"Oh tidak. Ayo, ikut denganku. Kita cari dia." Husien melangkah menuju mobil, namun pundaknya ditarik oleh Tomy hingga berputar sedikit ke belakang."Kau yang memaksa dia pulang ke rumahmu kan? Dia bersamamu kan? Lalu kenapa harus berpura- pura mencarinya?" hardik Tomy kesal."Kau tidak akan menemukan Habiba di rumahku meski kau cari sampai ke kolong meja. Kalau kau ingin adikmu baik- baik saja, seharusnya kau ikuti aku. Kita cari dia bersama- sama," tegas Husien mendominasi.Melihat ekspresi Husein yang serius, Tomy seperti terhipnotis dan mengikuti Husein masuk ke mobil. "Jalan, Amir!" titah Husein.Amir menjalankan mobil menuju ke arah pintu gerbang. "Hei, maksudku jalan ke depan, jangan pulang ke rumah?" tegur Husein."Oh. Kupikir pulang." Amir membelokkan mobil dan menuruti sang bos meski bingung kenapa musuh bebuyutan Husein ngejogrog di belakang."Benarkah Habiba tidak bersamamu?" tanya Tomy sambil memajukan tubuh, membuat kepalanya berada diantara dua kursi di depannya."Tid
"Ini sedikit sulit, aku butuh waktu! Kasusnya berbeda dari yang lainnya," ujar Amir setelah beberapa saat fokus mengotak- atik ponselnya."Sudahlah, lapor polisi saja!" sergah Tomy, tak yakin dengan usaha Amir."Belum satu kali dua puluh empat jam. Habiba pulang kerja malam hari jam sembilan lewat, dan sekarang masih sore. Masih ada beberapa jam ke depan sampai tiba waktu satu kali dua puluh empat jam untuk bisa membuat laporan kehilangan," sahut Husein membuat Tomy tak berkutik. "Ikuti caraku, atau kau tidak terlibat dalam hal ini sama sekali. Kau boleh pergi dan cari cara lain jika tidak setuju dengan usahaku!"Tomy tidak menanggapi. Memilih diam. Ingin pergi juga tidak bisa melakukan apa pun. Lebih baik di sini saja, dia bisa mengawasi kegiatan apa yang dilakukan oleh Husein.***Di ruangan luas itu, tepatnya di sebuah rumah yang setahun lalu dibeli oleh Husein, beberapa orang tengah berkumpul. Ada Husein, Amir, Tomy dan empat orang hacker handal yang dikumpulkan."Kalian harus be
Detik berikutnya, ponsel berpindah tangan. “Ini adalah panggilan terakhirmu. Setelah ini kau tidak akan bisa mendengar suara Habiba lagi.”Suara pria di seberang menyahuti.“Apa yang kau inginkan dari habiba? Harta? Kau salah tangkap orang. Dia tidak punya apa- apa,” sahut Husein.“Aku hanya ingin kematian Habiba.”Amir menunjukkan rekaman cctv yang berhasil diretas di ponsel miliknya, menunjukkan rekaman suasana ruangan para penjahat yang terciduk oleh tangkapan retasan hasil kerja Amir.Dalam rekaman itu, terlihat suasana ruangan berisi orang-orang yang masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada tiga orang lelaki. Satu perempuan berpakaian warna hitam serba ketat, juga jaket ketat warna senada. Rambut pendek. Bibir berlipstik hitam. Mereka duduk di kursi masing- masing. Ruangan persis seperti rumah lama.Ada Habiba yang duduk selonjor di lantai dalam kondisi lemas. Wajah meringis menahan sakit. Tangannya memegangi perut yang besar. Rambutnya terurai.“Kau yang a
Habiba duduk di atas mobil yang melaju kencang. Ia menyenderkan kepala ke sandaran kursi. Lemas sekali. Napasnya mulai tersengal saking lemasnya. Sejak kemarin ia belum makan. Perutnya pun makin tak nyaman, makin terasa sesak. Ditambah pinggul terasa ngilu.Habiba duduk di kursi paling belakang. Seorang lelaki duduk di kursi tengah bersma dengan wanita berambut pendek.Pria berjaket merah duduk di samping kemudi. Pria lain mengemudikan mobil dengan kencang.Mereka terlihat panik membicarakan kemana akan membawa Habiba.“Kita seharusnya sudah melenyapkan wanita ini sejak kemarin. Kau melarangku dan akhirnya malah membuat situasi menjadi runyam.”“Hei, jangan gila. Justru kita selamat karena belum sempat melenyapkan wanta ini. Kalau wanita ini mati, kita dalam masalah besar. Mereka bisa meretas cctv kita. Artinya mereka tetap bisa menemukan kita. Kita akan ditangkap dengan status sebagai pembunuh. Andai saja pembunuhan ini dilakukan dengan bersih, maka tidak masalah. Kita sudah biasa me
Suara tangisan bayi nyaring sekali. Air mata Habiba menetes dari kedua sudut mata. Mengalir deras.Tangisan itu sangat mengharukan, juga menyedihkan karena Habiba tidak sanggup mengangkat tubuh hanya untuk sekedar menggendong bayinya. Tubuh Habiba lemas, tak bertenaga. Bangkit dari pembaringannya pun sudah tak sanggup lagi. Setelah perjuangan hebat selama beberapa jam di atas mobil yang terus melaju, Habiba yang tak henti mengejan, akhirnya berhasil melahirkan bayinya.Hati Habiba basah seiring dengan tangisan keras bayi. Habiba rela berkorban mempertaruhkan nyawa demi bayinya, bahkan mati sekalipun rela asalkan bayinya selamat."Bayiku!" lirih Habiba dengan suara lemah.***"Ya Tuhan, kapan kita akan menemukan Habiba? Bagaimana kalau Habiba dicelakai? Seharusnya kau tidak perlu memberitahukan kepada para penculik itu bahwa kita mengetahui keberadaan mereka," ucap Tomy panik."Jika aku tidak mengatakannya, bisa saja mereka sudah melenyapkan Habiba seperti yang mereka katakan di tel
Tiga pria tampan itu menatap Habiba yang terbaring dengan selimut menutup sampai perut. Husein, Tomy dan Amir membisu di kamar rumah sakit."Habiba, apa yang terjadi padamu?" Tomy sedih. Jongkok menyandar di dinding. Wajahnya sendu. Sesekali mengusap wajah kasar.Amir sibuk menghitung bulan kehamilan Habiba. Dan tidak mendapatkan jawaban. Husein berdiri di sisi bed, menatap Habiba tanpa kedip. Kondisi Habiba saat pertama kali dia temukan benar- benar mengenaskan. Perasaannya kini campur aduk. Antara iba pada Habiba, juga marah pada pelaku. Satu tangannya menggenggam tangan Habiba, tangan lainnya mengepal. "Aku akan membunuh mereka. Siapa pun itu!" lirih Husien dengan rahang kokohnya yang mengeras."Habiba dalam masalah besar. Ini tidak pernah terjadi dalam hidupnya," lirih Tomy frustasi.Tidak ada yang menanggapi. Semuanya fokus pada pikiran masing- masing.Tiba- tiba Tomy menarik lengan Husein dan membawanya keluar kamar, mendorong ke dinding. "Ini semua gara- gara kau!" Tomy mene
“Untuk saat ini masih dalam proses penanganan. Nanti setelah penanganan berjalan dan bapak sudah diperkenankan untuk melihat kondisinya, bapak bisa temui saya untuk berkonsultasi lebih lanjut.” Dokter berlalu pergi.“Bayiku!”Suara lirih itu membuat pandangan Husein tertuju ke sumbernya. Habiba telah membuka mata. Dia menyebut bayinya. Kemudian langsung terduduk sambil mencari- cari. Selang infus di tangan mengganggu pergerakannya.“Dimana dia? Dimana bayiku?” Habiba panik.Husein langsung meraih kepala Habiba dan membenamkan ke dada bidangnya, menenangkan istrinya. “Dia bersama dokter, sedang dalam perawatan,” bisik Husein.Mendengar jawaban Husein, tubuh Habiba yang menegang, kini mulai rileks dan tenang. Pelukan Husein mampu memberikan kenyamanan. Terbukti dari kedua tangan kecil Habiba yang membalas pelukan Husein.“Dia tidak apa- apa kan?” lirih Habiba.“Kita akan lihat bersama- sama nanti,” jawab Husein yang juga belum mengetahui kondisi bayinya.Suara napas Habiba ter
Habiba melanjutkan lagi, “Terakhir, saat saya benar- benar hanya berharap ada keajaiban pada hape itu, berharap supaya Tuhan menunjukkan Kuasa- Nya, akhirnya Tuhan benar- benar mengabulkan harapan saya. Ponsel saya menyala, tepat saat Tuan menelepon saya, dan beruntung sekali langsung dirampas oleh penjahat itu sehingga niat mereka yang awalnya mau melenyapkan saya, akhirnya gagal karena takut atas teror Amda. Saya selamat, anak saya pun selamat.” Husein mendengarkan dnegan setia.“Saya sempat berpikir bahwa hari ini adalah hari terakhir menghirup napas, tapi Tuhan menunjukkan keajaiban dengan kejadian ini,” imbuh Habiba. “Saya berhasil melahirkan bayi saya dengan selamat. Saya telah menjadi seorang ibu.”Husein tidak tahu bagaimana menyikapi. Dia tetap tenang dan rileks melihat keharuan Habiba.Seketika keharuan itu lenyap saat seseorang mengetuk pintu. Sejurus pandangan tertuju pada Irzan yang berdiri di ambang pintu.Husein menegakkan punggung, mengernyit menatap Irzan. Dia s