Nia pov
Aku tidak henti-hentinya menghibur Nana agar tersenyum pagi ini, karena setelah kejadian tadi malam Nana terlihat murung dan tidak banyak bicara seperti biasanya sampai jam semakin siang dan selama itu pula aku khawatir dengan keadaannya.
"Sayang, Mama mohon jangan seperti ini. Nana membuat Mama takut. " Bujukku lambat, setelah aku kembali dari kamar Mona mengerjakan beberapa pekerjaan dan perintahnya.
"Maaf, Ma!" Sendu Nana menatap iris mataku, karena memiliki lingkaran seperti panda.
"Nana, tidak salah sayang. Katakan sekarang Nana mau apa? "Aku mencoba membujuk Nana, agar tidak berdiam diri terus.
" Nana hanya bosan di kamar, Ma."
Aku tersenyum kasihan dengan gadis kecil ku ini, karena memang selama kami tinggal di rumah ini, sengaja ku larang Nana keluar dari kamar jika aku sedang bekerja.
Aku tidak ingin keberadaan Nana membuat Mas Bayu marah, terlebih kesepakatan pertama kami datang kerumah ini, kami harus bersandiwara seperti orang yang tidak saling mengenal.
"Tapi Nana jangan nakal jika keluar dari kamar. Nana bermain-main di samping rumah atau menangkap kupu-kupu saja di halaman, jangan bermain di dalam rumah, ya."
Aku mencoba menasehati Nana agar tidak melakukan kesalahan, khawatir jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat Mona sangat membenci Nana setelah kejadian di toko bunga.
"Tentu Ma, Nana janji tidak akan nakal. "
Ku usap gemas pipi Nana, sangat lega karena kini senyum yang sempat hilang akhirnya kembali merekah.
"Baiklah, Mama kembali bekerja, ya." Aku keluar dari kamar bersama Nana, Nana sengaja ku biarkan bermain di halaman belakang agar tidak mengganggu atau bersisik di dalam rumah ,aku tidak ingin Mona marah.
Autor pov
Nana memilih bermain-main di pekarangan rumah, setelah Nia berlalu membantu Bi Ijah di dapur membuat makan malam untuk Mona dan Bayu.
Cukup lama, akhirnya Nana merasa bosan bermain-main sendiri di taman, karena hari semakin sore, Nana memilih kembali masuk berniat ingin ke kamar.
"Hey, kau!"seru Mona, saat Nana melintasi ruang keluarga di mana ia tengah bersantai membersihkan kuku dan memakai kutek tidak lupa dengan melihat-lihat promo barang branded di ponselnya.
Nana dengan hati-hati mendekat kearah Mona, karena ia cukup takut dengan tatapan wanita itu.
"Ada apa nyonya? " Gugup Nana, karena Mona benar-benar terlihat tidak menyukainya.
"Aku haus, ambilkan aku air putih. Ingat jangan lama!" Titah Mona ketus.
Nana yang mendapatkan perintah dengan cepat berjalan ke dapur mengambilkan segelas air putih seperti keinginan Mona, Nana dengan hati-hati membawa nya hina ia kembali ke rumah tengah di mana Mona tengah menunggu.
"Ini nyonya, air putihnya. "
Mona melirik sekilas, karena ia tengah asyik melihat promo belanja online yang ada di ponselnya.
"Apa kau tidak melihatku yang tengah sibuk. Letakan di sana saja, dasar bodoh! " Cecar Mona membentak.
Nana mundur seraya ingin pergi, karena suara Mona sangat menakutkan.
Tengah asyik melihat-lihat layak ponsel, leher Mona terasa kering, tangannya meraba-raba meja mencari gelas yang Nana letakan di sana.
Prak!
"Aaaa! Sial! "Umpat Mona, karena gelas yang ada di atas meja tersenggol tangannya hingga tumpah dan airnya mengenai casual yang ia pakai.
Nana yang mendengar umpatan Mona, dengan cepat berbalik melihat apa yang terjadi, sementara Mona menatapnya dengan kemarahan lalu menghampirinya.
"Dasar anak bodoh! Kau sengaja meletakkan gelas itu di sana! Kau lihat bajuku basah karenamu! Dasar anak sial! Anak janda tidak tahu diuntung! "Mona mengumpat, sambil menjambak rambut panjang Nana, hingga Nana menangis histeris.
"Hiks … maaf Nyonya. Hiks … Nana tidak sengaja!" Nana mencoba membela diri, tapi percuma tangan Mona semakin kuat mencengkram rambutnya.
"Jangan banyak bicara, brengsek! "Teriak Mona emosi dan tidak memperdulikan keadaan Nana yang tengah menangis kesakitan.
Plakkk!
Nana jatuh ke lantai, sembari menangis tanpa suara setelah mendapatkan tamparan keras dari Mona, bahkan rambut Nana rontok di tangan Mona saat tubuh Nana terhempas ke lantai dengan keras.
Nia di dapur yang mendengar keributan dari ruang tengah bergegas menghampiri, karena ia sempat melihat Nana membawa segelas air ke ruang tengah.
Sesampainya di sana, Nia tercekat saat melihat Nana menangis tanpa suara, bahkan gadis kecilnya kesulitan menarik nafas, karena darah segar dengan cepat memenuhi mulut dan hidung Nana.
"Tuhan, Nana! " Pekik Nia panik, air matanya menetes saat melihat keadaan Nana yang kesulitan bernafas.
"Tuhan, nak! " Bi Ijah tidak kalah panik melihat Nana yang sangat menyedihkan.
"Sayang, lihat Mama nak. Mama mohon jangan seperti ini. Bernafas lah. "Nia memeluk Nana, sembari menepuk-nepuk pipi Nana yang terdapat rona merah akibat tamparan, karena Nana masih tidak bisa bernafas dengan baik.
" NANA MAMA MOHON NAK BERNAFAS LAH, MAMA TAKUT SAYANG, HIKS …."teriak Nia histeris, sembari mendekap Nana erat, karena ia sangat takut kehilangan nana, saat melihat kondisi Nana yang menangis dalam diam sembari kesulitan bernafas. Bahkan wajah nana memerah karena terlalu lama kesulitan bernafas.
"HIKS … MAMA MOHON SAYANG BERNAFAS LAH."Histeris Nia panik meraung sembari mengguncang tubuh kecil Nana yang telah lemas
" Ma … , hiks … . " Nia menatap Nana iba dan lega, akhirnya Nana bisa bersuara meski sangat pelan dan kesulitan.
"lihat Mama, sayang! "Nia menangkup pipi Nana agar gadis kecilnya seutuhnya sadar.
"Hiks … Mama! sakit … hiks …."
Nia mendekap Nana kembali, lalu menatap Mona dan Bayu, karena teriakan Nia mengundang kecemasan Bayu hina akhirnya ia melihat apa yang terjadi di sana.
Akhirnya Nia sadar, setelah beberapa minggu dirinya di uji. Nia menimbang rasa sakit dan pengkhianatan yang telah suaminya lakukan padanya, dan kini hati Pete terasa tersayat oleh ratusan pisau saat anaknya mengalami kekerasan dari wanita yang berstatus istri kedua suaminya, yang lebih menyakitkan suaminya seakan-akan buta dan tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Nia bangkit sembari menggendong Nana lalu membawanya ke kamar, karena sudah cukup penderitaan ini untuknya dan Nana, ia tidak ingin semakin menambah kesakitan mereka.
Bayu pov Aku menikmati santai di balkon, sembari sedikit melupakanmu kejadian beberapa saat yang lalu di mana Mona memukul Nana, jujur cukup meyakinkan untuk ku, tapi aku tidak mungkin melakukan hal yang bodoh, karena aku sangat mencintai wanita itu, wanita yang telah menemani ku selama di Cina dan mendampingi ku, Nia tidak ada apa-apanya dibandingkan Mona. tapi aku tidak menyangka jika Nia akan menemui ku di sini, berani sekali dia. Ku tatap wajahnya, karena sedikit berbeda. Tidak ada ketakutan ataupun kesedihan seperti yang dulu aku lihat, dia terlihat lebih kuat. Ahh, persetan dengannya. "Aku ingin bicara denganmu, mas!"Sial, akting apalagi ini. "Jika kau hanya ingin membahas masalah tadi, lebih baik kau kembali bekerja. Aku malas membahasnya. "Ketus ki, aku yakin dia hanya ingin membahas ma
Sedikit lagi, aku ingin bersamanya sebentar. Aku tahu ini sangat bodoh, aku begitu gila hanya karena cinta tapi untuk kali ini aku tidak ingin mengorbankan anakku, cukup cinta dan sakit ini ku tanggung sendiri mulai hari ini. "Maksudmu apa, Nia?"tanya mas Bayu, suaranya sedikit melunak saat tangan berhasil menggenggam tangannya dan ku kecup dengan takzim, ini untuk sekian lama aku tidak melakukan kodratku, mengingat kepulangan mas Bayu tidak seperti yang kami harapkan. "Terimakasih banyak, telah menyisakan sedikit waktu untuk kami. Aku dan Nana akan pulang, mas! "Ku lepaskan tangan mas Bayu yang masih membisu setelah mendengar ucapanku, bahkan aku sadar mas Bayu begitu memandang ku, entahlah apa yang dia pikiran, aku tidak peduli lagi, karena aku rasa semuanya sudah cukup. "Nia! "Panggil mas Bayu tertahan, aku tidak mengerti kenapa kini dia terlihat aneh.
Nia pov Setelah di kamar, Bi Ijah dengan cekatan membantuku mengompres bekas tamparan Mona dipipi Nana agar tidak semakin membengkak, karena retina mata Nana mulai menimbulkan bercak darah yang menggumpal serta membiru di sekitarnya. Hatiku benar-benar sakit saat melihat ini, karena orang yang seharusnya melindunginya justru hanya diam menonton dan diam seolah-olah apa yang terjadi adalah hal yang biasa. "Ya Tuhan, sayang! Kenapa Nyonya begitu tega melakukan ini padamu!"Khawatir Bi Ijah, sembari terus mengompres pipi Nana dengan air hangat suam kuku. " Hiks … Ma! … hiks … Kita pulang .. "Isak Nana menangis menahan sakit dan takut. Hatiku benar-benar terhempas mendengarnya, karena semua ini juga karena kesalahan ku. Ku tatap Nana lekat lalu beralih pada Bi Ijah yang masih setia membuatku m
Nia pov Setelah keluar dari rumah itu, aku dan Nana langsung ke rumah sakit. Karena keadaan Nana cukup membuatku khawatir. "Nyonya tidak perlu cemas, si cantik ini baik-baik saja. Dalam satu minggu, pembekuan darah di matanya akan hilang dengan sendirinya." Jelas dokter spesialis anak tersebut. Aku tersenyum lega sembari memeluk Nana, karena aku masih tidak menyangka jika bisa keluar dari rumah itu. "Terimakasih, Dokter, " ucapku ramah. "Sama-sama, Nyonya." setelah membalas, dokter itu berlalu. Karena penanganan Nana sudah selesai, aku berinisiatif mencari telepon umum, mengingat ponselku disita oleh mas Bayu selama tinggal di rumahnya, dia selalu berdalih agar aku fokus bekerja. Meski ragu, akhirnya dengan berat hati ku hubungi mbak Ema dan mas Anton untuk menjemput ku, karena tidak ada lagi o
Autor pov Bulan bulan berganti, selama itu pula rasa gelisah menghinggapi hati Nia hingga ia selalu gelisah, Nia masih mengingat jelas apa yang Bayu katakan sebelum ia pergi. Bayu akan menceriakan dirinya, jika ia tetap keluar dari rumah itu. Akan tetapi sampai hari ini, tidak ada satupun surat yang datang dari pengadilan ataupun surat panggilan keputusan perceraian untuk dirinya. Ada sedikit kelegaan, tapi tetap saja pikiran Nia selalu tidak tenang, bayang-bayang ucapan Bayu saat itu benar-benar membekas di ingatan, Nia. 'Seharusnya kau sadar, Nia! Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan, Mona! dia jauh lebih baik darimu, seharusnya kau sadar diri dan jangan seperti ini. Kau terima nasib saja, Nia! Tidak perlu merasa tersakiti dan kecewa dengan pilihan ku!' Mengingat semuanya, h
"Hiks … kini Papa mengatakan itu, kemarin-kemarin Papa kemana saja? Kemana Papa saat kami berada di rumah Papa, apa Papa peduli? Tidak kan. Papa justru tidak peduli pada Nana, Papa hanya peduli pada wanita itu, wanita yang telah menyakiti Mama, bahkan Papa tidak pernah peduli pada, Nana."Racau Nana histeris. Bayu membeku di tempat nya, jangankan untuk membalas ucapan Nana, meloloskan satu kata saja ia tidak mampu. "Kenapa kini Papa datang dengan menyebut ku anak? Kenapa …" Histeris Nana, Nia benar-benar tidak menyangka jika Nana menumpahkan semua rasa kecewanya di sana. "Bagi Nana, anda bukan Papa Nana. Papa Nana masih di Cina, Papa Nana orang baik, dia penyayang, dia selalu sayang keluarga. Anda bukan Papa Nana, lebih baik anda pergi!" Bayu yang mendengar semalam bungkam, ia tinggal memungkinkan jika Nana benar-benar terluka dan membencinya. " Nana! Apa yang Nana katakan sayang. Nana tidak boleh berkata
Jam-jam berganti, tapi tetap fikiran ku tidak bisa lepas dari mas Bayu. Bahkan kini semua kenangan bahagia dan pengkhianatan yang menyakitkan seperti berputar-putar di kepalaku, sehingga seperti orang yang tidak waras dan diriku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres padaku. Apa ini karena aku terlalu mencintainya, hingga aku seperti orang tidak waras? Apa karena aku begitu bodoh, tetap mencintai pria yang telah menyakiti ku tapi justru mengharapkannya. Kugeser dudukku saat ada rasa lembab dan tidak nyaman. Betapa terkejutnya aku saat melihat cairan berwarna merah merembes dari bawah ku. Tuhan! Tidak! Anakku! Hanya itu yang aku pikirkan, bayi yang tengah aku kandung, aku sangat mengkhawatirkannya. "Mba Ema … Mas Anton …." Teriakku histeris. &
Selama perjalanan pulang aku hanya diam, sambil menatap ke luar jendela. Karena setelah pemeriksaan akhirnya aku diperbolehkan pulang dengan syarat harus mengikuti prosedur rumah sakit, dan mas Anton menyetujui semuanya. Karena memang mas Anton dan mbak Ema memiliki peran penting dalam kehidupanku semenjak mas Bayu pergi. Kurasakan mobil yang awalnya melaju kini menepi, bahkan akhirnya mesinnya berhenti setelah berada di pinggir jalan. "Kenapa berhenti, mas. Bukankah rumahku masih jauh. " Tanyaku heran. Mas Anton menatapku dengan tajam, lalu menyentak bahuku cukup kuat, hingga aku tersudut di bahu kursi mobil. "Apa yang kau pikirkan, hah! Apa kau tidak memikirkan keselamatan dirimu, Nia!" Begitu terdengar kemarahan mas Anton, saat mengingat keputusanku tetap memperhatikan bayi ini. "Aku hanya ingin bayiku, mas." Jawabku cepat