"Kau selesaikan saja masalahmu sendiri. Masalahmu dengan mama, itu adalah urusanmu. Belajarlah dewasa!" Husein berlalu pergi.Amira tersenyum penuh kemenangan melihat sikap acuh putranya. "Tunggu apa lagi? Bereskan semua pecahan piring ini! Cuci semua piring! Setelah itu, sapu sekeliling halaman rumah!" titah Amira dengan lantang.Perintah konyol. Semua pekerjaan itu jelas sudah ada petugasnya masing- masing. Jika Habiba menyapu halaman sekeliling rumah yang sangat luas itu, tentu seharian pun dia tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri. Ini benar- benar konyol.Habiba balik badan, meninggalkan ruangan itu tanpa peduli pada perintah mertuanya."Hei, mau kemana kau? Kembali!" teriak Amira keras sekali.Habiba setengah berlari, menaiki anak tangga. Sampai ke lantai dua. Masuk kamar. Menjemput barang- barang seperlunya, termasuk ponsel, tas dan apa saja yang dia butuhkan. Saat keluar kamar, Amira sudah berdiri di depan pintu. Tatapan matanya nyalang."Mau kemana kau?" Amira melihat t
"Bu!" Habiba membuka pintu setelah mengucap salam. Dia melempar senyum lebar. "Aku pulang." Dia menciumi pipi Fatona dengan rasa gembira. Sengaja Habiba menampilkan ekspresi bahagia. Sebelum masuk rumah, dia sudah belajar beberapa menit untuk supaya bisa terlihat gembira. Tidak boleh terlihat sedih. Fatona hanya perlu melihat kebahagiaannya saja. Jangan sampai tahu yang sedih- sedih. "Biba? Kamu pulang?" Fatona memeluk bungsunya haru. "Ibu rindu sekali padamu.""Sama. Aku juga rindu, Bu." Habiba menyandarkan kepala ke dada ibunya. Nyaman sekali di posisi itu."Kenapa kamu pulang?" "Nggak boleh pulang ya, Bu?"Fatona tersenyum."Aku rindu sekali sama ibu," ucap Habiba. "Sejak awal aku sudah bilang, kalau aku maunya tinggal di sini saja sama ibu. Meski aku menikah dengan Tuan Husein, aku tetap ingin di sini bersama ibu."Fatona mengelus kepala Habiba yang mengenakan topi kupluk. Fatona tidak tahu bahwa topi itu dia pakai untuk menutupi rambutnya yang jomplang."Jadi mereka mengijinka
Husein berjalan menaiki anak tangga diikuti oleh Amir. Mereka baru saja pulang dari kantor.Amir menunggu di luar ketika Husein memasuki kamar. Husein ingin segera mandi setelah menghabiskan waktu hampir seharian di kantor. Badannya terasa gerah.Tapi dia butuh seseorang untuk melayaninya. Mempersiapkan semua keperluannya untuk mandi.Dia meraih ponsel dan menelepon Habiba.“Shit!” Husein kesal setelah beberapa kali menelepon dan Habiba tidak menjawab teleponnya. Sambil berjalan ke sana kemari, dia mengumpati ponsel. “Kemana wanita itu? berani sekali dia tidak menjawab teleponku.”Sekali lagi, Husein menekan nama Habiba. Matanya membelalak saat panggilan baru masuk beberapa detik, sudah ada sahutan tut tut tut dari seberang.“Kurang asam! Dia merejeck panggilanku. Ada apa dengan wanita ini?” Husein keluar kamar. “Hah?” Husein terkejut melihat sosok yang berdiri di depan kamarnya. Begitu buka pintu, langsung muncul sosok aneh, pendek, rambut keriting. Makhluk apa ini?
“Kenapa kau mesti menjemput Habiba? Bukankah permasalahanmu aman jika wanita itu meninggalkan rumah?” tanya Amir.“Tidak. Habiba harus kembali ke rumah. Dia tidak boleh lepas dari pengawasanku. Jangan sampai dia keluyuran saat sudah dalam keadaan hamil besar.”“Hanya itu alasanmu?”“Menurutmu?”“Menurutku, sebenarnya kau tidak mau kehilangan dia. Kau ingin selalu dekat dengannya.”Husein melirik singkat dengan tajam, malas mendebat.“Hilangkan sedikit gengsimu itu. Bila perlu kau pelajari perasaanmu sendiri. apakah apa yang aku katakan ini benar atau tidak?” tukas Amir.“Kupotong gajimu dua juta.”“Hah? Baiklah, aku ralat ucapanku tadi.” Amir ketakutan juga mendapat ancaman itu. Beberapa kali Amir turun dari mobil untuk menanyakan letak posisi persis kediaman Habiba, namun tak seorang pun yang tahu. Amir mulai jengah. Baju pundaknya sudah basah karena harus keluar masuk mobil dan payung itu tidak cukup menahan tampias hujan.“Rasanya ini bukan wkatu yang tepat untuk menca
"Kau sudah mengajak aku perang. Kau sudah menghancurkan aku. Sebab dengan kau hancurkan adikku, saat itulah kau hancurkan aku. Dengan kau menikahi adikku, maka kau sudah berjanji akan menjagnya,” gertak Tomy kesal sekali.Husein tetap tenang. Membiarkan Tomy meluapkan emosi. “Aku amanahkan Habiba kepadamu, aku serahkan dia bukan untuk kau sakiti. Jika kau tidak suka padanya, cukup kau kembalikan dia kepadaku, tidak perlu sampai menyakitinya begini. Hanya lelaki tak beradab yang berperilaku seperti anjing, menyiksa istri yang seharusnya dilindungi dan disayangi. Ternyata begini perilaku orang yang katanya terpandang. Sama seperti binatang!" Napas Tomy sampai tersengal karena bicara tanpa jeda. “Aku menyesal sudah mempercayakan adikku kepadamu.”Husein masih terlihat tenang. Menghela napas. "Kakak ipar, aku terima kemarahamu. Di sini memang aku yang tidak bisa menjaga istriku. Sekarang, apa yang kau inginkan?""Seharusnya kau bertanya pada dirimu sendiri. Apa pertanggung jawabanmu te
“Diam disitu! Aku akan menjemputmu! Sebutkan alamatmu!” titah Husein.“Tidak. Saya tidak mau dijemput kembali ke rumah itu. anda jelas tidak bisa melindungi saya. Bagaimana mungkin saya akan kembali ke rumah itu lagi?” sahut Habiba cepat.“Kali ini semua kejadian yang menimpamu itu tidak akan terulang kembali. Jangan katakan aku tidak bisa melindungimu. Aku bisa melakukannya.”“Saya tidak percaya.”Jawaban yang membuat Husein tercengang. Bisa- bisanya Habiba menganggapnya tidak punya kekuatan apa- apa. “Hei, kenapa kau meragukan aku?”“Karena memang begitu kenyataannnya. Saya tidak akan mau kembali ke rumah itu. Saya pikir ini adalah jalan terbaik diantara kita, Tuan Muda. Tidak ada yang Anda butuhkan dari saya. Pun saya demikian. Selamat sore!”Sambungan diputus.Husein mengayunkan ponsel ke udara. “Dia mungkin menghindariku demi lelaki sialan yang dia panggil Irzan itu. Berani sekali dia menolakku, membantahku. Ah, kenapa Habiba bandel sekali? Benar- benar sulit me
“Kalau belum menikah, mana mungkin aku hamil,” sahut Habiba lagi menyangkal perkataan Leni.“E eeeh… jangan salah, hari gini banyak perempuan tidak benar yang hamil di luar nikah. Entah itu jual diri, main sama pacar, atau ngwee sama laki orang. Dan perkara seperti ini akan menjadi urusan kita semua sebagai tetangga. Sebab itu adlah maksiat. Harus diberantas supaya sekomplek tidak keciptaran sial.”“Mbak, tolong ya, saya sudah menikah, jangan menggiring opini yang tidak- tidak!” tegas Habiba.“Tapi kok kamu sembunyi terus semenjak hamil?”“Ini buktinya aku keluar rumah, aku juga masih kuliah. Apakah itu namanya tidak keluar rumah?” kesal Habiba. Lama- lama mulut Leni memang minta ditabok. Nyinyir terus.“Paling tidak, kamu mesti perkenalkan ke kami siapa suamimu, atau perlihatkan buku nikahmu supaya kami percaya.”“Bisa. Tapi aku tidak butuh pengakuan apa pun darimu, Mbak Leni. Jadi itu tidak perlu aku lakukan.” “Loh, tidak berani kasih tau buku nikah, jangan- jangan hasil
"Berhenti!" lirih Habiba.Langkah Husein pun terhenti sebelum selesai Habiba mengucapkan satu kata tadi. "Masuk!" Husein menunjuk mobil yang bertengger di pinggir jalan.Habiba melirik mobil yang ditunjuk, ternyata Husein memang sengaja berhenti karena sudah sampai di dekat mobilnya."Tidak perlu. Saya jalan saja. Terima kasih Tuan Muda sudah membantu saya." Habiba menarik tangannya yang masih digenggam oleh Husein. Spontan Husein melonggarkan genggaman hingga tangan mungil itu terlepas dari pegangannya."Lebih baik masuk ke mobil. Bahaya kalau ada yang mengganggumu lagi." Husein mendorong pundak Habiba. Tubuh kecil itu terdorong masuk ke mobil, pasrah.Setelah terduduk di kursi mobil, Habiba dikejutkan dengan Husein yang tiba- tiba menyusul masuk melalui pintu yang sama. Kursi berhimpitan. Paha Habiba sebagian diduduki oleh Husein, membuat wanita itu menggeser posisi duduk ke kursi sebelah. "Jalan, Amir!" titah Husein melihat Amir yang malah bengong.Mobil bergerak."Berhenti!" pi
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu