Nana tetap menunggu telpon dari Mas Bayu seperti yang aku katakan tadi siang, jam-jam berlalu tapi tidak ada panggilan masuk dari Mas Bayu, membuat Nana berkali-kali meremas buku gambar yang ia peluk sedari tadi.
"Ini sudah larut sayang, Nana. Tidur, ya."
Nana menatapku dengan mata berkaca-kaca, hatiku benar-benar hancur saat melihat anak semata wayangku seperti ini.
"Kenapa, Papa. Tidak pernah menghubungi kita, Mama? Apa Papa sudah tidak sayang kita lagi? "
"Tidak sayang, Papa hanya terlalu sibuk. Mungkin besok, Papa. akan menelpon, Kita tunggu besok,ya."
"Momma, selalu mengatakan itu! Kita tunggu besok! Kita tunggu nanti malam! Tapi nyatanya! Papa sampai sekarang belum menghubungi kita!"
Suaraku hilang, untuk sekedar menenangkan Nana aku tidak mampu saat gadis kecilku mulai menunjukkan kekecewaannya.
Netraku yang telah panas kini menggenang air mata dan siap tumpah menganak sungai dipipiku saat melihat keadaan Nana.
"Mama selalu bohong! Papa akan menelpon kita, tapi nyatanya tidak ada Mama! Semuanya bohong! Nana benar jika Papa sudah tidak sayang kita lagi kan!"
Aku tidak kuat menahan isakku, akhirnya pecah tidak terkendali.
"Mama mohon sayang, jangan seperti ini. Nana harus percaya jika Papa pasti akan menghubungi kita,"bujukku, agar Nana mengerti keadaan yang tidak aku pahami ini.
"Maaf, Mama!"
Nana tidak kalah tersiak sepertiku, aku tahu semua ini berat bahkan aku tidak pernah membayangkan semua ini akan terjadi.
Ku renggangkan pelukanku dan kupandangi mata merahnya yang masih melelehkan liquid.
"Nana, tidak salah sayang. Hanya saja keadaan Papa saat ini sedang sibuk, Mama ingin Nana sedikit bersabar, ya. Mama yakin Papa pasti menghubungi kita."Lagi aku membujuk nya, hingga akhirnya Nana tersenyum dan mengangguk, ia mencoba mengerti dan mempercayai semua ucapanku, padahal aku sendiri tidak yakin dengan apa yang aku ucapkan selain berharap jika Mas Bayu menghubungi kami.
Ada rasa sesal di hatiku atas kejadian ini, tapi semua sudah terjadi dan aku tetap yakin dengan suamiku jika dia akan menghubungi kami.
******
Bulan berganti, tidak ada perubahan. Mas Bayu belum juga menghubungi kami, aku selalu bertanya-tanya apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja di sana.
Saat ini tepat ketiga tahun Mas Bayu di Cina dan selama dua tahun terakhir tidak ada komunikasi atau kabar yang kami dapatkan darinya, ada rasa putus asa dalam keyakinan yang selalu aku pegang teguh selama ini terhadap orang yang aku cintai.
"Melamun lagi? Jangan suka melamun, Nia! itu tidak baik untuk mu."tegur Mas Anton suami dari Mba Ema, Mas Anton adalah saudara angkat ku, bahkan mba Ema sudah menganggapku seperti adik kandung nya sendiri, karena kami saat hidup susah pernah hidup serumah. Meskipun kami memiliki masa lalu yang harus dilupakan.
"Maaf, Mas. Aku hanya …."
Ucapanku terputus, saat tangan Mas Anton mengusap pucuk kepalaku dengan lembut, aku tahu saat ini Mas Anton tengah menguatkan diriku yang mulai putus asa dan bimbang dengan keadaan yang terjadi pada kami.
"Jangan dipikirkan Rin, ingat Nana membutuhkanmu. Kau harus banyak berdo'a pada Alloh agar semuanya baik-baik saja, semoga cepat ada kabar seperti yang kita inginkan selama ini,"ucap Mas Anton mengingatkan. Aku tidak tahu jika mereka tidak ada, bagaimana denganku saat ini yang tengah terguncang akibat kehilangan kabar dari Mas Bayu. Meskipun aku selalu mendapatkan kiriman uang dari Mas Bayu setiap bulan dalam jumlah yang besar, semua itu tidak membuatku bahagia.
"Ayolah, jangan bersedih seperti ini. Ingatlah Nana."
Betapa beruntung nya aku memiliki mereka, karena Mba Ema begitu menyayangi Nana, mengingat wanita itu tidak seberuntung aku, sembilan tahun mengarungi rumah tangga bersama Mas Anton, Mba Ema dan Mas Anton belum juga dikaruniai keturunan.
"Sudah, jangan dipikirkan lagi, Nia. Kau harus fokus pada Nana,"ujar Mas Anton menasehati aku.
"Yah, tentu. Mas, Mba. terimakasih banyak karena kalian selalu ada untuk kami."
Mba Ema mengangguk lalu berpamitan pulang, karena mereka telah puas bercengkrama dengan Nana sebelum tidur.
******
Nia pov.
Selama beberapa bulan terakhir aku menyibukan diri dengan menjaga toko bunga milik Mba Ema, meski awalnya mereka menolak keinginanku bekerja. Akan tetapi hanya ini caranya agar aku bisa melupakan sedikit masalah yang menimpaku karena Mas Bayu benar-benar tidak ada kabar seperti ditelan Bumi.
"Mama! " Panggil Nana, setelah gadis kecilku pulang dari sekolahnya.
Jarak sekolah Nana dengan toko bunga di mana aku bekerja sangat dekat, karena itu Nana bisa berangkat dan pulang sendiri.
"Anak Mama sudah pulang! Tadi belajar apa nak?"
Aku menyambutnya dengan senang, karena Nana masuk sekolah dasar dan kini gadis manis itu tepat berusia delapan tahun dan duduk di kelas tiga SD. Hanya ini hiburanku, saat rasa khawatir pada Mas Bayu melintas, hanya Nana menjadi pengobat rindu serta pereda kekecewaan yang aku rasakan.
"Banyak, Mama! Nana hari ini punya teman baru. Dia sangat baik dan Nana dapat nilai bagus."ocehannya menjadi semangatku, hingga senyum ini terukir saat mendengar semua ceritanya.
"Okey, sekarang, Nana. Ganti baju lalu makan siang,"titah ku.
Seperti inilah rutinitas yang aku lalui setiap hari, saat Nana pulang dari sekolah, Nana menjadi pelipur laraku dan semangat untukku, Nana selalu membantuku menjaga toko bunga milik Mba Ema, karena aku sengaja membawa bekal serta baju ganti untuk Nana dari rumah.
"Siap, Mama! Tapi apa ada kabar dari Papa?"
Ini pertanyaan Nana yang untuk kesekian kali selama dua tahun Mas Bayu tidak ada kabar dan tidak kembali, selama itu pula Nana selalu menanyakan kabarnya setiap hari, meski kini Nana lebih mengerti dan tidak menuntut seperti dua tahun yang lalu. Tapi tetap saja hati ini selalu sakit karena tidak bisa menjawabnya dan memang aku tidak memiliki jawaban yang bisa dijelaskan pada Nana.
"Belum ada sayang. Maaf, ya,"
"Tidak, apa-apa Mama, Nana tahu mungkin Papa sedang sibuk,"jawaban polosnya membuatku sangat bersalah dengan keadaan ini, karena aku tidak bisa mengembalikan keadaan seperti semula.
Gemerincing pintu berbunyi tanda jika ada pembeli datang.
"Pelanggan, Mama!"seru Nana dengan girang, aku tersenyum melihatnya, karena Nana sangat senang melayani pembeli yang datang membeli bunga ke toko ini.
Aku dan Nana memperhatikan seorang wanita berparas cantik masuk kedalam toko bunga ini, ia dengan piawai memilih jenis-jenis bunga yang telah tertata rapi di tempat nya.
Aku sangat bersyukur ini kesibukan yang mampu membuatku sedikit melupakan masalah yang ada begitu juga dengan Nana, Nana sangat suka melayani pembeli yang datang membeli bunga, hingga sedikit melupakan kesedihannya.
Kaki ini ingin melangkah, tapi sesaat tertahan saat mata ini terarah ke luar toko, di mana sosok yang aku kenal tengah berdiri.
"Ma, ada apa?" tanya Nana sembari menatapku bingung, karena aku benar-benar tidak bisa bergerak saat melihatnya.
Ting!
Pintu kembali berdenting, tapi aku masih belum bisa mengendalikan diriku.
Aku tidak bisa mengartikan apa yang aku rasakan saat ini, karena semua bercampur aduk hingga membuatku tetap bergeming menatap siapa yang masuk.
"Ma, ada pelanggan lagi!"
Aku mendengar apa yang Nana katakan, bahkan ia beralih menatap siapa pelanggan yang baru datang tersebut saat menghampiri wanita cantik yang tengah memilih bunga di dalam toko ini.
Belum sempat aku menguasai diri dan menahan Nana, dalam hitungan detik Nana berlari dengan spontan menuju kearah dia insan itu..
"Papa!"Seru Nana sembari memeluk pria itu.
Aku melihat dengan jelas wajah pria itu memucat saat menatapku yang tengah membeku.
"Papa! Papa kemana saja?"Tanya Nana dalam tangis, hingga pria yang tidak asing dimataku itu serta wanita yang datang bersamanya tersentak.
"Papa! Papa jangan pergi lagi, ya. Jangan tinggalkan Nana dan, Mama,"rengek Nana sambil menoleh ke arahku, aku benar-benar tidak mengerti apa yang kini terjadi, apa ini benar nyata jika dia Mas Bayu yang aku tunggu.
"Papa! Jawab!"Histeris Nana, aku benar-benar kehilangan tenaga dan kata untuk sekedar melangkah dan berucap saat melihat mereka.
"Hey! Apa yang kau lakukan, hah! "Serkas wanita cantik itu ,dengan reflek melepaskan pelukan Nana dari Mas Bayu hingga Nana didorong paksa dan hampir jatuh.
"Nana!"
Aku yang melihat dengan cepat menahan punggung Nana agar tidak terhempas ke lantai akibat dorongan dari wanita itu.
"Tuhan!"Gumamku dalam hati, lagi aku tidak menyangka dan percaya karena memang benar dia adalah Mas Bayu, bahkan kini dia kembali membuatku tertegun dalam diam saat Mas Bayu seolah-olah tidak mengenal kami.
Kini aku benar-benar tidak habis pikir, apa yang terjadi dan apa ini benar nyata terjadi?
"Ma, lihat Papa pulang!"
Aku mendengar dengan jelas tangisan Nana, saat ia ingin kembali memeluk Mas Bayu.
"Jangan mendekat, dasar aneh! Dia suami ku! Mana mungkin suami ku kenal kau dan ibumu yang jelek ini!!"Tukas wanita itu menghina sembari memeluk lengan kekar Mas Bayu lalu menarik nya agar menjauh dari Nana.
Seperti tersambar petir disiang hari, aku mencoba mencerna dan memproses ucapan wanita itu dan beralih menatap Mas Bayu yang tidak menunjukkan bahwa kami saling mengenal.
Ada yang salah, dengan cepat aku menahan bahu bahu nana agar gadis kecilku tidak berontak dan kembali memeluk Mas Bayu, begitu terlihat dari sorot mata Mas Bayu ketidak sukaan pada sikap Nana.
"Sayang, aku tidak suka kita di sini. Lebih baik kita mencari toko yang lain saja!"Serkas wanita itu dengan manjanya pada suamiku, sembari menatap ke arah Nana tidak suka, karena Nana terus menangis ingin melepaskan diri dari pelukanku.
"Oke, kita cari toko bunga di tempat lain yang lebih bagus, ya."
Aku melihat dengan dengan jelas seperti apa ekspresi suamiku saat menjawab ajakan wanita cantik itu, penuh dengan pancaran kasih sayang tapi berbeda saat dia menatap ke arahku dan Nana.
Entah apa yang kini terjadi, aku benar-benar tidak mengerti.
"Maaf, atas ketidaknyamanan ini Nona."
Aku berucap semampuku saat Mas Bayu dan wanita itu pergi meninggalkan toko bunga ini.
"Papa … Ma, Itu. Papa! Lepaskan … Nana … Nana ingin bertemu Papa!"Histeris nana menangis, saat Mas Bayu berlalu, aku tetap menahannya agar dia tidak mengejar mereka, karena sorot mata Mas Bayu begitu berbeda.
"Mama, kenapa mama membiarkan Papa pergi!"Raung Nana membalas pelukanku setelah Mas Bayu benar-benar hilang dari pandangannya.
"Maafkan, mama sayang,"bujukku sambil berjongkok hingga kami sejajar, aku mencoba kuat agar tidak menangis di hadapannya meski netra ini mulai memanas dan memerah.
"Mama, kenapa Papa pergi? Wanita itu siapa Mama? "
Suaraku kembali hilang saat pertanyaan dalam tangis Nana terlontar, karena akupun tidak memiliki jawaban
"Mama, tidak tahu nak. Mama tidak mengerti," jawabku dalam sakit hati, saat diriku mengingat Mas Bayu seakan-akan tidak mengenal aku dan Nana.
Pikiran ini tidak henti-hentinya mengingat kejadian tadi siang, di mana aku dipertemukan dengan orang yang selalu aku tunggu selama beberapa tahun ini.
Pertemuan yang selalu aku hayalkan berakhir indah dan manis, ternyata itu tidak akan pernah terjadi, karena pertemuan itu sangat membuat ku shock. Di mana Mas Bayu kembali bersama seorang wanita yang mengakui adalah istrinya.
Tuhan, apa yang terjadi ini? Batin ku berucap tidak henti mengharapkan semua ini hanyalah mimpi,
Hari berganti sore, aku memutuskan menutup toko bunga dan pulang, karena setelah kejadian tadi siang Nana tidak banyak berbicara.
Setelah di rumah, aku menemani Nana mengerjakan tugas di ruang tengah yang merangkap sebagai ruang tamu, karena rumah sederhana ini hanya memiliki satu lantai dengan tiga kamar, satu ruang tengah dan dapur.Aku membantu Nana mengerjakan PR dari sekolah setelah makan malam, tapi tetap sama tidak ada percakapan apapun diantara kami selain fokus pada pekerjaan rumah tersebut,sampai akhirnya konsentrasi kami teralihkan saat pintu rumah diketuk dari luar."Nana, tunggu sebentar,ya. Mama bukakan pintu dulu, sepertinya ada tamu sayang,"Nana mengangguk kecil, aku berdiri lalu berjalan menuju pintu dan membukanya.Aku begitu terkejut saat melihat siapa tamu yang datang, karena dia menatapku begitu nyalang."Poppa!"Seru nana dengan cepat ingin menghampiri dan berniat ingin memeluk Mas Bayu."Tetap di sana! "Bentuknya
Aku tidak tahu kami akan dibawa kemana, sementara Nana di sampingku hanya diam sambil menggenggam tangan ini dengan erat, aku tahu kata-kata kasar serta bentakan Mas Bayu pasti sangat membuat Nana taruma. Bagaimanapun aku hanya ingin kami selalu bersama."Ingat, Nia! Setelah kau berada di rumahku, kau harus memastikan jangan pernah Nana memanggilku, Papa! Apa lagi bersikap kita saling mengenal di depan, Mona. Istriku! Aku ingin diantara kita seolah-olah tidak saling mengenal, karena status kita di sini hanya sebatas majikan dan pembantu!"Semua penjelasan dan penekanan suara terakhirnya membuatku sadar, jika kami tetap berjarak, sehingga Nana dengan kuat meremas baju yang aku pakai."Kau mendengarku kan, Nia!""Tapi kenapa, Mas!"Protesku memberanikan diri, karena aku pikir hidup kami akan kembali seperti semula."Bukankah kau yang memintanya! Kau siap melakukan
Nia pov Hari-hari yang aku jalani seperti apa yang Mas Bayu katakan, jika aku harus melayani Mona istrinya. Selama seminggu aku mulai memahami sifat Mona dan tidak jarang kewalahan menghadapinya, karena sangat mudah marah dan selalu memiliki keinginan yang aneh-aneh. Ternyata apa yang dikatakan bibi Ijah benar malam itu, jika majikannya selalu memiliki mood yang mudah berubah-ubah semasa hamil dan kini aku benar-benar diuji saat harus menuruti keinginan Mona yang selalu di luar batas. "Aku tidak mau itu!" Tolak Mona sembari mengibaskan tangannya, saat aku masuk ke dalam kamar mereka membawakan satu piring puding yang ia minta beberapa menit yang lalu. "Tapi ini puding yang nyonya inginkan tadi." Aku mencoba mengingatkan sembari berbuat meletakkan piring di atas meja. Prak! Mataku membulat saat
Ku baringkan diriku di samping Nana setelah makan malam, karena hari ini kesabaran dan ragaku benar-benar lelah akibat keinginan tidak wajar Mona, seharian ini aku di minta melakukan apapun yang ia inginkan. Tapi tidak ada satupun yang benar hingga aku benar-benar kesal, akan tetap semua itu harus aku tahan demi tujuan awal kami kemari. "Ma! Mama baik-baik saja kan? " Kekhawatiran Nana mengembangkan senyum ku, karena memang malam ini badanku rasanya remuk. "Yah, Mama baik nak. " "Apa karena nyonya Mona?" Aku tersenyum sembari mengusap sayang pipi Nana. " Yah …, untung saja ada Bibi Ijah, dia selalu menolong Mama." "Nenek ijah memang sangat baik, Nenek juga selalu menemani nana di sini. " Ocehan Nana cukup membuat rasa lelah ku berkurang, karena hanya ini hiburan ku selama ini, mengingat Nana untuk sementara waktu a
Bagai disambar petir, aku benar-benar tidak menyangka jika mas Bayu memiliki pemikiran kotor terhadapku, karena selama ini aku selalu setia menunggunya. "M_mas! "Aku tergagap karena semuanya benar-benar di luar ekspektasi ku selama ini. "Kenapa hah! Aku benar kan, Nia! Jika selama aku di Cina kau pasti bermain gila dengan pria lain!" Tuduhan yang ia lontarkan benar-benar membuat mentalku lemah, bahkan aku tidak bisa bergerak selain menuruti apa keinginannya. "Uhh …, a_aku tidak seperti itu. Cukup hentikan mas! Sakit." Rintihku menahan nyeri setiap gerakan kasarnya merenteti tubuh ini. Bahkan ini untuk pertama aku diperlakukan dengan kasar saat dia menuntut haknya. "Dasar jalang! Kau selalu berbohong padaku! Katakan jika kau selalu berselingkuh dibelakangku, Nia!"
"Sudah Mama katakan, sayang! Mama baik-baik saja." Keyakinan sembari menggenggam tangan mungilnya. "Tapi wajah Mama pucat." Akhirnya aku tidak bisa mengelak, karena percuma. Nana pasti tahu apa yang aku alami. "Hanya kelelahan, Nana tahu seperti apa pekerjaan Mama kan?" Ku cubit gemas pipi Nana, karena mata cantiknya tidak putus memandangku. "Nana sangat khawatir dengan kesehatan, Mama! Apa besok Nana boleh membantu pekerjaan Mama? " Aku benar-benar terbaru dengan ketulusannya, saat ingin membantu. Seketika setitik beban yang aku rasakan berkurang saat melihat wajah polosnya, karena hanya Nana penyemangat dan kekuatan ku kini setelah semua yang terjadi hingga kami terperangkap di dalam rumah ini. Meski Nana tidak mengetahui apa yang telah aku alami selama di sini. "Tidak perlu, sayang! Ada Nenek Ijah yang sel
Bruukk! "Ughh! " Aku terpojok di dinding setelah leherku di cengkraman kuat oleh mas Bayu lalu menyudutkanku di tembok, hingga aku tidak bisa bergerak selain merintih kesakitan. Setelah kejadian di meja makan, mas Bayu menghampiri ku lalu melakukan kekerasan ini padaku. "Hiks, Pa! jangan sakiti Mama, hiks … lepaskan Mama." Isal Nana ketakutan melihat sikap kasar mas Bayu melakukan kekerasan fisik padaku. "Brengsek! Katakan kau kenapa hah!" Aku tidak menjawab selain sesekali melirik Nana yang tengah menangis mencoba menolongku. " Hikss … Papa, kasian Mama. Lepaskan, Pa! Hiks …. "Mas Bayu dengan dengan kasar menepis tangan Nana yang mencoba melepaskan cengkramannya dari leherku, hingga Nana terhempas di atas tempat tidur. Aku yang tengah tercekik semakin lemas tidak bertenaga, karena pasokan oksi
Nia pov Aku tidak henti-hentinya menghibur Nana agar tersenyum pagi ini, karena setelah kejadian tadi malam Nana terlihat murung dan tidak banyak bicara seperti biasanya sampai jam semakin siang dan selama itu pula aku khawatir dengan keadaannya. "Sayang, Mama mohon jangan seperti ini. Nana membuat Mama takut. " Bujukku lambat, setelah aku kembali dari kamar Mona mengerjakan beberapa pekerjaan dan perintahnya. "Maaf, Ma!" Sendu Nana menatap iris mataku, karena memiliki lingkaran seperti panda. "Nana, tidak salah sayang. Katakan sekarang Nana mau apa? "Aku mencoba membujuk Nana, agar tidak berdiam diri terus. " Nana hanya bosan di kamar, Ma." Aku tersenyum kasihan dengan gadis kecil ku ini, karena memang selama kami tinggal di rumah ini, sengaja ku larang Nana keluar dari kamar jika aku sedang bekerja. Aku t
Nila pov) Cukup lama aku aku mencoba memejamkan mata, tapi mata ini enggan untuk terlelap, jangankan untuk terlelap, rasa kantuk pun enggan hinggap padahal jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, tapi mata ini tetap tidak mau terpejam dan tidur setelah kejadian tadi. Aahh… dia memang selalu membuat ku ingin gila. Batin ku bersua jika mengingat semua kejadian demi kejadian bersangkutan dengannya. Kriit!Pintu terbuka, orang yang aku pikirkan sejak tadi kini masuk dan menghampiri ku. "Kenapa kau tidak tidur? " tegurnya basa basi. Ku tatap mata hitamnya dengan lekat, apa dia tidak sedang mengigau? Kenapa malam-malam seperti ini kemari. "Kau sendiri? Kenapa kesini? " balas ku cuek, aku sengaja bersikap seperti ini karena aku tidak ingin dia menganggapku mudah terpengaruh, mengingat dia tahu siapa aku ini, dan aku juga memang ingin berubah menjadi yang lebih baik demi ibuku. "Apa salahnya? " balasannya merasa tidak bersalah. "Bay, apa kau sadar dengan apa yang kau lakukan? " tany
(Pov Bayu) Aku semakin merasa serbasalah, karena setelah kejadian tadi siang, Nila tidak bertegur sapa dengan ku, jangankan bertegur sapa, saat makan malam bersama Nila tidak adanya percakapan di antara mereka begitu juga Nana, gadisku seolah-olah sengaja mendiamkan aku setelah kejadian tadi. Setelah makan malam mereka berdua berlalu begitu saja kembali ke kamar, aku semakin bingung harus melakukan apa, karena aku tahu semua ini adalah kesalahan ku, semua berawal dari diriku. Andaikan aku tidak membawa masuk Mona ke dalam keluarga ini, semuanya tidak akan pernah terjadi. "Hahhh…." Kuhela nafas dalam sembari menatap langit langit ruang makan setelah aku sendirian di sini. "Lebih baik, bapak susul nak Nila. "Aku menoleh di mana bi Ijah berdiri di sampingku, karena ia tengah membereskan makan malam yang sudah usai. "Saya takut bi, " lirih ku jujur, karena aku memang sedikit takut saat melihat reaksi Nila saat membalas perlakuan Mona. "Saya yakin Tuan, nak Nila tidak seperti itu, d
Hari semakin sore, Nana mulai merasa jenuh di kamar, karena ia hanya menghabiskan waktu untuk menggambar dan belajar bersama Nila. "Ma… Nana bosan. "Nila yang tengah mengganti pokok Hafiz menatap wajah memelas Nana lalu tersenyum gemas. "Oooh… bosan? "Nana mengangguk membenarkan lalu menutup buku gambarnya. "Baiklah, sekarang Nana turun ke bawah saja, ya. Nanti Mama susul, adik Hafiz lapar, setelah urusan Mama selesai, Mama akan susul Nana di bawah. "Nana mengangguk lalu dengan senang memungut satu boneka kesayangannya dan membawanya lebih dulu ke lantai bawah. Dengan langkah riang Nana menuruni tangga, sembari bernyanyi-nyanyi, karena memang jam seperti ini semua pembantu yang bekerja di rumah itu sedang sibuk melakukan tugas mereka, Nana melangkah dengan hati-hati hingga ia sampai di lantai bawah dan disana tatapannya tidak sengaja tertuju pada seorang wanita yang selama ini pergi dari rumah, wanita itu kini tengah menyeret koper besar di tangannya dengan omelan dan ocehan se
Suara riuh di ruang makan pasti terjadi di pagi hari, saat Nana menolak babysitter menyuapi nya sarapan, karena Nana hanya ingin makan satupun sarapan bersama Nila, wanita yang mirip dengan ibunya. Tapi karena kesibukan Nila mengurus Hafiz, dengan terpaksa ia mengabaikan Nana terlebih dahulu, karena Hafiz pagi ini juga tidak mau bersama babysitter. "Bersama, nenek saja, ya. Bukan kah Nana harus segera ke sekolah. " Bujuk bi Ijah mengambil alih piring sarapan Nana dari babysitter. "Tidak mau, Nana maunya sama, mama… . "Rengek Nana memalas,karena Nila masih di kamar belum bergabung dengan mereka di meja makan sarapan. " Tapi, sayang. Mama sedang menjaga adik Hafiz, Nana sama nenek dulu, ya. "Nana menggeleng cepat menolak, bi Ijah menghela nafas dalam karena selama ini memang Nana dan Hafiz sangat sulit dikendalikan jika tidak bersama Nila. "Pokoknya, Nana mau mama, Nana mau makan bersama Mama saja, titik. " Sentak Nana sembari menghentakkan kakinya ke lantai. Bayu yang baru bergab
Sementara di kamar lain Bayu menangis sejadi-jadinya saat ingatannya terus tertuju pada Nia, karena rasa bersalah dan sesal semakin bertambah setelah kejadian tadi, ia kembali melakukan pengkhianatan untuk kesekian kalinya pada Nia istrinya, padahal Bayu telah berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berubah dan memulainya dari awal agar menjadi diri dan pribadi yang lebih baik lagi untuk anak-anak mereka, meski sosok yang harus dirinya perjuangkan tidak lagi bersamanya, tapi Bayu sudah bertekad untuk terus menembus semua dengan caranya selalu setia pada Nia. Akan tetapi malam ini ia kembali mengulang kesalahan yang sama, kesalahan yang seharusnya tidak ia lakukan, yang lebih parahnya lagi dirinya tidak bisa membedakan Nia dan orang lain. "Hiks… Maaf sayang, hiks... Maafkan aku. Hiks... " Isak Bayu dalam penyesalan terdalamnya sembari meringkuk di atas tempat tidur. "Aku, hiks… tidak mengerti, hiks… apa yang sebenarnya terjadi. Hiks... Dan rencana apa ini, hiks... Kenapa dia begitu mi
Minggu-minggu berganti begitu cepat, Nila sangat menikmati hari-harinya setelah bekerja menjadi babysitter Nana dan Hafiz, bahkan ia selalu sukses menggoda Bayu saat mereka sedang berdua, meski sejujurnya Nila melakukan semua itu tidak lebih agar bisa membuat perasaan bersalah Bayu sedikit berkurang, karena dari iris mata duda tampan itu setiap memandangnya menyiratkan penyesalan yang mendalam dan kesedihan. Itu sebabnya Nila selalu melancarkan aksinya menggoda majikannya itu, meski ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri, jika dirinya cukup tertarik dengan duda beranak dua itu.Akan tetapi Nila memiliki batasan, dirinya sadar jika semua itu tabu untuknya terus melangkah, itu sebabnya Nila memilih menikmati keadaan yang tercipta setiap kali ia menggoda Bayu. Seperti malam ini, Bayu menemani Nana sebentar di kamar mereka, karena Nila tengah menyusui Hafiz, Bayu tidak ingin membuat membuat Nila kelelahan menjaga kedua anaknya, itu sebabnya ia turun tangan langsung mengurus Nana sa
( Pov author) Nila melahap makan siangnya dengan terburu-buru, karena Hafiz begitu rewel dan selalu menangis jika tidak berada di pelukannya. " Pelan-pelan nak Nila. "Tegur bisa Ijah agar Nila tidak makan dengan tergesa-gesa. Nila sesekali melirik Hafiz yang tengah menangis di dalam gendongan babysitter yang sudah 3 bulan bekerja, tapi tetap saja bayi mungil itu tidak tenang dan tidak bisa di bujuk. " Tuhan, apa Hafiz selalu seperti ini bibi? "Nila dengan terburu-buru menelan nasinya setelah bertanya. " Yah, tapi setelah kau datang. Hafiz semakin menjadi. "Keluh Ijah jujur, karena setelah kedatangan Nila kemarin, kedua anak yang selama ini mereka rawat hanya tenang saat bersama Nila. " Tapi kenapa bibi? "Heran Nila. Bisa Ijah menghela nafas dalam sembari menatap Nila " Mungkin karena wajahmu begitu mirip dengan mama mereka. "Ijah tidak memungkiri jika Nila benar-benar mirip dengan Nia, mendiang ibu Nana dan Hafiz. "Ooohh Tuhan anak ini." Keluh babysitter kelelahan lalu duduk b
Bayu membuka pintu kamar kedua anaknya tanpa permisi, hingga dirinya sendiri terkejut begitu juga dengan Nila, karena Nila baru saja keluar dari kamar mandi, bahkan ia hanya menggunakan handuk sebagai penutup tubuhnya. "Bisa kah kau masuk mengetuk pintu dulu. " Ketus Nila, meski ia sudah terbiasa berdekatan desa laki-laki tidak ia kenal, tapi jika harus dikagetkan seperti ini ia merasa tidak nyaman. Bayu menelan salivanya berat, saat tatapannya tidak sengaja berserobok dengan Nila, karena pagi ini wanita yang mirip dengan istrinya itu sangat berbeda dan sangat cantik. "Errr… i_itu_ ma_af Nila, saya hanya ingin memastikan keadaanmu. Ap_apa kamu baik-baik saja?"Nila menaikan satu alisnya heran, karena Bayu terlihat gugup dan berbicara tergagap-gagap. "Aku baik-baik saja kan pak tampan? Kau terlihat tidak sehat, ada apa? " Penasaran Nila sembari berjalan mendekati Bayu, karena hanya diam tidak bisa bergerak, ia seperti terhipnotis saat menatapnya. "Ba_baguslah, saya lega mendengarn
Nana duduk cantik di samping Bayu yang tengah menyantap sarapannya. Bayu sesekali melirik wajah polos Nana, karena gadis kecil itu seperti tengah memikirkan sesuatu. "Ada apa sayang? " Penasaran Bayu, Nana menatapnya sekilas lalu menggeleng kecil. "Nana yakin? " Ulang Bayu. Nana dengan cepat mengangguk menyakinkan meski kejadian tadi benar-benar membuat dirinya terkejut. "Baiklah." Menyerah Bayu lalu kembali melanjutkan sarapannya, sembari sesekali menatap keseriusan Nana saat sarapan, karena wajah polosnya terlihat sangat menggemaskan saat berpikir. "Nana harus ingat, ya. Saat pulang Nana harus menunggu jemputan dari rumah, jangan pergi kemana-mana atau pulang bersama orang lain apalagi yang tidak dikenal, sayang. " Nana menatap wajah serius sang ayah, karena selama tinggal bersama sang ayah begitu protektif padanya, bahkan ia sudah sangat hafal dengan kalimat tersebut, karena setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah Bayu selalu mengingatkan dirinya akan hal itu. "Oya, dan satu