"Semua orang sudah bangun, bahkan suamimu juga sudah bersiap mau kerja, tapi kamu malah enak- enakan molor. Memalukan!" Amira kesal sekali."Aku sakit. Demam." Habiba menjelaskan kondisinya. Siapa tau Amira akan memahami, tapi ternyata tidak. Alasan itu tidak cukup untuk membuat kemarahan Amira menurun."Itu deritamu. Jangan kau kaitkan dengan kemalasanmu itu. Cepat bekerja! Bereskan kamar ini! Bersihkan seluruh ruangan. Jangan malas!" titah Amira berusaha membuat Habiba tidak betah di rumah itu."Jika pekerjaanmu tidak beres dalam satu jam ke depan, maka kamu akan kuhukum." Amira melenggang pergi.Tubuh Habiba terasa ngilu, hawa pun terasa dingin olehnya. Dia bersin beberapa kali. Tapi semua itu tidak menyurutkan tekadnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ia dengan tergesa- gesa menyapu, mengepel dan merapikan semua ruangan. "Wah, upik abu jadi Cinderella, sayangnya cinderellanya tidak diakui. Ternyata menjadi istri tuan muda tidak seindah yang kamu harapkan," celetuk Fara saat me
"Kau selesaikan saja masalahmu sendiri. Masalahmu dengan mama, itu adalah urusanmu. Belajarlah dewasa!" Husein berlalu pergi.Amira tersenyum penuh kemenangan melihat sikap acuh putranya. "Tunggu apa lagi? Bereskan semua pecahan piring ini! Cuci semua piring! Setelah itu, sapu sekeliling halaman rumah!" titah Amira dengan lantang.Perintah konyol. Semua pekerjaan itu jelas sudah ada petugasnya masing- masing. Jika Habiba menyapu halaman sekeliling rumah yang sangat luas itu, tentu seharian pun dia tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri. Ini benar- benar konyol.Habiba balik badan, meninggalkan ruangan itu tanpa peduli pada perintah mertuanya."Hei, mau kemana kau? Kembali!" teriak Amira keras sekali.Habiba setengah berlari, menaiki anak tangga. Sampai ke lantai dua. Masuk kamar. Menjemput barang- barang seperlunya, termasuk ponsel, tas dan apa saja yang dia butuhkan. Saat keluar kamar, Amira sudah berdiri di depan pintu. Tatapan matanya nyalang."Mau kemana kau?" Amira melihat t
"Bu!" Habiba membuka pintu setelah mengucap salam. Dia melempar senyum lebar. "Aku pulang." Dia menciumi pipi Fatona dengan rasa gembira. Sengaja Habiba menampilkan ekspresi bahagia. Sebelum masuk rumah, dia sudah belajar beberapa menit untuk supaya bisa terlihat gembira. Tidak boleh terlihat sedih. Fatona hanya perlu melihat kebahagiaannya saja. Jangan sampai tahu yang sedih- sedih. "Biba? Kamu pulang?" Fatona memeluk bungsunya haru. "Ibu rindu sekali padamu.""Sama. Aku juga rindu, Bu." Habiba menyandarkan kepala ke dada ibunya. Nyaman sekali di posisi itu."Kenapa kamu pulang?" "Nggak boleh pulang ya, Bu?"Fatona tersenyum."Aku rindu sekali sama ibu," ucap Habiba. "Sejak awal aku sudah bilang, kalau aku maunya tinggal di sini saja sama ibu. Meski aku menikah dengan Tuan Husein, aku tetap ingin di sini bersama ibu."Fatona mengelus kepala Habiba yang mengenakan topi kupluk. Fatona tidak tahu bahwa topi itu dia pakai untuk menutupi rambutnya yang jomplang."Jadi mereka mengijinka
Husein berjalan menaiki anak tangga diikuti oleh Amir. Mereka baru saja pulang dari kantor.Amir menunggu di luar ketika Husein memasuki kamar. Husein ingin segera mandi setelah menghabiskan waktu hampir seharian di kantor. Badannya terasa gerah.Tapi dia butuh seseorang untuk melayaninya. Mempersiapkan semua keperluannya untuk mandi.Dia meraih ponsel dan menelepon Habiba.“Shit!” Husein kesal setelah beberapa kali menelepon dan Habiba tidak menjawab teleponnya. Sambil berjalan ke sana kemari, dia mengumpati ponsel. “Kemana wanita itu? berani sekali dia tidak menjawab teleponku.”Sekali lagi, Husein menekan nama Habiba. Matanya membelalak saat panggilan baru masuk beberapa detik, sudah ada sahutan tut tut tut dari seberang.“Kurang asam! Dia merejeck panggilanku. Ada apa dengan wanita ini?” Husein keluar kamar. “Hah?” Husein terkejut melihat sosok yang berdiri di depan kamarnya. Begitu buka pintu, langsung muncul sosok aneh, pendek, rambut keriting. Makhluk apa ini?
“Kenapa kau mesti menjemput Habiba? Bukankah permasalahanmu aman jika wanita itu meninggalkan rumah?” tanya Amir.“Tidak. Habiba harus kembali ke rumah. Dia tidak boleh lepas dari pengawasanku. Jangan sampai dia keluyuran saat sudah dalam keadaan hamil besar.”“Hanya itu alasanmu?”“Menurutmu?”“Menurutku, sebenarnya kau tidak mau kehilangan dia. Kau ingin selalu dekat dengannya.”Husein melirik singkat dengan tajam, malas mendebat.“Hilangkan sedikit gengsimu itu. Bila perlu kau pelajari perasaanmu sendiri. apakah apa yang aku katakan ini benar atau tidak?” tukas Amir.“Kupotong gajimu dua juta.”“Hah? Baiklah, aku ralat ucapanku tadi.” Amir ketakutan juga mendapat ancaman itu. Beberapa kali Amir turun dari mobil untuk menanyakan letak posisi persis kediaman Habiba, namun tak seorang pun yang tahu. Amir mulai jengah. Baju pundaknya sudah basah karena harus keluar masuk mobil dan payung itu tidak cukup menahan tampias hujan.“Rasanya ini bukan wkatu yang tepat untuk menca
"Kau sudah mengajak aku perang. Kau sudah menghancurkan aku. Sebab dengan kau hancurkan adikku, saat itulah kau hancurkan aku. Dengan kau menikahi adikku, maka kau sudah berjanji akan menjagnya,” gertak Tomy kesal sekali.Husein tetap tenang. Membiarkan Tomy meluapkan emosi. “Aku amanahkan Habiba kepadamu, aku serahkan dia bukan untuk kau sakiti. Jika kau tidak suka padanya, cukup kau kembalikan dia kepadaku, tidak perlu sampai menyakitinya begini. Hanya lelaki tak beradab yang berperilaku seperti anjing, menyiksa istri yang seharusnya dilindungi dan disayangi. Ternyata begini perilaku orang yang katanya terpandang. Sama seperti binatang!" Napas Tomy sampai tersengal karena bicara tanpa jeda. “Aku menyesal sudah mempercayakan adikku kepadamu.”Husein masih terlihat tenang. Menghela napas. "Kakak ipar, aku terima kemarahamu. Di sini memang aku yang tidak bisa menjaga istriku. Sekarang, apa yang kau inginkan?""Seharusnya kau bertanya pada dirimu sendiri. Apa pertanggung jawabanmu te
“Diam disitu! Aku akan menjemputmu! Sebutkan alamatmu!” titah Husein.“Tidak. Saya tidak mau dijemput kembali ke rumah itu. anda jelas tidak bisa melindungi saya. Bagaimana mungkin saya akan kembali ke rumah itu lagi?” sahut Habiba cepat.“Kali ini semua kejadian yang menimpamu itu tidak akan terulang kembali. Jangan katakan aku tidak bisa melindungimu. Aku bisa melakukannya.”“Saya tidak percaya.”Jawaban yang membuat Husein tercengang. Bisa- bisanya Habiba menganggapnya tidak punya kekuatan apa- apa. “Hei, kenapa kau meragukan aku?”“Karena memang begitu kenyataannnya. Saya tidak akan mau kembali ke rumah itu. Saya pikir ini adalah jalan terbaik diantara kita, Tuan Muda. Tidak ada yang Anda butuhkan dari saya. Pun saya demikian. Selamat sore!”Sambungan diputus.Husein mengayunkan ponsel ke udara. “Dia mungkin menghindariku demi lelaki sialan yang dia panggil Irzan itu. Berani sekali dia menolakku, membantahku. Ah, kenapa Habiba bandel sekali? Benar- benar sulit me
“Kalau belum menikah, mana mungkin aku hamil,” sahut Habiba lagi menyangkal perkataan Leni.“E eeeh… jangan salah, hari gini banyak perempuan tidak benar yang hamil di luar nikah. Entah itu jual diri, main sama pacar, atau ngwee sama laki orang. Dan perkara seperti ini akan menjadi urusan kita semua sebagai tetangga. Sebab itu adlah maksiat. Harus diberantas supaya sekomplek tidak keciptaran sial.”“Mbak, tolong ya, saya sudah menikah, jangan menggiring opini yang tidak- tidak!” tegas Habiba.“Tapi kok kamu sembunyi terus semenjak hamil?”“Ini buktinya aku keluar rumah, aku juga masih kuliah. Apakah itu namanya tidak keluar rumah?” kesal Habiba. Lama- lama mulut Leni memang minta ditabok. Nyinyir terus.“Paling tidak, kamu mesti perkenalkan ke kami siapa suamimu, atau perlihatkan buku nikahmu supaya kami percaya.”“Bisa. Tapi aku tidak butuh pengakuan apa pun darimu, Mbak Leni. Jadi itu tidak perlu aku lakukan.” “Loh, tidak berani kasih tau buku nikah, jangan- jangan hasil