Jam-jam berganti, tapi tetap fikiran ku tidak bisa lepas dari mas Bayu. Bahkan kini semua kenangan bahagia dan pengkhianatan yang menyakitkan seperti berputar-putar di kepalaku, sehingga seperti orang yang tidak waras dan diriku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres padaku.
Apa ini karena aku terlalu mencintainya, hingga aku seperti orang tidak waras?
Apa karena aku begitu bodoh, tetap mencintai pria yang telah menyakiti ku tapi justru mengharapkannya.
Kugeser dudukku saat ada rasa lembab dan tidak nyaman. Betapa terkejutnya aku saat melihat cairan berwarna merah merembes dari bawah ku.
Tuhan!
Tidak!
Anakku!
Hanya itu yang aku pikirkan, bayi yang tengah aku kandung, aku sangat mengkhawatirkannya.
"Mba Ema … Mas Anton …." Teriakku histeris.
Tak lama pintu kamar ku yang memang tidak di kunci terbuka, mereka berdua berlari tergopoh-gopoh sembari menatapku dengan cemas.
"Ada apa, Nia? " tanya mbak Ema, dia sepertinya menyadari raut wajahku.
"Apa yang terjadi, Nia? " Mas Anton juga bertanya dengan wajah tegang.
Aku tidak bisa menjawab, selain melirik ke bawah sebagai isyarat, karena rasa sakit seketika membuat perutku mulas.
"Tuhan, kau kenapa, Nia. " Khawatir mbak Ema mulai panik.
"Tenangkan dirimu, sayang. Buat Nia rileks terlebih dahulu, aku siapkan mobil untuk kerumah sakit,"ujar mas Anton, lalu bergegas ke garasi. Sementara mbak Ema menyiapkan aku, karena malam telah larut bahkan Nana sudah tidur sejak tadi.
" Tarik nafas dengan perlahan-lahan, lalu hembuskan. "Instruksi mbak Ema saat memandangi wajahku yang mulai memerah.
" Mbak, bagaimana jika bayiku kenapa-napa? "tanyaku dengan serak, aku tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi padaku.
" Sudah, jangan berpikir yang tidak-tidak. "Mbak Ema mencoba menenangkan keadaan ku.
Tak lama mas Anton kembali.
" Bagaimana, sudah siap?"tanya mas Anton.
Mbak Ema mengangguk cepat, sembari membantuku bangkit dari duduk.
"Tapi maaf mas, aku tidak bisa menemani. Kasihan Nana," ujar mbak Ema.
"Tidak apa, jaga Nana selama kami pergi, ya." balas mas Anton dengan hati-hati menuntunku ke mobil, lalu membantuku duduk di kursi depan.
"Hati-hati mas, Nia … kau harus kuat, Dek! "Kata mbak Ema tulus sebelum kami pergi.
Aku hanya bisa mengangguk lemas, karena rasa sakit di perutku.
"Kami pergi duduk, sayang. Assalamualaikum."Mas Anton buru-buru masuk ke dalam mobil.
"Waalaikumsalam." Jawab mbak Ema.
Mobil yang dikemudikan mas Anton melaju meninggalkan rumah, rasa melilit di perutku kian menyiksa. Sepanjang jalan bibirku tak henti-hentinya melafalkan tasbih agar rasa sakit yang mendera tidak semakin terasa, sampai akhirnya kami tiba di rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, aku segera ditangani oleh dokter spesialis kandungan yang selalu aku datangi saat memeriksakan kandungan selama ini. Serangkaian pemeriksaan dilakukan, bahkan dokter menyuntikkan obat pereda sakit dan menyuntikkan obat pereda pendaratan agar aku bisa istirahat di sana, karena hasil pemeriksaan belum diketahui, sehingga kami harus menunggu.
"Mbak Nia mengalami stress dan tekanan mental, hingga terjadi komplikasi pada rahimnya, tekanan darah yang tidak stabil semakin membuat keadaan semakin buruk." Jelas dokter setelah semua hasil keluar, mas Anton yang duduk mendengarkan hanya bisa menghela nafas dalam.
"Saya sarankan mbak Nia segera menjalani operasi sesar dini, karena keadaan ini sangat membahayakan untuk kondisi mbak, Nia. "
Aku terdiam mencerna apa yang dokter itu sampaikan pada kami.
"Karena kehamilan mbak Nia baru menginjak usia 30 minggu, saya tidak menjamin jika bayi anda akan lahir normal atau selamat. Tapi kita tidak memiliki cara lain agar anda tidak mengalami hal ini lagi."
Bak disambar petir, penjelasan dokter tersebut benar-benar membuat ku hampir kehilangan setengah nyawa.
"Maksud dokter, saya harus merelakan anak saya, begitu?" Aku ingin tahu jawaban secara jelas, karena penjelasan dokter sangat berbelit-belit.
"Yah, karena usianya masih sangat kecil. Tidak mungkin kita mempertahankannya, meskipun dia bertahan, dia pasti mengalami cacat atau tumbuh tidak sempurna. Apa bila kita harus menunggu beberapa minggu lagi hingga usia kehamilan mbak Nia cukup. Tapi keadaan mbak akan semakin membahayakan."
Benar-benar pilihan yang sulit bagiku, karena aku sangat ingin bayi ini lahir dengan sehat dan selamat. Aku sangat menginginkannya.
"Apa bayiku baik-baik saja dokter? "tanyaku, karena yang terpenting kini hanya bayi yang kini berada di kandunganku.
"Untuk saat ini, bayimu baik-baik saja, mbak. Tapi keadaannya bisa saja berubah jika kita tidak bertindak cepat. Apa lagi tekanan darah anda sedang tidak stabil." Penjelasan dokter tersebut cukup membuat ku lega setidaknya bayiku kini baik-baik saja, tapi ada bagian yang tidak aku mengerti kenapa keadaan bisa berubah.
Maksudnya apa.
"Keadaan bisa berubah, maksud, dokter? " Penasaran ku, hingga rasa semakin menghinggapi, aku takut jika bayiku dalam keadaan bahaya.
"Kita harus melakukan operasi dini mbak, Nia. Tapi seperti yang sudah saya jelaskan, saya tidak berani berjanji jika bayi mbak Nia akan selamat mengingat usianya belum cukup."
Hatiku sangat sakit, karena keadaan ini benar-benar tidak memberikan satu pilihan untukku.
"Apa tidak ada cara lain agar bayiku selamat dokter? "tanyaku berharap, karena bagiku yang terpenting anak ini lahir dengan sehat dan selamat.
" Bisa saja mbak,Nia. Akan tetapi kita harus menunggu usia kandunganmu memasuki minggu ke 34 atau 35 minggu, karena semua organ tubuhnya telah terbentuk dengan sempurna meski belum 100%. Tapi jika kita harus menunggu beberapa minggu lagi nyawamu yang akan terancam mbak, Nia."
Sesaat aku terdiam, karena tatapan mas Anton begitu dalam padaku, aku tahu, dia sangat khawatir dengan keadaan ini.
"Lalu kita harus bagaimana dokter? " Penasaran mas Anton,
Akhirnya lolos setelah sekian lama diam mendengarkan penjelasan dokter.
"Tidak ada cara lain, mas. Operasi dini harus dilakukan. "
Aku tercekat saat mendengar keputusan ini.
"Tidak, dokter. Aku ingin bayiku, aku ingin dia selamat. "
Mas Anton yang awalnya fokus menatap dokter kini beralih memandangku.
"Nia, apa kau tidak mendengar apa kata, dokter! " Segah mas Anton, aku tahu dia sangat khawatir dengan keadaanku, tapi aku hanya ingin anak ini.
"Aku hanya ingin anakku, mas."Tegasku.
Mas Anton menghela nafas dalam lalu menggeleng.
" Bagaimana ini, dokter?"tanya mas Anton ingin kepastian.
"Jika mbak, Nia. Tetap bersikukuh ingin mempertahankan bayinya, dengan terpaksa kita tunggu 4 minggu lagi. Untuk itu, mbak Nia harus melakukan kontrol rutin setiap minggu, setelah mencapai minggu tersebut kita akan memutuskan semuanya, dan ingat. Mbak Nia harus istirahat full dan jangan banyak pikiran, karena semua itu akan mempengaruhi keadaan mbak, Nia. "
Akhirnya aku bisa tersenyum setelah mendengar penjelasan dokter tersebut, bahkan bagiku tidak ada lagi yang harus aku tanyakan. Karena yang terpenting bayiku akan selamat.
Mas Anton hanya bisa menarik nafas dalam, aku tahu dia ingin menentang keinginan ku, karena memang sangat berbahaya. Tapi aku benar-benar yakin dengan semua ini.
Selama perjalanan pulang aku hanya diam, sambil menatap ke luar jendela. Karena setelah pemeriksaan akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan syarat harus mengikuti prosedur rumah sakit, dan mas Anton menyetujui semuanya. Karena memang mas Anton dan mbak Ema memiliki peran penting dalam kehidupanku semenjak mas Bayu pergi. Kurasakan mobil yang awalnya melaju kini menepi, bahkan akhirnya mesinnya berhenti setelah berada di pinggir jalan. "Kenapa berhenti, mas. Bukankah rumahku masih jauh. " Tanyaku heran. Mas Anton menatapku dengan tajam, lalu menyentak bahuku cukup kuat, hingga aku tersudut di bahu kursi mobil. "Apa yang kau pikirkan, hah! Apa kau tidak memikirkan keselamatan dirimu, Nia!" Begitu terdengar kemarahan mas Anton, saat mengingat keputusanku tetap memperhatikan bayi ini. "Aku hanya ingin bayiku, mas." Jawabku cepat
Anton pov Hari-hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tapi keadaan Nia tetap tidak berubah, justru kini keadaannya semakin memprihatinkan. Karena keseharian yang Nia lalui hanya dihabiskan dengan melamun, kadang ia tiba-tiba menangis. Jujur keadaan ini sangat menyayat hatiku, mengingat seperti apa kondisinya kini, dia tengah hamil dan mengalami komplikasi, dan keadaan itu membuat kesehatan Nia benar-benar menurun. Ini minggu ke 4 Nia menjalani periksa rutin, setelah mengalami pendarahan di malam itu, terkadang aku dan Ema bergantian menemani Nia kerumah sakit untuk periksa, karena waktuku tersita pekerjaan kantor. Aku sangat bersyukur memiliki Ema karena dia sangat baik dan mengerti keadaan kami Sesampainya di rumah sakit, aku dan Ema menunggu hasil pemeriksaan dokter karena hari ini adalah wakt
Ema pov Sore ini Nia sengaja ku minta bersantai di teras, karena aku tidak tega melihatnya seharian ini mengukir wajah sedih saat menatap Nana, aku tahu apa yang kini ia pikirkan dan apa yang ia gundahkan. Jujur aku ingin memarahinya agar dia sadar dengan jalan pikirannya, yaitu selalu memikirkan Bayu, apalagi setelah pertemuannya beberapa jam yang lalu di rumah sakit seperti yang mas Anton sampaikan, keadaan Nia semakin murung setelah kejadian itu. "Jangan banyak pikiran, kamu harus fokus dengan kesehatan, Nia. Ingat kata dokter tadi. Kamu harus istirahat, karena besok adalah operasi persalinanmu,"ujar mas Anton mengingatkan. Aku yang tengah duduk di ruang tengah tersenyum saat melihat kedekatan mereka, aku tahu mas Anton memiliki perasaan cinta pada Nia, bahkan mas Anton sudah menjelaskannya sejak dulu, tapi aku tidak memusingka
Nia pov Nana dengan manja menempelkan telinga dan tangannya pada perut besarku, karena itu selalu penasaran dan ingin tahu dan merasakan setiap adiknya bergerak di dalam sana. Ini salah satu cara Nana agar kami sama-sama bisa tersenyum dan terhibur, karena setelah kejadian tadi sore di teras, Nana tidak berani keluar selain berdiam diri di dalam kamar sembari bersembunyi akibat rasa takutnya atas kedatangan mas Bayu, terlebih ia membuat keributan tadi siang. "Ma! Kata ibu. Besok dede hafiz lahir, ya? Beneran, ma." Aku tersenyum mendengar pertanyaan Nana perihal penjelasan ibu alias mbak Ema, aku sengaja meminta Nana memanggil ibu, karena ketulusan mbak Ema dan mas Anton pantas mendapatkan panggilan itu sejak Nana masih kecil. Ku usap surai panjang Nana sembari tersenyum, meski keadaan k
Author pov Tepat jam 6 pagi Nia dan Anton harus segera berangkat kerumah sakit, sementara Ema sengaja menemani Nana. Karena gadis kecil tersebut belum bangun dari tidurnya setelah lelah menangis semalaman dan mereka sengaja tidak membangunnya agar Nana tidak larut dalam kesedihan. "Percayalah, Allah pasti akan memberikan jalan yang terbaik untuk mu, Nia. Kau harus yakin. Kau pasti bisa melalui semua ini. "Ema mencoba menyemangati Nia sebelum mereka berangkat kerumah sakit, karena kondisi Nia pagi ini semakin drop, bahkan pagi ini kakinya lemas untuk seketika berjalan ke teras. Itu sebabnya Ema sengaja meminta Anton menggendong Nia ke dalam mobil setelah semua perlengkapan siap. "Tentu, mbak Ema. maaf jika selama ini aku selalu merepotkan kalian, dan terimakasih telah menjaga Nana selama ini, " tutur Nia tulus dengan kebaikan mereka. Ema tidak kuasa menahan air matanya saat melihat jurat putus asa yang menghiasi wajah pucat Nia. "Jika Tuhan bisa menukar, aku akan menukar tubuh ku
Bayu pov Aku duduk dengan cemas, karena saat ini Mona tengah berjuang melahirkan anakku di dalam ruang bersalin, aku yang tengah gelisah hanya bisa duduk dengan dalam perasaan khawatir. Dalam kegelisahan yang mendera, tidak sengaja mata ku terpaku menatap sosok yang kemarin aku temui, dan kini mereka sedang berdua. "Nia!"panggilku, dalam rasa cemburu saat melihat kedekatan mereka, tapi di samping itu aku heran apa yang mereka lakukan di sini terlebih Nia tengah duduk di kursi roda sembari mengenakan pakaian khusus dan terpasang selang infus di lengan kirinya. Ku hampiri mereka, karena setelah mendengar panggilan ku mereka berhenti. "Bayu, apa istrimu akan melahirkan? "tanya Anton, jujur aku malas meladeni nya, tapi aku tidak ingin terjadinya keributan hanya karena kebodohan ku. "Yah, kau benar, An,"jawabku asal, sembari memandangi wajah pucat kurus Nia, kini aku baru melihat dengan jelas seperti apa keadaannya dari dekat. Karena kemarin aku terlalu sibuk dengan kebencian dan
Setelah di ruang operasi, Nia segera ditangani oleh dokter dokter spesialis, karena kini kondisi Nia benar-benar stabil, bahkan ia terlihat sangat rileks, saat Nia duduk tenang di atas ranjang operasi. "Dokter, apa dokter bisa memberikan obat bius setengah badan saja pada saya, saya ingin melihat bayi ini lahir. "Dokter bedah dan bersalin serta perawat yang ada disana sesaat saling menatap, karena mereka memiliki kekhawatiran mengingat kondisi Nia benar-benar lemah. "Nyonya, dalam kasus anda ini. Kami tidak ingin adanya resiko membahayakan, jika anda meminta obat bius Anestesi regional, kami khawatir dengan keadaan setengah sadar kondisi anda akan semakin menurun. Ingat nyonya kondisi anda sangat tidak memungkinkan, terlebih lagi kondisi rahim nyonya yang mengalami komplikasi, kami tidak ingin mengambil resiko nyonya, karena obat bius tetap apidueral untuk keadaan anda, kami melakukan semua ini untuk kebaikan anda." Jelas dokter spesialis bedah agar Nia mengerti tujuan mereka. Tap
Bayu pov " Tuan Bayu! "Seru seorang perawat dari arah lain, saat aku menunggu di depan ruang operasi. Anton yang ada di samping ku menatap suster tersebut lalu beralih melirikku. " Ya, saya sus,"balasku lalu bangkit menghampiri Suster tersebut, karena dia rela berjalan dari ruang bersalin menuju ruang operasi demi mencari ku. "Maaf anda harus segera kurang bersalin." Aku memperhatikan raut tegang dari Suster tersebut dengan heran. "Apa yang terjadi suster? "tanyaku ingin tahu. "Maaf sebelumnya, Tuan. Putra Anda tidak bisa kami selamatkan karena nyonya Mona terlalu lama dan malas mengejan, hingga bayinya terlalu banyak tersedak air ketuban dan terlilit tali pusar. Kami sudah melakukan pertolongan semaksimal mungkin pada bayi anda Tuan, tapi sayang semuanya tidak ada hasil." Belum hilang rasa sakit, sedih dan kecewa ku setelah mengetahui keadaan Nia, kini keadaan anakku dari Mona kembali menambah rasa itu. Tuhan, apa ini balasan yang aku dapatkan karena telah menolak pember