Sambil memacu mobilnya, Husein menelepon Emran, namun tidak diangkat. Dia ingin menyeret dan menelanjangi adik iparnya itu supaya tahu diri.Ah, tapi bagaimana dengan Inez? Andai saja Husein menghakimi Emran, tentu Inez juga akan tersakiti. Emran sudah menjadi bagian keluarga, maka Husein tidak mungkin melakukan hal gila terhadap iparnya sendiri. Dalam kamus hidupnya, pantang untuk mencelakai atau bahkan menjatuhkan keluarga sendiri.Perusahaan Alka telah hancur sejak kasus obat- obat yang diproduksi mengandung bahan kimia berbahaya mencuat. Sebab bukan hanya rumah sakit Husein saja yang menggunakan obat- obatan produksi mereka, ada banyak apotik, perusahaan, dan rumah sakit besar yang menggunakannya. Pelanggan telah berpaling dari perusahaan milik Alka. Semua obat ditarik dan dikembalikan. Rugi puluhan milyar. Dan yang paling menyedihkan adalah Alka diseret ke kantor polisi.Perusahaan ditutup dan karyawan di PHK. Perusahaan benar- benar gaduh dan menyedihkan sekali. Yan
Brak!Husein menendang pintu kamar hotel sesaat setelah memutar kuncinya, pintu terbuka. Dia meminta duplikat kunci setelah menelepon pemilik hotel yang tak lain adalah Amir. Dan Amir dengan mudah memerintah anak buahnya supaya menuruti semua perintah Husein.Husein menyergap masuk kamar. Emran yang tengah terbaring berbalut selimut tebal itu terkejut, sontak terduduk. Wanita di sisinya tak kalah kaget. Langsung duduk sambil memegangi selimut supaya menutup dadanya. Sepasang sejoli itu bermandi keringat, kelelahan. "Siapa kau?" seru wanita yang ketakutan itu. Husein tak mempedulikan. Dia berjalan dengan langkah lebar memutari ranjang, menuju kepada Emran.Emran yang bertelanjang dada, bergegas memungut celana dan mengenakannya dengan gerakan cepat. Dia lalu menyambar kaos dan segera mengenakannya. Belum selesai ia memasang kaos, tubuhnya itu terhuyung setelah Husein mendaratkan pukulan bertubi- tubi. Wanita di atas ranjang menjerit ketakutan. "Hentikan! Tolong hentikan!" Wanita
Ting.Bunyi lift terbuka memandu langkah Husein keluar, menggeret Habiba."Ikuti bosmu!" ucap Husein tanpa mau bicara panjang lebar. Wajahnya tegang sekali. Meski bingung, Habiba menurut saja. Mustahil Husein mau melakukan hal- hal buruk kepadanya kan? Sepertinya memang ada hal genting. Husein memencet kode akses tertentu di pintu, lalu menyelinap masuk. Pintu kembali tertutup secara otomatis."Kai adalah dokter, apa pun itu, kau harus bisa menyelamatkan Emran." Husein menggandeng Habiba hingga sampai di sebuah tempat yang terdapat peralatan medis lengkap, seperti ruang bedah. "Ayo, lakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa Emran." Husein menunjuk sosok manusia yang terbaring di atas bed dengan mata terpejam, perut bersimbah darah. Habiba terkejut. "Emran? Ada apa dengannya?""Aku menembaknya.""Oh ya ampun. Lalu... Tapi aku bukan dokter bedah.""Kau bisa melakukannya. Kau dokter profesional yang melakukan aksi bedah ringan pun bisa. Maka bedah begini pun pasti bisa.""Tidak. Leb
Habiba mencuci tangannya seusai melepas handscoon, membersihkan tangannya yang terkena sedikit lumuran darah. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya, mengeluarkan peluru dari perut Emran. Saat menuju ke pintu, dia tidak tahu bagaimana caranya membuka pintu yang memiliki akses kode itu. Lalu bagaimana caranya dia keluar? Dia sudah terlu lama terjebak di sana. Menghabiskan waktu berjibaku dengan peralatan medis. Ruangan itu sangat luas, memiliki beberapa kamar canggih yang semuanya menggunakan fasilitas serba modern. Habiba kini sudah berada di ruangan inti, tepat di depan pintu utama. Namun ia tidak bisa keluar.Lalu sudah jam berapa sekarang? Habiba membuka ponsel untuk melihat jam. Pukul satu dini hari. Pantas saja tubuhnya letih sekali, ternyata sudah lewat tengah malam.Seharusnya ia bermain dan bergurau dengan kedua anaknya malam tadi, tapi ia malah di sini. Ada panggilan tak terjwab dari Fatona beberapa kali, mungkin Fatona ingin menanyakan kepulangannya. Sudah larut malam
“Jika saja kau terbangun setelah aku membangunkanmu beberapa kali, maka aku tidak perlu menggendong badanmu yang berat itu ke sini.” Husein menyahuti dengan sorot mata yang tajam.Iya, tatapannya menusuk, nada bicaranya pun tak membuat wanita nyaman. Kesannya beringas.“Mungkin aku kelelahan sehingga aku sampai tidak sadar kamu membangunkan aku.” Habiba memegang pelipisnya yang mulai berdenyut. Pusing sekali. Apa lagi jika mengingat pengakuan Cindy dalam telepon yang mengaku kalau Cindy adalah istrinya Husein sekarang, denyutan di kepala kian menjadi.Habiba harus segera pergi dari sana. Dia ingin pulang.Dengan cepat, dia menurunkan kaki ke lantai. Namun mendadak saja rasanya bumi ini bergoyang. Eh, bukan bumi yang begoyang, melainkan kepalanya yang pusing membuat bimu seperti berputar.Tubuh Habiba terhuyung, hampir terjatuh jika saja Husein tidak cepat menangkapnya. Habiba mendongak, menatap Husein yang wajahnya sangat dekat dengan wajahnya. Pun dia merasakan dekapan leng
“Melihatmu saja, Sakha sudah ketakutan. Bagaimana jika kamu paksa dia untuk tinggal bersamamu? Sakha pasti akan semakin ketakutan sepnajng hari,” imbuh Habiba. “Aku sama sekali tidak melarangmu bertemu dengannya. Kamu boleh menemuinya kapan saja, tapi bukan untuk menjauhkan dia apa lagi mengambil dia dariku.”Husein balik badan. Memalingkan wajahnya yang kesal. Kesal karena ternyata benar Irzan sudah menikah dengan Habiba. Lelaki yang selama ini menjatuhkan harag diri Husein di mata Habiba, pada akhirnya berhasil mengalahkan Husein. Husein benar- benar merasa telah dijatuhkan. Dia kalah oleh sosok Irzan yang menurutnya tidak ada apa- apanya jika dibandingkan dengan dirinya.Padahal segala pengorbanan sudah dilakukan oleh Husein demi anak istrinya. Tapi endingnya tetap saja dia kalah.“Sudahlah! Kau jangan membuat kepalaku makin pusing dengan merengek begini,” ucap Husein malas berdebat.“Cindy tadi mungkin salah paham atas perkataanku. Dia menjawab ponselmu saat aku menel
“Dia tidak akan bisa lari dari sini. Pintu di sini menggunaka akses kode yang dia tidak akan mungkin bisa melewatinya,” ujar Husein sembari menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Emran.Tak mungkin secepat itu Emran pergi. Husein menjauh dari bed, menyusuri ruangan mencari keberadaan Emran.“Apakah operasimu berhasil?” tanya Husein.“Ya.”“Tidak ada efek buruk yang terjadi bukan?”“Menurutku tidak. Semuanya berjalan dengan baik,” jawab Habiba yang berada di ruangan berbeda dengan Husein. Wanita itu celingukan melihat ke sana- sini. Termasuk ke kolong meja. Siapa tahu Emran menggelinding dan terjatuh di sana.“Emran!” Husein memanggil dengan suara keras. “Dimana kau? Kau tidak bisa bersembunyi. Aku meminta Habiba untuk menyembuhkanmu supaya kau tetap hidup dan bicara empat mata denganku.”Tak mendapati apa pun di ruangan lain, Husein kembali ke ruangan operasi. Dan dia melihat kondisi tidak seperti semula.Emran tengah mencekal lengan Habiba sambil menudingkan pisau kecil
Husein menepuk jidat Emran dengan peralatan medis sekenanya agak keras ketika melihat jemari tawanannya itu bergerak, kemudian disusul kelopak mata lelaki itu yang juga bergerak."Oh... Rupanya sudah mau sadar," lirih Husein bicara sendiri. Dia kembali mendaratkan benda yang sama ke jidat Emran, membuat Emran terkejut dan langsung membelalak."Kau tidak sedang di neraka, kau masih di alam semesta, jadi tenang saja." Husein berkacak pinggang di sisi bed.Emran berusaha menggerakkan tubuhnya, namun tidak berhasil. Kaki dan tangannya terikat."Husein, apa yang ingin kau lakukan padaku?" Emran menatap cemas."Takut?"Emran hanya bisa memutar mata waspada."Sebelum bertindak, seharusnya kau berpikir ribuan kali. Kau tahu siapa yang kai hadapi sekarang bukan?" Husein kemudian menarik kursi dan mendekatkan ke arah bed. Dia duduk di kursi itu dengan kaki menyilang. Kelihatan rileks sekali."Aku salah sudah mengkhianati Inez, adikmu. Tapi semua itu kulakukan karena aku sudah tidak mencintainya