Nia pov
Setelah di kamar, Bi Ijah dengan cekatan membantuku mengompres bekas tamparan Mona dipipi Nana agar tidak semakin membengkak, karena retina mata Nana mulai menimbulkan bercak darah yang menggumpal serta membiru di sekitarnya.
Hatiku benar-benar sakit saat melihat ini, karena orang yang seharusnya melindunginya justru hanya diam menonton dan diam seolah-olah apa yang terjadi adalah hal yang biasa.
"Ya Tuhan, sayang! Kenapa Nyonya begitu tega melakukan ini padamu!"Khawatir Bi Ijah, sembari terus mengompres pipi Nana dengan air hangat suam kuku.
" Hiks … Ma! … hiks … Kita pulang .. "Isak Nana menangis menahan sakit dan takut.
Hatiku benar-benar terhempas mendengarnya, karena semua ini juga karena kesalahan ku.
Ku tatap Nana lekat lalu beralih pada Bi Ijah yang masih setia membuatku mengobati luka Nana. " Bibi, bisa tinggalkan aku dan nana sebentar. "Pintaku, Bi Ijah dengan cepat mengangguk, sembari mengusap sayang rambut Nana.
" Nana harus kuat, ya!"ucap Bi Ijah sebelum pergi dari sana.
Aku merasa benar-benar beruntung karena telah mengenal wanita baik itu karena dialah yang selalu membantuku selama tinggal di sini.
Nana bangkit lalu memelukku dengan erat sembari menangis. " Hiks … Nana ingin pulang … hiks … hiks … Nana tidak mau lagi tinggal di sini … hiks …"Mendengar keinginan Nana, kini aku sadar. Apa yang telah aku lakukan adalah kesalahan besar, karena orang yang kuharapkan berubah ternyata tidak akan terjadi. Mas Bayu telah hilang setelah berangkat ke Cina, yang kini kembali hanya raganya tapi tidak dengan hatinya untukku dan Nana.
Mengikut semua itu kenapa aku begitu bodoh.
Ku ucap pipi Nana dengan sayang lalu tersenyum, aku mencoba kuat untuk kali ini. Meski sesungguhnya aku sangat rapuh dan lemah, rasanya tidak ada lagi semangat hidup untukku selain mempertahankan hak Nana.
" Yah, ayo kita pulang nak …, kebahagiaan kita bukan di sini. Maaf karena Mama terlalu egois padamu. Momma pikir dengan seperti ini kita akan bahagia sayang. Tapi ternyata Mama salah. Maaf, nak!"ucap ku dalam penyesalan hingga kini anakku merasakan sakit yang seharusnya aku rasakan sendiri, begini egoisnya diriku.
Nana mengurangi pelukan di antara kami lalu turun dari tempat tidur. Aku cukup tertegun saat Nana mengeluarkan tas yang pernah kami bahwa kerumah itu beberapa minggu yang lalu dan dengan cekatan memasukkan baju-baju kami ke dalamnya.
Begitu besar keinginan Nana ingin pergi, tapi kenapa diriku merasa masih tertinggal di sini, terutama perasaan ku terhadap mas Bayu, apa aku begitu gila mencintainya hingga aku seperti ini, tapi aku tidak ingin mengorbankan keselamatan anakku jika terus tinggal di rumah ini.
"Mama bantu sayang."kami sama-sama membereskan semuanya lalu menutup tas cukup besar itu.
" Nana tunggu sebentar di sin ,ya! Momma keluar dulu sebentar. "Aku masih memiliki sedikit masalah yang harus diselesaikan di sini, aku tidak ingin membawa beban meski aku harus menguatkan diri untuk merelakan semuanya dan tetap kuat menghadapi semua ini.
"Tapi jangan lama, ya! Ma. " Pinta Nana, aku dengan cepat mengangguk lalu keluar dari kamar itu.
Cukup lama aku mengelilingi rumah besar ini mencari-cari mas Bayu, akhirnya aku menemukannya tengah duduk santai menikmati kopi dan membaca koran di balkon lantai dua rumah ini, seakan-akan tidak ada yang terjadi dan tidak ada yang dia sakiti.
Hatiku semakin tersayat saat melihat kelakuannya yang tidak memiliki belas kasih pada anaknya sendiri
Tanpa ragu aku berjalan menghampirinya, hingga kini aku berdiri di hadapan mas Bayu yang tengah nyaman menikmati masa santainya.
"Aku ingin bicara denganmu, mas!" Ku tekan suaraku hingga mas Bayu mengangkat wajahnya, karena kali ini aku berucap tanpa adanya wibawa padanya.
"Jika kau hanya ingin membahas masalah tadi, lebih baik kau kembali bekerja. Aku malas membahasnya. "
Mendengar perintah mas Bayu, aku tersenyum kecil. Bagaimana bisa dia mengatakan malas dan memintaku kembali bekerja, dia benar-benar sudah tidak waras!
"Aku datang kesini tidak untuk membicarakan masalah itu, mas. "Tegasku sembari menatapnya.
Mas Bayu membalas tatapan ku dengan kening bertaut, mungkin dia heran dengan cara bicaraku yang tidak seperti biasanya.
" Lalu! "Tanyanya dengan santai.
Aku tetap dengan senyum ku, senyum kesakitan yang aku buat semanis mungkin. Aku ingin menikmati waktu ini sembari menatap wajah tampan mas Bayu untuk terakhir hari ini.
" Tentang kita, mas. "Mas bayu bangkit hingga kami berdiri berhadapan membuat, membuat ku yang jauh lebih pendek harus menengadah menatap wajahnya.
"Jika kau datang hanya ingin meminta ku menepati janji. Jangan pernah harap ,Nia! karena itu tidak akan pernah terjadi! Kau pasti ingat apa yang telah aku katakan waktu itu! Aku rasa semua itu sudah jelas! "
Aku tetap tersenyum meski hati ini semakin perih setiap mendengar ucapannya.
"Aku tidak pernah mengharapkan janji mu mas. Karena semuanya sudah kau jelaskan dan aku masih mengingatnya dengan baik,"balas ku dengan sekuat tenaga menahan air mata.
Mas Bayu tidak henti-hentinya menatap ku, entahlah apa yang kini ia pikirkan, tapi yang jelas aku ingin mengungkapkan semua kekecewaanku padanya sebelum pergi.
"Itu bagus, akhirnya kau sadar juga. Karena kini hanya Mona yang terbaik untukku."
Begitu mudahnya dia membanggakan istri barunya sementara aku juga masih istrinya.
"Aku hanya ingin membahas masalah tentang kita, mas." Aku langsung ke pointnya saja, tidak ada waktu untuk untuk lama-lama disini.
"Lalu apa, Hah ...! Jangan bertele-tele. Aku tidak mau Mona melihatmu di sini, apa lagi curiga. " Suara menekan mas Bayu semakin menunjukkan jika ia tidak ingin hubungan kami terungkap.
Kuhela nafas dalam, lalu ku hembuskan kembali dengan perlahan-lahan, agar emosi yang ada di dalam diriku tidak terpancing.
Ku ukir senyumku semanis mungkin seakan-akan kini aku tengah baik-baik saja, meski sesungguhnya diriku telah hancur setelah kembalinya mas Bayu dari Cina.
Kurasakan lenganku di cengkam oleh mas Bayu, entahlah apa yang kini ada di pikirannya sehingga dia kini dia melakukan itu
"Aku menyerah, mas! Terimakasih telah memberikan satu kesempatan untukku. " Pasrahku sembari meraih tangan mas Bayu yang masih mencengkram lenganku lalu ku genggaman dengan lembut.
Aku ingin menikmati suasana ini sebentar lagi, sakit dan kecewa yang aku rasakan goyah hanya karena rasa cintaku padanya.
Sedikit lagi, aku ingin bersamanya sebentar. Aku tahu ini sangat bodoh, aku begitu gila hanya karena cinta tapi untuk kali ini aku tidak ingin mengorbankan anakku, cukup cinta dan sakit ini ku tanggung sendiri mulai hari ini.
"Maksudmu apa, Nia?"tanya mas Bayu, suaranya sedikit melunak saat tangan berhasil menggenggam tangannya dan ku kecup dengan takzim, ini untuk sekian lama aku tidak melakukan kodratku, mengingat kepulangan mas Bayu tidak seperti yang kami harapkan.
"Terimakasih banyak, telah menyisakan sedikit waktu untuk kami. Aku dan Nana akan pulang, mas! "Ku lepaskan tangan mas Bayu yang masih membisu setelah mendengar ucapanku, bahkan aku sadar mas Bayu begitu memandang ku, entahlah apa yang dia pikiran, aku tidak peduli lagi, karena aku rasa semuanya sudah cukup.
Nia pov Setelah keluar dari rumah itu, aku dan Nana langsung ke rumah sakit. Karena keadaan Nana cukup membuatku khawatir. "Nyonya tidak perlu cemas, si cantik ini baik-baik saja. Dalam satu minggu, pembekuan darah di matanya akan hilang dengan sendirinya." Jelas dokter spesialis anak tersebut. Aku tersenyum lega sembari memeluk Nana, karena aku masih tidak menyangka jika bisa keluar dari rumah itu. "Terimakasih, Dokter, " ucapku ramah. "Sama-sama, Nyonya." setelah membalas, dokter itu berlalu. Karena penanganan Nana sudah selesai, aku berinisiatif mencari telepon umum, mengingat ponselku disita oleh mas Bayu selama tinggal di rumahnya, dia selalu berdalih agar aku fokus bekerja. Meski ragu, akhirnya dengan berat hati ku hubungi mbak Ema dan mas Anton untuk menjemput ku, karena tidak ada lagi o
Autor pov Bulan bulan berganti, selama itu pula rasa gelisah menghinggapi hati Nia hingga ia selalu gelisah, Nia masih mengingat jelas apa yang Bayu katakan sebelum ia pergi. Bayu akan menceriakan dirinya, jika ia tetap keluar dari rumah itu. Akan tetapi sampai hari ini, tidak ada satupun surat yang datang dari pengadilan ataupun surat panggilan keputusan perceraian untuk dirinya. Ada sedikit kelegaan, tapi tetap saja pikiran Nia selalu tidak tenang, bayang-bayang ucapan Bayu saat itu benar-benar membekas di ingatan, Nia. 'Seharusnya kau sadar, Nia! Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan, Mona! dia jauh lebih baik darimu, seharusnya kau sadar diri dan jangan seperti ini. Kau terima nasib saja, Nia! Tidak perlu merasa tersakiti dan kecewa dengan pilihan ku!' Mengingat semuanya, h
"Hiks … kini Papa mengatakan itu, kemarin-kemarin Papa kemana saja? Kemana Papa saat kami berada di rumah Papa, apa Papa peduli? Tidak kan. Papa justru tidak peduli pada Nana, Papa hanya peduli pada wanita itu, wanita yang telah menyakiti Mama, bahkan Papa tidak pernah peduli pada, Nana."Racau Nana histeris. Bayu membeku di tempat nya, jangankan untuk membalas ucapan Nana, meloloskan satu kata saja ia tidak mampu. "Kenapa kini Papa datang dengan menyebut ku anak? Kenapa …" Histeris Nana, Nia benar-benar tidak menyangka jika Nana menumpahkan semua rasa kecewanya di sana. "Bagi Nana, anda bukan Papa Nana. Papa Nana masih di Cina, Papa Nana orang baik, dia penyayang, dia selalu sayang keluarga. Anda bukan Papa Nana, lebih baik anda pergi!" Bayu yang mendengar semalam bungkam, ia tinggal memungkinkan jika Nana benar-benar terluka dan membencinya. " Nana! Apa yang Nana katakan sayang. Nana tidak boleh berkata
Jam-jam berganti, tapi tetap fikiran ku tidak bisa lepas dari mas Bayu. Bahkan kini semua kenangan bahagia dan pengkhianatan yang menyakitkan seperti berputar-putar di kepalaku, sehingga seperti orang yang tidak waras dan diriku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres padaku. Apa ini karena aku terlalu mencintainya, hingga aku seperti orang tidak waras? Apa karena aku begitu bodoh, tetap mencintai pria yang telah menyakiti ku tapi justru mengharapkannya. Kugeser dudukku saat ada rasa lembab dan tidak nyaman. Betapa terkejutnya aku saat melihat cairan berwarna merah merembes dari bawah ku. Tuhan! Tidak! Anakku! Hanya itu yang aku pikirkan, bayi yang tengah aku kandung, aku sangat mengkhawatirkannya. "Mba Ema … Mas Anton …." Teriakku histeris. &
Selama perjalanan pulang aku hanya diam, sambil menatap ke luar jendela. Karena setelah pemeriksaan akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan syarat harus mengikuti prosedur rumah sakit, dan mas Anton menyetujui semuanya. Karena memang mas Anton dan mbak Ema memiliki peran penting dalam kehidupanku semenjak mas Bayu pergi. Kurasakan mobil yang awalnya melaju kini menepi, bahkan akhirnya mesinnya berhenti setelah berada di pinggir jalan. "Kenapa berhenti, mas. Bukankah rumahku masih jauh. " Tanyaku heran. Mas Anton menatapku dengan tajam, lalu menyentak bahuku cukup kuat, hingga aku tersudut di bahu kursi mobil. "Apa yang kau pikirkan, hah! Apa kau tidak memikirkan keselamatan dirimu, Nia!" Begitu terdengar kemarahan mas Anton, saat mengingat keputusanku tetap memperhatikan bayi ini. "Aku hanya ingin bayiku, mas." Jawabku cepat
Anton pov Hari-hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tapi keadaan Nia tetap tidak berubah, justru kini keadaannya semakin memprihatinkan. Karena keseharian yang Nia lalui hanya dihabiskan dengan melamun, kadang ia tiba-tiba menangis. Jujur keadaan ini sangat menyayat hatiku, mengingat seperti apa kondisinya kini, dia tengah hamil dan mengalami komplikasi, dan keadaan itu membuat kesehatan Nia benar-benar menurun. Ini minggu ke 4 Nia menjalani periksa rutin, setelah mengalami pendarahan di malam itu, terkadang aku dan Ema bergantian menemani Nia kerumah sakit untuk periksa, karena waktuku tersita pekerjaan kantor. Aku sangat bersyukur memiliki Ema karena dia sangat baik dan mengerti keadaan kami Sesampainya di rumah sakit, aku dan Ema menunggu hasil pemeriksaan dokter karena hari ini adalah wakt
Ema pov Sore ini Nia sengaja ku minta bersantai di teras, karena aku tidak tega melihatnya seharian ini mengukir wajah sedih saat menatap Nana, aku tahu apa yang kini ia pikirkan dan apa yang ia gundahkan. Jujur aku ingin memarahinya agar dia sadar dengan jalan pikirannya, yaitu selalu memikirkan Bayu, apalagi setelah pertemuannya beberapa jam yang lalu di rumah sakit seperti yang mas Anton sampaikan, keadaan Nia semakin murung setelah kejadian itu. "Jangan banyak pikiran, kamu harus fokus dengan kesehatan, Nia. Ingat kata dokter tadi. Kamu harus istirahat, karena besok adalah operasi persalinanmu,"ujar mas Anton mengingatkan. Aku yang tengah duduk di ruang tengah tersenyum saat melihat kedekatan mereka, aku tahu mas Anton memiliki perasaan cinta pada Nia, bahkan mas Anton sudah menjelaskannya sejak dulu, tapi aku tidak memusingka
Nia pov Nana dengan manja menempelkan telinga dan tangannya pada perut besarku, karena itu selalu penasaran dan ingin tahu dan merasakan setiap adiknya bergerak di dalam sana. Ini salah satu cara Nana agar kami sama-sama bisa tersenyum dan terhibur, karena setelah kejadian tadi sore di teras, Nana tidak berani keluar selain berdiam diri di dalam kamar sembari bersembunyi akibat rasa takutnya atas kedatangan mas Bayu, terlebih ia membuat keributan tadi siang. "Ma! Kata ibu. Besok dede hafiz lahir, ya? Beneran, ma." Aku tersenyum mendengar pertanyaan Nana perihal penjelasan ibu alias mbak Ema, aku sengaja meminta Nana memanggil ibu, karena ketulusan mbak Ema dan mas Anton pantas mendapatkan panggilan itu sejak Nana masih kecil. Ku usap surai panjang Nana sembari tersenyum, meski keadaan k