“Siapkan pakaian ganti untukku!” titah Husein. “Aku mau mandi.”“Tapi…”“Tapi apa?” kesal Husein mendapat gelagat bahwa perintahnya akan ditolak.“Tapi kaki saya menggelitik. Saya masih kedinginan. Saya belum berani membuka selimut ini. Saya menggigil,” jelas Habiba, takut kena marah tuan mudanya.“Oh ya ampun, apakah kau Selemah itu? Baru kecebur kolam saja sudah menggigil.”“Saya memang wanita lemah,” lirih Habiba pasrah dikatain lemah.Lah, Habiba malah tersinggung. Sensitif sekali perasaan wanita ini. Husein menatap Habiba dengan penuh penelitian. Megawasi selimut yang membungkus tubuh Habiba. Dia kemudian mendekati kasur, merangkak naik ke atas kasur, mendekati Habiba.Loh, Husein mau apa? Habiba tercekat.“Anda mau ngapain?” Habiba memundurkan tubuhnya yang terbungkus selimut tebal dengan wajah memerah.Husein menarik ujung selimut dan menyingkapnya hingga kaki Habiba kelihatan.“Tuan mau apa? Aaaaaa….” Habiba menjerit hebat sambil memundurkan tubuh.Husein memegang telapak kaki
Di sisi lain, Habiba tengah menghadap pada Amira. "Ada apa memanggil saya, Bu?" tanya Habiba.Amira menyilangkan tangan di dada, tatapannya sinis pada Habiba."Kau tahu apa kesalahanmu?" ketus Amira menatap tajam pada wajah Habiba.Habiba memutar otak, memikirkan jawaban. Memangnya apa kesalahannya? Apakah masih mengenai di acara pesta tadi?"Salah pakai sendal," jawab Habiba polos."Kenapa kau mesti menceburkan diri ke dalam kolam? Apa maksudmu? Aku sudah bilang, supaya kamu jangan bikin malu. Tapi yang kamu lakukan tadi justru sangat memalukan!" geram Amira kesal sekali."Aku tidak sengaja. Aku kecebur, bukan menceburkan diri," sahut Habiba berusaha menjelaskan."Bodoh! Idiot! Kampungan!" Amira menarik rambut Habiba, memghampaskannya ke bawah hingga tubuh Habiba mengikuti tarikan tangan itu dan tersungkur. Kulit kepalanya terasa pedas akibat tarikan tangan Amira. Kenapa wanita yang dulunya kelihatan baik ini malah berubah menjadi monster hanya karena status sosial?"Tidak seharusny
Habiba menurunkan kaki satu per satu ke lantai. Kakinya masih mengenakan kaus. Benda itu mampu menghalangi dinginnya lantai supaya tidak menembus kulit."Apakah saya ada salah sama Tuan Muda?" tanya Habiba sambil duduk bersila di lantai. Memangku bantal seperti anak ayam kehilangan induk."Apa alasanmu menanyakan itu?" ketus Husein tanpa menatap Habiba."Tuan muda kelihatan kesal dan berbeda.""Menurutmu biasanya aku bagaimana?""Tuan lebih bersahabat. Tapi ini bawaannya marah- marah," polos Habiba. "Tapi ya sudah, kalau memang Tuan minta saya tidur di lantai tidak apa- apa. Tuan pasti takut ketularan pilek. Kenapa tidak jadi pindah ke kamar sebelah saja? Mungkin di sana lebih aman dari virus flu.""Diam!" titah Husein membuat Habiba membungkam. Wanita itu tidak bicara lagi, dia melangkah menuju ke lemari, tiba- tiba dahinya mengernyit saat tidak mendapati dua boneka yang dia simpan di situ."Loh, boneka yang saya simpan di sini mana?" Habiba mencari- cari."Untuk apa kau mencari ben
"Semua orang sudah bangun, bahkan suamimu juga sudah bersiap mau kerja, tapi kamu malah enak- enakan molor. Memalukan!" Amira kesal sekali."Aku sakit. Demam." Habiba menjelaskan kondisinya. Siapa tau Amira akan memahami, tapi ternyata tidak. Alasan itu tidak cukup untuk membuat kemarahan Amira menurun."Itu deritamu. Jangan kau kaitkan dengan kemalasanmu itu. Cepat bekerja! Bereskan kamar ini! Bersihkan seluruh ruangan. Jangan malas!" titah Amira berusaha membuat Habiba tidak betah di rumah itu."Jika pekerjaanmu tidak beres dalam satu jam ke depan, maka kamu akan kuhukum." Amira melenggang pergi.Tubuh Habiba terasa ngilu, hawa pun terasa dingin olehnya. Dia bersin beberapa kali. Tapi semua itu tidak menyurutkan tekadnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ia dengan tergesa- gesa menyapu, mengepel dan merapikan semua ruangan. "Wah, upik abu jadi Cinderella, sayangnya cinderellanya tidak diakui. Ternyata menjadi istri tuan muda tidak seindah yang kamu harapkan," celetuk Fara saat me
"Kau selesaikan saja masalahmu sendiri. Masalahmu dengan mama, itu adalah urusanmu. Belajarlah dewasa!" Husein berlalu pergi.Amira tersenyum penuh kemenangan melihat sikap acuh putranya. "Tunggu apa lagi? Bereskan semua pecahan piring ini! Cuci semua piring! Setelah itu, sapu sekeliling halaman rumah!" titah Amira dengan lantang.Perintah konyol. Semua pekerjaan itu jelas sudah ada petugasnya masing- masing. Jika Habiba menyapu halaman sekeliling rumah yang sangat luas itu, tentu seharian pun dia tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri. Ini benar- benar konyol.Habiba balik badan, meninggalkan ruangan itu tanpa peduli pada perintah mertuanya."Hei, mau kemana kau? Kembali!" teriak Amira keras sekali.Habiba setengah berlari, menaiki anak tangga. Sampai ke lantai dua. Masuk kamar. Menjemput barang- barang seperlunya, termasuk ponsel, tas dan apa saja yang dia butuhkan. Saat keluar kamar, Amira sudah berdiri di depan pintu. Tatapan matanya nyalang."Mau kemana kau?" Amira melihat t
"Bu!" Habiba membuka pintu setelah mengucap salam. Dia melempar senyum lebar. "Aku pulang." Dia menciumi pipi Fatona dengan rasa gembira. Sengaja Habiba menampilkan ekspresi bahagia. Sebelum masuk rumah, dia sudah belajar beberapa menit untuk supaya bisa terlihat gembira. Tidak boleh terlihat sedih. Fatona hanya perlu melihat kebahagiaannya saja. Jangan sampai tahu yang sedih- sedih. "Biba? Kamu pulang?" Fatona memeluk bungsunya haru. "Ibu rindu sekali padamu.""Sama. Aku juga rindu, Bu." Habiba menyandarkan kepala ke dada ibunya. Nyaman sekali di posisi itu."Kenapa kamu pulang?" "Nggak boleh pulang ya, Bu?"Fatona tersenyum."Aku rindu sekali sama ibu," ucap Habiba. "Sejak awal aku sudah bilang, kalau aku maunya tinggal di sini saja sama ibu. Meski aku menikah dengan Tuan Husein, aku tetap ingin di sini bersama ibu."Fatona mengelus kepala Habiba yang mengenakan topi kupluk. Fatona tidak tahu bahwa topi itu dia pakai untuk menutupi rambutnya yang jomplang."Jadi mereka mengijinka
Husein berjalan menaiki anak tangga diikuti oleh Amir. Mereka baru saja pulang dari kantor.Amir menunggu di luar ketika Husein memasuki kamar. Husein ingin segera mandi setelah menghabiskan waktu hampir seharian di kantor. Badannya terasa gerah.Tapi dia butuh seseorang untuk melayaninya. Mempersiapkan semua keperluannya untuk mandi.Dia meraih ponsel dan menelepon Habiba.“Shit!” Husein kesal setelah beberapa kali menelepon dan Habiba tidak menjawab teleponnya. Sambil berjalan ke sana kemari, dia mengumpati ponsel. “Kemana wanita itu? berani sekali dia tidak menjawab teleponku.”Sekali lagi, Husein menekan nama Habiba. Matanya membelalak saat panggilan baru masuk beberapa detik, sudah ada sahutan tut tut tut dari seberang.“Kurang asam! Dia merejeck panggilanku. Ada apa dengan wanita ini?” Husein keluar kamar. “Hah?” Husein terkejut melihat sosok yang berdiri di depan kamarnya. Begitu buka pintu, langsung muncul sosok aneh, pendek, rambut keriting. Makhluk apa ini?
“Kenapa kau mesti menjemput Habiba? Bukankah permasalahanmu aman jika wanita itu meninggalkan rumah?” tanya Amir.“Tidak. Habiba harus kembali ke rumah. Dia tidak boleh lepas dari pengawasanku. Jangan sampai dia keluyuran saat sudah dalam keadaan hamil besar.”“Hanya itu alasanmu?”“Menurutmu?”“Menurutku, sebenarnya kau tidak mau kehilangan dia. Kau ingin selalu dekat dengannya.”Husein melirik singkat dengan tajam, malas mendebat.“Hilangkan sedikit gengsimu itu. Bila perlu kau pelajari perasaanmu sendiri. apakah apa yang aku katakan ini benar atau tidak?” tukas Amir.“Kupotong gajimu dua juta.”“Hah? Baiklah, aku ralat ucapanku tadi.” Amir ketakutan juga mendapat ancaman itu. Beberapa kali Amir turun dari mobil untuk menanyakan letak posisi persis kediaman Habiba, namun tak seorang pun yang tahu. Amir mulai jengah. Baju pundaknya sudah basah karena harus keluar masuk mobil dan payung itu tidak cukup menahan tampias hujan.“Rasanya ini bukan wkatu yang tepat untuk menca