"Berhenti!" lirih Habiba.Langkah Husein pun terhenti sebelum selesai Habiba mengucapkan satu kata tadi. "Masuk!" Husein menunjuk mobil yang bertengger di pinggir jalan.Habiba melirik mobil yang ditunjuk, ternyata Husein memang sengaja berhenti karena sudah sampai di dekat mobilnya."Tidak perlu. Saya jalan saja. Terima kasih Tuan Muda sudah membantu saya." Habiba menarik tangannya yang masih digenggam oleh Husein. Spontan Husein melonggarkan genggaman hingga tangan mungil itu terlepas dari pegangannya."Lebih baik masuk ke mobil. Bahaya kalau ada yang mengganggumu lagi." Husein mendorong pundak Habiba. Tubuh kecil itu terdorong masuk ke mobil, pasrah.Setelah terduduk di kursi mobil, Habiba dikejutkan dengan Husein yang tiba- tiba menyusul masuk melalui pintu yang sama. Kursi berhimpitan. Paha Habiba sebagian diduduki oleh Husein, membuat wanita itu menggeser posisi duduk ke kursi sebelah. "Jalan, Amir!" titah Husein melihat Amir yang malah bengong.Mobil bergerak."Berhenti!" pi
Selain menjalani kuliah, Habiba bahkan harus bekerja di sebuah kafe demi kebutuhan hidup, serta banyaknya biaya kuliah yang tak terduga.Segala kebutuhan hidup memaksanya untuk bekerja keras. Pendapatan Tomy tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup.Habiba mengambil kerja paruh waktu. Pagi sampai siang kuliah, siang sampai malam bekerja di kafe. Fatona dan Tomy sudah melarang, namun Habiba adalah wanita keras kepala. Dia yakin sanggup bekerja. Dan untungnya pemilik kafe awalnya tidak tahu kalau Habiba dalam keadaan hamil mengingat kehamilannya belum terdeteksi karena masih terlalu kecil, apa lagi Habiba kerap mengenakan pakaian gombrang untuk menutupi kehamilannya. Namun sekarang, sudah memasuki kehamilan delapan bulan lebih, perutnya pun sudah membesar dan semua orang mengetahui kehamilannya itu. Tidak menjadi masalah. Pemilik kafe tidak melarang pegawainya hamil. "Biba, kamu kelihatan tidak sehat? Apa kamu sudah mau lahiran?" tanya Debi, teman sepekerja Habiba yang mengena
"Oh tidak. Ayo, ikut denganku. Kita cari dia." Husien melangkah menuju mobil, namun pundaknya ditarik oleh Tomy hingga berputar sedikit ke belakang."Kau yang memaksa dia pulang ke rumahmu kan? Dia bersamamu kan? Lalu kenapa harus berpura- pura mencarinya?" hardik Tomy kesal."Kau tidak akan menemukan Habiba di rumahku meski kau cari sampai ke kolong meja. Kalau kau ingin adikmu baik- baik saja, seharusnya kau ikuti aku. Kita cari dia bersama- sama," tegas Husien mendominasi.Melihat ekspresi Husein yang serius, Tomy seperti terhipnotis dan mengikuti Husein masuk ke mobil. "Jalan, Amir!" titah Husein.Amir menjalankan mobil menuju ke arah pintu gerbang. "Hei, maksudku jalan ke depan, jangan pulang ke rumah?" tegur Husein."Oh. Kupikir pulang." Amir membelokkan mobil dan menuruti sang bos meski bingung kenapa musuh bebuyutan Husein ngejogrog di belakang."Benarkah Habiba tidak bersamamu?" tanya Tomy sambil memajukan tubuh, membuat kepalanya berada diantara dua kursi di depannya."Tid
"Ini sedikit sulit, aku butuh waktu! Kasusnya berbeda dari yang lainnya," ujar Amir setelah beberapa saat fokus mengotak- atik ponselnya."Sudahlah, lapor polisi saja!" sergah Tomy, tak yakin dengan usaha Amir."Belum satu kali dua puluh empat jam. Habiba pulang kerja malam hari jam sembilan lewat, dan sekarang masih sore. Masih ada beberapa jam ke depan sampai tiba waktu satu kali dua puluh empat jam untuk bisa membuat laporan kehilangan," sahut Husein membuat Tomy tak berkutik. "Ikuti caraku, atau kau tidak terlibat dalam hal ini sama sekali. Kau boleh pergi dan cari cara lain jika tidak setuju dengan usahaku!"Tomy tidak menanggapi. Memilih diam. Ingin pergi juga tidak bisa melakukan apa pun. Lebih baik di sini saja, dia bisa mengawasi kegiatan apa yang dilakukan oleh Husein.***Di ruangan luas itu, tepatnya di sebuah rumah yang setahun lalu dibeli oleh Husein, beberapa orang tengah berkumpul. Ada Husein, Amir, Tomy dan empat orang hacker handal yang dikumpulkan."Kalian harus be
Detik berikutnya, ponsel berpindah tangan. “Ini adalah panggilan terakhirmu. Setelah ini kau tidak akan bisa mendengar suara Habiba lagi.”Suara pria di seberang menyahuti.“Apa yang kau inginkan dari habiba? Harta? Kau salah tangkap orang. Dia tidak punya apa- apa,” sahut Husein.“Aku hanya ingin kematian Habiba.”Amir menunjukkan rekaman cctv yang berhasil diretas di ponsel miliknya, menunjukkan rekaman suasana ruangan para penjahat yang terciduk oleh tangkapan retasan hasil kerja Amir.Dalam rekaman itu, terlihat suasana ruangan berisi orang-orang yang masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada tiga orang lelaki. Satu perempuan berpakaian warna hitam serba ketat, juga jaket ketat warna senada. Rambut pendek. Bibir berlipstik hitam. Mereka duduk di kursi masing- masing. Ruangan persis seperti rumah lama.Ada Habiba yang duduk selonjor di lantai dalam kondisi lemas. Wajah meringis menahan sakit. Tangannya memegangi perut yang besar. Rambutnya terurai.“Kau yang a
Habiba duduk di atas mobil yang melaju kencang. Ia menyenderkan kepala ke sandaran kursi. Lemas sekali. Napasnya mulai tersengal saking lemasnya. Sejak kemarin ia belum makan. Perutnya pun makin tak nyaman, makin terasa sesak. Ditambah pinggul terasa ngilu.Habiba duduk di kursi paling belakang. Seorang lelaki duduk di kursi tengah bersma dengan wanita berambut pendek.Pria berjaket merah duduk di samping kemudi. Pria lain mengemudikan mobil dengan kencang.Mereka terlihat panik membicarakan kemana akan membawa Habiba.“Kita seharusnya sudah melenyapkan wanita ini sejak kemarin. Kau melarangku dan akhirnya malah membuat situasi menjadi runyam.”“Hei, jangan gila. Justru kita selamat karena belum sempat melenyapkan wanta ini. Kalau wanita ini mati, kita dalam masalah besar. Mereka bisa meretas cctv kita. Artinya mereka tetap bisa menemukan kita. Kita akan ditangkap dengan status sebagai pembunuh. Andai saja pembunuhan ini dilakukan dengan bersih, maka tidak masalah. Kita sudah biasa me
Suara tangisan bayi nyaring sekali. Air mata Habiba menetes dari kedua sudut mata. Mengalir deras.Tangisan itu sangat mengharukan, juga menyedihkan karena Habiba tidak sanggup mengangkat tubuh hanya untuk sekedar menggendong bayinya. Tubuh Habiba lemas, tak bertenaga. Bangkit dari pembaringannya pun sudah tak sanggup lagi. Setelah perjuangan hebat selama beberapa jam di atas mobil yang terus melaju, Habiba yang tak henti mengejan, akhirnya berhasil melahirkan bayinya.Hati Habiba basah seiring dengan tangisan keras bayi. Habiba rela berkorban mempertaruhkan nyawa demi bayinya, bahkan mati sekalipun rela asalkan bayinya selamat."Bayiku!" lirih Habiba dengan suara lemah.***"Ya Tuhan, kapan kita akan menemukan Habiba? Bagaimana kalau Habiba dicelakai? Seharusnya kau tidak perlu memberitahukan kepada para penculik itu bahwa kita mengetahui keberadaan mereka," ucap Tomy panik."Jika aku tidak mengatakannya, bisa saja mereka sudah melenyapkan Habiba seperti yang mereka katakan di tel
Tiga pria tampan itu menatap Habiba yang terbaring dengan selimut menutup sampai perut. Husein, Tomy dan Amir membisu di kamar rumah sakit."Habiba, apa yang terjadi padamu?" Tomy sedih. Jongkok menyandar di dinding. Wajahnya sendu. Sesekali mengusap wajah kasar.Amir sibuk menghitung bulan kehamilan Habiba. Dan tidak mendapatkan jawaban. Husein berdiri di sisi bed, menatap Habiba tanpa kedip. Kondisi Habiba saat pertama kali dia temukan benar- benar mengenaskan. Perasaannya kini campur aduk. Antara iba pada Habiba, juga marah pada pelaku. Satu tangannya menggenggam tangan Habiba, tangan lainnya mengepal. "Aku akan membunuh mereka. Siapa pun itu!" lirih Husien dengan rahang kokohnya yang mengeras."Habiba dalam masalah besar. Ini tidak pernah terjadi dalam hidupnya," lirih Tomy frustasi.Tidak ada yang menanggapi. Semuanya fokus pada pikiran masing- masing.Tiba- tiba Tomy menarik lengan Husein dan membawanya keluar kamar, mendorong ke dinding. "Ini semua gara- gara kau!" Tomy mene
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu