(Nia pov)
Seperti janji Mas Bayu, dia selalu menghubungi, aku dan Nana setiap hari. Bahkan setiap jam saat minggu-minggu pertamanya di Cina, Mas Bayu tidak bosan-bosannya menanyakan kabar kami, jujur aku sangat lega meski awalnya hati ini dihantui ketakutan jika semua janji itu bohong, tapi ku memantapkan keyakinanku mengingat kami telah menikah enam tahun. Sudah sepatutnya aku sebagai istri percaya padanya meski kami terhalang jarak. Karena jarak bukan sebuah batasan untuk tidak salah percaya.
("Apa, kabar Papa?")
Nana terlihat sangat gembira, setiap mendapatkan telpon dari Papanya dan aku turut senang karena kabar yang kami dapatkan.
("Apa, kabar anak Papa yang cantik. Anak Papa belajar apa tadi di sekolah?")
Nana begitu girang, saat mendengar pertanyaannya dari Mas Bayu di seberang sana, aku sangat lega, karena Mas Bayu selalu menunjukkan perhatian dan tanggung jawab meski jarak kami terpisah jauh.
Hari ini tepat ke sembilan bulan Mas Bayu di Cina, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat dan rasa rindu bisa diobati saat Mas Bayu menghubungi kami.
Jujur ada rasa curiga, tapi aku tidak ingin memperkeruh keadaan, karena aku ingin Mas Bayu meraih keinginannya.
Mas Bayu tidak henti-hentinya menanyakan aktivitas buah hati kami, karena dua bulan terakhir, aku sengaja memasukan Nana ke sebuah PAUD yang tidak jauh dari rumah, agar Nana memiliki aktivitas untuk menunjang tumbuh kemang kecerdasan aktif balita sepertinya.
( "Papa kapan pulang? Nana kangen.")
Aku tersenyum sembari menatap mata Mas Bayu saat membalas pandanganku di seberang sana, aku sadar Mas Bayu juga merasakan hal yang sama terhadap Nana.
Aku tahu, semua ini sangat berat bahkan aku merasakannya dan sangat ingin meminta Mas Bayu kembali, tapi aku sadar keadaan tidak memungkinkan dan aku tidak ingin mengecewakan Mas Bayu dengan keegoisanku.
("Oya, Sayang mungkin akhir-akhir ini aku akan jarang menghubungimu, pekerjaanku di sini semakin menumpuk karena jabatanku di naikani oleh direktur perusahaan, membuat tanggungjawab pekerjaanku semakin bertambah.")
Jujur rasa kecewa seketika dihati ini menyeruak bahkan ada rasa curiga dihatiku, tapi aku sadar semua pengorbanan kami kini telah membuahkan hasil, terbukti. Jabatan Mas Bayu dinaikkan oleh pihak perusahaan dimana ia bekerja di China.
("Mas, tenang saja, Aku sangat mengerti.")
Aku mencoba memahami keadaan ini, meski rasanya aku ingin protes.
("Selamat, ya. Mas, atas kenaikan jabatannya, semoga Mas semakin sukses di sana.")
Hanya ini doa ku, do'a untuk orang yang aku cintai, aku hanya ingin dia segera kembali pulang dan berkumpul bersama.
("Terimakasih sayang. Jaga diri kalian baik-baik, ya.")
Hati ini begitu teduh, saat Mas Bayu selalu memberikan perhatian pada aku dan Nana
("Baiklah, Papa pamit dulu, ya, Papa harus istirahat. Ingat jaga kesehatan kalian berdua, Papa mencintai kalian.")
Ingin ku menahannya, tapi lidah ini kelu untuk sekedar berucap' tunggu', karena aku sadar Nana juga masih ingin melanjutkan obrolan ini, hingga akhirnya layar ponsel kembali seperti semula, Nana memelukku dengan erat sambil menangis, aku merasakan apa yang gadis kecil ini rasakan, karena aku juga merasakan hal demikian 'kecewa'.
******
Nia pov.
Hari berganti bulan, aku lega meski Mas Bayu menghubungi kami tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, setidaknya Mas Bayu masih menyempatkan waktu sibuknya untuk menghubungi kami dan memberitahukan kabarnya di sana dan menanyakan kabar kami di sini, jujur ada rasa kecewa karena kini komunikasi kami terhalang oleh waktu dan kesibukan, tapi aku selalu mencoba mengerti mengingat semua untuk masa depan.
Tutur kata Mas Bayu selalu menjadi penyemangat dan kepercayaan untukku saat dia menelpon atau melakukan video call, lega rasanya meski aku tidak bisa menggapainya. Semua sudah lebih dari cukup membuatku bahagia asalkan apa yang Mas Bayu inginkan tercapai di sana.
Bohong jika aku tidak merindukannya, hanya mendengar suaranya saja sudah membuat ku melayang, kadang aku menghayal suatu saat nanti Mas Bayu kembali, aku tidak akan melepaskannya seperti saat ini, aku akan menahannya karena rasa cinta yang aku miliki. Bahkan aku membayangkan saat kami berjumpa kelak, akan ada kata-kata manis dan romantis yang terucap dari bibirnya seperti dahulu saat kami menjalin kasih. Akan tetapi aku harus bersabar menunggu kepulangan Mas Bayu, karena waktu masih terlalu lama untuk kami berjarak.
*********
Hingga akhirnya, Bulan berganti tahun, Nana kini mulai bersekolah ditaman kanak-kanak dan perubahan semakin terasa, karena akhir-akhir ini Mas Bayu sangat jarang menghubungi kami. Dengan alasan sibuk Mas Bayu tidak bisa menghubungi kami hingga aku tidak habis pikir, begitu banyak kah pekerjaanya hingga ia tidak memiliki waktu,, padahal aku yakin pasti ada waktu istirahat untuknya. Akan tetap kembali pada keyakinanku, aku mempercayainya dan bersabar. Meski hanya seminggu sekali kami saling bertukar kabar, itupun hanya melalui telepon. Karena Mas Bayu selalu menolak saat Nana atau aku meminta video call dengannya karena alasan banyak pekerjaan.
********
Dan kini keadaan pelik semakin menambah keanehan, Mas Bayu tiba-tiba menghilang begitu saja, tidak ada kabar. Aku mencoba menghubungi nomor teleponnya, tapi yang terdengar selalu operator yang menjawab atau dialihkan.
Jujur, hati ini sangat sakit, kecewa dan takut. Tapi aku mencoba untuk terus percaya jika semua baik-baik saja, mungkin akibat kesibukan, Mas Bayu tidak bisa menghubungi kami, mungkin saja. Aku tidak ingin berpikir terlalu jauh, berpikiran yang tidak-tidak akan membuat keadaan semakin kacau, meski aku sangat kecewa dengan semua ini.
Seperti hari ini, Nana begitu girang menunggu telpon dari ayahnya tanpa bosan, meski gadis kecil itu selalu menangis saat telpon yang ia tunggu tidak kunjung menghubunginya.
Sakit?
Itu sangat jelas, suami yang aku percaya dan aku cintai menghilang tanpa kabar, bak ditelan bumi.
"Mama, apa Papa sudah menelpon? Nana ingin memperlihatkan gambaran nana pada, Papa."tanya Nana.
Aku tidak bisa menjawab, karena memang ini untuk kedua bulan Mas Bayu tidak menghubungi kami, bahkan saat aku mencoba menghubunginya, sambungan selalu dialihkan dan terkadang tidak aktif di luar jangkauan.
"Papa sibuk sayang, mungkin nanti malam Papa menelpon. Kita tunggu nanti, ya."Menenangkannya, hanya ini caraku, Nana hanya bisa menghempaskan nafas kecewa. aku tahu Nana pasti bosan dengan bujukanku.
Nana tetap menunggu telpon dari Mas Bayu seperti yang aku katakan tadi siang, jam-jam berlalu tapi tidak ada panggilan masuk dari Mas Bayu, membuat Nana berkali-kali meremas buku gambar yang ia peluk sedari tadi."Ini sudah larut sayang, Nana. Tidur, ya."Nana menatapku dengan mata berkaca-kaca, hatiku benar-benar hancur saat melihat anak semata wayangku seperti ini."Kenapa, Papa. Tidak pernah menghubungi kita, Mama? Apa Papa sudah tidak sayang kita lagi? ""Tidak sayang, Papa hanya terlalu sibuk. Mungkin besok, Papa. akan menelpon, Kita tunggu besok,ya.""Momma, selalu mengatakan itu! Kita tunggu besok! Kita tunggu nanti malam! Tapi nyatanya! Papa sampai sekarang belum menghubungi kita!"Suaraku hilang, untuk sekedar menenangkan Nana aku tidak mampu saat gadis kecilku mulai menunjukkan kekecewaannya.Netraku yang telah
Setelah di rumah, aku menemani Nana mengerjakan tugas di ruang tengah yang merangkap sebagai ruang tamu, karena rumah sederhana ini hanya memiliki satu lantai dengan tiga kamar, satu ruang tengah dan dapur.Aku membantu Nana mengerjakan PR dari sekolah setelah makan malam, tapi tetap sama tidak ada percakapan apapun diantara kami selain fokus pada pekerjaan rumah tersebut,sampai akhirnya konsentrasi kami teralihkan saat pintu rumah diketuk dari luar."Nana, tunggu sebentar,ya. Mama bukakan pintu dulu, sepertinya ada tamu sayang,"Nana mengangguk kecil, aku berdiri lalu berjalan menuju pintu dan membukanya.Aku begitu terkejut saat melihat siapa tamu yang datang, karena dia menatapku begitu nyalang."Poppa!"Seru nana dengan cepat ingin menghampiri dan berniat ingin memeluk Mas Bayu."Tetap di sana! "Bentuknya
Aku tidak tahu kami akan dibawa kemana, sementara Nana di sampingku hanya diam sambil menggenggam tangan ini dengan erat, aku tahu kata-kata kasar serta bentakan Mas Bayu pasti sangat membuat Nana taruma. Bagaimanapun aku hanya ingin kami selalu bersama."Ingat, Nia! Setelah kau berada di rumahku, kau harus memastikan jangan pernah Nana memanggilku, Papa! Apa lagi bersikap kita saling mengenal di depan, Mona. Istriku! Aku ingin diantara kita seolah-olah tidak saling mengenal, karena status kita di sini hanya sebatas majikan dan pembantu!"Semua penjelasan dan penekanan suara terakhirnya membuatku sadar, jika kami tetap berjarak, sehingga Nana dengan kuat meremas baju yang aku pakai."Kau mendengarku kan, Nia!""Tapi kenapa, Mas!"Protesku memberanikan diri, karena aku pikir hidup kami akan kembali seperti semula."Bukankah kau yang memintanya! Kau siap melakukan
Nia pov Hari-hari yang aku jalani seperti apa yang Mas Bayu katakan, jika aku harus melayani Mona istrinya. Selama seminggu aku mulai memahami sifat Mona dan tidak jarang kewalahan menghadapinya, karena sangat mudah marah dan selalu memiliki keinginan yang aneh-aneh. Ternyata apa yang dikatakan bibi Ijah benar malam itu, jika majikannya selalu memiliki mood yang mudah berubah-ubah semasa hamil dan kini aku benar-benar diuji saat harus menuruti keinginan Mona yang selalu di luar batas. "Aku tidak mau itu!" Tolak Mona sembari mengibaskan tangannya, saat aku masuk ke dalam kamar mereka membawakan satu piring puding yang ia minta beberapa menit yang lalu. "Tapi ini puding yang nyonya inginkan tadi." Aku mencoba mengingatkan sembari berbuat meletakkan piring di atas meja. Prak! Mataku membulat saat
Ku baringkan diriku di samping Nana setelah makan malam, karena hari ini kesabaran dan ragaku benar-benar lelah akibat keinginan tidak wajar Mona, seharian ini aku di minta melakukan apapun yang ia inginkan. Tapi tidak ada satupun yang benar hingga aku benar-benar kesal, akan tetap semua itu harus aku tahan demi tujuan awal kami kemari. "Ma! Mama baik-baik saja kan? " Kekhawatiran Nana mengembangkan senyum ku, karena memang malam ini badanku rasanya remuk. "Yah, Mama baik nak. " "Apa karena nyonya Mona?" Aku tersenyum sembari mengusap sayang pipi Nana. " Yah …, untung saja ada Bibi Ijah, dia selalu menolong Mama." "Nenek ijah memang sangat baik, Nenek juga selalu menemani nana di sini. " Ocehan Nana cukup membuat rasa lelah ku berkurang, karena hanya ini hiburan ku selama ini, mengingat Nana untuk sementara waktu a
Bagai disambar petir, aku benar-benar tidak menyangka jika mas Bayu memiliki pemikiran kotor terhadapku, karena selama ini aku selalu setia menunggunya. "M_mas! "Aku tergagap karena semuanya benar-benar di luar ekspektasi ku selama ini. "Kenapa hah! Aku benar kan, Nia! Jika selama aku di Cina kau pasti bermain gila dengan pria lain!" Tuduhan yang ia lontarkan benar-benar membuat mentalku lemah, bahkan aku tidak bisa bergerak selain menuruti apa keinginannya. "Uhh …, a_aku tidak seperti itu. Cukup hentikan mas! Sakit." Rintihku menahan nyeri setiap gerakan kasarnya merenteti tubuh ini. Bahkan ini untuk pertama aku diperlakukan dengan kasar saat dia menuntut haknya. "Dasar jalang! Kau selalu berbohong padaku! Katakan jika kau selalu berselingkuh dibelakangku, Nia!"
"Sudah Mama katakan, sayang! Mama baik-baik saja." Keyakinan sembari menggenggam tangan mungilnya. "Tapi wajah Mama pucat." Akhirnya aku tidak bisa mengelak, karena percuma. Nana pasti tahu apa yang aku alami. "Hanya kelelahan, Nana tahu seperti apa pekerjaan Mama kan?" Ku cubit gemas pipi Nana, karena mata cantiknya tidak putus memandangku. "Nana sangat khawatir dengan kesehatan, Mama! Apa besok Nana boleh membantu pekerjaan Mama? " Aku benar-benar terbaru dengan ketulusannya, saat ingin membantu. Seketika setitik beban yang aku rasakan berkurang saat melihat wajah polosnya, karena hanya Nana penyemangat dan kekuatan ku kini setelah semua yang terjadi hingga kami terperangkap di dalam rumah ini. Meski Nana tidak mengetahui apa yang telah aku alami selama di sini. "Tidak perlu, sayang! Ada Nenek Ijah yang sel
Bruukk! "Ughh! " Aku terpojok di dinding setelah leherku di cengkraman kuat oleh mas Bayu lalu menyudutkanku di tembok, hingga aku tidak bisa bergerak selain merintih kesakitan. Setelah kejadian di meja makan, mas Bayu menghampiri ku lalu melakukan kekerasan ini padaku. "Hiks, Pa! jangan sakiti Mama, hiks … lepaskan Mama." Isal Nana ketakutan melihat sikap kasar mas Bayu melakukan kekerasan fisik padaku. "Brengsek! Katakan kau kenapa hah!" Aku tidak menjawab selain sesekali melirik Nana yang tengah menangis mencoba menolongku. " Hikss … Papa, kasian Mama. Lepaskan, Pa! Hiks …. "Mas Bayu dengan dengan kasar menepis tangan Nana yang mencoba melepaskan cengkramannya dari leherku, hingga Nana terhempas di atas tempat tidur. Aku yang tengah tercekik semakin lemas tidak bertenaga, karena pasokan oksi