“Biba, bisakah ibu minta tolong?” tanya Fatona menghampiri putrinya yang sedang memasangkan baju untuk Qansha.“Apa, Bu?” tanya Habiba.Qansha berlari menjauh, mengejar bola yang menggelinding setelah selesai pakai baju, rambutnya diikat dua. Rumah cukup luas untuknya bermain. Saat ini, Habiba dan keluarga kecilnya sudah pindah rumah. Tidak menempati rumah lama. Kediaman mereka kini cukup bagus sejak Habiba bekerja sebagai dokter.Sedangkan Tomy, masih menempati rumah lama. Dia beternak ikan yang sekaligus menjadi hobi. Dia tidak mau meninggalkan rumah kesayangannya itu karena sudah terlanjur nyaman.“Tolong antarkan donat ibu ke langganan biasanya,” ucap Fatona. “Kamu kan pakai mobil, pasti gampang bawa Tupperware banyak. Soalnya di luar gerimis, kasian kalau Irzan yang bawa pakai keranjang.”“Oh. Bisa. Hari ini anak- anak libur sekolah, dan aku masuk kerja siangan. aku akan ajak anak- anak. Mau belikan mereka baju baru.”“Ya.” Fatona tersenyum senang. “Irzan akan ikut
Husein menelan saliva. Dunia begitu sempit hingga lagi dan lagi ia bertemu dengan Habiba. Bahkan kini Habiba tidak sedang sendiri, ada Irzan yang menemani wanita itu. Ternyata mereka benar- benar bersatu. Inilah yang sejak dulu diharapkan oleh Habiba. Pada akhirnya keinginan wanita itu terwujud juga. Seharusnya Husein tidak peduli lagi dengan Habiba, wanita itu tidak mencintai Husein. Wanita itu hanyalah masa lalunya uang ternyata sama sekali tidak menghargai pengorbanannya.Biarkan dia bebas dengan siapa pun. Yang ternyata kini Habiba pun sudah memiliki buah hati dengan lelaki sialan itu. "Qansha!" Habiba menghambur dan mengejar putrinya saat tahu Qansha berdiri di dekat Husein. Secepat kilat, Habiba menarik lengan Qansha dan menyembunyikan anaknya itu ke balik badannya."Apa yang kau lakukan dengan anak ini?" Habiba panik, takut Husein akan mengambil Qansha sama seperti saat diam- diam pria itu mengambil Sakha darinya. "Ini anakmu?" tanya Husein.Habiba masih tampak tegang. "Ja
Sambil memacu mobilnya, Husein menelepon Emran, namun tidak diangkat. Dia ingin menyeret dan menelanjangi adik iparnya itu supaya tahu diri.Ah, tapi bagaimana dengan Inez? Andai saja Husein menghakimi Emran, tentu Inez juga akan tersakiti. Emran sudah menjadi bagian keluarga, maka Husein tidak mungkin melakukan hal gila terhadap iparnya sendiri. Dalam kamus hidupnya, pantang untuk mencelakai atau bahkan menjatuhkan keluarga sendiri.Perusahaan Alka telah hancur sejak kasus obat- obat yang diproduksi mengandung bahan kimia berbahaya mencuat. Sebab bukan hanya rumah sakit Husein saja yang menggunakan obat- obatan produksi mereka, ada banyak apotik, perusahaan, dan rumah sakit besar yang menggunakannya. Pelanggan telah berpaling dari perusahaan milik Alka. Semua obat ditarik dan dikembalikan. Rugi puluhan milyar. Dan yang paling menyedihkan adalah Alka diseret ke kantor polisi.Perusahaan ditutup dan karyawan di PHK. Perusahaan benar- benar gaduh dan menyedihkan sekali. Yan
Brak!Husein menendang pintu kamar hotel sesaat setelah memutar kuncinya, pintu terbuka. Dia meminta duplikat kunci setelah menelepon pemilik hotel yang tak lain adalah Amir. Dan Amir dengan mudah memerintah anak buahnya supaya menuruti semua perintah Husein.Husein menyergap masuk kamar. Emran yang tengah terbaring berbalut selimut tebal itu terkejut, sontak terduduk. Wanita di sisinya tak kalah kaget. Langsung duduk sambil memegangi selimut supaya menutup dadanya. Sepasang sejoli itu bermandi keringat, kelelahan. "Siapa kau?" seru wanita yang ketakutan itu. Husein tak mempedulikan. Dia berjalan dengan langkah lebar memutari ranjang, menuju kepada Emran.Emran yang bertelanjang dada, bergegas memungut celana dan mengenakannya dengan gerakan cepat. Dia lalu menyambar kaos dan segera mengenakannya. Belum selesai ia memasang kaos, tubuhnya itu terhuyung setelah Husein mendaratkan pukulan bertubi- tubi. Wanita di atas ranjang menjerit ketakutan. "Hentikan! Tolong hentikan!" Wanita
Ting.Bunyi lift terbuka memandu langkah Husein keluar, menggeret Habiba."Ikuti bosmu!" ucap Husein tanpa mau bicara panjang lebar. Wajahnya tegang sekali. Meski bingung, Habiba menurut saja. Mustahil Husein mau melakukan hal- hal buruk kepadanya kan? Sepertinya memang ada hal genting. Husein memencet kode akses tertentu di pintu, lalu menyelinap masuk. Pintu kembali tertutup secara otomatis."Kai adalah dokter, apa pun itu, kau harus bisa menyelamatkan Emran." Husein menggandeng Habiba hingga sampai di sebuah tempat yang terdapat peralatan medis lengkap, seperti ruang bedah. "Ayo, lakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa Emran." Husein menunjuk sosok manusia yang terbaring di atas bed dengan mata terpejam, perut bersimbah darah. Habiba terkejut. "Emran? Ada apa dengannya?""Aku menembaknya.""Oh ya ampun. Lalu... Tapi aku bukan dokter bedah.""Kau bisa melakukannya. Kau dokter profesional yang melakukan aksi bedah ringan pun bisa. Maka bedah begini pun pasti bisa.""Tidak. Leb
Habiba mencuci tangannya seusai melepas handscoon, membersihkan tangannya yang terkena sedikit lumuran darah. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaannya, mengeluarkan peluru dari perut Emran. Saat menuju ke pintu, dia tidak tahu bagaimana caranya membuka pintu yang memiliki akses kode itu. Lalu bagaimana caranya dia keluar? Dia sudah terlu lama terjebak di sana. Menghabiskan waktu berjibaku dengan peralatan medis. Ruangan itu sangat luas, memiliki beberapa kamar canggih yang semuanya menggunakan fasilitas serba modern. Habiba kini sudah berada di ruangan inti, tepat di depan pintu utama. Namun ia tidak bisa keluar.Lalu sudah jam berapa sekarang? Habiba membuka ponsel untuk melihat jam. Pukul satu dini hari. Pantas saja tubuhnya letih sekali, ternyata sudah lewat tengah malam.Seharusnya ia bermain dan bergurau dengan kedua anaknya malam tadi, tapi ia malah di sini. Ada panggilan tak terjwab dari Fatona beberapa kali, mungkin Fatona ingin menanyakan kepulangannya. Sudah larut malam
“Jika saja kau terbangun setelah aku membangunkanmu beberapa kali, maka aku tidak perlu menggendong badanmu yang berat itu ke sini.” Husein menyahuti dengan sorot mata yang tajam.Iya, tatapannya menusuk, nada bicaranya pun tak membuat wanita nyaman. Kesannya beringas.“Mungkin aku kelelahan sehingga aku sampai tidak sadar kamu membangunkan aku.” Habiba memegang pelipisnya yang mulai berdenyut. Pusing sekali. Apa lagi jika mengingat pengakuan Cindy dalam telepon yang mengaku kalau Cindy adalah istrinya Husein sekarang, denyutan di kepala kian menjadi.Habiba harus segera pergi dari sana. Dia ingin pulang.Dengan cepat, dia menurunkan kaki ke lantai. Namun mendadak saja rasanya bumi ini bergoyang. Eh, bukan bumi yang begoyang, melainkan kepalanya yang pusing membuat bimu seperti berputar.Tubuh Habiba terhuyung, hampir terjatuh jika saja Husein tidak cepat menangkapnya. Habiba mendongak, menatap Husein yang wajahnya sangat dekat dengan wajahnya. Pun dia merasakan dekapan leng
“Melihatmu saja, Sakha sudah ketakutan. Bagaimana jika kamu paksa dia untuk tinggal bersamamu? Sakha pasti akan semakin ketakutan sepnajng hari,” imbuh Habiba. “Aku sama sekali tidak melarangmu bertemu dengannya. Kamu boleh menemuinya kapan saja, tapi bukan untuk menjauhkan dia apa lagi mengambil dia dariku.”Husein balik badan. Memalingkan wajahnya yang kesal. Kesal karena ternyata benar Irzan sudah menikah dengan Habiba. Lelaki yang selama ini menjatuhkan harag diri Husein di mata Habiba, pada akhirnya berhasil mengalahkan Husein. Husein benar- benar merasa telah dijatuhkan. Dia kalah oleh sosok Irzan yang menurutnya tidak ada apa- apanya jika dibandingkan dengan dirinya.Padahal segala pengorbanan sudah dilakukan oleh Husein demi anak istrinya. Tapi endingnya tetap saja dia kalah.“Sudahlah! Kau jangan membuat kepalaku makin pusing dengan merengek begini,” ucap Husein malas berdebat.“Cindy tadi mungkin salah paham atas perkataanku. Dia menjawab ponselmu saat aku menel