Setelah di rumah, aku menemani Nana mengerjakan tugas di ruang tengah yang merangkap sebagai ruang tamu, karena rumah sederhana ini hanya memiliki satu lantai dengan tiga kamar, satu ruang tengah dan dapur.
Aku membantu Nana mengerjakan PR dari sekolah setelah makan malam, tapi tetap sama tidak ada percakapan apapun diantara kami selain fokus pada pekerjaan rumah tersebut,
sampai akhirnya konsentrasi kami teralihkan saat pintu rumah diketuk dari luar.
"Nana, tunggu sebentar,ya. Mama bukakan pintu dulu, sepertinya ada tamu sayang,"
Nana mengangguk kecil, aku berdiri lalu berjalan menuju pintu dan membukanya.
Aku begitu terkejut saat melihat siapa tamu yang datang, karena dia menatapku begitu nyalang.
"Poppa!"Seru nana dengan cepat ingin menghampiri dan berniat ingin memeluk Mas Bayu.
"Tetap di sana! "Bentuknya
Aku terengganu sesaat di tempatku sembari meraih Nana, karena Mas Bayu begitu menunjukkan keangkuhan hingga Nana ketakutan
"Jangan mendekat!" Ulangnya dengan suara keras, hingga Nana bersembunyi di belakangku, aku semakin tidak mengerti apa yang tengah terjadi pada suamiku, Mas Bayu begitu berubah bahkan sangat aneh, tidak ada Mas Bayu yang dulu penuh dengan kelembutan dan kasih sayang pada kami.
"Mas, apa yang terjadi padamu?"Tanyaku memberanikan diri, tapi apa yang aku lihat, Mas Bayu tersenyum seolah-olah ada yang lucu diantara kami.
"Jangan banyak bertanya!"Herdik nya dingin, Mas Bayu masuk begitu saja lalu duduk dengan santai di sofa.
Aku memperhatikannya, karena suamiku benar-benar berubah, bahkan aku merasa dia bukanlah suamiku.
"Ma, Nana takut." Lirih Nana sembari memelukku. Aku begitu iba melihatnya.
"Mas, Mas Bayu kenapa!"lagi aku bertanya, meskipun aku tahu saat ini suamiku benar-benar telah berubah.
"SUDAH KUKATAKAN! JANGAN BANYAK BERTANYA SIAL! "Teriaknya keras, hingga Nana semakin ketakutan mendengar nya, aku mematung karena ini untuk pertama kali Mas Bayu begitu kasar melontarkan sebuah ucapan di depan Nana anak kami.
"Mama!"Isak Nana gemetar semakin bersembunyi di belakangku.
"Diam! Dasar cengeng!"lagi aku terkejut dibuatnya.
Aku berusaha menenangkan Nana sembari mengusap punggung kecilnya"Nana, kekamar saja, ya."bujuk ku, agar Nana tidak terus menerus mendengar ucapan kasar papanya, karena aku takut kata-kata seperti itu akan mempengaruhi mentalnya.
Dengan cepat Nana membereskan peralatan sekolahnya lalu masuk ke kamar.
Aku berusaha sabar dan bersikap tenang sembari perlahan mendekat ke sofa, di mana Mas Bayu tengah duduk bersantai menatapku tanpa ekspresi apapun.
"Mas ingin minum? Aku buatkan."Tawarku mencoba mencairkan suasana yang tidak ku mengerti ini.
"Tidak perlu, aku datang kesini hanya ingin memberitahukan pada mu, Karena besok aku akan mengurus surat perceraian kita."
Aku tertegun di tempatku berdiri saat mendengar penjelasan Mas Bayu, karena semua itu jauh dari harapanku selama ini.
"Maksud, Mas Bayu?"
"Jangan pura-pura bodoh Nia, aku tahu kamu mengerti apa yang aku katakan dan jangan sampai aku mengulanginya. "
Aku semakin tidak mengerti, apa yang terjadi dan apa kesalahanku, hingga Mas Bayu tiba-tiba ingin menceraikan aku seperti ini.
"Tapi, kenapa mas? "
"Karena istriku tengah hamil, aku tidak ingin dia tahu dan aku juga tidak mau terikat dengan wanita buruk rupa seperti mu!"
Aku termenung saat mendengar penjelasan dan hinaannya, hingga lidahku benar-benar kelu untuk sekedar menjawab. Bahkan kakiku tidak bisa melangkah lebih dari ini, saat aku kembali mengingat ucapan wanita yang datang bersama Mas Bayu tadi siang di toko bunga.
"Ayolah, Nia. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk meladeni mu."
"Jadi--"
Rasanya kata yang akan keluar dari tenggorokan ini tertahan saat aku mencerna semuanya.
"Yah, dia istriku. Aku ingin kita mengakhiri semua ini Nia, karena aku bosan denganmu."
Hati ini terhempas hebat saat kata hinaan itu terlontar dari bibir suamiku sendiri, netrakuku mulai terasa panas dan genangan kian terasa ingin tumpah.
"Apa yang terjadi Mas? Kenapa Mas seperti ini? Apa salahku?"Tanyaku dalam suara serak semua yang mengusik hatiku, karena awal perpisahan kami Mas Bayu telah berjanji akan kembali.
"Ini, yang paling aku benci darimu, Nia! Kau terlalu lemah dan cengeng! Bahkan kau dan Nana sama saja, kalian sangat lemah dan aku muak melihatnya!"
Air mataku yang tertahan akhirnya tumpah membasmi pipi ini, saat suamiku mengutarakan semua kebenciannya terhadap aku dan Nana.
"Jadi, ini jawaban dari sekian lama Mas? Jawaban janji yang pernah Mas ucapkan padaku, sebelum Mas berangkat ke Cina?"
Bibir ini berucap tanpaku sadari disertai air mata yang kian deras tumpah, karena aku tidak menyangka jika Mas Bayu kembali akan bersikap seperti ini. Begitu kasar bahkan semua ucapannya begitu berubah.
"Jangan pernah mengungkit janji itu! Karena aku tidak akan pernah mengingat nya lagi Nia!"
Aku tidak tahu harus menjawab dan berucap apa, setiap mendengar kata-kata menyakitkan dari suamiku sendiri, suami yang aku tunggu selama tiga tahun di Cina, duatahun kami kehilangan kabarnya. Kini dia kembali tapi dalam keadaan berubah sikap.
"Seperti, ini balasan penantian ku Mas?"isakku tak kuasa menahan tangis kecewa.
"Ya, harus seperti ini dan mestinya sejak dulu aku melakukan nya, Nia! Seharusnya kita tidak pernah dipertemukan!"
Kakiku gemetar, tenaga yang aku miliki seketika sirna dari tubuhku hingga aku terduduk di lantai. Tapi Mas Bayu terlihat tidak memiliki rasa simpati atau kasihan atas apa yang aku alami, dia pura-pura buta dan tidak melihat apa yang terjadi.
"Sudahlah, aku bosan membicarakan ini apalagi melihat tangisanmu, Nia! Mulai saat ini jangan pernah mengharapkan apapun dari ku! Dan ingatkan Nana jangan pernah memanggilku Papa apalagi di depan istriku! Anggap saja kita tidak saling mengenal, Nia!"Tukas Mas Bayu cepat, lalu bangkit dari duduknya dan dengan santai berjalan melaluiku yang tengah bersimpuh di lantai.
"Aku mohon Mas, kami sudah menunggu lama. Jangan ceraikan aku, bagaimana dengan Nana, Mas."
Aku seperti pengemis yang tengah meminta sedikit makanan padahal semua itu adalah hak dan milikku pada Mas Bayu, karena dia begitu tidak peduli padaku.
"Untuk apa, hah! Aku bosan dengan mu, Nia! Kau tidak pernah merubah penampilanmu seperti keinginan ku, kau selalu berpenampilan seperti ini! Aku malu Nia! Aku tidak sudi lagi, itu sebabnya aku tidak membutuhkanmu, karena sekarang aku sudah memiliki istri yang lebih sempurna dan lebih cantik dari mu!"
Hatiku yang telah hancur, kini kembali didera kata-kata menyakitkan dari suamiku sendiri, hingga rasanya tidak berbentuk lagi, aku sadar diriku memandang tidak memiliki kecantikan seperti wanita yang datang bersama Mas Bayu tadi siang di toko bunga, bahkan kini posisiku telah digantikan olehnya. Tapi disisi lain aku sangat mencintai Mas Bayu dan Nana masih membutuhkan perhatian dari sosok seorang Ayah.
"Bagaimana dengan, Nana. Mas! Pikirkan Nana. Nana membutuhkanmu, tolong pikirkan lagi Mas Bayu."
Hibaku memohon pada Mas Bayu yang tengah berdiri angkuh di hadapanku.
"Itu bukan urusanku, Nia! Dan kau tidak perlu khawatir, karena aku akan tetap bertanggung jawab atas, Nana."ucapan Mas Bayu dengan sombong sembari ingin berlalu.
Aku tidak memikirkan uang, yang ada di kepalaku kini hanya ada Nana, Nana sangat menginginkan Mas Bayu kembali agar kami bisa berkumpul bersama.
"Aku mohon, Mas! Sekali saja …, berikan kesempatan untukku, aku akan menuruti semua keinginanmu, asalkan jangan ceraikan kau dan jangan tinggalkan kami lagi."
Tanpa malunya aku menghiba dan merendahkan diriku yang telah tersakiti, tapi aku hanya ini Nana bahagia meski kini Mas Bayu benar-benar telah berubah dan tidak menginginkan aku.
"Kau tidak perlu melakukan itu, Nia! Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi, karena istriku lebih cantik darimu!"
Aku sadar, diri ini tidak lagi berharga dan tiada arti di matanya. Tapi aku ingin keadilan untuk anakku.
"Demi Nana Mas, aku mohon Mas. Apapun yang Mas inginkan."
Mas Bayu menatapku singkat lalu tersenyum, aku tidak mengerti apa yang kini ada di dalam pikirannya.
"Oya, semua yang aku inginkan?"
Aku mengangguk cepat, aku hanya ingin dia mengurungkan niatnya agar tidak menceriakan aku dan meninggalkan Nana lagi.
"Asal Jangan tinggalkan Nana lagi Masi, aku mohon, untuk Nana."
Aku menghela nafas dalam saat Mas Bayu kembali duduk seperti semula sembari menatapku.
"Sekarang berkemaslah!"
Aku mengusap air mataku lalu menatap Mas Bayu tidak mengerti, kenapa aku harus berkemas?
"Berkemas? Untuk apa, Mas?"Tanyaku.
"Jangan banyak bertanya, Nia! Sekarang berkemaslah!"titahnya berteriak, hingga aku bangkit lalu berlalu kekamar berkemas seperti keinginannya.
****
(Nia pov)
Aku begitu terkejut saat melihat Nana masih menangis tergugu karena ketakutan setelah kejadian di ruang tamu.
"Tidak apa-apa nak, Mama di sini,"ujarku mendekapnya, agar Nana tidak menangis, meski aku mengingat dengan jelas seperti apa Mas Bayu berkata kasar dan keras kepada Nana.
"Mama, Nana takut."
Aku sadar apa yang terjadi benar-benar membuat mental Nana terganggu bahkan untuk diriku sendiri, karena Mas Bayu tidak pernah melakukan hal seperti itu sebelumnya.
Ku dekap Nana dengan hangat"Tidak, apa-apa sayang. Mungkin Papa lagi banyak masalah."ucapku meluruskan agar Nana sedikit lebih tenang.
"Tapi Nana takut, Kenapa Papa berteriak pada Nana dan memarahi Mama? Kenapa Papa marah saat nana ingin memeluknya Mama?"
Aku tidak kuasa menjawab, yang mampu aku lakukan hanya memeluknya lebih erat agar rasa takut yang sama sepertiku rasakan hilang.
"Tidak, apa-apa sayang. Papa hanya lelah dan Papa tetaplah Papa Nana seperti dulu. Sekarang Nana bantu Mama berkemas, ya. "
Aku terpaksa sedikit berbohong, agar Nana tidak takut pada Mas Bayu, meski sesungguhnya aku sendiri sadar jika Mas Bayu benar-benar berubah.
"Kita akan kemana Ma?"tanya Nana sembari mengusap air matanya saat aku melepaskan pelukanku.
"Kita akan tinggal bersama, Papa."jelasku meraih koper yang tersimpan di dalam lemari, saat Nana masih berpikir.
"Bersama Papa." Tiru Nana, aku mengangguk membenarkan sembari menyiapkan baju yang akan kami bawa pergi.
"Tapi ingat sayang, selama kita di sana, Nana! tidak boleh bersikap seperti tadi."
Begitu polos nya dia menatapku, aku sadar apa yang aku lakukan ini sangat gila, diriku dikhianati tapi masih tetap memohon agar tidak diceraikan. Karena bagiku yang terpenting kini adalah Nana, aku ingin Nana bahagia bisa merasakan kembali berkumpul bersama Mas Bayu seperti dulu.
"Memangnya kenapa, Ma?"
Aku menutup koper yang sudah terisi baju yang kami perlukan, sambil sesekali melirik Nana yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya dariku.
"Yang jelas, Nana harus menurut kata Mama, Nana ingin selalu bersama Papa, kan?"
Dengan polosnya Nana mengangguk, kembali rasa ibaku menyelimuti hati ini, saat mengingat Nana begitu ingin berjumpa dengan Mas Bayu selama di Cina, Nana begitu merindukan papanya selama kami terpisah. Aku tidak ingin anakku kembali merasakan hal yang sama.
"Ini kesempatan kita untuk terus bersama Papa. Tapi berjanjilah Nana harus menuruti apa yang Mama katakan. "
"Baik, Mama,"jawab Nana polos meski aku melihat begitu besar ketakutan di wajahnya. Tapi aku bertekad tidak ingin Nana kembali terpisah dengan Mas Bayu, apapun yang terjadi.
Aku tidak tahu kami akan dibawa kemana, sementara Nana di sampingku hanya diam sambil menggenggam tangan ini dengan erat, aku tahu kata-kata kasar serta bentakan Mas Bayu pasti sangat membuat Nana taruma. Bagaimanapun aku hanya ingin kami selalu bersama."Ingat, Nia! Setelah kau berada di rumahku, kau harus memastikan jangan pernah Nana memanggilku, Papa! Apa lagi bersikap kita saling mengenal di depan, Mona. Istriku! Aku ingin diantara kita seolah-olah tidak saling mengenal, karena status kita di sini hanya sebatas majikan dan pembantu!"Semua penjelasan dan penekanan suara terakhirnya membuatku sadar, jika kami tetap berjarak, sehingga Nana dengan kuat meremas baju yang aku pakai."Kau mendengarku kan, Nia!""Tapi kenapa, Mas!"Protesku memberanikan diri, karena aku pikir hidup kami akan kembali seperti semula."Bukankah kau yang memintanya! Kau siap melakukan
Nia pov Hari-hari yang aku jalani seperti apa yang Mas Bayu katakan, jika aku harus melayani Mona istrinya. Selama seminggu aku mulai memahami sifat Mona dan tidak jarang kewalahan menghadapinya, karena sangat mudah marah dan selalu memiliki keinginan yang aneh-aneh. Ternyata apa yang dikatakan bibi Ijah benar malam itu, jika majikannya selalu memiliki mood yang mudah berubah-ubah semasa hamil dan kini aku benar-benar diuji saat harus menuruti keinginan Mona yang selalu di luar batas. "Aku tidak mau itu!" Tolak Mona sembari mengibaskan tangannya, saat aku masuk ke dalam kamar mereka membawakan satu piring puding yang ia minta beberapa menit yang lalu. "Tapi ini puding yang nyonya inginkan tadi." Aku mencoba mengingatkan sembari berbuat meletakkan piring di atas meja. Prak! Mataku membulat saat
Ku baringkan diriku di samping Nana setelah makan malam, karena hari ini kesabaran dan ragaku benar-benar lelah akibat keinginan tidak wajar Mona, seharian ini aku di minta melakukan apapun yang ia inginkan. Tapi tidak ada satupun yang benar hingga aku benar-benar kesal, akan tetap semua itu harus aku tahan demi tujuan awal kami kemari. "Ma! Mama baik-baik saja kan? " Kekhawatiran Nana mengembangkan senyum ku, karena memang malam ini badanku rasanya remuk. "Yah, Mama baik nak. " "Apa karena nyonya Mona?" Aku tersenyum sembari mengusap sayang pipi Nana. " Yah …, untung saja ada Bibi Ijah, dia selalu menolong Mama." "Nenek ijah memang sangat baik, Nenek juga selalu menemani nana di sini. " Ocehan Nana cukup membuat rasa lelah ku berkurang, karena hanya ini hiburan ku selama ini, mengingat Nana untuk sementara waktu a
Bagai disambar petir, aku benar-benar tidak menyangka jika mas Bayu memiliki pemikiran kotor terhadapku, karena selama ini aku selalu setia menunggunya. "M_mas! "Aku tergagap karena semuanya benar-benar di luar ekspektasi ku selama ini. "Kenapa hah! Aku benar kan, Nia! Jika selama aku di Cina kau pasti bermain gila dengan pria lain!" Tuduhan yang ia lontarkan benar-benar membuat mentalku lemah, bahkan aku tidak bisa bergerak selain menuruti apa keinginannya. "Uhh …, a_aku tidak seperti itu. Cukup hentikan mas! Sakit." Rintihku menahan nyeri setiap gerakan kasarnya merenteti tubuh ini. Bahkan ini untuk pertama aku diperlakukan dengan kasar saat dia menuntut haknya. "Dasar jalang! Kau selalu berbohong padaku! Katakan jika kau selalu berselingkuh dibelakangku, Nia!"
"Sudah Mama katakan, sayang! Mama baik-baik saja." Keyakinan sembari menggenggam tangan mungilnya. "Tapi wajah Mama pucat." Akhirnya aku tidak bisa mengelak, karena percuma. Nana pasti tahu apa yang aku alami. "Hanya kelelahan, Nana tahu seperti apa pekerjaan Mama kan?" Ku cubit gemas pipi Nana, karena mata cantiknya tidak putus memandangku. "Nana sangat khawatir dengan kesehatan, Mama! Apa besok Nana boleh membantu pekerjaan Mama? " Aku benar-benar terbaru dengan ketulusannya, saat ingin membantu. Seketika setitik beban yang aku rasakan berkurang saat melihat wajah polosnya, karena hanya Nana penyemangat dan kekuatan ku kini setelah semua yang terjadi hingga kami terperangkap di dalam rumah ini. Meski Nana tidak mengetahui apa yang telah aku alami selama di sini. "Tidak perlu, sayang! Ada Nenek Ijah yang sel
Bruukk! "Ughh! " Aku terpojok di dinding setelah leherku di cengkraman kuat oleh mas Bayu lalu menyudutkanku di tembok, hingga aku tidak bisa bergerak selain merintih kesakitan. Setelah kejadian di meja makan, mas Bayu menghampiri ku lalu melakukan kekerasan ini padaku. "Hiks, Pa! jangan sakiti Mama, hiks … lepaskan Mama." Isal Nana ketakutan melihat sikap kasar mas Bayu melakukan kekerasan fisik padaku. "Brengsek! Katakan kau kenapa hah!" Aku tidak menjawab selain sesekali melirik Nana yang tengah menangis mencoba menolongku. " Hikss … Papa, kasian Mama. Lepaskan, Pa! Hiks …. "Mas Bayu dengan dengan kasar menepis tangan Nana yang mencoba melepaskan cengkramannya dari leherku, hingga Nana terhempas di atas tempat tidur. Aku yang tengah tercekik semakin lemas tidak bertenaga, karena pasokan oksi
Nia pov Aku tidak henti-hentinya menghibur Nana agar tersenyum pagi ini, karena setelah kejadian tadi malam Nana terlihat murung dan tidak banyak bicara seperti biasanya sampai jam semakin siang dan selama itu pula aku khawatir dengan keadaannya. "Sayang, Mama mohon jangan seperti ini. Nana membuat Mama takut. " Bujukku lambat, setelah aku kembali dari kamar Mona mengerjakan beberapa pekerjaan dan perintahnya. "Maaf, Ma!" Sendu Nana menatap iris mataku, karena memiliki lingkaran seperti panda. "Nana, tidak salah sayang. Katakan sekarang Nana mau apa? "Aku mencoba membujuk Nana, agar tidak berdiam diri terus. " Nana hanya bosan di kamar, Ma." Aku tersenyum kasihan dengan gadis kecil ku ini, karena memang selama kami tinggal di rumah ini, sengaja ku larang Nana keluar dari kamar jika aku sedang bekerja. Aku t
Bayu pov Aku menikmati santai di balkon, sembari sedikit melupakanmu kejadian beberapa saat yang lalu di mana Mona memukul Nana, jujur cukup meyakinkan untuk ku, tapi aku tidak mungkin melakukan hal yang bodoh, karena aku sangat mencintai wanita itu, wanita yang telah menemani ku selama di Cina dan mendampingi ku, Nia tidak ada apa-apanya dibandingkan Mona. tapi aku tidak menyangka jika Nia akan menemui ku di sini, berani sekali dia. Ku tatap wajahnya, karena sedikit berbeda. Tidak ada ketakutan ataupun kesedihan seperti yang dulu aku lihat, dia terlihat lebih kuat. Ahh, persetan dengannya. "Aku ingin bicara denganmu, mas!"Sial, akting apalagi ini. "Jika kau hanya ingin membahas masalah tadi, lebih baik kau kembali bekerja. Aku malas membahasnya. "Ketus ki, aku yakin dia hanya ingin membahas ma
Nila pov) Cukup lama aku aku mencoba memejamkan mata, tapi mata ini enggan untuk terlelap, jangankan untuk terlelap, rasa kantuk pun enggan hinggap padahal jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, tapi mata ini tetap tidak mau terpejam dan tidur setelah kejadian tadi. Aahh… dia memang selalu membuat ku ingin gila. Batin ku bersua jika mengingat semua kejadian demi kejadian bersangkutan dengannya. Kriit!Pintu terbuka, orang yang aku pikirkan sejak tadi kini masuk dan menghampiri ku. "Kenapa kau tidak tidur? " tegurnya basa basi. Ku tatap mata hitamnya dengan lekat, apa dia tidak sedang mengigau? Kenapa malam-malam seperti ini kemari. "Kau sendiri? Kenapa kesini? " balas ku cuek, aku sengaja bersikap seperti ini karena aku tidak ingin dia menganggapku mudah terpengaruh, mengingat dia tahu siapa aku ini, dan aku juga memang ingin berubah menjadi yang lebih baik demi ibuku. "Apa salahnya? " balasannya merasa tidak bersalah. "Bay, apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan? " tany
(Pov Bayu) Aku semakin merasa serbasalah, karena setelah kejadian tadi siang, Nila tidak bertegur sapa dengan ku, jangankan bertegur sapa, saat makan malam bersama Nila tidak adanya percakapan di antara mereka begitu juga Nana, gadisku seolah-olah sengaja mendiamkan aku setelah kejadian tadi. Setelah makan malam mereka berdua berlalu begitu saja kembali ke kamar, aku semakin bingung harus melakukan apa, karena aku tahu semua ini adalah kesalahan ku, semua berawal dari diriku. Andaikan aku tidak membawa masuk Mona ke dalam keluarga ini, semuanya tidak akan pernah terjadi. "Hahhh…." Kuhela nafas dalam sembari menatap langit langit ruang makan setelah aku sendirian di sini. "Lebih baik, bapak susul nak Nila. "Aku menoleh di mana bi Ijah berdiri di sampingku, karena ia tengah membereskan makan malam yang sudah usai. "Saya takut bi, " lirih ku jujur, karena aku memang sedikit takut saat melihat reaksi Nila saat membalas perlakuan Mona. "Saya yakin Tuan, nak Nila tidak seperti itu, d
Hari semakin sore, Nana mulai merasa jenuh di kamar, karena ia hanya menghabiskan waktu untuk menggambar dan belajar bersama Nila. "Ma… Nana bosan. "Nila yang tengah mengganti pokok Hafiz menatap wajah memelas Nana lalu tersenyum gemas. "Oooh… bosan? "Nana mengangguk membenarkan lalu menutup buku gambarnya. "Baiklah, sekarang Nana turun ke bawah saja, ya. Nanti Mama susul, adik Hafiz lapar, setelah urusan Mama selesai, Mama akan susul Nana di bawah. "Nana mengangguk lalu dengan senang memungut satu boneka kesayangannya dan membawanya lebih dulu ke lantai bawah. Dengan langkah riang Nana menuruni tangga, sembari bernyanyi-nyanyi, karena memang jam seperti ini semua pembantu yang bekerja di rumah itu sedang sibuk melakukan tugas mereka, Nana melangkah dengan hati-hati hingga ia sampai di lantai bawah dan disana tatapannya tidak sengaja tertuju pada seorang wanita yang selama ini pergi dari rumah, wanita itu kini tengah menyeret koper besar di tangannya dengan omelan dan ocehan se
Suara riuh di ruang makan pasti terjadi di pagi hari, saat Nana menolak babysitter menyuapi nya sarapan, karena Nana hanya ingin makan satupun sarapan bersama Nila, wanita yang mirip dengan ibunya. Tapi karena kesibukan Nila mengurus Hafiz, dengan terpaksa ia mengabaikan Nana terlebih dahulu, karena Hafiz pagi ini juga tidak mau bersama babysitter. "Bersama, nenek saja, ya. Bukan kah Nana harus segera ke sekolah. " Bujuk bi Ijah mengambil alih piring sarapan Nana dari babysitter. "Tidak mau, Nana maunya sama, mama… . "Rengek Nana memalas,karena Nila masih di kamar belum bergabung dengan mereka di meja makan sarapan. " Tapi, sayang. Mama sedang menjaga adik Hafiz, Nana sama nenek dulu, ya. "Nana menggeleng cepat menolak, bi Ijah menghela nafas dalam karena selama ini memang Nana dan Hafiz sangat sulit dikendalikan jika tidak bersama Nila. "Pokoknya, Nana mau mama, Nana mau makan bersama Mama saja, titik. " Sentak Nana sembari menghentakkan kakinya ke lantai. Bayu yang baru bergab
Sementara di kamar lain Bayu menangis sejadi-jadinya saat ingatannya terus tertuju pada Nia, karena rasa bersalah dan sesal semakin bertambah setelah kejadian tadi, ia kembali melakukan pengkhianatan untuk kesekian kalinya pada Nia istrinya, padahal Bayu telah berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berubah dan memulainya dari awal agar menjadi diri dan pribadi yang lebih baik lagi untuk anak-anak mereka, meski sosok yang harus dirinya perjuangkan tidak lagi bersamanya, tapi Bayu sudah bertekad untuk terus menembus semua dengan caranya selalu setia pada Nia. Akan tetapi malam ini ia kembali mengulang kesalahan yang sama, kesalahan yang seharusnya tidak ia lakukan, yang lebih parahnya lagi dirinya tidak bisa membedakan Nia dan orang lain. "Hiks… Maaf sayang, hiks... Maafkan aku. Hiks... " Isak Bayu dalam penyesalan terdalamnya sembari meringkuk di atas tempat tidur. "Aku, hiks… tidak mengerti, hiks… apa yang sebenarnya terjadi. Hiks... Dan rencana apa ini, hiks... Kenapa dia begitu mi
Minggu-minggu berganti begitu cepat, Nila sangat menikmati hari-harinya setelah bekerja menjadi babysitter Nana dan Hafiz, bahkan ia selalu sukses menggoda Bayu saat mereka sedang berdua, meski sejujurnya Nila melakukan semua itu tidak lebih agar bisa membuat perasaan bersalah Bayu sedikit berkurang, karena dari iris mata duda tampan itu setiap memandangnya menyiratkan penyesalan yang mendalam dan kesedihan. Itu sebabnya Nila selalu melancarkan aksinya menggoda majikannya itu, meski ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri, jika dirinya cukup tertarik dengan duda beranak dua itu.Akan tetapi Nila memiliki batasan, dirinya sadar jika semua itu tabu untuknya terus melangkah, itu sebabnya Nila memilih menikmati keadaan yang tercipta setiap kali ia menggoda Bayu. Seperti malam ini, Bayu menemani Nana sebentar di kamar mereka, karena Nila tengah menyusui Hafiz, Bayu tidak ingin membuat membuat Nila kelelahan menjaga kedua anaknya, itu sebabnya ia turun tangan langsung mengurus Nana sa
( Pov author) Nila melahap makan siangnya dengan terburu-buru, karena Hafiz begitu rewel dan selalu menangis jika tidak berada di pelukannya. " Pelan-pelan nak Nila. "Tegur bisa Ijah agar Nila tidak makan dengan tergesa-gesa. Nila sesekali melirik Hafiz yang tengah menangis di dalam gendongan babysitter yang sudah 3 bulan bekerja, tapi tetap saja bayi mungil itu tidak tenang dan tidak bisa di bujuk. " Tuhan, apa Hafiz selalu seperti ini bibi? "Nila dengan terburu-buru menelan nasinya setelah bertanya. " Yah, tapi setelah kau datang. Hafiz semakin menjadi. "Keluh Ijah jujur, karena setelah kedatangan Nila kemarin, kedua anak yang selama ini mereka rawat hanya tenang saat bersama Nila. " Tapi kenapa bibi? "Heran Nila. Bisa Ijah menghela nafas dalam sembari menatap Nila " Mungkin karena wajahmu begitu mirip dengan mama mereka. "Ijah tidak memungkiri jika Nila benar-benar mirip dengan Nia, mendiang ibu Nana dan Hafiz. "Ooohh Tuhan anak ini." Keluh babysitter kelelahan lalu duduk b
Bayu membuka pintu kamar kedua anaknya tanpa permisi, hingga dirinya sendiri terkejut begitu juga dengan Nila, karena Nila baru saja keluar dari kamar mandi, bahkan ia hanya menggunakan handuk sebagai penutup tubuhnya. "Bisa kah kau masuk mengetuk pintu dulu. " Ketus Nila, meski ia sudah terbiasa berdekatan desa laki-laki tidak ia kenal, tapi jika harus dikagetkan seperti ini ia merasa tidak nyaman. Bayu menelan salivanya berat, saat tatapannya tidak sengaja berserobok dengan Nila, karena pagi ini wanita yang mirip dengan istrinya itu sangat berbeda dan sangat cantik. "Errr… i_itu_ ma_af Nila, saya hanya ingin memastikan keadaanmu. Ap_apa kamu baik-baik saja?"Nila menaikan satu alisnya heran, karena Bayu terlihat gugup dan berbicara tergagap-gagap. "Aku baik-baik saja kan pak tampan? Kau terlihat tidak sehat, ada apa? " Penasaran Nila sembari berjalan mendekati Bayu, karena hanya diam tidak bisa bergerak, ia seperti terhipnotis saat menatapnya. "Ba_baguslah, saya lega mendengarn
Nana duduk cantik di samping Bayu yang tengah menyantap sarapannya. Bayu sesekali melirik wajah polos Nana, karena gadis kecil itu seperti tengah memikirkan sesuatu. "Ada apa sayang? " Penasaran Bayu, Nana menatapnya sekilas lalu menggeleng kecil. "Nana yakin? " Ulang Bayu. Nana dengan cepat mengangguk menyakinkan meski kejadian tadi benar-benar membuat dirinya terkejut. "Baiklah." Menyerah Bayu lalu kembali melanjutkan sarapannya, sembari sesekali menatap keseriusan Nana saat sarapan, karena wajah polosnya terlihat sangat menggemaskan saat berpikir. "Nana harus ingat, ya. Saat pulang Nana harus menunggu jemputan dari rumah, jangan pergi kemana-mana atau pulang bersama orang lain apalagi yang tidak dikenal, sayang. " Nana menatap wajah serius sang ayah, karena selama tinggal bersama sang ayah begitu protektif padanya, bahkan ia sudah sangat hafal dengan kalimat tersebut, karena setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah Bayu selalu mengingatkan dirinya akan hal itu. "Oya, dan satu