Autor pov
Bulan bulan berganti, selama itu pula rasa gelisah menghinggapi hati Nia hingga ia selalu gelisah, Nia masih mengingat jelas apa yang Bayu katakan sebelum ia pergi. Bayu akan menceriakan dirinya, jika ia tetap keluar dari rumah itu. Akan tetapi sampai hari ini, tidak ada satupun surat yang datang dari pengadilan ataupun surat panggilan keputusan perceraian untuk dirinya.
Ada sedikit kelegaan, tapi tetap saja pikiran Nia selalu tidak tenang, bayang-bayang ucapan Bayu saat itu benar-benar membekas di ingatan, Nia.
'Seharusnya kau sadar, Nia! Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan, Mona! dia jauh lebih baik darimu, seharusnya kau sadar diri dan jangan seperti ini. Kau terima nasib saja, Nia! Tidak perlu merasa tersakiti dan kecewa dengan pilihan ku!'
Mengingat semuanya, hati Nia benar-benar sakit, bahkan ia merasa dirinya selalu kurang hingga akhirnya Bayu memilih pergi dan menikah dengan wanita lain.
Selama Nia kembali kerumah, ia hanya menghabiskan waktu di kamar, yang ia lakukan hanya melamun, merenungi semua kekurangannya selama ini, hingga suaminya berpaling pada wanita lain.
Ema sadar, sekembalinya Nia keadaannya sangat berbeda, Nia terguncang karena perbuatan Bayu, Nia lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun, hingga Nana tidak ada yang menoreh, untuk itu ia memutuskan tinggal disana bersama suaminya untuk sementara sampai Nia benar-benar sembuh.
Nana yang melihat kondisi sang Ibu merasa sangat bersedih, karena tidak ada lagi senyuman manis dari sang Ibu untuknya, tidak ada canda seperti dulu, sang Ibu yang selalu menghibur dan menenangkan dirinya, kini semuanya sirna setelah kejadian itu.
Nana hanya bisa menerima keadaan pahit keluarga yang hancur, bahkan ia harus lebih dewasa menerima semuanya terlebih keadaan sang ibu yang selalu melamun.
"Ma … " Panggil Nana lembut, saat Nia menatap kosong kedepan seperti biasanya, Nana sesaat menghela nafas karena tidak ada pengaruh apa-apa dari sang ibu saat ia panggilannya.
"Mama ... Ini Nana. " Ulang Nana sangat hati-hati memanggil sang ibu. Tapi tetap saja tidak ada reaksi dari Nia.
"Mama ... "Panggil Nana, sembari mengusap bahu sang ibu dengan lembut, hingga akhirnya Nia beralih menatapnya.
"Maaf sayang, Mama tadi tidak mendengarmu. "
Nana menghela nafas dalam sembari tersenyum manis, karena keadaan seperti ini sudah terlalu sering ia dapatkan dari sang Ibu setelah mereka pulang dari rumah ayahnya.
Nana memeluk Nia dengan hangat sembari mengusap punggungnya dengan perlahan-lahan.
"Jangan bersedih ma ... Bukankah disini ada Nana. Nana akan selalu menyayangi Mama, Nana berjanji. "Mendengar ucapan Nana, pelukan Nia semakin erat membalas Nana, karena selama ini pikirannya tentang Bayu tidak pernah hilang dari benaknya, semua ucapan menyakitkan itu selalu melintas di kepalanya saat ia melamun, hingga membuatnya kehilangan fokus.
"Terimakasih sayang. " Bisik Nia lembut, sembari mengecup pucuk kepala Nana.
"Bagaimana jika kita jalan-jalan, Mama." Ajak Nana agar sang ibu tidak bosan di rumah terus.
"Jalan-jalan. "Tiru Nia, karena setelah kembali pulang ia hanya menghabiskan waktu di rumah dan berdiam diri di kamar setiap hari.
"Ehem … jalan-jalan, kita sudah lama tidak jalan-jalan." Tambah Nana dengan antusias, sembari melepaskan pelukannya lalu mengucap sayang perut buncit ibunya dengan lembut.
"Dede, hafiz. Pasti seneng kalo kita berjalan-jalan, ma. Nana pingin beli ice cream. mau ye … ya … ya …. " Bujuk Nana merengek, sembari mengusap sayang perut sang ibu.
Nia tersenyum, saat Nana menyebutkan nama hafiz untuk calon adiknya.
"Hafiz? " Tiru Nia.
Nana dengan cepat mengangguk, karena ia sangat suka dengan nama tersebut, sebab nama ibu memiliki arti yang sangat bagus.
"Ehem, Hafiz. Nana ingin dede hafiz menjadi anak yang soleh. " Mendengar penuturan Nana, hati Nia benar-benar tersentuh, karena sejak dini Nana telah memikirkan hal yang tidak harus ia pikirkan. Bahkan ia menyiapkan nama untuk calon adiknya.
"Nama yang bagus, nak. Hafiz, Hafiz Maulana."
Nana dengan antusias, mendengar nama kepanjangan calon adiknya.
"Yey, Hafiz Maulana …."
Nia mengusap sayang pipi Nana, karena ia sadar selama ini selalu sibuk dengan kesedihannya hingga selalu mengabaikan Nana.
"Baiklah, kita jalan-jalan sayang, Dede Hafiz pasti senang seperti kata Nana. Ayo …."
Nana dengan girang sembari menggenggam tangan Nia agar mereka segera pergi.
Jarak kedai ice cream tempat favorit Nana tidak jauh dari rumah, sangat dekat dengan toko bunga milik Ema. Itu sebabnya mereka berdua memilih berjalan kaki menuju ke sana.
Langkah beriringan mereka berdua serempak menuju ke sebuah kedai ice cream yang selalu menjadi langganan Nana. Bahkan Nana memiliki rasa favorit setiap berbelanja di sana.
Setelah sampai Nana memesan satu cup ice cream kesukaannya pada penjual toko.
"Terimakasih, Paman. " Sopan Nana, sembari meraih icecream pesanannya.
"Sama-sama cantik. " Ramah Paman yg menjual icecream.
Tidak menunggu lama Nana mencicipi icecream kesukaannya dengan sangat senang, Nia yang melihatnya tersenyum bahagia, karena hari ini ia bisa sedikit menebus kesalahan karena telah mengacuhkan Nana selama ini.
"Eeemm … enak, mau. Mama mau? " Tawar Nana , saat menikmati icecream nya.
"Boleh."
Nana dengan senang hati menyuapi Nia dengan sendok yang telah berisi icecream..
"Enak kan, ma. "
Nia mengangguk kecil lalu tersenyum, karena rasa icecream yang Nana pilih memang enak.
"Nana memang pintar memilih rasa. " Puji Nia.
Nana cekikikan senang, saat sangat ibu terlihat sangat bahagia hari ini, dan dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu itu.
"Baiklah, sekarang kita pergi kemana lagi? "
Nana berpikir sejenak setelah mendengar pertanyaan sang ibu.
"Bagaimana kalo kita berjalan-jalan ketaman, ma. Pasti menyenangkan. Nana sudah lama tidak jalan-jalan keliling taman." Ajak Nana seraya dengan antusias, sembari ingin melangkah menarik lembut tangan Nia.
Akan tetapi hanya beberapa tapak langkah mereka seketika tertahan, saat melihat siapa yang tengah berdiri tidak jauh dari mereka berdua.
"Mama …. " Nana seketika bersembunyi di belakang Nia hingga cup icecream nya jatuh ke tanah, sedangkan Nia membeku di tempatnya.
"Mas Bayu," lirih Nia.
Bayu terdiam saat melihat kondisi Nia, karena saat ini keadaan sangat jauh berbeda sebelum ia keluar dari rumahnya. Bahkan kini perut Nia telah membesar, mengingat hari ini tepat ke delapan bulan mereka tidak bertemu, dan Bayu tidak menyangka jika keadaan Nia seperti ini.
"Nia. " Bayu tidak tahu harus berkata apa untuk menyapa mereka, terlebih lagi setelah kejadian di hari itu, karena dirinya tidak bisa melupakan semuanya.
"Ma, kita pulang saja, yuk. Ayo Mama."ujar Nana, dirinya tidak ingin berlama-lama di sana apa lagi ada Bayu, karena ia masih menyimpan rasa takut dan khawatir jika sang ayah memperlakukan ibunya seperti dulu.
Nana berniat mengajak Nia pergi, tapi tangannya telah lebih dulu di tahan Bayu.
"Nana! "panggil Bayu, sambil menggenggam tangan Nana.
"lepas! "Serak Nana, lalu dengan cepat menepis tangan bayu darinya, hingga Nia benar-benar terkejut.
"Ada apa nak, ini Papa. "Bujuk Bayu kembali ingin meraih tangan Nana.
Tapi lagi-lagi Nana menepisnya, bahkan gadis kecil itu kini menangis.
"Hiks … kini Papa mengatakan itu, kemarin-kemarin Papa kemana saja? Kemana Papa saat kami berada di rumah Papa, apa Papa peduli? Tidak kan. Papa justru tidak peduli pada Nana, Papa hanya peduli pada wanita itu, wanita yang telah menyakiti Mama, bahkan Papa tidak pernah peduli pada, Nana."Racau Nana histeris. Bayu membeku di tempat nya, jangankan untuk membalas ucapan Nana, meloloskan satu kata saja ia tidak mampu. "Kenapa kini Papa datang dengan menyebut ku anak? Kenapa …" Histeris Nana, Nia benar-benar tidak menyangka jika Nana menumpahkan semua rasa kecewanya di sana. "Bagi Nana, anda bukan Papa Nana. Papa Nana masih di Cina, Papa Nana orang baik, dia penyayang, dia selalu sayang keluarga. Anda bukan Papa Nana, lebih baik anda pergi!" Bayu yang mendengar semalam bungkam, ia tinggal memungkinkan jika Nana benar-benar terluka dan membencinya. " Nana! Apa yang Nana katakan sayang. Nana tidak boleh berkata
Jam-jam berganti, tapi tetap fikiran ku tidak bisa lepas dari mas Bayu. Bahkan kini semua kenangan bahagia dan pengkhianatan yang menyakitkan seperti berputar-putar di kepalaku, sehingga seperti orang yang tidak waras dan diriku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres padaku. Apa ini karena aku terlalu mencintainya, hingga aku seperti orang tidak waras? Apa karena aku begitu bodoh, tetap mencintai pria yang telah menyakiti ku tapi justru mengharapkannya. Kugeser dudukku saat ada rasa lembab dan tidak nyaman. Betapa terkejutnya aku saat melihat cairan berwarna merah merembes dari bawah ku. Tuhan! Tidak! Anakku! Hanya itu yang aku pikirkan, bayi yang tengah aku kandung, aku sangat mengkhawatirkannya. "Mba Ema … Mas Anton …." Teriakku histeris. &
Selama perjalanan pulang aku hanya diam, sambil menatap ke luar jendela. Karena setelah pemeriksaan akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan syarat harus mengikuti prosedur rumah sakit, dan mas Anton menyetujui semuanya. Karena memang mas Anton dan mbak Ema memiliki peran penting dalam kehidupanku semenjak mas Bayu pergi. Kurasakan mobil yang awalnya melaju kini menepi, bahkan akhirnya mesinnya berhenti setelah berada di pinggir jalan. "Kenapa berhenti, mas. Bukankah rumahku masih jauh. " Tanyaku heran. Mas Anton menatapku dengan tajam, lalu menyentak bahuku cukup kuat, hingga aku tersudut di bahu kursi mobil. "Apa yang kau pikirkan, hah! Apa kau tidak memikirkan keselamatan dirimu, Nia!" Begitu terdengar kemarahan mas Anton, saat mengingat keputusanku tetap memperhatikan bayi ini. "Aku hanya ingin bayiku, mas." Jawabku cepat
Anton pov Hari-hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tapi keadaan Nia tetap tidak berubah, justru kini keadaannya semakin memprihatinkan. Karena keseharian yang Nia lalui hanya dihabiskan dengan melamun, kadang ia tiba-tiba menangis. Jujur keadaan ini sangat menyayat hatiku, mengingat seperti apa kondisinya kini, dia tengah hamil dan mengalami komplikasi, dan keadaan itu membuat kesehatan Nia benar-benar menurun. Ini minggu ke 4 Nia menjalani periksa rutin, setelah mengalami pendarahan di malam itu, terkadang aku dan Ema bergantian menemani Nia kerumah sakit untuk periksa, karena waktuku tersita pekerjaan kantor. Aku sangat bersyukur memiliki Ema karena dia sangat baik dan mengerti keadaan kami Sesampainya di rumah sakit, aku dan Ema menunggu hasil pemeriksaan dokter karena hari ini adalah wakt
Ema pov Sore ini Nia sengaja ku minta bersantai di teras, karena aku tidak tega melihatnya seharian ini mengukir wajah sedih saat menatap Nana, aku tahu apa yang kini ia pikirkan dan apa yang ia gundahkan. Jujur aku ingin memarahinya agar dia sadar dengan jalan pikirannya, yaitu selalu memikirkan Bayu, apalagi setelah pertemuannya beberapa jam yang lalu di rumah sakit seperti yang mas Anton sampaikan, keadaan Nia semakin murung setelah kejadian itu. "Jangan banyak pikiran, kamu harus fokus dengan kesehatan, Nia. Ingat kata dokter tadi. Kamu harus istirahat, karena besok adalah operasi persalinanmu,"ujar mas Anton mengingatkan. Aku yang tengah duduk di ruang tengah tersenyum saat melihat kedekatan mereka, aku tahu mas Anton memiliki perasaan cinta pada Nia, bahkan mas Anton sudah menjelaskannya sejak dulu, tapi aku tidak memusingka
Nia pov Nana dengan manja menempelkan telinga dan tangannya pada perut besarku, karena itu selalu penasaran dan ingin tahu dan merasakan setiap adiknya bergerak di dalam sana. Ini salah satu cara Nana agar kami sama-sama bisa tersenyum dan terhibur, karena setelah kejadian tadi sore di teras, Nana tidak berani keluar selain berdiam diri di dalam kamar sembari bersembunyi akibat rasa takutnya atas kedatangan mas Bayu, terlebih ia membuat keributan tadi siang. "Ma! Kata ibu. Besok dede hafiz lahir, ya? Beneran, ma." Aku tersenyum mendengar pertanyaan Nana perihal penjelasan ibu alias mbak Ema, aku sengaja meminta Nana memanggil ibu, karena ketulusan mbak Ema dan mas Anton pantas mendapatkan panggilan itu sejak Nana masih kecil. Ku usap surai panjang Nana sembari tersenyum, meski keadaan k
Author pov Tepat jam 6 pagi Nia dan Anton harus segera berangkat kerumah sakit, sementara Ema sengaja menemani Nana. Karena gadis kecil tersebut belum bangun dari tidurnya setelah lelah menangis semalaman dan mereka sengaja tidak membangunnya agar Nana tidak larut dalam kesedihan. "Percayalah, Allah pasti akan memberikan jalan yang terbaik untuk mu, Nia. Kau harus yakin. Kau pasti bisa melalui semua ini. "Ema mencoba menyemangati Nia sebelum mereka berangkat kerumah sakit, karena kondisi Nia pagi ini semakin drop, bahkan pagi ini kakinya lemas untuk seketika berjalan ke teras. Itu sebabnya Ema sengaja meminta Anton menggendong Nia ke dalam mobil setelah semua perlengkapan siap. "Tentu, mbak Ema. maaf jika selama ini aku selalu merepotkan kalian, dan terimakasih telah menjaga Nana selama ini, " tutur Nia tulus dengan kebaikan mereka. Ema tidak kuasa menahan air matanya saat melihat jurat putus asa yang menghiasi wajah pucat Nia. "Jika Tuhan bisa menukar, aku akan menukar tubuh ku
Bayu pov Aku duduk dengan cemas, karena saat ini Mona tengah berjuang melahirkan anakku di dalam ruang bersalin, aku yang tengah gelisah hanya bisa duduk dengan dalam perasaan khawatir. Dalam kegelisahan yang mendera, tidak sengaja mata ku terpaku menatap sosok yang kemarin aku temui, dan kini mereka sedang berdua. "Nia!"panggilku, dalam rasa cemburu saat melihat kedekatan mereka, tapi di samping itu aku heran apa yang mereka lakukan di sini terlebih Nia tengah duduk di kursi roda sembari mengenakan pakaian khusus dan terpasang selang infus di lengan kirinya. Ku hampiri mereka, karena setelah mendengar panggilan ku mereka berhenti. "Bayu, apa istrimu akan melahirkan? "tanya Anton, jujur aku malas meladeni nya, tapi aku tidak ingin terjadinya keributan hanya karena kebodohan ku. "Yah, kau benar, An,"jawabku asal, sembari memandangi wajah pucat kurus Nia, kini aku baru melihat dengan jelas seperti apa keadaannya dari dekat. Karena kemarin aku terlalu sibuk dengan kebencian dan