“Ya Hamdan, apa yang terjadi akhir-akhir ini?”
Hamdan terkejut hingga tersedak teh yang ia minum. Ia terkejut setengah mati saat mendapati ibunya tiba-tiba berdiri di ambang pintu penghubung teras belakang dengan kolam renang indoor. Meletakkan cangkir tehnya, Hamdan bangkit dari duduknya dan menyambut ibunya dengan sebuah pelukan hangat.“Ibu, apa yang membawamu kesini?” Hamdan mengecup punggung tangan ibunya.“Apa seorang ibu dilarang untuk mengunjugi puteranya?” mata indah milik Sheikha Hind berkedip lucu.Hamdan tertawa membalas pertanyaan ibunya, “aku juga merindukanmu ibu.” Hamdan kembali memeluk ibunya lalu membimbing beliau untuk duduk di sofa tempatnya menghabiskan sore di halaman belakang House of Falasi—tempat tinggal Hamdan.“Siapa yang mengantar ibu kemari?” tanya Hamdan, jemarinya menggenggam tangan ibunya erat.“Adikmu Ahmed yang mengantar ibu kesini, tapi langsung pergi.”“Apa ibu sudah makan?”“Dan... berhenti mengalihkan pembicaraan, jawab dulu pertanyaan ibu tentang apa yang terjadi dan apa yang tidak ibu ketahui akhir-akhir ini,” dari balik niqab yang dikenakannya, Sheikha Hind menatap Hamdan dengan penuh selidik.“Tidak banyak ibu, hanya penandatanganan kerja sama bilateral dengan Afghanistan, lalu peluncuran strategi pemerintahan 2021, kemudian tim yang bergerak di bidang makanan dan gizi sudah mulai bergerak, dan bulan depan aku akan turun di endurance race yang diadakan oleh ayah,” jelas Hamdan panjang lebar.“Hanya itu?”Hamdan mengangguk.“Kudengar dari pamanmu Saeed, seorang gadis yang masuk ke dalam tim Hamdan Food and Nutrition Organization sedang mencoba mendekatimu, apa itu benar nak?” nada bicara ibunya begitu tenang, datar dan seakan tidak mengandung emosi. Tapi dibalik itu Hamdan dapat menlihat kilatan amarah dari satu-satunya anggota tubuh yang tidak tertutupi kain hitam tersebut, yaitu mata beliau.“Ibu, itu tidak benar. Dia tidak pernah mendekatiku. Kami hanya tidak sengaja—sering—bertemu, itu saja.” Hamdan tersenyum mencoba meyakinkan ibunya. Tapi mengingat jika gadis yang ibunya maksudkan adalah Rebecca, hal tersebut justru membuat kepala Hamdan kembali memutar kejadian di pantai Jumeirah. Saat itu ia dan Rebecca berada di posisi yang tidak menguntungkan tapi menyenangkan baginya.Masih dapat ia ingat bagaimana ia berusaha menggerakkan parasut agar sedikit berbelok ke kiri dan menjauhi seseorang yang tengah berdiri tepat di titik pendaratannya. Tapi angin tidak bersahabat sehingga dapat dipastikan Hamdan menabrak wanita tersebut. Hampir saja Hamdan meluapkan kekesalannya pada wanita tersebut karena membahayakan nyawa mereka berdua.Tapi kekesalan itu menguar begitu saja saat ia mengetahui jika Rebecca lah wanita itu. Kekesalannya justru terganti dengan seulas senyum tatkala beban tubuh Rebecca menimpanya. Saat itu posisi mereka berdua sangat dekat, bahkan hingga kini indera penciuman Hamdan masih dapat membaui wangi seorang Rebecca. Perpaduan unik dari parfum Hayaati bercampur dengan harum segar roti yang baru keluar dari panggangan.Hamdan tersenyum lalu menggelengkan kepalanya saat pikirannya semakin melantur kemana-mana.“Ya Hamdan, ibu mohon kau jangan bermain-main. Gadis itu tidak memiliki asal usul yang jelas. Ibu mohon berhenti bermain hati dengannya,” Sheikha Hind meremas jemari Hamdan. Kekhawatiran terdengar jelas dari suaranya.“Ibu aku tidak sedang bermain hati dengan siapa pun,” Hamdan mengusap punggung tangan ibunya. Mencoba meyakinkan.“Aku ibumu nak, aku yang melahirkanmu. Aku dapat merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak-anakku. Dan kini aku merasakan keraguan serta ketertarikan yang sedang kau coba tutupi. Gadis itu tak lebih dari seorang keturunan Eurasia.”Hamdan mendongak, menatap ibunya tak percaya. Dalam hati ia bertanya-tanya sudah sejauh mana ibunya mengetahui siapa Rebecca. “Namanya Rebecca, ibu....”“Ibu tidak peduli, dan ibu akan segera mempersiapkan lamaran untuk Putri Rania bint Zayeed Al Khalifa. Dan ibu harap agar kau segera menjauhi gadis eurasia yang bahkan tidak mempunyai ayah tersebut.”Sheikha Hind bangkit dari duduknya. “Kau harus ingat ini... ya Hamdan, kau adalah seorang putera mahkota, calon pemimpin Uni Emirat Arab, tidak sembarangan wanita yang dapat mendampingimu!” tegas Sheikha Hind, ia berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Hamdan yang masih termangu menatap ruangan kosong tempat ibunya duduk. Rasa tidak nyaman mulai mengusiknya, bukan karena ibunya akan melamar Rania untuknya, tapi kenyataan jika Rebecca tidak mempunyai ayah lah yang membuat Hamdan terdiam.*****Rebecca memeriksa barang bawaannya beberapa kali. Mulai dari kunci kombinasi kopernya sudah terpasang atau belum, passport sudah terbawa atau belum, hingga bantal leher yang ia gantung di pegangan koper pun tak luput dari perhatiannya. Sebelum check in Rebecca harus menunggu seluruh tim berkumpul karena rencananya nanti mereka berangkat dengan menyewa satu pesawat khusus.Sudah ada sekitar lima orang yang datang termasuk Rebecca. Hanya beberapa nama yang Rebecca tahu, tapi Rebecca tidak berani menyapa mereka. Selain karena mereka laki-laki, Rebecca juga termasuk orang yang tidak mudah bergaul dengan orang baru.Tidak berapa lama seorang wanita berambut pirang dengan model pixy cut terlihat berjalan membelah keramaian. Sylvenia Rowe terlihat sangat percaya diri dengan tampilan maskulinnya. Wanita yang sudah tidak muda lagi itu terlihat begitu dihormati. Beberapa anggota tim yang sudah datang segera menyapa dan memberi pelukan untuk Sylvenia.Begitu juga dengan Rebecca, “apa kabar Sylvenia?” sapa Rebecca. Sylvenia tidak suka jika dipanggil dengan embel-embel nyonya dan sebagainya. Dia mengatakan itu membuatnya terlihat lebih tua. Meskipun pada kenyataannya dia memang sudah tidak muda lagi.“Luar biasa sayang. Bagaimana denganmu?” Sylvenia balas memeluk Rebecca. Ia tersenyum ramah.“Aku juga luar biasa. Senang bertemu denganmu lagi Syl,” ujar Rebecca tulus.Seorang pemuda menginterupsi percakapan mereka. Pemuda tersebut menjelaskan jika mereka bisa berpindah ke ruang tunggu kelas satu. Disana beberapa anggota tim beserta putera mahkota sudah menunggu.*****Rebecca terbangun saat ia merasakan mobil yang ia tumpangi berhenti. Mengerang pelan, Rebecca meluruskan tangannya yang lelah. Hampir 7 jam di pesawat lalu dilanjut dengan perjalanan darat selama 5 jam nyatanya sanggup membuat Rebecca merasakan disorientasi. Dengan malas ia kembali memejamkan matanya.“Rebecca! cepat keluar dear,” ketukan di jendela mobil membuat Rebecca benar-benar terjaga. Sylvenia melambaikan tangannya. Mulai sekarang Rebecca mendikte dirinya untuk selalu berada di dekat Sylvenia, mengingat hanya mereka berdua yang berjenis kelamin perempuan di rombongan ini.Menguap malas, Rebecca merapikan baju dan juga hijabnya. Setelah yakin jika penampilannya sudah lebih baik, Rebecca segera keluar dari mobil yang mengantarkannya dari bandara internasional Uzbekistan ke tempat tujuan yaitu sebuah perkampungan kumuh di tengah gurun pasir.Langit sudah mulai gelap meski semburat jingga masih nampak. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir keemasan. Beberapa orang terlihat mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil yang khusus mereka gunakan untuk mengangkut barang. Beberapa lagi memasang tenda yang seminggu ini akan menjadi tempat mereka berteduh. Awalnya Rebecca berpikir jika yang ikut rombongan ini hanya anggota tim dan beberapa helper saja. Tapi kehadiran putera mahkota sepertinya membuat segalanya berubah. Berubah menjadi lebih “luar biasa” dan "ekstra" tentu saja.Rebecca terdiam sejenak, menatap hamparan pasir lembut yang sesekali terbawa angin dan terhempas mengenai wajahnya. Tiba-tiba napasnya berat, "semangat Rebecca!" serunya pelan, memberi semangat kepada dirinya sendiri.***To be cobtinued***Langit sudah mulai gelap meski semburat jingga masih nampak. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir keemasan. Beberapa orang terlihat mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil yang khusus mereka gunakan untuk mengangkut barang. Beberapa lagi memasang tenda yang seminggu ini akan menjadi tempat mereka berteduh. Awalnya Rebecca berpikir jika yang ikut rombongan ini hanya anggota tim dan beberapa helper saja. Tapi kehadiran putera mahkota sepertinya membuat segalanya berubah. Berubah menjadi lebih “luar biasa” tentu saja.Rebecca bahkan dibuat mendelik tak percaya saat Sylvenia memberi tahunya jika Hamdan membawa serta pengawal dan juga tim fotografernya. Dan semua rasa ketidakpercayaan Rebecca terjawab sudah saat ia melihat gerombolan laki-laki memenuhi pesawat. Pantas saja Hamdan menyewa pesawat khusus. “Rebecca, kemarilah... ini tenda kita berdua.” Teriakan Sylvenia berhasil membuat Rebecca tersadar dari lamunannya. Segera ia berjalan menghampiri Sylvenia yang tengah ber
"Jadi namanya Dirk Vanderzee?" Hamdan menatap Rebecca tertarik. Beberapa saat lalu Rebecca bercerita tentang ayahnya yang meninggalkan ibunya di saat ia masih berusia 3 tahun. Tidak banyak yang Rebecca ceritakan, hanya sedikit tentang ayahnya dan banyak sekali tentang tempat tinggalnya di Indonesia serta ibunya yang memiliki usaha makanan tradisional. Mungkin lain kali jika ada kesempatan Hamdan ingin mencobanya."Ya, hanya itu yang ibu bagi tentang ayah. Hanya sebuah nama yang ia letakkan di nama belakangku, " Rebecca mengangguk lalu tersenyum saat ia sadar jika baru pertama kali ini ia membagi kisah hidupnya pada orang asing."Vanderzee, artinya dari laut," ujar Hamdan lirih. "Apa?" Rebecca menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Hamdan."Namamu, Vanderzee memiliki arti dari laut.""Ba-bagaimana kau tahu?" Rebecca terlihat antusias.Hamdan terkekeh, "itu bahasa Belanda Rebecca...," ujar Hamdan. Samar ia tersenyum saat Rebecca terlihat begitu polos dan lucu secara bersamaan. Rebecca
Dalam diam Hamdan menatap ke luar jendela mobil. Saat ini ia tengah dalam perjalanan pulang ke House of Falasi, kediamannya. Sekeluarnya dari kediaman ayahnya, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya. Hanya masuk ke dalam mobil tanpa memberi perintah pada supirnya. Dan Mr. Raj pun tidak banyak bertanya. Melihat wajah tegang dan lelah milik tuannya ia langsung saja menjalankan mobil ke House of Falasi yang berada di wilayah private berdekatan dengan Burj Khalifa. Mata Hamdan menerawang menatap gemerlap lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang berderet di kawasan Sheikh Zayeed Road. Sekelebat ingatan masa lalu terefleksi di kepalanya, kemudian tanpa diminta semua kenangan bersama ayahnya bermunculan dan mengalir seperti air. Mulai dari kenangan tentang sepeda pertamanya, latihan berkuda pertamanya, Hamdan yang hampir tenggelam saat belajar berenang hingga sebuah pelukan hangat yang ayahnya berikan saat tahun kemarin Hamdan menjuarai Windsor eundurance race di Inggris.
Rebecca menunduk, menghindari ibunya yang menatap marah dari layar laptop yang sedang membuka aplikasi skype. Sudah hampir lima belas menit dan ibunya tidak mengatakan apapun kecuali menatap Rebecca dingin dan penuh amarah."Ma... Becca," akhirnya Rebecca mengalah, ia membuka suara dan menatap ibunya."Apa? Mau tidur karena besok kerja masuk pagi?" sahut ibunya sengit.Rebecca menggeleng lalu menunduk lagi. Tidak biasanya ibunya menatapnya seperti itu, hal ini membuat Rebecca ingin menangis. Dulu ibunya seperti ini saat ia masih SMP, waktu itu Rebecca menanyakan tentang ayahnya. Dan yang ia dapatkan hanya kemarahan ibunya yang menatapnya dingin dan langsung pergi tanpa memberikan penjelasan.Sekarang ibunya melakukannya lagi. Rebecca meremas jemarinya yang gemetar. Dalam hati ia tahu jika kemarahan ibunya kali ini ada kaitannya dengan Adrian."Kamu berhutang penjelasan pada mama, apa yang kamu bilang ke Adrian? Kok dia bilang kalau kamu nolak perjodohan ini?" "Karena kami tidak sali
Hamdan turun dari mobilnya lalu ia mengenakan bisth-jubah hitam transparan dengan bordiran benang emas di pinggiranya-di atas thawb putih bersihnya. Hari ini ia akan menghadiri pertemuan kenegaraan untuk membahas perjanjian bilateral dengan Afghanistan serta rapat bulanan untuk membahas tentang sejauh mana kesiapan Dubai sebagai tuan rumah untuk world expo tahun 2020 nanti.Lingkar matanya mengitam karena lelah. Sudah beberapa hari ini ia tidak dapat tidur dengan benar. Bukan karena pekerjaannya, hanya saja perang batin yang ia alami beberapa hari ini begitu menguras pikirannya. Hamdan duduk di kursinya, sepertinya ia datang paling awal. Tidak berapa lama kemudian lima orang berjubah sama seperti miliknya memasuki ruangan, dari sudut matanya Hamdan dapat melihat ayahnya sebagai orang paling akhir yang masuk ke dalam ruangan. Jika biasanya Hamdan selalu datang bersama ayahnya, maka akibat perang dingin yang tak berkesudahan akhirnya mereka berangkat sendiri-sendiri. Hamdan berdiri lal
Semua sudah dibicarakan secara detail hingga diputuskan mereka akan berangkat pada sore hari. Istirahat sebentar dan memulai persiapan untuk keesokan paginya. Desa yang dipilih adalah Banda, sebuah daerah miskin di Uttar Pradesh, India. Banda sendiri adalah desa miskin yang hampir sebagian penduduknya bergantung pada pertanian. Tapi karena daerahnya yang kering, mereka hanya bisa bercocok tanam sekali setahun. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki ketahanan pangan yang cukup.Setiap anggota sudah mengetahui tugas apa saja yang harus mereka kerjakan. Ahmed yang akan langsung memimpin di sana. Diam-diam Rebecca menatap Hamdan di depannya. Lelaki dalam balutan thawb kuning mustard itu terlihat sedikit lebih misterius dari biasanya. Tadi Hamdan mengatakan jika ia hanya mampir untuk makan siang, kedatangannya tidak ada hubungannya dengan Hamdan Food and Nutrition Organization. Rebecca berpikir jika inilah saat terakhir ia bisa bertemu dengan Hamdan. Memikirkan hal tersebut tiba-tiba i
Rebecca menyandarkan punggungnya di kursi pesawat. Termenung sejenak, mata indah gadis itu terpejam. Menghela napas lalu mengembuskannya panjang, seolah-olah beban berat tengah mengimpit dadanya. Dalam diam Rebecca mulai menghitung peristiwa apa saja yang sudah ia alami. Peristiwa demi peristiwa yang tidak pernah sekalipun muncul di dalam bayangannya, bahkan dalam imajinasi terliarnya sekalipun. Mulai dari larinya ia ke Dubai, kota ajaib yang mulai dilirik dunia. Lalu pekerjaan impian di salah satu hotel terbaik di dunia. Hingga sebuah pertemuan tak sengajanya dengan sang putera mahkota kaya penguasa Dubai. Proyek memberi makan dunia, pergi ke Uzbekistan dan sekarang ia duduk nyaman di pesawat kelas satu dalam perjalanan pulang dari India ke Dubai.Tidak ada yang istimewa di India. Tidak ada yang menarik hatinya. Seminggu penuh yang Rebecca lakukan hanyalah berputar-putar pada rutinitas kegiatan amal. Bahkan ia tak menghiraukan Ahmed dan Sylvenia yang mengajaknya menghabiskan hari te
Rebecca menyusuri ruangan terbuka di Omnia Blue. Berbagai macam tanaman rambat menghiasi pilar-pilar di sisi kiri sedangkan di sebelah kanan dindingnya penuh dengan hiasan kaligrafi berwarna biru dan ungu. Siang ini sepulang dari Burj Al Arab, Rebecca ingin mengunjungi Sylvenia. Mengucapkan perpisahan mungkin? Mengingat hal tersebut membuat hati Rebecca berdenyut nyeri. Setelah kemarin ia mengajukan pengunduran diri ke hotel, hari ini pengunduran dirinya sudah diterima. Mungkin tiga hari lagi administrsi dan haknya selama bekerja akan diselesaikan. Kepulangannya ke Indonesia sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari saja. Semalam Adrian menghubunginya, lelaki tersebut menanyakan kapan Rebecca pulang agar ia bisa menjemputnya. Rebecca tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Adrian. Semenjak ibunya memaksa Rebecca untuk pulang, Adrian semakin sering menghubunginya. Rebecca menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pintu kokoh bernuansa emas di depannya. Ini adalah