Raccel menemani Camila yang kini menyuapi Neneknya, karena Raccel juga membelikan makanan untuk Neneknya juga. Camila dengan sabar dan perhatian menyuapi sang Nenek. Raccel yang menatapnya pun merasa kasihan, sekaligus bangga. Di balik sikap Camila yang berisik dan ceria, suka menghiburnya, tapi dia juga menyimpan kesedihan, yaitu kondisi Neneknya. "Apa Mama dan Papamu tidak ke sini?" tanya Raccel mendekati Camila. "Pamanku yang ke sini. Tapi hanya membayar biaya administrasi Nenek saja, setelah itu langsung pulang. Papa katanya nanti akan ke sini," jawab Camila sedih. "Aku mungkin minggu depan juga belum bisa masuk ke kampus kalau kondisi Nenek belum baik, Raccel." "Iya Camila, tidak papa." Camila pun menyelimuti Neneknya. Gadis itu duduk di samping Raccel seraya mendongakkan kepalanya. "Aku lelah sekali, Raccel ... selama aku di sini Abraham juga tidak mau menemaniku, dia sibuk sendiri entah ke mana. Aku sangat kecewa dengannya," ujar Camila sedih. "Mungkin memang Abraham sed
Raccel terbangun dari tidurnya saat hari sudah malam. Gadis itu juga tidak mendapati Nicholas di sampingnya. Perlahan, gadis itu turun dari ranjang dan ia segera membersihkan tubuhnya untuk beberapa menit, sebelum akhirnya Raccel memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan mencari Nicholas di luar. "Ke mana Kak Nicho?" gumam Raccel lirih. Di sana, Raccel menemukan Mommy-nya yang tengah menyiapkan makan malam. "Mommy..."Dalena menoleh. "Oh ... hai Sayang," jawab Dalena. Wanita itu tersenyum begitu putrinya berjalan mendekat. Raccel memeluknya sebentar sembari menatap masakan apa saja di atas meja ruang makan sekarang ini. "Wahh ... Mommy masak kesukaan Raccel," ucap gadis itu. "Iya dong, Sayang." Raccel mengulurkan tangannya mengambil satu butir buah anggur di dalam sebuah piring. "Mom, Kak Nicho ke mana?" tanya Raccel menatap sang Mommy. "Suamimu baru saja ke belakang dengan Kakakmu, mungkin mereka sedang main billiard di belakang," jawab Dalena. Raccel mengerjapkan kedua
"Sayang, kau marah? Hemm ... kau tidak marah denganku, kan?" Nicholas mengejar Raccel masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu menahan lengan Raccel dan menggenggam pergelangan tangan Raccel. Langkah Raccel pun seketika terhenti, gadis itu menatapnya dengan tatapan lelah. "Jangan marah," ucap Nicholas lirih. "Kau sampai lupa waktu, aku menunggumu di sini sendiri, kau malah bertelefonan dengan temanmu. Satu lagi, aku katakan padamu sekarang ... aku tidak suka kau merokok!" tegas Raccel menatapnya marah. Nicholas menganggukkan kepalanya. "Okay, aku tidak akan merokok lagi! Sekarang aku akan menemanimu, please ... jangan marah!"Raccel mendorong dada Nicholas untuk mundur. Gadis itu menatapnya sekali lagi. "Jangan dekat-dekat, bau sisa asap rokok! Daddy-ku dulu pernah merokok, dan efeknya ke aku saat aku masih kecil. Aku sakit sesak walaupun hanya menghirup sedikit saja aromanya, sampai sekarang aku tidak suka aroma rokok," omel Raccel.Nicholas mengangguk patuh, dia mundur perlahan. "
Hari ini Nicholas akan sibuk di kantornya, dan dia sebelum berangkat tadi, dia juga mengatakan pada Raccel kalau kemungkinan besar dia tidak akan punya waktu sekedar untuk makan siang. Hingga Raccel berinisiatif untuk membuatkan suaminya itu makan siang, dibantu oleh Bibi yang juga membantunya. "Semuanya sudah selesai, Bi? Ini sudah mendekati jam makan siang suamiku di kantor," tanya Raccel, gadis itu baru saja turun dari lantai dua. Dia sudah cantik dengan balutan kaos lengan panjang dan memakai rok selutut berwarna biru navy. Raccel sangat cantik dengan rambutnya yang dikuncir satu. "Sudah Nyonya, semuanya sudah Bibi siapkan," ujar Bibi meletakkan rantangan makanan di atas meja. "Baiklah, kalau begitu aku berangkat dulu ya, Bi..." "Iya Nyonya, hati-hati." Bibi bahkan mengantarkan Raccel sampai di depan rumah. Wanita tua itu sangat-sangat baik pada Raccel dan selalu membantunya dalam menyelesaikan apapun. Raccel tak menunggu nanti-nanti, gadis itu bergegas menuju ke sebuah ha
Raccel sudah sampai di rumah Mamanya, gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah dan melihat sang Mama yang tengah duduk di ruang keluarga dan sibuk dengan beberapa bukunya. Kedatangan Raccel tidak diketahui oleh Dalena. Wanita itu masih sibuk hingga dia tersentak saat Raccel memeluknya tiba-tiba. "Ehh ... ya ampun Sayang, mengerutkan Mommy saja, Raccel," seru Dalena mendongakkan kepalanya menatap sang putri yang langsung terkekeh. Raccel cemberut menatap Dalena. Hingga Dalena perlahan-lahan menarik lengan putrinya yang cantik. "Kenapa, Sayang? Ada apa?" tanya wanita itu. Raccel menundukkan kepalanya. "Mom, berpakaian kayaknya istrinya seorang presdir itu, bagaimana sih Mom? Tadi Raccel mengantarkan makan siang di kantornya Nicho, terus ada karyawannya yang sedikit bilang kalau pakaiannya Raccel pasti membuat Nicho malu, padahal Nicho seorang presdir, kenapa memilih istri seperti Raccel ... perasaan baju yang Raccel pakai juga sangat sopan, lengan panjang dan roknya di bawah lutut,"
Pagi ini Raccel sudah bersiap pergi ke kampus. Gadis itu sudah siap dengan dress putih yang dia pakai dan membawa tasnya. Bersama dengan Nicholas, mereka berdua keluar dari dalam rumah bersama-sama setelah sarapan. "Nanti pulangnya hubungi aku, jangan naik taksi atau pulang dengan siapapun, mengerti?!" seru Nicholas menatap Raccel yang duduk di sampingnya. "Heem, aku mengerti. Nicho sudah hilang berapa kali coba dari semalam," jawab Raccel cemberut. Laki-laki itu mengangguk. "Antisipasi saja, istriku ini mudah lupa." Raccel menghela napasnya pelan. Dia membuka beberapa buku-buku miliknya sebelum gadis itu nampak diam mengingat-ingat. Sementara Nicholas masih fokus mengemudikan mobilnya. Laki-laki itu menoleh pada Istrinya yang kini terlihat diam melamun. "Kenapa, Sayang?" "Buku punyaku ada di Revvan, dia bilang akan mengembalikan ke rumah. Mungkin ke rumah Mama," ujar Raccel menerka-nerka. "Biar saja kalau di rumah Mama, asal jangan di rumah kita." Raccel terdiam seketika.
Sepulang kuliah, Raccel langsung mengerjakan tugasnya. Dan Nicholas yang sedang tidak melakukan apapun, dia bermaksud membantu tugas Raccel malam itu. Laki-laki itu duduk di sampingnya dan memeluk Raccel yang tengah dia pangku. "Hemm, tugas yang ini kan sudah pernah aku buat kapan hari, kenapa kembali ditugaskan padaku lagi?" Raccel membuka lembaran-lembaran buku tebal di hadapannya. "Apa kau tidak mengantuk?" tanya Nicholas menyandarkan kepalanya di punggung kecil milik Raccel. "Ya ngantuk, ya lelah, ya lesu, segalanya aku rasakan. Nicho saja yang tadi terlambat menjemput Raccel, kalau tugas ini aku kerjakan dari awal, pasti malam ini masih bisa bersantai-santai!" omel gadis itu, wajahnya berubah cemberut. "Bersantai-santai bagaimana, Sayang?" bisik Nicholas menggodanya."Halah sudah ... salah sendiri terlambat jemput Raccel, jadi tidak usah meminta yang aneh-aneh malam ini!" pekik gadis itu. Nicholas berdecak pelan. "Sayang, aku kan sudah minta maaf!" "Maafnya Nicho tidak mem
"Harusnya kau tidak perlu cemburu seperti ini, Nicho! Aku juga tahu diri kalau aku sudah punya suami, tidak mungkin aku mau kencan dengan laki-laki manapun!"Raccel masih mendebat Nicholas yang kini berdiri di hadapannya. Laki-laki itu seolah tuli, dia mengabaikan Raccel yang marah-marah padanya. Dan dengan santainya Nicholas meraih kunci mobilnya di atas nakas. "Nicho ... kau tidak mendengarkan aku?!" pekik Raccel mengejarnya. "Aku dengar, Raccel. Tapi satu hal yang perlu kau tahu! Tidak usah kuliah atau keluar rumah hari ini, mengerti!" tegas Nicholas. "Lalu bagaimana dengan kuliahku, bagaimana dengan tugas-tugasku? Oh Ya Tuhan..." Raccel langsung terduduk dan ia memegang kepalanya. Nicholas menutup pintu kamar dengan cepat. Gadis itu ingin sekali berteriak marah atas kelakuan suaminya yang kelewat menyebalkan. Raccel menatap beberapa laporan-laporan tugas yang sudah ia kerjakan full satu minggu kemarin di kampusnya. "Hari ini ada presentasi di kampus, teman-teman pasti mar