Amir membukakan pintu mobil untuk Husein. Dengan paras wajah yang masih dalam keadaan merah padam, Husein duduk di sisi kemudi. Sampai mobil disetir keluar area basement, Husein masih membisu.“Ini, makanlah permen ini. Benda kecil itu bisa membuatmu lebih tenang,” ucap Amir sambil melempar sebungkus permen ke pangkuan Husein.Tanpa banyak tanya, Husein membuka pembungkus permen dan menelannya. “Loh, sekali telan?” tanya Amir yang heran melihat Husein menelan permen. Dia tidak melihat Husein mengemut permen, melainkan menelannya bulat- bulat. “Itu permen, bro. bukan pil.”“Aku sedang tidak nyaman.”“Oh. Aku pun mulai tidak nyaman sekarang. Jangan- jangan setelah permen kau telan, aku pun bisa kau telan mentah- mentah.”Husein melirik singkat pada Amir tanpa ingin mengomentarinya. Kata- kata yang keluar dari mulutnya pasti akan buruk jika dia menyahuti.“Apa kau sudah tahu alasan apa yang membuat Habiba bisa berada di acara tadi?” tanya Husein.“Sudah. Tadi aku kirim chat
Husein memilih- milih boneka diantara ribuan boneka yang terpajang di rak toko. Semuanya bagus. Dan dia tidak tahu harus beli yang mana.Amir mengikuti Husein kemana pun bosnya itu melangkah. Kakinya mulai pegel. Sejak tadi berputar- putar tak tentu arah.“Ini sebenarnya kau mau beli boneka atau mau jalan- jalan saja?” Amir mulai protes.“Mana yang bagus?” Husein tak peduli dengan ocehan Amir. Amir mengernyit heran. Kenapa sekarang malah dia dimintai pendapat untuk memilih boneka? Amir garuk- garuk kepalanya yang tak gatal.“Yang ini bagus.” Amir mengambil asal satu boneka besar.“Kebesaran. Tidak cocok untuk dipajang.” Husein melambaikan tangan di depan wajahnya.“Ya sudah, yang ini saja.” Amir asal saja mengambil boneka lain berwarna merah. Dia tidak tahu mana boneka yang bagus. Jika ditanya pendapat mengenai boneka, pikirannya ambyar. Tapi kalau ditanya solusi tentang pekerjaan, otaknya encer.Husein menoleh singkat. Lalu dia mengambil dua boneka berukuran sejengkal. Satu boneka pe
“Siapkan pakaian ganti untukku!” titah Husein. “Aku mau mandi.”“Tapi…”“Tapi apa?” kesal Husein mendapat gelagat bahwa perintahnya akan ditolak.“Tapi kaki saya menggelitik. Saya masih kedinginan. Saya belum berani membuka selimut ini. Saya menggigil,” jelas Habiba, takut kena marah tuan mudanya.“Oh ya ampun, apakah kau Selemah itu? Baru kecebur kolam saja sudah menggigil.”“Saya memang wanita lemah,” lirih Habiba pasrah dikatain lemah.Lah, Habiba malah tersinggung. Sensitif sekali perasaan wanita ini. Husein menatap Habiba dengan penuh penelitian. Megawasi selimut yang membungkus tubuh Habiba. Dia kemudian mendekati kasur, merangkak naik ke atas kasur, mendekati Habiba.Loh, Husein mau apa? Habiba tercekat.“Anda mau ngapain?” Habiba memundurkan tubuhnya yang terbungkus selimut tebal dengan wajah memerah.Husein menarik ujung selimut dan menyingkapnya hingga kaki Habiba kelihatan.“Tuan mau apa? Aaaaaa….” Habiba menjerit hebat sambil memundurkan tubuh.Husein memegang telapak kaki
Di sisi lain, Habiba tengah menghadap pada Amira. "Ada apa memanggil saya, Bu?" tanya Habiba.Amira menyilangkan tangan di dada, tatapannya sinis pada Habiba."Kau tahu apa kesalahanmu?" ketus Amira menatap tajam pada wajah Habiba.Habiba memutar otak, memikirkan jawaban. Memangnya apa kesalahannya? Apakah masih mengenai di acara pesta tadi?"Salah pakai sendal," jawab Habiba polos."Kenapa kau mesti menceburkan diri ke dalam kolam? Apa maksudmu? Aku sudah bilang, supaya kamu jangan bikin malu. Tapi yang kamu lakukan tadi justru sangat memalukan!" geram Amira kesal sekali."Aku tidak sengaja. Aku kecebur, bukan menceburkan diri," sahut Habiba berusaha menjelaskan."Bodoh! Idiot! Kampungan!" Amira menarik rambut Habiba, memghampaskannya ke bawah hingga tubuh Habiba mengikuti tarikan tangan itu dan tersungkur. Kulit kepalanya terasa pedas akibat tarikan tangan Amira. Kenapa wanita yang dulunya kelihatan baik ini malah berubah menjadi monster hanya karena status sosial?"Tidak seharusny
Habiba menurunkan kaki satu per satu ke lantai. Kakinya masih mengenakan kaus. Benda itu mampu menghalangi dinginnya lantai supaya tidak menembus kulit."Apakah saya ada salah sama Tuan Muda?" tanya Habiba sambil duduk bersila di lantai. Memangku bantal seperti anak ayam kehilangan induk."Apa alasanmu menanyakan itu?" ketus Husein tanpa menatap Habiba."Tuan muda kelihatan kesal dan berbeda.""Menurutmu biasanya aku bagaimana?""Tuan lebih bersahabat. Tapi ini bawaannya marah- marah," polos Habiba. "Tapi ya sudah, kalau memang Tuan minta saya tidur di lantai tidak apa- apa. Tuan pasti takut ketularan pilek. Kenapa tidak jadi pindah ke kamar sebelah saja? Mungkin di sana lebih aman dari virus flu.""Diam!" titah Husein membuat Habiba membungkam. Wanita itu tidak bicara lagi, dia melangkah menuju ke lemari, tiba- tiba dahinya mengernyit saat tidak mendapati dua boneka yang dia simpan di situ."Loh, boneka yang saya simpan di sini mana?" Habiba mencari- cari."Untuk apa kau mencari ben
"Semua orang sudah bangun, bahkan suamimu juga sudah bersiap mau kerja, tapi kamu malah enak- enakan molor. Memalukan!" Amira kesal sekali."Aku sakit. Demam." Habiba menjelaskan kondisinya. Siapa tau Amira akan memahami, tapi ternyata tidak. Alasan itu tidak cukup untuk membuat kemarahan Amira menurun."Itu deritamu. Jangan kau kaitkan dengan kemalasanmu itu. Cepat bekerja! Bereskan kamar ini! Bersihkan seluruh ruangan. Jangan malas!" titah Amira berusaha membuat Habiba tidak betah di rumah itu."Jika pekerjaanmu tidak beres dalam satu jam ke depan, maka kamu akan kuhukum." Amira melenggang pergi.Tubuh Habiba terasa ngilu, hawa pun terasa dingin olehnya. Dia bersin beberapa kali. Tapi semua itu tidak menyurutkan tekadnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ia dengan tergesa- gesa menyapu, mengepel dan merapikan semua ruangan. "Wah, upik abu jadi Cinderella, sayangnya cinderellanya tidak diakui. Ternyata menjadi istri tuan muda tidak seindah yang kamu harapkan," celetuk Fara saat me
"Kau selesaikan saja masalahmu sendiri. Masalahmu dengan mama, itu adalah urusanmu. Belajarlah dewasa!" Husein berlalu pergi.Amira tersenyum penuh kemenangan melihat sikap acuh putranya. "Tunggu apa lagi? Bereskan semua pecahan piring ini! Cuci semua piring! Setelah itu, sapu sekeliling halaman rumah!" titah Amira dengan lantang.Perintah konyol. Semua pekerjaan itu jelas sudah ada petugasnya masing- masing. Jika Habiba menyapu halaman sekeliling rumah yang sangat luas itu, tentu seharian pun dia tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri. Ini benar- benar konyol.Habiba balik badan, meninggalkan ruangan itu tanpa peduli pada perintah mertuanya."Hei, mau kemana kau? Kembali!" teriak Amira keras sekali.Habiba setengah berlari, menaiki anak tangga. Sampai ke lantai dua. Masuk kamar. Menjemput barang- barang seperlunya, termasuk ponsel, tas dan apa saja yang dia butuhkan. Saat keluar kamar, Amira sudah berdiri di depan pintu. Tatapan matanya nyalang."Mau kemana kau?" Amira melihat t
"Bu!" Habiba membuka pintu setelah mengucap salam. Dia melempar senyum lebar. "Aku pulang." Dia menciumi pipi Fatona dengan rasa gembira. Sengaja Habiba menampilkan ekspresi bahagia. Sebelum masuk rumah, dia sudah belajar beberapa menit untuk supaya bisa terlihat gembira. Tidak boleh terlihat sedih. Fatona hanya perlu melihat kebahagiaannya saja. Jangan sampai tahu yang sedih- sedih. "Biba? Kamu pulang?" Fatona memeluk bungsunya haru. "Ibu rindu sekali padamu.""Sama. Aku juga rindu, Bu." Habiba menyandarkan kepala ke dada ibunya. Nyaman sekali di posisi itu."Kenapa kamu pulang?" "Nggak boleh pulang ya, Bu?"Fatona tersenyum."Aku rindu sekali sama ibu," ucap Habiba. "Sejak awal aku sudah bilang, kalau aku maunya tinggal di sini saja sama ibu. Meski aku menikah dengan Tuan Husein, aku tetap ingin di sini bersama ibu."Fatona mengelus kepala Habiba yang mengenakan topi kupluk. Fatona tidak tahu bahwa topi itu dia pakai untuk menutupi rambutnya yang jomplang."Jadi mereka mengijinka