Bayu pov
Aku menikmati santai di balkon, sembari sedikit melupakanmu kejadian beberapa saat yang lalu di mana Mona memukul Nana, jujur cukup meyakinkan untuk ku, tapi aku tidak mungkin melakukan hal yang bodoh, karena aku sangat mencintai wanita itu, wanita yang telah menemani ku selama di Cina dan mendampingi ku, Nia tidak ada apa-apanya dibandingkan Mona.
tapi aku tidak menyangka jika Nia akan menemui ku di sini, berani sekali dia.
Ku tatap wajahnya, karena sedikit berbeda. Tidak ada ketakutan ataupun kesedihan seperti yang dulu aku lihat, dia terlihat lebih kuat.
Ahh, persetan dengannya.
"Aku ingin bicara denganmu, mas!"Sial, akting apalagi ini.
"Jika kau hanya ingin membahas masalah tadi, lebih baik kau kembali bekerja. Aku malas membahasnya. "Ketus ki, aku yakin dia hanya ingin membahas masalah itu.
"Aku datang kesini tidak untuk membicarakan masalah itu, mas. "Tegasku sembari menatapnya.
Muak, ini yang aku rasakan saat melihat sikapnya. Karena Nia yang aku kenal tidak seperti ini.
" Lalu! "balas ku cepat.
Lagi dia menampakkan senyumnya, senyum itu membuat ku benar-benar tidak mengenalnya, meski tatapan itu selalu sama. Begitu lembut dan teduh.
" Tentang kita, mas. "Dengan cepat aku bangkit, hingga kami berhadapan, Nia dengan susah payah menggadah padaku.
"Jika kau datang hanya ingin meminta ku menepati janji. Jangan pernah harap ,Nia! karena itu tidak akan pernah terjadi! Kau pasti ingat apa yang telah aku katakan waktu itu! Aku rasa semua itu sudah jelas! "Ketus ku, jujur aku tidak ingin membicarakan masalah ini, aku terlalu malas. Karena yang ku fokuskan kini hanya Mona.
Lagi, senyumnya terukir, aku tidak mengerti apa yang lucu dengan semua ini.
"Aku tidak pernah mengharapkan janji mu, mas! Karena semuanya sudah kau jelaskan dan aku masih mengingatnya dengan baik,"
Aku mengingat jelas kejadian di malam itu, saat Nia memohon dalam tangis cengeng padaku dan aku memanfaatkan keadaan itu.
Tapi lagi, kali ini semua itu tidak terlihat, bahkan ia terlihat sangat kuat.
"Itu bagus, akhirnya kau sadar juga. Karena kini hanya Mona yang terbaik untukku."tugasku sembari sengaja membanggakan Mona, aku ingin melihat Nia cemburu dengan apa yang aku lakukan.
"Aku hanya ingin membahas masalah tentang kita, mas." Ternyata, jauh dari ekspektasi ku, Nia terlihat sangat tenang dan tidak berkomentar apapun atas ucapanku.
Jujur aku benci ini. Ada apa dengannya!
"Lalu apa, Hah ...! Jangan bertele-tele. Aku tidak mau Mona melihatmu di sini, apa lagi curiga. Singkat ku, karena aku tidak ingin berlama-lama dan khawatir jika Mona tahu.
Tapi lagi-lagi, dia tersenyum, bahkan senyum itu seperti tengah mengejekku, dengan kesal ku cengkraman lengannya meluapkan kekesalan ku di sana.
"Aku menyerah, mas! Terimakasih telah memberikan satu kesempatan untukku. "
Aku cukup terkejut mendengar ucapannya, bahkan aku membeku tidak bisa meloloskan balasan saat tangan ku yang sempat mencengkram lengannya kini ia genggam dengan hangat.
Hatiku tiba-tiba berdesir hebat, sudah sangat lama aku tidak merasakan ini, sangat berbeda saat aku bersama Mona.
"Maksudmu apa, Nia?" Dengan sekuat tenaga ku loloskan pertanyaan, meski lidahku sangat kelu.
"Terimakasih banyak, telah menyisakan sedikit waktu untuk kami. Aku dan Nana akan pulang, mas! "
Lagi, aku di buat linglung, bahkan aku tidak bisa bergerak saat tangan ku ia lepaskan dari genggamannya.
"Nia! "Panggil ku, lidahku benar-benar kaku.
"Semoga mas selalu bahagia bersama Mona, aku permisi, mas. "
Aku yang masih mengembalikan semua kesadaran kembali dihadapkan dengan ucapannya, sial! Sok sekali dia.
"Nia! Kau sadar apa yang kau katakan ini? "Segahku bertanya. Karena Nia tidak pernah seperti ini, dia selalu menurut apapun yang aku katakan meski itu menyakitinya.
"Aku rasa sudah cukup ku mencoba. Tapi mas tidak pernah memindai ku seperti istri barumu. "
Sial! Apalagi ini, kenapa dia kini menuntut.
"Kenapa! kau kecewa karena aku lebih memilih Mona daripada dirimu!"Cecarku, aku benar-benar puas melakukan ini, entahlah aku senang melihatnya lemah.
Tapi sayang, dia masih saja menyunggingkan senyum yang tidak aku mengerti, sebab di sini tidak ada hal yang lucu.
Lagi aku di buat terperangah saat dia ingin berlalu begitu saja, sial! Dia benar-benar merendahkan aku kali ini, tidak akan kubiarkan ini terjadi.
"Seharusnya kau sadar, Nia! Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan, Mona! dia jauh lebih baik darimu, seharusnya kau sadar diri dan jangan seperti ini. Kau terima nasib saja, Nia! Tidak perlu merasa tersakiti dan kecewa dengan pilihan ku! "Kucecar dia dengan kata-kata yang pedas, aku ingin dia sadar atas apa yang dia lakukan dan aku ingin dia mengingat seperti apa kini statusnya.
"Aku tidak kecewa jika mas lebih memilihnya, karena aku telah siap dengan kejadian ini saat aku memohon padamu, tapi yang aku sesalkan! Di mana naluri seorang ayahmu, mas! Saat mas melihat, Nana! Darah dagingmu sendiri tersakiti, bahkan di sakiti oleh wanita yang baru kau kenal. Dan mas hanya mendiamkannya tanpa melakukan apapun! Bahkan mas tidak peduli padanya. Aku hanya menyesalkan itu mas, aku tahu! Aku memang tidak ada artinya lagi di mata mu. Tapi setidaknya ingatlah, Nana! Dia anakmu darah dagingmu!"
Kali ini bak disambar petir, aku pikir setelah ku ucapkan semuanya dia akan tunduk lalu pergi seperti biasanya, tapi kali ini keadaannya berbeda, dia berani menohok ku bahkan dia begitu lugas menyerangku dengan semua kejadian yang memang aku diamkan, bahkan aku teramat mengabaikannya, tapi apa yang Nia katakan begitu menghempas hatiku. Bagaimanapun, aku adalah seorang Ayah, aku merasakan sesal saat mengingat kejadian di mana Nana mendapatkan tamparan dari Mona, bahkan aku tidak menegurnya.
Aku masih berkutat dengan semua yang ada di kepalaku, sampai aku tidak menyadari ternyata Nia telah berlalu. Aku bergegas turun ke lantai bawah menyusul nya, tapi saat aku berada tidak jauh dari dapur, ku lihat Nia dan bi Ijah pembantu rumah ini tengah berbincang di sana, hingga ku urungkan niatku, aku tidak ingin semua rahasia ini terbongkar.
Cukup lama aku menunggu, akhirnya aku berhasil menghadang mereka sembari mengancam Nia, agar dia mengurungkan niatnya untuk pergi. Meski terjadi drama di antara kami tapi pada akhirnya aku tertegun saat mendapatkan jawabannya.
Nia menerima keinginan ku, dia bahkan menunggu surat dari pengadilan atas gugatan cerai yang aku ancamkan padanya.
Bahkan dia pergi begitu saja bersama Nana tanpa menoleh kepadaku.
Sial!
Apa-apan ini?
Kenapa aku hanya diam saja?
Bodohnya aku!
Sedetik
Sampai akhirnya sadar jika di sana tidak hanya ada aku, tapi beberapa pembantu yang ku pekerjakan di rumah ini semua berkumpul dan melihat apa yang telah terjadi.
Ku hela nafas dalam lalu menatap mereka.
"Pastikan hal ini tidak sampai pada Nyonya. " Singkat ku lalu pergi dari sana, karena sudah terlambat. Mereka pasti sudah melihat dan mengetahui semuanya.
Sedikit lagi, aku ingin bersamanya sebentar. Aku tahu ini sangat bodoh, aku begitu gila hanya karena cinta tapi untuk kali ini aku tidak ingin mengorbankan anakku, cukup cinta dan sakit ini ku tanggung sendiri mulai hari ini. "Maksudmu apa, Nia?"tanya mas Bayu, suaranya sedikit melunak saat tangan berhasil menggenggam tangannya dan ku kecup dengan takzim, ini untuk sekian lama aku tidak melakukan kodratku, mengingat kepulangan mas Bayu tidak seperti yang kami harapkan. "Terimakasih banyak, telah menyisakan sedikit waktu untuk kami. Aku dan Nana akan pulang, mas! "Ku lepaskan tangan mas Bayu yang masih membisu setelah mendengar ucapanku, bahkan aku sadar mas Bayu begitu memandang ku, entahlah apa yang dia pikiran, aku tidak peduli lagi, karena aku rasa semuanya sudah cukup. "Nia! "Panggil mas Bayu tertahan, aku tidak mengerti kenapa kini dia terlihat aneh.
Nia pov Setelah di kamar, Bi Ijah dengan cekatan membantuku mengompres bekas tamparan Mona dipipi Nana agar tidak semakin membengkak, karena retina mata Nana mulai menimbulkan bercak darah yang menggumpal serta membiru di sekitarnya. Hatiku benar-benar sakit saat melihat ini, karena orang yang seharusnya melindunginya justru hanya diam menonton dan diam seolah-olah apa yang terjadi adalah hal yang biasa. "Ya Tuhan, sayang! Kenapa Nyonya begitu tega melakukan ini padamu!"Khawatir Bi Ijah, sembari terus mengompres pipi Nana dengan air hangat suam kuku. " Hiks … Ma! … hiks … Kita pulang .. "Isak Nana menangis menahan sakit dan takut. Hatiku benar-benar terhempas mendengarnya, karena semua ini juga karena kesalahan ku. Ku tatap Nana lekat lalu beralih pada Bi Ijah yang masih setia membuatku m
Nia pov Setelah keluar dari rumah itu, aku dan Nana langsung ke rumah sakit. Karena keadaan Nana cukup membuatku khawatir. "Nyonya tidak perlu cemas, si cantik ini baik-baik saja. Dalam satu minggu, pembekuan darah di matanya akan hilang dengan sendirinya." Jelas dokter spesialis anak tersebut. Aku tersenyum lega sembari memeluk Nana, karena aku masih tidak menyangka jika bisa keluar dari rumah itu. "Terimakasih, Dokter, " ucapku ramah. "Sama-sama, Nyonya." setelah membalas, dokter itu berlalu. Karena penanganan Nana sudah selesai, aku berinisiatif mencari telepon umum, mengingat ponselku disita oleh mas Bayu selama tinggal di rumahnya, dia selalu berdalih agar aku fokus bekerja. Meski ragu, akhirnya dengan berat hati ku hubungi mbak Ema dan mas Anton untuk menjemput ku, karena tidak ada lagi o
Autor pov Bulan bulan berganti, selama itu pula rasa gelisah menghinggapi hati Nia hingga ia selalu gelisah, Nia masih mengingat jelas apa yang Bayu katakan sebelum ia pergi. Bayu akan menceriakan dirinya, jika ia tetap keluar dari rumah itu. Akan tetapi sampai hari ini, tidak ada satupun surat yang datang dari pengadilan ataupun surat panggilan keputusan perceraian untuk dirinya. Ada sedikit kelegaan, tapi tetap saja pikiran Nia selalu tidak tenang, bayang-bayang ucapan Bayu saat itu benar-benar membekas di ingatan, Nia. 'Seharusnya kau sadar, Nia! Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan, Mona! dia jauh lebih baik darimu, seharusnya kau sadar diri dan jangan seperti ini. Kau terima nasib saja, Nia! Tidak perlu merasa tersakiti dan kecewa dengan pilihan ku!' Mengingat semuanya, h
"Hiks … kini Papa mengatakan itu, kemarin-kemarin Papa kemana saja? Kemana Papa saat kami berada di rumah Papa, apa Papa peduli? Tidak kan. Papa justru tidak peduli pada Nana, Papa hanya peduli pada wanita itu, wanita yang telah menyakiti Mama, bahkan Papa tidak pernah peduli pada, Nana."Racau Nana histeris. Bayu membeku di tempat nya, jangankan untuk membalas ucapan Nana, meloloskan satu kata saja ia tidak mampu. "Kenapa kini Papa datang dengan menyebut ku anak? Kenapa …" Histeris Nana, Nia benar-benar tidak menyangka jika Nana menumpahkan semua rasa kecewanya di sana. "Bagi Nana, anda bukan Papa Nana. Papa Nana masih di Cina, Papa Nana orang baik, dia penyayang, dia selalu sayang keluarga. Anda bukan Papa Nana, lebih baik anda pergi!" Bayu yang mendengar semalam bungkam, ia tinggal memungkinkan jika Nana benar-benar terluka dan membencinya. " Nana! Apa yang Nana katakan sayang. Nana tidak boleh berkata
Jam-jam berganti, tapi tetap fikiran ku tidak bisa lepas dari mas Bayu. Bahkan kini semua kenangan bahagia dan pengkhianatan yang menyakitkan seperti berputar-putar di kepalaku, sehingga seperti orang yang tidak waras dan diriku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres padaku. Apa ini karena aku terlalu mencintainya, hingga aku seperti orang tidak waras? Apa karena aku begitu bodoh, tetap mencintai pria yang telah menyakiti ku tapi justru mengharapkannya. Kugeser dudukku saat ada rasa lembab dan tidak nyaman. Betapa terkejutnya aku saat melihat cairan berwarna merah merembes dari bawah ku. Tuhan! Tidak! Anakku! Hanya itu yang aku pikirkan, bayi yang tengah aku kandung, aku sangat mengkhawatirkannya. "Mba Ema … Mas Anton …." Teriakku histeris. &
Selama perjalanan pulang aku hanya diam, sambil menatap ke luar jendela. Karena setelah pemeriksaan akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan syarat harus mengikuti prosedur rumah sakit, dan mas Anton menyetujui semuanya. Karena memang mas Anton dan mbak Ema memiliki peran penting dalam kehidupanku semenjak mas Bayu pergi. Kurasakan mobil yang awalnya melaju kini menepi, bahkan akhirnya mesinnya berhenti setelah berada di pinggir jalan. "Kenapa berhenti, mas. Bukankah rumahku masih jauh. " Tanyaku heran. Mas Anton menatapku dengan tajam, lalu menyentak bahuku cukup kuat, hingga aku tersudut di bahu kursi mobil. "Apa yang kau pikirkan, hah! Apa kau tidak memikirkan keselamatan dirimu, Nia!" Begitu terdengar kemarahan mas Anton, saat mengingat keputusanku tetap memperhatikan bayi ini. "Aku hanya ingin bayiku, mas." Jawabku cepat
Anton pov Hari-hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tapi keadaan Nia tetap tidak berubah, justru kini keadaannya semakin memprihatinkan. Karena keseharian yang Nia lalui hanya dihabiskan dengan melamun, kadang ia tiba-tiba menangis. Jujur keadaan ini sangat menyayat hatiku, mengingat seperti apa kondisinya kini, dia tengah hamil dan mengalami komplikasi, dan keadaan itu membuat kesehatan Nia benar-benar menurun. Ini minggu ke 4 Nia menjalani periksa rutin, setelah mengalami pendarahan di malam itu, terkadang aku dan Ema bergantian menemani Nia kerumah sakit untuk periksa, karena waktuku tersita pekerjaan kantor. Aku sangat bersyukur memiliki Ema karena dia sangat baik dan mengerti keadaan kami Sesampainya di rumah sakit, aku dan Ema menunggu hasil pemeriksaan dokter karena hari ini adalah wakt