Home / Romansa / Menjadi Istri Putera Mahkota / 9. Kebersamaan di Uzbekistan

Share

9. Kebersamaan di Uzbekistan

Langit sudah mulai gelap meski semburat jingga masih nampak. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir keemasan. Beberapa orang terlihat mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil yang khusus mereka gunakan untuk mengangkut barang. Beberapa lagi memasang tenda yang seminggu ini akan menjadi tempat mereka berteduh. Awalnya Rebecca berpikir jika yang ikut rombongan ini hanya anggota tim dan beberapa helper saja. Tapi kehadiran putera mahkota sepertinya membuat segalanya berubah. Berubah menjadi lebih “luar biasa” tentu saja.

Rebecca bahkan dibuat mendelik tak percaya saat Sylvenia memberi tahunya jika Hamdan membawa serta pengawal dan juga tim fotografernya. Dan semua rasa ketidakpercayaan Rebecca terjawab sudah saat ia melihat gerombolan laki-laki memenuhi pesawat. Pantas saja Hamdan menyewa pesawat khusus.

“Rebecca, kemarilah... ini tenda kita berdua.” Teriakan Sylvenia berhasil membuat Rebecca tersadar dari lamunannya. Segera ia berjalan menghampiri Sylvenia yang tengah berdiri di depan sebuah tenda berwarna biru tua.

Dengan sedikit kesusahan Rebecca menyeret kopernya melewati pasir. Rebecca berjalan melewati sekumpulan laki-laki yang sedang membuat api unggun. Sejenak Rebecca terpaku tatkala matanya bersirobok dengan Hamdan. Lelaki itu terlihat normal dengan jaket north face tebal warna biru. Rebecca menganggukkan kepala memberi hormat, dan Hamdan membalasnya dengan senyum ramah seperti biasa. Rebecca mempercepat langkah kakinya dan segera menghampiri Sylvenia.

Tenda yang ia tempati ternyata sangat jauh dari bayangan Rebecca. Biasanya tenda hanya beralaskan kain tipis dan ia akan tidur di dalam sleeping bag sederhana. Tapi tenda yang akan menjadi tempat berteduhnya seminggu nanti memiliki pengatur suhu dan juga dilapisi karpet tebal yang di sudutnya menumpuk bantal-bantal empuk dan sleeping bag yang tebal. Hanya melihat saja Rebecca sudah bisa membayangkan betapa nyamannya tidurnya nanti.

“Rebecca, ayo keluar. Kita perlu membicarakan rencana besok pagi. Aku menunggumu di tempat api unggun. Oh ya, kenakan baju yang tebal ya,” Sylvenia muncul dari balik pintu tenda, memintanya untuk segera bergabung dengan tim lain.

Rebecca berjalan ke arah api unggun. Disana sudah berkumpul semua tim dan juga tim tambahan dari Hamdan. Angin berembus sangat kencang malam ini. Dan sialnya Rebecca lupa jika tujuannya kali ini adalah perkampungan di gurun pasir, tidak ada jaket tebal yang ia bawa, hanya beberapa lembar coat yang ada di kopernya.

Dinginnya udara membuat Rebecca mengeratkan coat yang ia kenakan. Setelah mengucap salam, Rebecca tersenyum kepada beberapa orang yang sudah duduk rapi di sekitaran api unggun.

“Maaf, sepertinya aku yang paling terakhir,” ujar Rebecca bersalah.

“Tidak apa Rebecca, kami belum mulai, duduklah.” Ameer mempersilahkan Rebecca untuk duduk di samping Sylvenia.

“Terima kasih,” lirih Rebecca.

Berada di gurun saat musim dingin sepertinya sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Rebecca benar-benar sudah tidak tahan duduk disini lama-lama. Api unggun tidak memberikan manfaat apapun untuk menghalau dingin. Sebenarnya Rebecca ingin sekali meminum teh susu hangat yang terletak di sisi lain tempatnya duduk. Tapi itu sangat jauh, lengan Rebecca tidak mampu menjangkaunya. Sedangkan ia terlalu malu untuk meminta tolong agar seseorang mau menuangkan minuman hangat tersebut untuknya.

Sembunyi-sembunyi Rebecca meniup telapak tangannya, sesekali menggosoknya agar hangat. Batas toleransinya dengan dingin sudah maksimum sepertinya, Rebecca merasakan jika hidungnya berair dan telinganya berdenging. Bahkan ia tak lagi dapat mendengar percakapan panas antara Ameer dan Frank yang berdebat soal karbohidrat apa yang akan mereka masak besok pagi.

Di saat Rebecca hampir membeku, ia melihat sepasang tangan meletakkan jaket tebal di tubuhnya. Sekilas Rebecca melihat jika orang tersebut adalah Hamdan. Tidak hanya sampai disitu, Hamdan memberi Rebecca secangkir teh susu. Dan dengan cekatan ia membantu memasang resleting jaket north face biru miliknya yang sudah beralih pada tubuh mungil Rebecca, menarik resletingnya hingga kerahnya yang tinggi dapat menutupi mulut dan hidung Rebecca.

“Kenapa ada gadis bodoh yang hanya memakai coat pada saat suhu sedang minus sepuluh derajat huh?” Hamdan mengomeli Rebecca, mata sendunya menyiratkan rasa khawatir. “Sudah tahu daya tahan tubuhmu lemah kenapa masih bertingkah bodoh, kau kan punya mulut untuk sekedar meminta ijin kembali ke tenda dan menghangatkan tubuh?”

Rebecca tidak menanggapi omelan Hamdan. Ia justru mengulas senyum penuh terima kasih pada Hamdan.

“Sylvenia, bawa Rebecca kembali ke tenda.”

“Ti—tidak p—perlu, a—aku disi—ni saja,” tolak Rebecca yang sedikit menggigil menahan dingin.

Hamdan mendelik marah. Ia menatap Rebecca tajam seolah-olah mengatakan “aku tidak ingin dibantah”. Akhirnya mau tidak mau Rebecca pasrah saat Sylvenia menariknya paksa ke tenda.

*****

Angin berembus lembut dari pintu tenda yang sedikit terbuka. Dari sana Rebecca juga dapat melihat seberkas cahaya yang masuk ke dalam tenda. Rebecca mengernyit saat ia merasakan kepalanya sedikit sakit. Menguap malas, Rebecca merentangkan tangannya keluar dari sleeping bag. Memejamkan mata berniat untuk melanjutkan tidurnya yang nyenyak.

Hampir saja Rebecca tertidur lagi jika saja ia tidak mendengar keramaian di luar sana. Sepersekian detik Rebecca masih bingung dengan apa yang terjadi, tapi sepersekian detik berikutnya ia melompat dari tidurnya.

Seharusnya saat ini ia sedang membantu teman satu timnya untuk memasak, tapi ia justru bergelung nyaman di dalam tenda hangat. Masih mengenakan jaket milik Hamdan, Rebecca berlari ke luar tenda. Sambil merutuki dirinya sendiri Rebecca menghampiri Sylvenia yang sedang menuangkan choco coconut milk pada sepotong almond cake.

“Selamat pagi Syl,” sapa Rebecca, matanya menatap Sylvenia bersalah. “maafkan aku, tidak seharusnya aku bangun sesiang ini,” Rebecca menggosokkan kedua tangannya di depan dada bermaksud meminta maaf.

Sylvenia menatap Rebecca sejenak, lalu tertawa. “Kau terlihat lebih baik sayang Setelah semalam kau dalam keadaan buruk, aku senang melihatmu memerah pagi ini,” ujar Sylvenia.

Rebecca mengangguk-anggukan kepalanya saat ia memahami arti ‘memerah’ yang Sylvenia maksud. “Apa aku dimaafkan Mrs. Rowe?” Rebecca mengerjapkan matanya jenaka. Lalu segera memeluk Sylvenia saat wanita paruh baya tersebut mengangguk.

“Aku tahu skandal foto kebersamaan kalian di media. Awalnya aku tidak percaya dan menganggap kalian berdua hanya berteman. Tapi setelah melihatnya sendiri semalam, melihat betapa alaminya tindakan Hamdan yang mengkhawatirkanmu, aku percaya jika kalian memang memiliki hubungan khusus,” kata Sylvenia panjang lebar, bahkan ia mengedipkan matanya menggoda.

Sementara itu Rebecca hanya terdiam dan tersenyum kaku tanpa tahu harus menjawab apa. Hingga akhirnya Rebecca memutuskan untuk menjauh dari Sylvenia sebelum Sylvenia menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar dirinya dan Hamdan.

Beberapa meja makan dan kursi-kursi panjang disusun rapi di samping container tepat menyimpan bahan makanan. Kursi-kursi tersebut telah penuh dengan warga desa yang menikmati hidangan. Beberapa anak kecil berlarian ke arah kanan Rebecca. karena penasaran Rebecca mengikuti kemana anak-anak kecil tersebut menghilang.

Dari kejauhan Rebecca dapat melihat Hamdan tengah bermain-main dengan anak-anak. Hamdan meminta anak-anak tersebut untuk duduk di atas daun kelapa sawit yang mengering lalu Hamdan menariknya dan langsung dibalas dengan teriakan bahagia dari anak-anak tersebut.

Rebecca tersenyu lebar, lalu terkikik geli saat Hamdan terjatuh dan diserbu dengan pelukan dari tangan-tangan mungil mereka. Ada perasaan bahagia saat ia melihat kedekatan Hamdan dengan anak-anak kecil. Bahkan tanpa canggung Hamdan menggendong salah satu anak perempuan dan mengajaknya duduk menepi.

Tanpa sadar Rebecca berjalan menghampiri Hamdan. Rebecca tersenyum saat Hamdan melihatnya. Kemudian Rebecca mengambil tempat duduk di atas pasir yang tidak jauh dari Hamdan. “Selamat pagi yang Mulia,” sapa Rebecca.

“Selamat pagi Rebecca,” jawab Hamdan.

“Apa yang anda lakukan disini?”

“Berhenti bersikap kaku,” Hamdan menatap Rebecca, lalu dahinya mengernyit saat ia melihat Rebecca masih mengenakan jaket miliknya.

“Maaf,” gumam Rebecca. “Apa kau sangat menyukai anak-anak? Aku melihatmu begitu luwes saat berhadapan dengan anak kecil,” lanjut Rebecca.

“Ya, anak-anak itu sangat menyenangkan. Lalu apakah kau juga menyukai anak-anak?” Hamdan balik bertanya.

Rebecca mengangguk, “ya, aku juga suka saat melihat interaksimu dengan anak kecil. Seperti saat bersama Mohammed contohnya.”

“Memangnya ada apa dengan interaksiku dan anak kecil?” Hamdan menaikkan sebelah alisnya. Ia tertarik dengan pernyataan Rebecca.

“Setiap melihat interaksi seorang lelaki dewasa dengan anak-anak, aku selalu bertanya-tanya, apakah dulu aku dan ayahku juga seperti itu...,” ucapan Rebecca menggantung. Pandangannya menerawang dan ekspresi wajahnya berubah sedih.

“Kenapa dengan ayahmu?” Hamdan teringat dengan perkataan ibunya tempo hari tentang Rebecca yang tidak memiliki ayah. Dan kini rasa penasarannya sedang melambung tinggi.

“Ayahku meninggalkanku dan ibuku sewaktu aku masih kecil, hingga aku tidak mengingat sedikitpun tentangnya. Jika aku bertanya pada ibuku, dia justru memarahiku dan memintaku melupakan ayah begitu saja,” Rebecca mengembuskan napas panjang.

Ia memalingkan wajahnya ke kiri. Terkesiap saat Hamdan menatapnya dalam dan penuh iba. Sadar dengan apa yang baru saja ia katakan, Rebecca segera memasang wajah ‘baik-baik saja’ seperti biasa lalu tersenyum, “oh ya Allah... kenapa aku melantur,” Rebecca tertawa. “Lupakan saja, mungkin karena kebanyakan tidur makanya aku melantur.”

“Ceritakan semua,” ujar Hamdan.

Rebecca terkejut, ia menatap Hamdan tak percaya.

“Ceritakan semuanya, tentang ayahmu, tentang Rebecca....”

To be continued....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status