Ku dekap Nia dengan hangat ke dalam pelukan ku, setelah malam hangat penuh kasih kami terakhir.
Tak ada kata diantara kami, selain meresapi kehangatan yang akan berakhir dalam hitungan beberapa jam kedepan sebelum kami berpisah. Karena besok aku akan terbang ke di Cina menjalankan cabang perusahaan pusat di mana kini aku bekerja, aku dipercayakan penuh untuk mengelola perusahaan cabang tersebut. Karena itu aku harus merantau ke negeri orang. Bagaimanapun ini adalah cita-citaku sedari dulu, mengejar mimpi dan kesuksesan seperti keinginanku.
Bangganya, jika semua itu terwujud dan tercapai.
Ku pandang wajah cantik istriku, jujur aku tidak tega melakukan ini, tapi aku yakin ini yang terbaik. Karena ini semua untuk masa depan kami.
Nia tidak melarang, meski begitu jelas terlihat ia ingin menolak keinginanku. Akan tetapi aku meyakinkan semuanya.
"Kamu, akan selalu setia pada Mas kan, Nia?"tanyaku ingin meyakinkan diri ini, suami mana yang ingin berpisah jauh dari istrinya.
"Emmb." Nia hanya bergumam.
"Jaga, Nana. selama aku tidak ada, Nia,"ujarku beralih memperhatikan gadis kecil berusia 5 tahun yang kini terlelap di samping Nia, Nana terlelap begitu damai. Rasanya aku ingin tetap di sini, tidak tega meninggalkan mereka. Akan tetapi keputusan ini sudah bulat, aku ingin sukses.
"Mas, Bayu! Jangan khawatirkan kami di sini, Mas! Harus fokus dengan pekerjaanmu di sana, agar semuanya lancar."
Nia mendukungku, pelukan ini semakin erat. Karena setiap detik, menit dan jam berlalu begitu cepat, seakan-akan sengaja ingin segera memisahkan kami.
"Mas, berjanji padamu, Nia! Mas akan selalu menghubungimu."
Nia hanya mengangguk pelan membalas ucapanku saat tatapan mata kami bertemu. Semua ini sangat berat, akan tetapi harus menerima kenyataan. Bilamana sebentar lagi aku akan berpisah dari orang-orang yang aku cintai.
"Apa ada yang ingin kamu katakan, sayang?"
Dengan lembut aku mengusap rambut panjang coklatnya, hingga ia menatapku dengan sendu.
"Tidak ada, Mas!"tutur nya, aku tahu Nia tidak pernah menuntut kehidupan mewah. Bahkan kehidupan kami tidaklah kekurangan, kehidupan kami selama ini sangat tercukupi karena gaji yang aku terima cukup besar untuk keluarga kecil kami. Akan tetapi semua itu tidak membuat ku puas, sehingga kini aku mengejar kesuksesan di negeri Cina, di mana aku dipindah tugaskan oleh pihak perusahaan pusat. Karena kinerja ku yang sangat memuaskan dan aku dijadikan salah satu orang kepercayaan perusahaan itu untuk mengembangkan perusahaan cabang di negeri Tirai bambu tersebut.
Ini benar-benar pengalaman hebat untukku, dan aku tidak boleh menolak apalagi kehilangan kesempatan ini.
"Kamu harus menunggu Mas, ya!"
Nia tersenyum lembut mendengar setiap ucapanku. Bagaimanapun semua ini sudah keputusan dan besok aku harus berangkat.
*****
Sampai pada jam yang telah ditentukan, Nana anak semata wayangku dan Nia tergugu menangis, saat mengantarku.
Sungguh, ini berat, aku tidak tega melihat lelehan air mata dari gadis kecilku ini.
"Papa, kenapa Nana dan mama tidak boleh ikut? "Isak Nana menangis, ini bukan pertanyaan pertama. Sejak pagi hingga kini gadis kecil itu selalu menanyakan pertanyaan yang sama, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan ataupun jawaban.
"Maaf sayang, Papa di sana bekerja dan Papa belum mengenal Kota. Tapi Nana jangan khawatir, Papa akan selalu menghubungi, Nana."
Ku genggam jemari mungilnya, ada rasa tidak ingin pergi kembali terbesit, saat air mata menganak sungai membasahi pipi gembulnya.
"Papa, hanya pergi sebentar, sayang."Nia turut membujuk, aku tahu dia juga merasakan hal yang sama seperti apa yang anak kami rasakan.
Dengan lembut ia mengusap pucuk kepala Nana, agar gadis kecinya berhenti menangis.
"Tapi, Nana! mau ikut Papa, kita ikut Papa saja, ya. Ma!"Rengek Nana sembari membalas genggaman tangan ku, aku lihat Nia tersenyum kecil lalu menggeleng agar Nana mengerti dan tenang.
Rasa tidak tega kembali menyelimuti hatiku ini, di mana aku harus meninggalkan orang-orang yang aku cintai. Tapi disisi lain, ini kesempatan emas untukku meraih apa yang aku inginkan.
"Kemari, sayang!"Panggilku, ku peluk Nia dan Nana ke dalam dekapanku, terasa bahu Nia gemetar begitu juga dengan Nana yang masih tergugu.
Hatiku rasanya hancur, hingga air mata ini akhirnya menetes saat melihat orang-orang yang aku cintai meratapi keberangkatan ini.
Ku pandangi wajah Nia, wanita berparas ayu yang telah menemani ku selama 6 tahun lamanya ini, rasanya aku enggan meninggalkannya, karena cukup sulit mendapatkan kepercayaan gadis berparas ayu yang tidak sengaja dikenalkan teman lamaki di kampus tujuan tahun silam, hingga akhirnya aku berhasil mempercayakan Nia dan kami menjalin hubungan sampai kini kami menikah. Ini untuk pertama kali aku meninggalkannya dalam waktu yang tidak bisa ku tentukan, bahkan aku merantau ke negeri orang.
"Ingat sayang, jaga Nana dan jaga kepercayaanku,"berbisikku disisi telinganya dengan halus, agar suara serakku tidak terdengar olehnya.
"Tentu, Mas! Aku akan selalu menjaga kepercayaanmu dan nana, Mas! Tidak perlu mengkhawatirkan itu."ucapnya mempercayakan.
"Mas, berjanji akan kembali pada kalian secepatnya,"tuturku lalu menyeka air ini, sembari melepaskan pelukanku dari dua malaikat yang ku miliki.
"Dan, untuk mu gadis manis." Aku kini berjongkok di hadapan Nana, agar kami sejajar. Aku bisa melihat begitu sembab dan merah mata cantiknya, karena wajah Nana begitu meniru kecantikan yang dimiliki Nia istriku.
"Nana, jangan menangis, oky. Jangan buat Mama khawatir sayang, Nana harus menjadi anak yang kuat."
Dalam tangis, Nana mengangguk pelan lalu mengusap sisa air matanya
"Emm, Nana janji, Papa."Dengan serak ia menjawab, hati ini semakin tersayat mendengarnya.
"Untukmu, sayang! Jangan pernah melupakan, Mas. Apalagi menduakan, Mas."Sengaja suara ini kutekan agar dia mengerti dengan sifat dan keinginanku.
"Sudah aku katakan pada kamu Mas, Mas jangan khawatir. karena Mas adalah cinta pertamaku, aku tidak mungkin melupakanmu Mas apalagi menduakan Mas." Jawabnya tulus.
Ku peluk Nia dengan erat lalu ku kecup singkat bibir mungil nya, rasanya aku enggan untuk pergi, akan tetapi semua sudah disetujui. Bahkan penerbangan sebentar lagi,
"Baiklah, Mas harus pergi, Jaga diri baik-baik sayang."
"Mas, juga. Hati-hati, ya."
Ini sangat berat untuk dijalani, di mana aku harus jauh dan dia orang sangat aku cintai. Tapi aku kembali sadar, aku tidak boleh terhanyut dalam kesedihan, karena tekad ku kini semakin bulat, aku akan mengejar impianku dan segera kembali.
(Nia pov)Seperti janji Mas Bayu, dia selalu menghubungi, aku dan Nana setiap hari. Bahkan setiap jam saat minggu-minggu pertamanya di Cina, Mas Bayu tidak bosan-bosannya menanyakan kabar kami, jujur aku sangat lega meski awalnya hati ini dihantui ketakutan jika semua janji itu bohong, tapi ku memantapkan keyakinanku mengingat kami telah menikah enam tahun. Sudah sepatutnya aku sebagai istri percaya padanya meski kami terhalang jarak. Karena jarak bukan sebuah batasan untuk tidak salah percaya.("Apa, kabar Papa?")Nana terlihat sangat gembira, setiap mendapatkan telpon dari Papanya dan aku turut senang karena kabar yang kami dapatkan.("Apa, kabar anak Papa yang cantik. Anak Papa belajar apa tadi di sekolah?")Nana begitu gir
Nana tetap menunggu telpon dari Mas Bayu seperti yang aku katakan tadi siang, jam-jam berlalu tapi tidak ada panggilan masuk dari Mas Bayu, membuat Nana berkali-kali meremas buku gambar yang ia peluk sedari tadi."Ini sudah larut sayang, Nana. Tidur, ya."Nana menatapku dengan mata berkaca-kaca, hatiku benar-benar hancur saat melihat anak semata wayangku seperti ini."Kenapa, Papa. Tidak pernah menghubungi kita, Mama? Apa Papa sudah tidak sayang kita lagi? ""Tidak sayang, Papa hanya terlalu sibuk. Mungkin besok, Papa. akan menelpon, Kita tunggu besok,ya.""Momma, selalu mengatakan itu! Kita tunggu besok! Kita tunggu nanti malam! Tapi nyatanya! Papa sampai sekarang belum menghubungi kita!"Suaraku hilang, untuk sekedar menenangkan Nana aku tidak mampu saat gadis kecilku mulai menunjukkan kekecewaannya.Netraku yang telah
Setelah di rumah, aku menemani Nana mengerjakan tugas di ruang tengah yang merangkap sebagai ruang tamu, karena rumah sederhana ini hanya memiliki satu lantai dengan tiga kamar, satu ruang tengah dan dapur.Aku membantu Nana mengerjakan PR dari sekolah setelah makan malam, tapi tetap sama tidak ada percakapan apapun diantara kami selain fokus pada pekerjaan rumah tersebut,sampai akhirnya konsentrasi kami teralihkan saat pintu rumah diketuk dari luar."Nana, tunggu sebentar,ya. Mama bukakan pintu dulu, sepertinya ada tamu sayang,"Nana mengangguk kecil, aku berdiri lalu berjalan menuju pintu dan membukanya.Aku begitu terkejut saat melihat siapa tamu yang datang, karena dia menatapku begitu nyalang."Poppa!"Seru nana dengan cepat ingin menghampiri dan berniat ingin memeluk Mas Bayu."Tetap di sana! "Bentuknya
Aku tidak tahu kami akan dibawa kemana, sementara Nana di sampingku hanya diam sambil menggenggam tangan ini dengan erat, aku tahu kata-kata kasar serta bentakan Mas Bayu pasti sangat membuat Nana taruma. Bagaimanapun aku hanya ingin kami selalu bersama."Ingat, Nia! Setelah kau berada di rumahku, kau harus memastikan jangan pernah Nana memanggilku, Papa! Apa lagi bersikap kita saling mengenal di depan, Mona. Istriku! Aku ingin diantara kita seolah-olah tidak saling mengenal, karena status kita di sini hanya sebatas majikan dan pembantu!"Semua penjelasan dan penekanan suara terakhirnya membuatku sadar, jika kami tetap berjarak, sehingga Nana dengan kuat meremas baju yang aku pakai."Kau mendengarku kan, Nia!""Tapi kenapa, Mas!"Protesku memberanikan diri, karena aku pikir hidup kami akan kembali seperti semula."Bukankah kau yang memintanya! Kau siap melakukan
Nia pov Hari-hari yang aku jalani seperti apa yang Mas Bayu katakan, jika aku harus melayani Mona istrinya. Selama seminggu aku mulai memahami sifat Mona dan tidak jarang kewalahan menghadapinya, karena sangat mudah marah dan selalu memiliki keinginan yang aneh-aneh. Ternyata apa yang dikatakan bibi Ijah benar malam itu, jika majikannya selalu memiliki mood yang mudah berubah-ubah semasa hamil dan kini aku benar-benar diuji saat harus menuruti keinginan Mona yang selalu di luar batas. "Aku tidak mau itu!" Tolak Mona sembari mengibaskan tangannya, saat aku masuk ke dalam kamar mereka membawakan satu piring puding yang ia minta beberapa menit yang lalu. "Tapi ini puding yang nyonya inginkan tadi." Aku mencoba mengingatkan sembari berbuat meletakkan piring di atas meja. Prak! Mataku membulat saat
Ku baringkan diriku di samping Nana setelah makan malam, karena hari ini kesabaran dan ragaku benar-benar lelah akibat keinginan tidak wajar Mona, seharian ini aku di minta melakukan apapun yang ia inginkan. Tapi tidak ada satupun yang benar hingga aku benar-benar kesal, akan tetap semua itu harus aku tahan demi tujuan awal kami kemari. "Ma! Mama baik-baik saja kan? " Kekhawatiran Nana mengembangkan senyum ku, karena memang malam ini badanku rasanya remuk. "Yah, Mama baik nak. " "Apa karena nyonya Mona?" Aku tersenyum sembari mengusap sayang pipi Nana. " Yah …, untung saja ada Bibi Ijah, dia selalu menolong Mama." "Nenek ijah memang sangat baik, Nenek juga selalu menemani nana di sini. " Ocehan Nana cukup membuat rasa lelah ku berkurang, karena hanya ini hiburan ku selama ini, mengingat Nana untuk sementara waktu a
Bagai disambar petir, aku benar-benar tidak menyangka jika mas Bayu memiliki pemikiran kotor terhadapku, karena selama ini aku selalu setia menunggunya. "M_mas! "Aku tergagap karena semuanya benar-benar di luar ekspektasi ku selama ini. "Kenapa hah! Aku benar kan, Nia! Jika selama aku di Cina kau pasti bermain gila dengan pria lain!" Tuduhan yang ia lontarkan benar-benar membuat mentalku lemah, bahkan aku tidak bisa bergerak selain menuruti apa keinginannya. "Uhh …, a_aku tidak seperti itu. Cukup hentikan mas! Sakit." Rintihku menahan nyeri setiap gerakan kasarnya merenteti tubuh ini. Bahkan ini untuk pertama aku diperlakukan dengan kasar saat dia menuntut haknya. "Dasar jalang! Kau selalu berbohong padaku! Katakan jika kau selalu berselingkuh dibelakangku, Nia!"
"Sudah Mama katakan, sayang! Mama baik-baik saja." Keyakinan sembari menggenggam tangan mungilnya. "Tapi wajah Mama pucat." Akhirnya aku tidak bisa mengelak, karena percuma. Nana pasti tahu apa yang aku alami. "Hanya kelelahan, Nana tahu seperti apa pekerjaan Mama kan?" Ku cubit gemas pipi Nana, karena mata cantiknya tidak putus memandangku. "Nana sangat khawatir dengan kesehatan, Mama! Apa besok Nana boleh membantu pekerjaan Mama? " Aku benar-benar terbaru dengan ketulusannya, saat ingin membantu. Seketika setitik beban yang aku rasakan berkurang saat melihat wajah polosnya, karena hanya Nana penyemangat dan kekuatan ku kini setelah semua yang terjadi hingga kami terperangkap di dalam rumah ini. Meski Nana tidak mengetahui apa yang telah aku alami selama di sini. "Tidak perlu, sayang! Ada Nenek Ijah yang sel