Nia pov
Setelah keluar dari rumah itu, aku dan Nana langsung ke rumah sakit. Karena keadaan Nana cukup membuatku khawatir.
"Nyonya tidak perlu cemas, si cantik ini baik-baik saja. Dalam satu minggu, pembekuan darah di matanya akan hilang dengan sendirinya." Jelas dokter spesialis anak tersebut.
Aku tersenyum lega sembari memeluk Nana, karena aku masih tidak menyangka jika bisa keluar dari rumah itu.
"Terimakasih, Dokter, " ucapku ramah.
"Sama-sama, Nyonya." setelah membalas, dokter itu berlalu. Karena penanganan Nana sudah selesai, aku berinisiatif mencari telepon umum, mengingat ponselku disita oleh mas Bayu selama tinggal di rumahnya, dia selalu berdalih agar aku fokus bekerja.
Meski ragu, akhirnya dengan berat hati ku hubungi mbak Ema dan mas Anton untuk menjemput ku, karena tidak ada lagi orang yang kupercaya dan ku punya selain mereka.
"Kamu kemana saja, Nia. Apa kami tahu jika kami mencari kalian kemana-mana, kami khawatir dengan kalian. "Marah mbak Ema, setelah aku dan Nana sampai di rumah, akibat kecerobohan ku, terlebih saat melihat keadaan Nana yang mengalami luka fisik, aku tahu ini memang kesalahan ku dan aku mengakui itu. Karena selama ini aku dan Nana menghilang seperti ditelan bumi, tidak ada kabar. Bahkan kami pergi tanpa pamit terlebih dahulu pada mereka
"Maafkan aku, mbak …,"ucapku tertunduk, karena omelan mbak Ema tidak hanya di sini tapi sepanjang jalan saat mereka menjemput kami, aku tahu dia tidak marah. Mbak Ema hanya menumpahkan kekesalan dan kecewanya terhadap kuku, atas apa yang aku lakukan ini.
Aku sendiri bingung harus mengatakan apa dan memulai dari mana, karena bagiku semuanya sudah selesai.
"Maaf katamu! Apa kau tahu kami seperti orang gila mencari kalian! Apa kau mengerti, hah … Lalu apa yang terjadi hingga Nana seperti ini! "
Mendengar cecaran mbak Ema, aku semakin tersudut. Tidak mungkin aku menjelaskan apa yang terjadi pada Nana saat ini.
Sementara Nana berpangku manis pada mas Anton, setelah kami tiba, karena mereka memang selalu memanjakan Nana.
"Kenapa kamu hanya diam saja, Nia!" segah mbak Ema kesal, karena aku hanya diam tidak berani meloloskan satu jawaban atas pertanyaannya.
"Ooo ... Jangan katakan jika kamu bertemu dengannya."
Aku terkejut, hingga aku menatapnya.
"Kenapa, kau kaget! Jika aku tahu Bayu sudah kembali, hah! "
Lidahku benar-benar kelu untuk sekedar jujur, karena aku sadar Mas Anton pasti mengetahui semuanya, mengingat dia juga orang sukses di kota ini.
"Nana dan Mama tinggal bersama Papa selama ini, ibu."Jujur Nana, aku semakin tidak bisa berkutik. Karena kini yang menatapku dengan tajam tidak hanya mbak Ema tapi juga Mas Anton yang awalnya diam tidak berkomentar apa-apa, ternyata aduan Nana sukses membuat mereka marah besar.
"Sudah kuduga ini pasti terjadi." Mbak Ema berkata sinis sembari menatapku.
"Hiks … tapi Papa jahat, Ibu. Papa selalu marah pada Mama, Papa selalu berkata dan bersikap kasar pada Mama. Bahkan Papa membentak Nana, kemarin malam saja Papa marah dan meminta Mama untuk menggugurkan dede bayi, dan istri Papa Nyonya Mona memukul Nana hanya karena air putih yang tertumpah di bajunya. "
Aku pasrah, percuma membela diri, karena aku tahu Mbak Ema selalu percaya pada Nana, sebab apa yang Nana katakan memang benar dan semua itu memang terjadi pada kami selama tinggal di rumah Mas Bayu.
"Tidak ku sangka, kau hamil dan dia bersikap kasar padamu! " Cecar mbak Ema emosi.
Aku yang mendengar hanya mengangguk, karena tidak mungkin untuk mengelak. Semuanya sudah terbongkar.
"Jadi itu yang terjadi selama kalian tinggal dengannya?"Ulang mbak Ema menyegah kesal.
" Cukup sayang, jangan seperti ini." Mas Anton yang lama diam dan mendengarkan kemarahan istrinya akhirnya turut bersuara.
Jujur aku benar-benar tidak nyaman dengan keadaan ini, mereka pasti berdebat hanya karena aku.
"Hentikan! Kau lihat apa yang telah terjadi?" Kesal mbak Ema, tapi dari mas Anton hanya terlihat gelengan kecil agar dia berhenti.
"Maafkan aku mbak, mas. Aku tahu aku salah, aku sangat egois, hanya karena mementingkan keinginanku, maafkan aku karena telah membuat Nana seperti ini, seharusnya aku menjaganya. Aku memang jahat mbak, maafkan aku." Sesal ku serak, hanya ini yang bisa aku katakan, semua tidak akan kembali seperti dulu meski aku mengungkapkan semuanya.
Mbak Ema menghela nafas dalam, lalu menghampiriku. Mungkin dia memahami keadaan ku memang tidak baik-baik saja, aku tertekan, aku shock, aku kecewa atas apa yang terjadi, untuk saat ini aku hanya ingin sendiri.
"Sudahlah, lupakan apa yang telah terjadi, Nia. Kamu harus ingat, kami selalu menyayangi kalian. " Sembari mbak Ema memelukku.
Sudah lama aku tidak merasakan pelukan setulus ini, dan aku sangat membutuhkannya, ku tumpahkan semua laraku di sana dalam tangis pilu ku.
"Hiks ... Terimakasih mbak, maafkan aku. " Isaku tergugu, mbak Ema mengusap punggungku dengan perlahan dan sangat lembut.
"Berjanjilah, ini yang terakhir, Nia. Jangan pernah menyakiti hatimu lagi. Jika memang cinta itu tidak pantas untukmu atau dia yang menganggapmu tidak pantas, cukup mengharapkannya. Ini sudah lebih dari cukup kau merasakan sakit dan berjuang."
Hanya anggukan yang bisa aku lakukan, karena tidak ada kata yang harus aku ungkapkan, sebab semua yang dikatakan mbak Ema benar. Cinta Mas Bayu tidak pantas untuk ku, sudah cukup aku memperjuangkannya.
"Bagus sekarang berhentilah menangis. Kau harus kuat. Disini Nana dan dede bayi membutuhkanmu. Kau harus bisa menjalani semuanya. Ingat jangan menganggap dirimu sendiri, Nia. Karena kami selalu ada untukmu. "
Aku benar-benar terharu, sembari membalas pelukan mbak Ema, aku tidak menyangka jika mereka masih menyayangi ku setelah apa yang aku lakukan dan membuat mereka kecewa.
"Mbak antar ke kamar, ya. Kamu harus istirahat, Nia. "Dengan sabar mbak Ema menuntunku ke kamar dan membantu ku istirahat, hari ini adalah ujian terbesar ku, di mana orang yang aku percaya dan kucintai justru menyakiti anakku.
Autor pov Bulan bulan berganti, selama itu pula rasa gelisah menghinggapi hati Nia hingga ia selalu gelisah, Nia masih mengingat jelas apa yang Bayu katakan sebelum ia pergi. Bayu akan menceriakan dirinya, jika ia tetap keluar dari rumah itu. Akan tetapi sampai hari ini, tidak ada satupun surat yang datang dari pengadilan ataupun surat panggilan keputusan perceraian untuk dirinya. Ada sedikit kelegaan, tapi tetap saja pikiran Nia selalu tidak tenang, bayang-bayang ucapan Bayu saat itu benar-benar membekas di ingatan, Nia. 'Seharusnya kau sadar, Nia! Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan, Mona! dia jauh lebih baik darimu, seharusnya kau sadar diri dan jangan seperti ini. Kau terima nasib saja, Nia! Tidak perlu merasa tersakiti dan kecewa dengan pilihan ku!' Mengingat semuanya, h
"Hiks … kini Papa mengatakan itu, kemarin-kemarin Papa kemana saja? Kemana Papa saat kami berada di rumah Papa, apa Papa peduli? Tidak kan. Papa justru tidak peduli pada Nana, Papa hanya peduli pada wanita itu, wanita yang telah menyakiti Mama, bahkan Papa tidak pernah peduli pada, Nana."Racau Nana histeris. Bayu membeku di tempat nya, jangankan untuk membalas ucapan Nana, meloloskan satu kata saja ia tidak mampu. "Kenapa kini Papa datang dengan menyebut ku anak? Kenapa …" Histeris Nana, Nia benar-benar tidak menyangka jika Nana menumpahkan semua rasa kecewanya di sana. "Bagi Nana, anda bukan Papa Nana. Papa Nana masih di Cina, Papa Nana orang baik, dia penyayang, dia selalu sayang keluarga. Anda bukan Papa Nana, lebih baik anda pergi!" Bayu yang mendengar semalam bungkam, ia tinggal memungkinkan jika Nana benar-benar terluka dan membencinya. " Nana! Apa yang Nana katakan sayang. Nana tidak boleh berkata
Jam-jam berganti, tapi tetap fikiran ku tidak bisa lepas dari mas Bayu. Bahkan kini semua kenangan bahagia dan pengkhianatan yang menyakitkan seperti berputar-putar di kepalaku, sehingga seperti orang yang tidak waras dan diriku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres padaku. Apa ini karena aku terlalu mencintainya, hingga aku seperti orang tidak waras? Apa karena aku begitu bodoh, tetap mencintai pria yang telah menyakiti ku tapi justru mengharapkannya. Kugeser dudukku saat ada rasa lembab dan tidak nyaman. Betapa terkejutnya aku saat melihat cairan berwarna merah merembes dari bawah ku. Tuhan! Tidak! Anakku! Hanya itu yang aku pikirkan, bayi yang tengah aku kandung, aku sangat mengkhawatirkannya. "Mba Ema … Mas Anton …." Teriakku histeris. &
Selama perjalanan pulang aku hanya diam, sambil menatap ke luar jendela. Karena setelah pemeriksaan akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan syarat harus mengikuti prosedur rumah sakit, dan mas Anton menyetujui semuanya. Karena memang mas Anton dan mbak Ema memiliki peran penting dalam kehidupanku semenjak mas Bayu pergi. Kurasakan mobil yang awalnya melaju kini menepi, bahkan akhirnya mesinnya berhenti setelah berada di pinggir jalan. "Kenapa berhenti, mas. Bukankah rumahku masih jauh. " Tanyaku heran. Mas Anton menatapku dengan tajam, lalu menyentak bahuku cukup kuat, hingga aku tersudut di bahu kursi mobil. "Apa yang kau pikirkan, hah! Apa kau tidak memikirkan keselamatan dirimu, Nia!" Begitu terdengar kemarahan mas Anton, saat mengingat keputusanku tetap memperhatikan bayi ini. "Aku hanya ingin bayiku, mas." Jawabku cepat
Anton pov Hari-hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tapi keadaan Nia tetap tidak berubah, justru kini keadaannya semakin memprihatinkan. Karena keseharian yang Nia lalui hanya dihabiskan dengan melamun, kadang ia tiba-tiba menangis. Jujur keadaan ini sangat menyayat hatiku, mengingat seperti apa kondisinya kini, dia tengah hamil dan mengalami komplikasi, dan keadaan itu membuat kesehatan Nia benar-benar menurun. Ini minggu ke 4 Nia menjalani periksa rutin, setelah mengalami pendarahan di malam itu, terkadang aku dan Ema bergantian menemani Nia kerumah sakit untuk periksa, karena waktuku tersita pekerjaan kantor. Aku sangat bersyukur memiliki Ema karena dia sangat baik dan mengerti keadaan kami Sesampainya di rumah sakit, aku dan Ema menunggu hasil pemeriksaan dokter karena hari ini adalah wakt
Ema pov Sore ini Nia sengaja ku minta bersantai di teras, karena aku tidak tega melihatnya seharian ini mengukir wajah sedih saat menatap Nana, aku tahu apa yang kini ia pikirkan dan apa yang ia gundahkan. Jujur aku ingin memarahinya agar dia sadar dengan jalan pikirannya, yaitu selalu memikirkan Bayu, apalagi setelah pertemuannya beberapa jam yang lalu di rumah sakit seperti yang mas Anton sampaikan, keadaan Nia semakin murung setelah kejadian itu. "Jangan banyak pikiran, kamu harus fokus dengan kesehatan, Nia. Ingat kata dokter tadi. Kamu harus istirahat, karena besok adalah operasi persalinanmu,"ujar mas Anton mengingatkan. Aku yang tengah duduk di ruang tengah tersenyum saat melihat kedekatan mereka, aku tahu mas Anton memiliki perasaan cinta pada Nia, bahkan mas Anton sudah menjelaskannya sejak dulu, tapi aku tidak memusingka
Nia pov Nana dengan manja menempelkan telinga dan tangannya pada perut besarku, karena itu selalu penasaran dan ingin tahu dan merasakan setiap adiknya bergerak di dalam sana. Ini salah satu cara Nana agar kami sama-sama bisa tersenyum dan terhibur, karena setelah kejadian tadi sore di teras, Nana tidak berani keluar selain berdiam diri di dalam kamar sembari bersembunyi akibat rasa takutnya atas kedatangan mas Bayu, terlebih ia membuat keributan tadi siang. "Ma! Kata ibu. Besok dede hafiz lahir, ya? Beneran, ma." Aku tersenyum mendengar pertanyaan Nana perihal penjelasan ibu alias mbak Ema, aku sengaja meminta Nana memanggil ibu, karena ketulusan mbak Ema dan mas Anton pantas mendapatkan panggilan itu sejak Nana masih kecil. Ku usap surai panjang Nana sembari tersenyum, meski keadaan k
Author pov Tepat jam 6 pagi Nia dan Anton harus segera berangkat kerumah sakit, sementara Ema sengaja menemani Nana. Karena gadis kecil tersebut belum bangun dari tidurnya setelah lelah menangis semalaman dan mereka sengaja tidak membangunnya agar Nana tidak larut dalam kesedihan. "Percayalah, Allah pasti akan memberikan jalan yang terbaik untuk mu, Nia. Kau harus yakin. Kau pasti bisa melalui semua ini. "Ema mencoba menyemangati Nia sebelum mereka berangkat kerumah sakit, karena kondisi Nia pagi ini semakin drop, bahkan pagi ini kakinya lemas untuk seketika berjalan ke teras. Itu sebabnya Ema sengaja meminta Anton menggendong Nia ke dalam mobil setelah semua perlengkapan siap. "Tentu, mbak Ema. maaf jika selama ini aku selalu merepotkan kalian, dan terimakasih telah menjaga Nana selama ini, " tutur Nia tulus dengan kebaikan mereka. Ema tidak kuasa menahan air matanya saat melihat jurat putus asa yang menghiasi wajah pucat Nia. "Jika Tuhan bisa menukar, aku akan menukar tubuh ku