Hari demi hari berjalan dengan cepat. Tidak terasa pernikahan Raccel tinggal menghitung hari, dan saat itu tepat di hari libur kampusnya. Pernikahan Raccel dan Nicholas jatuh di saat pertengahan musim gugur. Ketika suhu udara yang sudah terasa hembusan angin dari musim dingin. Dan malam ini gadis itu terbangun dari tidurnya saat jam menunjukkan pukul dua dini hari. Raccel duduk di tepi ranjang kamarnya dan menatap ke arah jendela, dia diam merenung membayangkan seperti apa masa depannya nanti setelah dia menikah. "Natal dan tahun baru kali ini, aku tidak tinggal di sini lagi ... melainkan aku sudah punya suami, dan akan menghabiskan banyak waktuku dengan suamiku," ucap Raccel tersenyum tipis, namun dia tidak berbohong kalau ada rasa sedih di dadanya. Tidak pernah dia bayangkan dia bisa keluar dari rumah ini dan tinggal dengan suaminya, apa jadinya nanti bila ia hidup dari Cassel, Daddy, dan Mommy-nya yang selalu ada di setiap Raccel membutuhkan sesuatu. Memikirkan ini membuat Rac
"Persiapan untuk pernikahan Raccel dan Nicholas sudah terpenuhi semua. Tinggal tiga hari lagi." "Heem. Tapi Nicholas juga masih sibuk saja, aku memintanya untuk libur satu hari saja, tapi dia tidak bisa sepertinya, anak itu memang kadang-kadang..." Suara dua orang itu terdengar dari ruang tamu di kediaman Keluarga Escalante, nampak Karina dan Dalena yang tengah duduk berdua di sana. Mereka membicarakan anak-anaknya, nampak keduanya sedang asik berbincang sejak tadi."Nanti, aku ingin Nicholas membawa Raccel untuk pulang dan tinggal saja denganku, Dalena ... anakku kan hanya satu Nicho saja, jadi aku ingin kami satu rumah," ujar Karina sembari mengusap-usap lembut bulu kucing putih milik Raccel. Dalena mengerutkan keningnya. "Loh ... bukannya Nicholas sudah membeli rumah sendiri?" tanya Dalena. "Me-membeli rumah sendiri?" tanya Karina melebarkan kedua matanya. "Iya, Raccel yang bercerita padaku. Kalau Nicholas sudah membeli rumah dan menunjukkan pada Raccel juga, kok..." Karina
Hari yang dinanti-nantikan telah tiba, pernikahan Raccel dan Nicholas digelar di sebuah hotel berbintang milik keluarga Escalante. Semua tamu hadir dalam pesta pernikahan meriah tersebut. Pesta yang didominasi warna putih dan biru muda. Suasana di sana sangat hangat di tengah cuaca dingin di luar sana. Terlihat Raccel memakai gaun pernikahannya yang sangat cantik, gadis itu berdiri di depan cermin usai dia dirias dan wajahnya tertutup wedding veil atau tudung berwarna putih yang terbuat dari kain tile yang lembut. "Raccel, kau tidak papa, Sayang?" tanya Dalena mendekati putrinya. Raccel hanya diam tertunduk sejak tadi menggenggam erat ikat bunga pengantin yang dia bawa. "Sedih, Mom..," jawab gadis itu tiba-tiba. Dalena paham perasaan Raccel. Wanita itu mengusap punggung kecil putrinya dan ia memeluk Raccel dengan erat. "Tidak papa, Sayang. Jangan menangis, ya ... nanti Mommy dan Daddy akan menangis kalau Raccel sedih," ujar Dalena. Raccel mengangguk kecil, sampai tiba-tiba pin
Udara dingin di musim gugur membuat Raccel mengerang pelan dalam tidurnya. Gadis itu hendak merenggangkan kedua tangannya seperti biasa dia bangun. Namun, saat Raccel sedikit saja bergerak tiba-tiba sepasang lengan kekar merengkuh tubuhnya dengan erat hingga membuat kedua matanya terbuka seketika karena terkejut. "Masih pagi, jangan bangun dulu..," bisik Nicholas dengan suara seraknya. Raccel mengembuskan napasnya pelan memegang pinggang tangan Nicholas. "Kak Nicho sudah bangun dari tadi?" tanya gadis itu. "Heem. Tapi suara sangat dingin, aku malas untuk beranjak," jawab pemuda itu membenamkan wajahnya di punggung kecil Raccel. Raccel tersenyum tipis. Ia mengalihkan tangan Nicholas, mengangkatnya dan dengan cepat Raccel memutar tubuhnya menjadi menatap Nicholas. Seperti anak kecil, gadis itu membenamkan wajahnya dalam pelukan Nicholas yang hangat."Sekarang Raccel minta peluk kapan saja boleh, kan?" tanya gadis itu mendongak menatap suaminya yang tersenyum. "Apapun boleh kau m
Setelah seharian Nicholas menghabiskan waktunya di rumah dengan Raccel, mereka berdua hanya asik menonton dan bercerita seharian tanpa ada bosannya. Apalagi besok Nicholas juga harus kembali ke kantor karena pekerjaannya yang tidak bisa dia tinggal lama-lama. Sore ini, cuaca sangat dingin dan berangin. Raccel menutupi jendela rumahnya dan gadis itu berdiri di balik dinding kaca di dalam kamarnya. "Kak Nicho masih di belakang," gumam Raccel lirih. Gadis itu berjalan keluar dari dalam kamarnya, Raccel berjalan ke lantai dasar. Dia keluar dari dalam rumahnya yang melangkah di teras samping mencari Nicholas yang kini berada di belakang, laki-laki itu berada di ruang olahraga. Raccel membuka pintu kaca ruangan itu, hingga Nicholas yang menyadari keberadaannya pun menatapnya. "Sayang, kau sudah mandi?" tanya laki-laki itu begitu Raccel kini berdiri di sampingnya. "Heem, kau sendiri di sini olahraga atau hanya main ponsel saja?" tanya Raccel cemberut menatap Nicholas yang memegang pon
Keesokan paginya, Raccel terbangun dengan tubuh masih dibalut erat oleh selimut. Gadis itu mendengar suara kicauan burung di luar dari celah pintu balkon kamar yang terbuka. Lamat-lamat dia juga mendengar suara gemericik air shower di dalam kamar mandi. Raccel menarik selimutnya menutupi wajah saat ia mengingat kejadian semalam. 'Ya ampun, malu sekali,' cicit gadis itu memejamkan kedua matanya. 'Kenapa semalam aku menangis? Tapi ... tapi memang sangat melelahkan dan sakit.' Raccel yang melamun memikirkan tentang semalam, ada rasa malu, lelah, dan segalanya bercampur aduk menjadi satu. Gadis itu tidak sadar Nicholas berada di belakangnya, laki-laki itu merangkulnya tiba-tiba dan memberikan kecupan di pipi Raccel. "Selamat pagi, Sayang," bisiknya dengan lembut. Raccel menoleh, wajahnya masih memerah dan lesu. "Pagi ... Kak Nicho mau ke mana?" tanya Raccel memegangi lengan Nicholas. "Setelah membuat aku tidak bisa melakukan apapun, kau mau pergi begitu saja!" Bibir gadis itu men
Sejak pagi hingga siang hari Raccel di rumahnya bersama sang Mommy. Gadis cantik itu juga mengajak Dalena untuk membuatkannya roti kering. Hingga saat jam sudah menunjukkan pukul satu siang, Dalena pun berpamitan pulang. "Mommy tidak pulang nanti saja, kah? Di sini saja dulu," ujar Raccel memegang lengan Dalena erat-erat. "Kalau Mommy tidak pulang, nanti kalau Daddy tiba-tiba pulang, bagaimana?" Dalena menjawab sembari tersenyum manis pada sang putri. Mendengar hal itu, Raccel pun cemberut. Mau tidak mau ia mengizinkan Mommy-nya untuk pulang. Dalena mengambil tas miliknya, wanita itu berjalan ke teras bersama dengan Raccel di belakangnya. "Mommy hati-hati ya," ujar Raccel melambaikan tangannya pada Dalena. "Iya Sayang. Raccel juga jangan ke mana-mana sampai Nicholas kembali ya, Nak..." Dalena memeluk Raccel dan mengecup pipi kiri putrinya. "Iya Mommy." Barulah Dalena masuk ke dalam mobil dan segera bergegas pulang. Di sana, Raccel berdiri dengan wajah sedih. Biasanya, dia aka
Raccel menemani Camila yang kini menyuapi Neneknya, karena Raccel juga membelikan makanan untuk Neneknya juga. Camila dengan sabar dan perhatian menyuapi sang Nenek. Raccel yang menatapnya pun merasa kasihan, sekaligus bangga. Di balik sikap Camila yang berisik dan ceria, suka menghiburnya, tapi dia juga menyimpan kesedihan, yaitu kondisi Neneknya. "Apa Mama dan Papamu tidak ke sini?" tanya Raccel mendekati Camila. "Pamanku yang ke sini. Tapi hanya membayar biaya administrasi Nenek saja, setelah itu langsung pulang. Papa katanya nanti akan ke sini," jawab Camila sedih. "Aku mungkin minggu depan juga belum bisa masuk ke kampus kalau kondisi Nenek belum baik, Raccel." "Iya Camila, tidak papa." Camila pun menyelimuti Neneknya. Gadis itu duduk di samping Raccel seraya mendongakkan kepalanya. "Aku lelah sekali, Raccel ... selama aku di sini Abraham juga tidak mau menemaniku, dia sibuk sendiri entah ke mana. Aku sangat kecewa dengannya," ujar Camila sedih. "Mungkin memang Abraham sed