Raccel sudah sampai di rumah Mamanya, gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah dan melihat sang Mama yang tengah duduk di ruang keluarga dan sibuk dengan beberapa bukunya. Kedatangan Raccel tidak diketahui oleh Dalena. Wanita itu masih sibuk hingga dia tersentak saat Raccel memeluknya tiba-tiba. "Ehh ... ya ampun Sayang, mengerutkan Mommy saja, Raccel," seru Dalena mendongakkan kepalanya menatap sang putri yang langsung terkekeh. Raccel cemberut menatap Dalena. Hingga Dalena perlahan-lahan menarik lengan putrinya yang cantik. "Kenapa, Sayang? Ada apa?" tanya wanita itu. Raccel menundukkan kepalanya. "Mom, berpakaian kayaknya istrinya seorang presdir itu, bagaimana sih Mom? Tadi Raccel mengantarkan makan siang di kantornya Nicho, terus ada karyawannya yang sedikit bilang kalau pakaiannya Raccel pasti membuat Nicho malu, padahal Nicho seorang presdir, kenapa memilih istri seperti Raccel ... perasaan baju yang Raccel pakai juga sangat sopan, lengan panjang dan roknya di bawah lutut,"
Pagi ini Raccel sudah bersiap pergi ke kampus. Gadis itu sudah siap dengan dress putih yang dia pakai dan membawa tasnya. Bersama dengan Nicholas, mereka berdua keluar dari dalam rumah bersama-sama setelah sarapan. "Nanti pulangnya hubungi aku, jangan naik taksi atau pulang dengan siapapun, mengerti?!" seru Nicholas menatap Raccel yang duduk di sampingnya. "Heem, aku mengerti. Nicho sudah hilang berapa kali coba dari semalam," jawab Raccel cemberut. Laki-laki itu mengangguk. "Antisipasi saja, istriku ini mudah lupa." Raccel menghela napasnya pelan. Dia membuka beberapa buku-buku miliknya sebelum gadis itu nampak diam mengingat-ingat. Sementara Nicholas masih fokus mengemudikan mobilnya. Laki-laki itu menoleh pada Istrinya yang kini terlihat diam melamun. "Kenapa, Sayang?" "Buku punyaku ada di Revvan, dia bilang akan mengembalikan ke rumah. Mungkin ke rumah Mama," ujar Raccel menerka-nerka. "Biar saja kalau di rumah Mama, asal jangan di rumah kita." Raccel terdiam seketika.
Sepulang kuliah, Raccel langsung mengerjakan tugasnya. Dan Nicholas yang sedang tidak melakukan apapun, dia bermaksud membantu tugas Raccel malam itu. Laki-laki itu duduk di sampingnya dan memeluk Raccel yang tengah dia pangku. "Hemm, tugas yang ini kan sudah pernah aku buat kapan hari, kenapa kembali ditugaskan padaku lagi?" Raccel membuka lembaran-lembaran buku tebal di hadapannya. "Apa kau tidak mengantuk?" tanya Nicholas menyandarkan kepalanya di punggung kecil milik Raccel. "Ya ngantuk, ya lelah, ya lesu, segalanya aku rasakan. Nicho saja yang tadi terlambat menjemput Raccel, kalau tugas ini aku kerjakan dari awal, pasti malam ini masih bisa bersantai-santai!" omel gadis itu, wajahnya berubah cemberut. "Bersantai-santai bagaimana, Sayang?" bisik Nicholas menggodanya."Halah sudah ... salah sendiri terlambat jemput Raccel, jadi tidak usah meminta yang aneh-aneh malam ini!" pekik gadis itu. Nicholas berdecak pelan. "Sayang, aku kan sudah minta maaf!" "Maafnya Nicho tidak mem
"Harusnya kau tidak perlu cemburu seperti ini, Nicho! Aku juga tahu diri kalau aku sudah punya suami, tidak mungkin aku mau kencan dengan laki-laki manapun!"Raccel masih mendebat Nicholas yang kini berdiri di hadapannya. Laki-laki itu seolah tuli, dia mengabaikan Raccel yang marah-marah padanya. Dan dengan santainya Nicholas meraih kunci mobilnya di atas nakas. "Nicho ... kau tidak mendengarkan aku?!" pekik Raccel mengejarnya. "Aku dengar, Raccel. Tapi satu hal yang perlu kau tahu! Tidak usah kuliah atau keluar rumah hari ini, mengerti!" tegas Nicholas. "Lalu bagaimana dengan kuliahku, bagaimana dengan tugas-tugasku? Oh Ya Tuhan..." Raccel langsung terduduk dan ia memegang kepalanya. Nicholas menutup pintu kamar dengan cepat. Gadis itu ingin sekali berteriak marah atas kelakuan suaminya yang kelewat menyebalkan. Raccel menatap beberapa laporan-laporan tugas yang sudah ia kerjakan full satu minggu kemarin di kampusnya. "Hari ini ada presentasi di kampus, teman-teman pasti mar
Saat Nicholas sampai di rumah, laki-laki itu langsung dengan cepat turun dari sama mobil. Dia bergegas melangkah masuk ke dalam rumah. Kedatangannya disambut Bibi yang baru saja turun dari lantai dua membawa nampan berisi makanan. "Tuan..." Wajah keras Nicholas membuat Bibi pun terdiam saat Nicholas berjalan melewatinya begitu saja setelah laki-laki itu makan siang Raccel bahkan masih utuh. Nicholas berdiri mengetuk pintu kamarnya beberapa kali. Sementara di dalam kamar, Raccel diam berbaring memeluk boneka yang Cassel belikan untuknya dulu. "Bibi ... aku tidak mau makan! Jangan paksa aku lagi! Aku capek, mau tidur!" teriak Raccel dari dalam. Gadis itu menutup telinganya. "Berapa kali sih, Bibi ke sini hanya membujukku buat makan, aku kan sudah bilang berkali-kali aku itu tidak lapar," seru Raccel dengan wajah masamnya. Namun kenyataannya pintu tetap terketuk. "Oh My God...!" "Buka pintunya, Raccel!"Suara datar dan dingin itu membuat sekujur tubuh Raccel merinding. Gadis i
Setelah kemarin tidak diizinkan pergi ke kampus oleh Nicholas. Hari ini Raccel datang ke kampus setelah Nicholas mengizinkannya untuk kuliah lagi. Raccel berjalan lemah masuk ke dalam kelasnya. Dia melihat teman-temannya yang kini menatap Raccel dengan tatapan yang tak seperti biasanya. "Kemarin ke mana saja, Raccel?" tanya Jeni menatap Raccel dari belakang. "Iya. Gara-gara dirimu nilai kelompok kita jadi minus!" pekik Vio yang menyahuti. "Tahu, nyebelin banget sih! Besok-besok tidak usah kelompokan dengan kita lagi!" Raccel hanya diam dan tidak menjawab, mau menjelaskan seperti apapun, pasti mereka semua tidak mau mendengarkannya. Hingga hari ini dia merasa seperti dikucilkan. Teman-temannya juga tidak ada yang sepemikiran dengannya untuk mengerti kondisinya, meskipun Levin dan Juan kemarin juga sudah memberitahu semua teman kelompoknya. 'Padahal dulu-dulu aku tidak pernah diperlakukan seperti ini dengan teman-teman, tapi kenapa sekarang...' Raccel merasa kecewa, dia sedih da
Setelah dua minggu berlalu. Raccel tetap tidak ditemani oleh siapapun di kampusnya hingga membuat gadis itu merasa sedih, ditambah tubuhnya saat ini yang sangat membuatnya tidak nyaman. Baru saja siang ini Raccel pulang kuliah saat Nicholas menjemputnya. Dan sesampainya di rumah, Raccel langsung berbaring di ranjang kamarnya setelah dia mengeluh tentang teman kampusnya yang membuat gadis itu tidak betah. "Sayang, ayo makan siang dulu, mau aku ambilkan?" tawar Nicholas menatap istrinya."Tidak mau. Aku tidak lapar," jawab gadis itu membenamkan wajahnya di bantal. "Kau nanti bisa sakit kalau tidak mau makan, Raccel..." Dalam hitungan detik, Raccel pun langsung beranjak dari tempat tidurnya. Gadis cantik itu bangun dan duduk menatap Nicholas yang kini menatapnya lekat-lekat. "Bagaimana kalau kau jadi aku saat ini?" tanya Raccel tiba-tiba. "Aku takut mau ke kampus, Nicho," ujar Raccel sedih. Nicholas berjalan mendekatinya dan ia menekuk kedua lututnya di hadapan Raccel. "Maafkan a
Dalena datang ke rumah Raccel setelah dikabari kalau putrinya sedang tidak enak badan. Satu bulan lebih beberapa hari Dalena tidak satu rumah dengan Raccel, wanita itu sangat kepikiran tiap mendengar kabar tentang putrinya. Hingga kini Dalena menjenguk Raccel. "Ya ampun Sayang, Raccel sakit apa?" tanya Dalena masuk ke dalam kamar Raccel. "Tidak tahu, Mom. Tidak panas juga kok ... cuma terus-menerus pusing, ngantuk terus, dan Raccel tidak suka makan. Mungkin karena stress," ujar gadis itu masih berbaring memeluk boneka miliknya. "Stress kenapa? Nicho marah-marah ya, sama Raccel?" tanya wanita itu. "Bukan. Teman di kampus semua memusuhi Raccel, karena Raccel tidak berangkat ke kampus saat dua mingguan yang lalu. Raccel hanya ditemani sama Revvan dan Camila saja, Mom. Tapi mereka kan beda kelas dengan Raccel..." Wajah Raccel langsung sedih. Dalena menggenggam kedua tangan sang putri dan menatapnya dalam-dalam. "Memangnya kenapa kok sampai Raccel tidak pergi ke kampus?" tanya Dalen