Suara tangisan bayi nyaring sekali. Air mata Habiba menetes dari kedua sudut mata. Mengalir deras.Tangisan itu sangat mengharukan, juga menyedihkan karena Habiba tidak sanggup mengangkat tubuh hanya untuk sekedar menggendong bayinya. Tubuh Habiba lemas, tak bertenaga. Bangkit dari pembaringannya pun sudah tak sanggup lagi. Setelah perjuangan hebat selama beberapa jam di atas mobil yang terus melaju, Habiba yang tak henti mengejan, akhirnya berhasil melahirkan bayinya.Hati Habiba basah seiring dengan tangisan keras bayi. Habiba rela berkorban mempertaruhkan nyawa demi bayinya, bahkan mati sekalipun rela asalkan bayinya selamat."Bayiku!" lirih Habiba dengan suara lemah.***"Ya Tuhan, kapan kita akan menemukan Habiba? Bagaimana kalau Habiba dicelakai? Seharusnya kau tidak perlu memberitahukan kepada para penculik itu bahwa kita mengetahui keberadaan mereka," ucap Tomy panik."Jika aku tidak mengatakannya, bisa saja mereka sudah melenyapkan Habiba seperti yang mereka katakan di tel
Tiga pria tampan itu menatap Habiba yang terbaring dengan selimut menutup sampai perut. Husein, Tomy dan Amir membisu di kamar rumah sakit."Habiba, apa yang terjadi padamu?" Tomy sedih. Jongkok menyandar di dinding. Wajahnya sendu. Sesekali mengusap wajah kasar.Amir sibuk menghitung bulan kehamilan Habiba. Dan tidak mendapatkan jawaban. Husein berdiri di sisi bed, menatap Habiba tanpa kedip. Kondisi Habiba saat pertama kali dia temukan benar- benar mengenaskan. Perasaannya kini campur aduk. Antara iba pada Habiba, juga marah pada pelaku. Satu tangannya menggenggam tangan Habiba, tangan lainnya mengepal. "Aku akan membunuh mereka. Siapa pun itu!" lirih Husien dengan rahang kokohnya yang mengeras."Habiba dalam masalah besar. Ini tidak pernah terjadi dalam hidupnya," lirih Tomy frustasi.Tidak ada yang menanggapi. Semuanya fokus pada pikiran masing- masing.Tiba- tiba Tomy menarik lengan Husein dan membawanya keluar kamar, mendorong ke dinding. "Ini semua gara- gara kau!" Tomy mene
“Untuk saat ini masih dalam proses penanganan. Nanti setelah penanganan berjalan dan bapak sudah diperkenankan untuk melihat kondisinya, bapak bisa temui saya untuk berkonsultasi lebih lanjut.” Dokter berlalu pergi.“Bayiku!”Suara lirih itu membuat pandangan Husein tertuju ke sumbernya. Habiba telah membuka mata. Dia menyebut bayinya. Kemudian langsung terduduk sambil mencari- cari. Selang infus di tangan mengganggu pergerakannya.“Dimana dia? Dimana bayiku?” Habiba panik.Husein langsung meraih kepala Habiba dan membenamkan ke dada bidangnya, menenangkan istrinya. “Dia bersama dokter, sedang dalam perawatan,” bisik Husein.Mendengar jawaban Husein, tubuh Habiba yang menegang, kini mulai rileks dan tenang. Pelukan Husein mampu memberikan kenyamanan. Terbukti dari kedua tangan kecil Habiba yang membalas pelukan Husein.“Dia tidak apa- apa kan?” lirih Habiba.“Kita akan lihat bersama- sama nanti,” jawab Husein yang juga belum mengetahui kondisi bayinya.Suara napas Habiba ter
Habiba melanjutkan lagi, “Terakhir, saat saya benar- benar hanya berharap ada keajaiban pada hape itu, berharap supaya Tuhan menunjukkan Kuasa- Nya, akhirnya Tuhan benar- benar mengabulkan harapan saya. Ponsel saya menyala, tepat saat Tuan menelepon saya, dan beruntung sekali langsung dirampas oleh penjahat itu sehingga niat mereka yang awalnya mau melenyapkan saya, akhirnya gagal karena takut atas teror Amda. Saya selamat, anak saya pun selamat.” Husein mendengarkan dnegan setia.“Saya sempat berpikir bahwa hari ini adalah hari terakhir menghirup napas, tapi Tuhan menunjukkan keajaiban dengan kejadian ini,” imbuh Habiba. “Saya berhasil melahirkan bayi saya dengan selamat. Saya telah menjadi seorang ibu.”Husein tidak tahu bagaimana menyikapi. Dia tetap tenang dan rileks melihat keharuan Habiba.Seketika keharuan itu lenyap saat seseorang mengetuk pintu. Sejurus pandangan tertuju pada Irzan yang berdiri di ambang pintu.Husein menegakkan punggung, mengernyit menatap Irzan. Dia s
Tomy yang sejak tadi berada di luar kamar, kini mengiringi Irzan.Sesampainya di ruang rawat bayi, mereka menunggu di luar. Kaca bening yang menjadi pembatas membuat pandangan mereka dengan mudah menjangkau pemandangan di dalam kamar. Tampak bayi mungil kecil tengah terbaring, tidur. Dokter dan beberapa suster tengah melakukan penanganan pada bayi.Habiba menempelkan telapak tangannya ke kaca. Tersenyum seakan sedang menyentuh bayi. Husein tanpa sadar sudah melepas kursi roda, berdiri mendekat pada kaca. Irzan dengan cekatan mendekat pada Habiba, mengambil kesempatan itu untuk menyentuh pundak Habiba dan memberikan dukungan."Itu bayiku!" bisik Habiba terharu. Matanya berembun menatap bayinya yang bergerak- gerak di dalam sana."Ya." Irzan mengangguk. “Kamu luar biasa. Kamu telah menghadirkan malaikat yang nantinya akan menjagamu.”Dokter kemudian keluar setelah penanganannya selesai."Selamat malam! Apakah ini adalah keluarga si bayi?" tanya Dokter laki- laki itu mengedarkan p
Husein mendadak merasa asing, seolah dia bukanlah siapa- siapa di sana. Bahkan Tomy terlihat menepuk pundak Irzan, memberikan dukungan penuh supaya pria itu menenangkan Habiba.Keluarganya Habiba sama sekali tidak menyukai Husein karena kesalahan yang sudah terjadi, demikian sebaliknya. Keluarga Husein pun tidak menyukai Habiba.Mungkin beginilah perasaan Habiba saat berada di tengah- tengah keluarga Husein, seperti orang asing yang sama sekali tidak diharapkan.Husein masih mengawasi Habiba yang kini tengah menangis sambil menatap Irzan, meluapkan kesedihan dengan mengatakan apa saja. “Kenapa Tuhan tidak membuat aku saja yang cacat? Kenapa anakku?” Habiba sedih. “Kasian sekali bayiku. Dia belum pantas merasakan sakit. Lihatlah tubuhnya di tempeli selang infus.” Habiba sesenggukan.“Ini sudah takdir Tuhan. Kamu tidak bisa menolaknya.”“Aku tahu, aku ikhlas Tuhan memberikan kehidupan yang tidak sempurna untuk anakku. Ini sudah ketatapan dan kehendak Tuhan, aku hanya berharap
Husein menempelkan telapak tangannya ke kening bayinya. Mengelus pelan. Tidak ada respon dari si bayi. “Kalau kau tanyakan alasan apa yang membuat kita harus kembali bersama, maka jawabannya adalah bayi kita,” ucap Husein.Hati Habiba basah mendengar perkataan itu. Matanya berembun melihat Husein yang tengah menatap bayinya dengan teduh."Aku tidak akan membawamu pulang ke rumah mama. Kita bisa tinggal di rumah lain. Aku memiliki rumah yang bisa kau tinggali bersama dengan si kecil," jawab Husein."Apa Tuan muda menyayangi anak ini?" tanya Habiba.Husein mengernyit."Bayi ini terlahir dari rahim saya, rahim seorang wanita miskin yang menurut orang tua Anda menjadi aib dalam keluarga Anda," sambung Habiba. "Dia darah dagingku."Hati Habiba terharu mendengarnya. Ternyata Husein, lelaki kaya raya yang kelas sosialnya jauh jomplang dengan Habiba itu bersedia mengakui bayinya sebagai darah daging."Apakah Anda tidak malu punya anak autisme?" lirih Habiba. “Ini pasti akan menjadi masalah b
"Habiba, sebegitu yakinnya kau akan kembali bersama dengan lelaki itu?" ucap Irzan dengan suara lembut dan tatapan teduh. "Tomy sudah menceritakan semua yang telah terjadi padamu. Dan aku mencemaskanmu, Biba. Hidup bersama dengan keluarga yang tidak menerimamu itu sama sekali tidak baik. Apa lagi suamimu juga tidak memberikan dukungan sepenuhnya kepadamu. Lalu apa yang akan kau pertahankan dari hubunganmu ini?""Aku paham dengan kecemasanmu, pasti sama seperti yang dirasakan Mas Tomy. Tapi aku sudah besar, aku bisa tentukan pilihanku.""Justru kau akan selalu merasa terancam, tidak tenang dan hidup dalam perundungan mereka. Kesehatan mental dan pikiranmu jauh lebih penting dari segalanya." Irzan tampak khawatir. "Siapa yang tidak akan mencemaskan kondisimu yang sendirian menghadapi manusia- manusia seperti mereka?""Percayalah, aku akan baik- baik saja.""Aku percaya padamu, tapi aku tidak percaya pada mereka semua yang ada di lingkunganmu.""Tuan Muda Husein tidak akan membawaku pulan