perawan, Nona.”
Kecupan dan sentuhan panas di atas permukaan kulit lembut Dalena membuat kepalanya terasa kosong. Ia tak kuasa menahan gairah yang memuncak, dan menginginkan sentuhan yang lebih panas dari laki-laki itu.“Tu-Tuan …” lirih Dalena di sela desahan yang saling bersahutan.Gadis itu bahkan tak sanggup untuk sekedar membuka lebar matanya karena terlalu pusing dan terlena. Pandangannya mengabur, aroma alkohol yang pekat menguar dari tubuhnya dan lelaki asing itu.Dalena meringis saat merasakan nyeri di inti tubuhnya. “Tuan, tolong berhenti sebentar ...”Sejenak laki-laki itu terdiam, mengusap air mata di pipi Dalena dengan lembut. Ia membubuhkan kecupan ringan di sudut matanya, menenangkan Dalena.Tangan gadis itu masih melingkar di lehernya. Dalena merasa gila karena tubuhnya langsung merespon dengan cepat tiap sentuhan laki-laki ini.“Aku tidak bisa berhenti, Manis. Kau yang memulainya. Kau yang meminta aku melakukan ini,” bisik pemilik suara bariton itu, kembali menyerang Dalena dengan cumbuan.Gairah kembali menyelimuti keduanya. Dalena seakan lupa bahwa ia tidak mengenal pria itu sama sekali. Dia bahkan tidak ingat bagaimana dirinya bisa berakhir di sini.“Tuan ...!” Dalena memejamkan kedua matanya erat dan meremas kuat punggung laki-laki itu ketika ia melanjutkan gerakannya.Setelahnya, tidak ada suara apapun selain napas berat keduanya yang memenuhi kamar hotel, sampai mereka sama-sama meraih kenikmatan masing-masing.Napas Dalena tersengal-sengal dan sekujur tubuh lemas tak berdaya. Wajahnya yang basah disapu lembut oleh telapak tangan besar laki-laki tampan itu sebelum dia memeluknya.“Tidurlah, aku akan memelukmu …”**“Akh, tubuhku ...”Suara erangan pelan terucap lirih dari bibir Dalena. Tubuhnya seperti hancur dan tulangnya terasa remuk. Gadis itu hendak beranjak bangun sebelum terasa sesuatu yang hangat dan berat melilit perutnya.Sesuatu berembus hangat membuat di leher Dalena membuat gadis itu merinding tak berani bergerak. Kehangatan selimut dan kulit tubuh yang saling menyentuh, membuat Dalena bergetar hebat.“Astaga!” Dalena berucap tanpa suara.Ingatan segera terkumpul. Semalam dia bercinta dengan laki-laki asing yang sama sekali tidak ia kenali!Dalena membekap mulutnya dengan air mata berdesakan. “Tidak, tidak mungkin ...”Dengan keberanian yang tipis Dalena menoleh menatap wajah tampan laki-laki berwajah tampan yang terlelap mendekap erat tubuh Dalena yang polos.Bagai sambaran petir mengejutkannya setelah Dalena menatap wajah laki-laki asing itu. Ketakutan merasuki pikiran dan hati Dalena dengan cepat.‘Laki-laki ini … Bukankah dia pebisnis yang terkenal itu?! Ba-bagaimana bisa dia dan aku …’Sosok laki-laki bertubuh tinggi besar, berparas tampan menawan, memiliki rambut hitam dan berkulit putih bersih. Sosok pebisnis ternama dan kaya raya yang sering disorot oleh dunia, hingga semua orang tahu betapa berkuasa dan hebatnya laki-laki ini.‘Damien Escalante!’ batinnya berteriak.Dalena gemetar dengan hanya menatapnya dari jarak sedekat ini.Dengan penuh kehati-hatian, Dalena menjauhkan lengan kekar laki-laki itu dari pinggangnya dan bergegas turun perlahan-lahan dari atas ranjang.“Sial ...” Dalena memejamkan kedua matanya saat merasakan nyeri dan sakit pada inti tubuhnya. “Aku harus cepat, jangan sampai laki-laki ini bangun sebelum aku pergi!”Menahan rasa sakitnya, Dalena pun memunguti semua pakaiannya yang berserakan di lantai, memakainya dengan cepat sebelum ia bergegas pergi keluar dari dalam kamar hotel dan meninggalkan laki-laki tampan yang masih tertidur.Dalena berjalan tertatih di lorong hotel. Kesedihan menyergapnya saat sadar bahwa sepupunya telah meninggalkannya hingga mabuk dan berakhir tidur dengan laki-laki asing.“Kenapa... kenapa mereka setega itu padaku?” lirih Dalena menahan tangis seraya berjalan dengan cepat.Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, Dalena merapikan penampilannya. Gadis itu harap-harap cemas karena ia sangat takut dengan Bibinya yang galak.Namun, Dalena berhak marah pada sepupunya, Kelara, sebab dialah penyebab terjadinya kejadian semalam.“Ke mana saja kau semalam hah!? Kenapa kau menghilang?!” amuk Bibinya, sambil mendekati Dalena dengan wajah penuh amarah begitu ia membuka pintu.“Kelara menjebakku Bi, dia meninggalkanku di hotel! Aku—”“Bukan itu maksud Mamaku, Dalena!” pekik Kelara menyahuti.Wanita paruh baya itu mendekati Dalena dan mengapit dagu kecilnya dengan kasar.“Kenapa kau malah menghilang? Harusnya semalam kau melayani seseorang yang sudah memesanmu, Bodoh! Ke mana kau semalam?!”Tubuh Dalena terdorong hingga punggungnya menabrak dinding.“Kau tahu, akibat kebodohanmu itu kami yang kena imbasnya! Kami harus ganti rugi ulah bodohmu!” teriak Kelara sambil menuding wajah Dalena.Dalena menatap kedua orang itu dengan wajah memerah. “Ka-kalian berniat menjualku?”Kini, bukan hanya tubuhnya yang sakit, namun hati dan hidupnya pun tidak baik-baik saja. Ia tidak percaya kerabat terdekatnya akan berbuat sejauh ini.“Kenapa kalian tega melakukan hal ini padaku? Kurang apa selama ini aku pada kalian semua?!” berang Dalena putus asa.“Kau sudah mendapatkan segalanya dari semua orang, perhatian, pujian. Gara-gara kau, semua orang tidak menatapku!” balas Kelara meneriakinya.“Kalian tidak punya hati! Kalian menghancurkan masa depanku …” lirih Dalena mundur beberapa langkah.“Kami tidak peduli! Kau memang tidak berguna, Dalena! Tak ada gunanya juga kau di sini!” Bibinya mendorong Dalena hingga keluar dari dalam rumah.Gadis itu terjatuh dan menangis tertunduk menatap kedua punggung tangannya yang gemetar.Teganya mereka masih menyalahkan Dalena karena rencana yang gagal … di saat mereka tidak tahu bahwa kesucian Dalena telah terenggut oleh pria asing!“Kelara, ambil tas dan semua pakaian milik gadis ini!” perintah Calestia pada putrinya, membuat Dalena langsung tersentak.“Bi-Bibi... Apa yang akan Bibi lakukan? Ini rumah peninggalan Mama—”“Aku tidak peduli! Aku sudah muak melihatmu di sini. Sekarang aku harus pusing memikirkan ganti rugi karena semalam kau menghilang! Dasar bodoh!” teriak Calestia menepis tangan Dalena.Gadis itu bersimpuh di atas kedua lututnya sambil memegang tangan sang Bibi dan menangis memohon.“Bibi jangan usir Dalena... Ke mana Dalena pergi kalau Bibi mengusirku? Rumah ini peninggalan mendiang Mama dan—”BRUK!Suara tas besar berisi pakaian dilemparkan tepat di hadapan Dalena.Kelara bersungut-sungut menatap Dalena dengan penuh kekesalan di hatinya. “Pergi sialan!” berangnya sambil menendang tas milik Dalena.“Pergi! Angkat kakimu dari sini sebelum aku menyeretmu ke depan!” Calestia menunjuk ke arah gerbang.Dalena meraih tas miliknya dan suara tangisannya pun lenyap. Ia mengusap air matanya yang terus menetes sembari bangkit perlahan-lahan.Bersamaan langkah kaki Dalena pergi meninggalkan teras, pintu rumah itu pun ditutup dengan keras.Setiap langkah Dalena menangis dan bingung apa yang harus dia lakukan saat ini, dia sungguh tak punya siapa-siapa lagi.Dalena menyentuh dadanya yang terasa sesak. “Aku harus pergi ke mana ...”Hari sudah larut malam, tapi Dalena masih luntang-lantung di jalanan. Kepalanya pusing karena ia bingung mencari tempat tinggal. “Ke mana... Aku harus ke mana setelah ini? Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang,” lirih Dalena berjuang menahan air matanya yang akan menetes. Tiba-tiba, setetes demi setetes air langit pun turun perlahan. Bila malam ini hujan deras, habislah Dalena menjadi seorang gelandangan. Dalena hendak berteduh, namun sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya. Muncul dari dalam mobil itu seorang laki-laki tampan, berambut hitam, berbalut kemeja biru langit menatap Dalena dengan wajah cemas. “Dalena?!” pekik laki-laki itu sembari mendekatinya. “Heins …” “Astaga, kenapa kau membawa tas besar seperti ini? Apa yang terjadi?!” Tatapan mata Heins terlihat terkejut melihat keadaan Dalena yang mengenaskan. Laki-laki itu adalah teman lama sekaligus kakak tingkatnya di sekolah dulu. Seingat Dalena, Heins kini sudah menjadi dokter muda yang memiliki kari
Beberapa minggu sudah berlalu dan Delena tetap tinggal di kediaman Heins. Dalena juga sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah rumah makan. Namun, beberapa hari ini ia absen bekerja lantaran Dalena merasakan tubuhnya lemas dan selalu mual tiap kali usai makan dan menghirup aroma daging. Pagi ini pun Dalena mual-mual di dalam kamar mandi, hingga mengundang curiga Heins yang beberapa hari ini terus memperhatikannya. “Dalena,” panggil Heins masuk ke dalam kamar Dalena dengan berhati-hati. Laki-laki itu menatap Dalena yang kini keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah pucat. “Berbaringlah, aku akan memeriksamu,” ujar Heins membantu Dalena. Gadis itu berbaring. Heins mengambil peralatannya sebelum memeriksa betul-betul kondisi Dalena. “Aku tidak papa kan, Heins?” tanya Dalena lemah. Heins tertegun. Bagaimana mungkin ia akan diam saja dengan pemeriksaan yang cukup mengejutkankannya ini? “Maaf kalau aku lancang. Tapi kalau boleh aku bertanya, apa kau mengalami terlambat masa datang bu
Sembilan bulan kemudian, lahirlah dua bayi kembar buah hati Dalena. Mereka bayi laki-laki dan perempuan yang sangat lucu menggemaskan. “Anak-anak Mami tersayang … Raccel-ku yang cantik dan Cassel-ku yang tampan.” Dalena berucap lembut seraya mengusap pipi dua bayinya yang tengah tertidur lelap di dalam gedongan biru dan merah muda yang kini tergeletak di atas ranjang setelah menangis beberapa menit yang lalu. Bayi-bayi menggemaskan yang baru lahir sepuluh hari yang lalu. Dalena tidak menyangka bila ia melahirkan dua anak kembar di tengah kehidupannya yang sulit. “Apa mereka sudah tidur?” Suara Heins membuyarkan lamunan Dalena. Ibu muda itu tersenyum dan mengangguk. Heins pun duduk di tepi ranjang dan mengusap gemas pipi dua bayi tersebut. “Cassel memiliki pipi sepertimu. Kalau Raccel... dia juga sama, cantik sepertimu,” puji Heins. “Tapi Heins, aku tidak bisa merawat mereka bersamaan. Aku tidak punya biaya untuk membesarkan mereka bersama-sama,” ujar Dalena dengan wajah sedih.
LIMA TAHUN KEMUDIAN... “Cassel-nya Mami, ayo cepat Sayang. Kita bisa terlambat!” Dalena menatap anak laki-laki mungil dan imut yang kini tengah berdiri sambil bersedekap di tengah keramaian bandara internasional Barcelona. Bocah itu cemberut menatap Maminya yang anggun dan cantik kembali menyeret koper mendekat untuk membujuk putra tampannya lagi. “Cassel, ayo dong Sayang. Tante Melinda dan Om Heins sudah menunggu kita,” kata Dalena sambil mengusap pipi gembil Cassel. “Atau mau Mami gendong saja?” “Cassel tidak mau! Cassel mau pulang ke London! Tidak mau digendong juga. Cassel itu sudah dewasa, Mami!” pekik anak itu sembari memeluk erat boneka dinosaurusnya. “Kita akan kembali setelah bertemu dengan teman Mami. Janji deh!” Dalena tersenyum mengarahkan jari kelingkingnya di hadapan Cassel. Si kecil tampan bermanik mata cokelat gelap, rambut hitam legam, kulit putih, serta bertubuh mungil itu menautkan jari kelingkingnya pada Dalena. Raut wajahnya masih cemberut. “Janji ya Mami,
"Tidak Tuan, saya belum pernah bertemu Tuan sebelumnya." Dalena was-was dengan tatapan mata Damien padanya. Barulah setelah itu jabatan tangan mereka terlepas. "Silakan duduk," titah Damien. "Terima kasih, Tuan." Dalena duduk menundukkan kepalanya. Damien tak henti memberikan tatapan dingin. Detak jantungnya berpacu hebat, Dalena takut kalau Damien mengenalinya. "Jadi Nona ingin menjadi pengasuh putriku? Nona punya pengalaman apa soal anak-anak, perlu Nona tahu kalau saya tidak sembarangan mencari seorang pengasuh!" tegas Damien menunjukkan sisi posesifnya. "Saya... Saya bisa menjaga putri Tuan dengan baik. Saya akan meluangkan semua waktu saya untuk menjaganya dan merawatnya sepenuh hati." Dalena berusaha membuat Damien percaya. Laki-laki itu berdehem pelan, ia meraih sebuah surat lamaran kerja milik Dalena yang berada di atas meja. Semua isi surat itu sedikitnya adalah kebohongan, apalagi tentang identitas Dalena yang pernah menetap di Barcelona. "Daddy! Dad... Raccel mau
"Mami ke mana saja, katanya pulangnya tidak lama-lama..." Cassel memeluk tubuh Dalena dengan erat, anak itu berada dalam gendongan Dalena dengan tangis sesenggukan. "Mami harus kerja Sayang, maafkan Mami ya nak," bisik Dalena mendekap tubuh kecil Cassel."Besok Mami jangan pergi lagi, temani Cassel pokoknya!" seru anak itu meremas punggung Dalena. "Iya Sayangku."Dalena berada di kediaman barunya, ia membeli sebuah rumah di kawasan perumahan mewah. Bahkan Dalena juga mendatangkan pengasuh Cassel yang di London untuk menemani putra kecilnya ini. Dalena mengusap rambut tebal hitam milik Cassel dan mata indahnya sudah tidak mampu terbuka. "Ngantuk ya Sayang, bobo sama Mami yuk," ajak Dalena mengusap pipi gembil putranya. Anak itu mengangguk, ia meletakkan kepalanya di pundak sang Mama dan memejamkan Kedua matanya. Langkah kaki Dalena terhenti saat ia mendengar deringan ponsel miliknya. "Thom," lirih Dalena. "Halo, Tuan..." "Tolong kirimkan alamat rumahmu. Raccel mengamuk mencari
Kedua mata Dalena terbuka perlahan, udara hangat kamar Raccel membuat wanita itu langsung terbangun. Menyadari dirinya meninggalkan Cassel. Tapi di sampingnya kini ada Raccel yang tertidur pulas. "Ya Tuhan, sudah pagi!" seru Dalena tanpa suara. Dia menepuk keningnya saat mengetahui jam menunjukkan pukul setengah enam pagi. Gegas Dalena menyahut mantel tebalnya dan kembali mendekati Raccel yang masih tertidur. "Sayang, Mami pulang ya nak... Raccel jangan menangis lagi ya, Sayang," bisik Dalena begitu lirih gak bersuara. Dalena mengecup pipi gembil anak perempuannya dan kembali menyelimuti tubuh mungil Raccel dengan hangat. Perlahan tanpa suara Dalena keluar dari dalam kamar Raccel. Langkahnya menuju ke lantai satu, namun Dalena tersentak saat ia mendapati Damien duduk di sofa ruang tamu. "Selamat pagi, Tuan," sapa Dalena menundukkan kepalanya. "Heem. Mau ke mana kau?" tanya Damien tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. "Saya pamit pulang, nanti siang saya akan ke sini lag
"Kenapa menangis? Siapa yang membuat Cassel sedih, Sayang?!" Dalena mencekal kedua pundak kecil Cassel. Anak itu menyeka air matanya dan menunjuk ke utara. "Cassel tidak sengaja melempar bola kena kepala anak perempuan, dia nangis Mi. Terus Papinya datangin Cassel dan bilang Cassel anak nakal hiks... Padahal Cassel sudah minta maaf! Tapi Om jahat malah tanya di mana Mami dan Papi, Cassel kan tidak punya Papi..." Bocah itu memeluk leher Dalena dengan erat. Geram dengan perlakuan orang angkuh itu yang berani memarahi anak kecil. Dalena langsung berdiri tegap menggendong Cassel. "Sudah Sayang, jangan sedih lagi. Ayo kita temui orang itu! Sombong sekali, dia pikir dia siapa?!" seru Dalena marah. "Marahin Om nakalnya Mam, marahin pokoknya!" pekik Cassel menunjuk-nunjuk ke arah tadi. Tanpa menunggu lagi, Dalena langsung bergegas menuju ke tempat yang Cassel tunjukkan padanya. Namun sesampainya di sana tidak ada siapapun. Orang itu pasti sudah pergi. "Sudah tidak ada," ucap