Husein berjalan menaiki anak tangga diikuti oleh Amir. Mereka baru saja pulang dari kantor.Amir menunggu di luar ketika Husein memasuki kamar. Husein ingin segera mandi setelah menghabiskan waktu hampir seharian di kantor. Badannya terasa gerah.Tapi dia butuh seseorang untuk melayaninya. Mempersiapkan semua keperluannya untuk mandi.Dia meraih ponsel dan menelepon Habiba.“Shit!” Husein kesal setelah beberapa kali menelepon dan Habiba tidak menjawab teleponnya. Sambil berjalan ke sana kemari, dia mengumpati ponsel. “Kemana wanita itu? berani sekali dia tidak menjawab teleponku.”Sekali lagi, Husein menekan nama Habiba. Matanya membelalak saat panggilan baru masuk beberapa detik, sudah ada sahutan tut tut tut dari seberang.“Kurang asam! Dia merejeck panggilanku. Ada apa dengan wanita ini?” Husein keluar kamar. “Hah?” Husein terkejut melihat sosok yang berdiri di depan kamarnya. Begitu buka pintu, langsung muncul sosok aneh, pendek, rambut keriting. Makhluk apa ini?
“Kenapa kau mesti menjemput Habiba? Bukankah permasalahanmu aman jika wanita itu meninggalkan rumah?” tanya Amir.“Tidak. Habiba harus kembali ke rumah. Dia tidak boleh lepas dari pengawasanku. Jangan sampai dia keluyuran saat sudah dalam keadaan hamil besar.”“Hanya itu alasanmu?”“Menurutmu?”“Menurutku, sebenarnya kau tidak mau kehilangan dia. Kau ingin selalu dekat dengannya.”Husein melirik singkat dengan tajam, malas mendebat.“Hilangkan sedikit gengsimu itu. Bila perlu kau pelajari perasaanmu sendiri. apakah apa yang aku katakan ini benar atau tidak?” tukas Amir.“Kupotong gajimu dua juta.”“Hah? Baiklah, aku ralat ucapanku tadi.” Amir ketakutan juga mendapat ancaman itu. Beberapa kali Amir turun dari mobil untuk menanyakan letak posisi persis kediaman Habiba, namun tak seorang pun yang tahu. Amir mulai jengah. Baju pundaknya sudah basah karena harus keluar masuk mobil dan payung itu tidak cukup menahan tampias hujan.“Rasanya ini bukan wkatu yang tepat untuk menca
"Kau sudah mengajak aku perang. Kau sudah menghancurkan aku. Sebab dengan kau hancurkan adikku, saat itulah kau hancurkan aku. Dengan kau menikahi adikku, maka kau sudah berjanji akan menjagnya,” gertak Tomy kesal sekali.Husein tetap tenang. Membiarkan Tomy meluapkan emosi. “Aku amanahkan Habiba kepadamu, aku serahkan dia bukan untuk kau sakiti. Jika kau tidak suka padanya, cukup kau kembalikan dia kepadaku, tidak perlu sampai menyakitinya begini. Hanya lelaki tak beradab yang berperilaku seperti anjing, menyiksa istri yang seharusnya dilindungi dan disayangi. Ternyata begini perilaku orang yang katanya terpandang. Sama seperti binatang!" Napas Tomy sampai tersengal karena bicara tanpa jeda. “Aku menyesal sudah mempercayakan adikku kepadamu.”Husein masih terlihat tenang. Menghela napas. "Kakak ipar, aku terima kemarahamu. Di sini memang aku yang tidak bisa menjaga istriku. Sekarang, apa yang kau inginkan?""Seharusnya kau bertanya pada dirimu sendiri. Apa pertanggung jawabanmu te
“Diam disitu! Aku akan menjemputmu! Sebutkan alamatmu!” titah Husein.“Tidak. Saya tidak mau dijemput kembali ke rumah itu. anda jelas tidak bisa melindungi saya. Bagaimana mungkin saya akan kembali ke rumah itu lagi?” sahut Habiba cepat.“Kali ini semua kejadian yang menimpamu itu tidak akan terulang kembali. Jangan katakan aku tidak bisa melindungimu. Aku bisa melakukannya.”“Saya tidak percaya.”Jawaban yang membuat Husein tercengang. Bisa- bisanya Habiba menganggapnya tidak punya kekuatan apa- apa. “Hei, kenapa kau meragukan aku?”“Karena memang begitu kenyataannnya. Saya tidak akan mau kembali ke rumah itu. Saya pikir ini adalah jalan terbaik diantara kita, Tuan Muda. Tidak ada yang Anda butuhkan dari saya. Pun saya demikian. Selamat sore!”Sambungan diputus.Husein mengayunkan ponsel ke udara. “Dia mungkin menghindariku demi lelaki sialan yang dia panggil Irzan itu. Berani sekali dia menolakku, membantahku. Ah, kenapa Habiba bandel sekali? Benar- benar sulit me
“Kalau belum menikah, mana mungkin aku hamil,” sahut Habiba lagi menyangkal perkataan Leni.“E eeeh… jangan salah, hari gini banyak perempuan tidak benar yang hamil di luar nikah. Entah itu jual diri, main sama pacar, atau ngwee sama laki orang. Dan perkara seperti ini akan menjadi urusan kita semua sebagai tetangga. Sebab itu adlah maksiat. Harus diberantas supaya sekomplek tidak keciptaran sial.”“Mbak, tolong ya, saya sudah menikah, jangan menggiring opini yang tidak- tidak!” tegas Habiba.“Tapi kok kamu sembunyi terus semenjak hamil?”“Ini buktinya aku keluar rumah, aku juga masih kuliah. Apakah itu namanya tidak keluar rumah?” kesal Habiba. Lama- lama mulut Leni memang minta ditabok. Nyinyir terus.“Paling tidak, kamu mesti perkenalkan ke kami siapa suamimu, atau perlihatkan buku nikahmu supaya kami percaya.”“Bisa. Tapi aku tidak butuh pengakuan apa pun darimu, Mbak Leni. Jadi itu tidak perlu aku lakukan.” “Loh, tidak berani kasih tau buku nikah, jangan- jangan hasil
"Berhenti!" lirih Habiba.Langkah Husein pun terhenti sebelum selesai Habiba mengucapkan satu kata tadi. "Masuk!" Husein menunjuk mobil yang bertengger di pinggir jalan.Habiba melirik mobil yang ditunjuk, ternyata Husein memang sengaja berhenti karena sudah sampai di dekat mobilnya."Tidak perlu. Saya jalan saja. Terima kasih Tuan Muda sudah membantu saya." Habiba menarik tangannya yang masih digenggam oleh Husein. Spontan Husein melonggarkan genggaman hingga tangan mungil itu terlepas dari pegangannya."Lebih baik masuk ke mobil. Bahaya kalau ada yang mengganggumu lagi." Husein mendorong pundak Habiba. Tubuh kecil itu terdorong masuk ke mobil, pasrah.Setelah terduduk di kursi mobil, Habiba dikejutkan dengan Husein yang tiba- tiba menyusul masuk melalui pintu yang sama. Kursi berhimpitan. Paha Habiba sebagian diduduki oleh Husein, membuat wanita itu menggeser posisi duduk ke kursi sebelah. "Jalan, Amir!" titah Husein melihat Amir yang malah bengong.Mobil bergerak."Berhenti!" pi
Selain menjalani kuliah, Habiba bahkan harus bekerja di sebuah kafe demi kebutuhan hidup, serta banyaknya biaya kuliah yang tak terduga.Segala kebutuhan hidup memaksanya untuk bekerja keras. Pendapatan Tomy tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup.Habiba mengambil kerja paruh waktu. Pagi sampai siang kuliah, siang sampai malam bekerja di kafe. Fatona dan Tomy sudah melarang, namun Habiba adalah wanita keras kepala. Dia yakin sanggup bekerja. Dan untungnya pemilik kafe awalnya tidak tahu kalau Habiba dalam keadaan hamil mengingat kehamilannya belum terdeteksi karena masih terlalu kecil, apa lagi Habiba kerap mengenakan pakaian gombrang untuk menutupi kehamilannya. Namun sekarang, sudah memasuki kehamilan delapan bulan lebih, perutnya pun sudah membesar dan semua orang mengetahui kehamilannya itu. Tidak menjadi masalah. Pemilik kafe tidak melarang pegawainya hamil. "Biba, kamu kelihatan tidak sehat? Apa kamu sudah mau lahiran?" tanya Debi, teman sepekerja Habiba yang mengena
"Oh tidak. Ayo, ikut denganku. Kita cari dia." Husien melangkah menuju mobil, namun pundaknya ditarik oleh Tomy hingga berputar sedikit ke belakang."Kau yang memaksa dia pulang ke rumahmu kan? Dia bersamamu kan? Lalu kenapa harus berpura- pura mencarinya?" hardik Tomy kesal."Kau tidak akan menemukan Habiba di rumahku meski kau cari sampai ke kolong meja. Kalau kau ingin adikmu baik- baik saja, seharusnya kau ikuti aku. Kita cari dia bersama- sama," tegas Husien mendominasi.Melihat ekspresi Husein yang serius, Tomy seperti terhipnotis dan mengikuti Husein masuk ke mobil. "Jalan, Amir!" titah Husein.Amir menjalankan mobil menuju ke arah pintu gerbang. "Hei, maksudku jalan ke depan, jangan pulang ke rumah?" tegur Husein."Oh. Kupikir pulang." Amir membelokkan mobil dan menuruti sang bos meski bingung kenapa musuh bebuyutan Husein ngejogrog di belakang."Benarkah Habiba tidak bersamamu?" tanya Tomy sambil memajukan tubuh, membuat kepalanya berada diantara dua kursi di depannya."Tid