Langit sudah mulai gelap meski semburat jingga masih nampak. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir keemasan. Beberapa orang terlihat mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil yang khusus mereka gunakan untuk mengangkut barang. Beberapa lagi memasang tenda yang seminggu ini akan menjadi tempat mereka berteduh. Awalnya Rebecca berpikir jika yang ikut rombongan ini hanya anggota tim dan beberapa helper saja. Tapi kehadiran putera mahkota sepertinya membuat segalanya berubah. Berubah menjadi lebih “luar biasa” tentu saja.
Rebecca bahkan dibuat mendelik tak percaya saat Sylvenia memberi tahunya jika Hamdan membawa serta pengawal dan juga tim fotografernya. Dan semua rasa ketidakpercayaan Rebecca terjawab sudah saat ia melihat gerombolan laki-laki memenuhi pesawat. Pantas saja Hamdan menyewa pesawat khusus.“Rebecca, kemarilah... ini tenda kita berdua.” Teriakan Sylvenia berhasil membuat Rebecca tersadar dari lamunannya. Segera ia berjalan menghampiri Sylvenia yang tengah berdiri di depan sebuah tenda berwarna biru tua.Dengan sedikit kesusahan Rebecca menyeret kopernya melewati pasir. Rebecca berjalan melewati sekumpulan laki-laki yang sedang membuat api unggun. Sejenak Rebecca terpaku tatkala matanya bersirobok dengan Hamdan. Lelaki itu terlihat normal dengan jaket north face tebal warna biru. Rebecca menganggukkan kepala memberi hormat, dan Hamdan membalasnya dengan senyum ramah seperti biasa. Rebecca mempercepat langkah kakinya dan segera menghampiri Sylvenia.Tenda yang ia tempati ternyata sangat jauh dari bayangan Rebecca. Biasanya tenda hanya beralaskan kain tipis dan ia akan tidur di dalam sleeping bag sederhana. Tapi tenda yang akan menjadi tempat berteduhnya seminggu nanti memiliki pengatur suhu dan juga dilapisi karpet tebal yang di sudutnya menumpuk bantal-bantal empuk dan sleeping bag yang tebal. Hanya melihat saja Rebecca sudah bisa membayangkan betapa nyamannya tidurnya nanti.“Rebecca, ayo keluar. Kita perlu membicarakan rencana besok pagi. Aku menunggumu di tempat api unggun. Oh ya, kenakan baju yang tebal ya,” Sylvenia muncul dari balik pintu tenda, memintanya untuk segera bergabung dengan tim lain.Rebecca berjalan ke arah api unggun. Disana sudah berkumpul semua tim dan juga tim tambahan dari Hamdan. Angin berembus sangat kencang malam ini. Dan sialnya Rebecca lupa jika tujuannya kali ini adalah perkampungan di gurun pasir, tidak ada jaket tebal yang ia bawa, hanya beberapa lembar coat yang ada di kopernya.Dinginnya udara membuat Rebecca mengeratkan coat yang ia kenakan. Setelah mengucap salam, Rebecca tersenyum kepada beberapa orang yang sudah duduk rapi di sekitaran api unggun.“Maaf, sepertinya aku yang paling terakhir,” ujar Rebecca bersalah.“Tidak apa Rebecca, kami belum mulai, duduklah.” Ameer mempersilahkan Rebecca untuk duduk di samping Sylvenia.“Terima kasih,” lirih Rebecca.Berada di gurun saat musim dingin sepertinya sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Rebecca benar-benar sudah tidak tahan duduk disini lama-lama. Api unggun tidak memberikan manfaat apapun untuk menghalau dingin. Sebenarnya Rebecca ingin sekali meminum teh susu hangat yang terletak di sisi lain tempatnya duduk. Tapi itu sangat jauh, lengan Rebecca tidak mampu menjangkaunya. Sedangkan ia terlalu malu untuk meminta tolong agar seseorang mau menuangkan minuman hangat tersebut untuknya.Sembunyi-sembunyi Rebecca meniup telapak tangannya, sesekali menggosoknya agar hangat. Batas toleransinya dengan dingin sudah maksimum sepertinya, Rebecca merasakan jika hidungnya berair dan telinganya berdenging. Bahkan ia tak lagi dapat mendengar percakapan panas antara Ameer dan Frank yang berdebat soal karbohidrat apa yang akan mereka masak besok pagi.Di saat Rebecca hampir membeku, ia melihat sepasang tangan meletakkan jaket tebal di tubuhnya. Sekilas Rebecca melihat jika orang tersebut adalah Hamdan. Tidak hanya sampai disitu, Hamdan memberi Rebecca secangkir teh susu. Dan dengan cekatan ia membantu memasang resleting jaket north face biru miliknya yang sudah beralih pada tubuh mungil Rebecca, menarik resletingnya hingga kerahnya yang tinggi dapat menutupi mulut dan hidung Rebecca.“Kenapa ada gadis bodoh yang hanya memakai coat pada saat suhu sedang minus sepuluh derajat huh?” Hamdan mengomeli Rebecca, mata sendunya menyiratkan rasa khawatir. “Sudah tahu daya tahan tubuhmu lemah kenapa masih bertingkah bodoh, kau kan punya mulut untuk sekedar meminta ijin kembali ke tenda dan menghangatkan tubuh?”Rebecca tidak menanggapi omelan Hamdan. Ia justru mengulas senyum penuh terima kasih pada Hamdan.“Sylvenia, bawa Rebecca kembali ke tenda.”“Ti—tidak p—perlu, a—aku disi—ni saja,” tolak Rebecca yang sedikit menggigil menahan dingin.Hamdan mendelik marah. Ia menatap Rebecca tajam seolah-olah mengatakan “aku tidak ingin dibantah”. Akhirnya mau tidak mau Rebecca pasrah saat Sylvenia menariknya paksa ke tenda.*****Angin berembus lembut dari pintu tenda yang sedikit terbuka. Dari sana Rebecca juga dapat melihat seberkas cahaya yang masuk ke dalam tenda. Rebecca mengernyit saat ia merasakan kepalanya sedikit sakit. Menguap malas, Rebecca merentangkan tangannya keluar dari sleeping bag. Memejamkan mata berniat untuk melanjutkan tidurnya yang nyenyak.Hampir saja Rebecca tertidur lagi jika saja ia tidak mendengar keramaian di luar sana. Sepersekian detik Rebecca masih bingung dengan apa yang terjadi, tapi sepersekian detik berikutnya ia melompat dari tidurnya.Seharusnya saat ini ia sedang membantu teman satu timnya untuk memasak, tapi ia justru bergelung nyaman di dalam tenda hangat. Masih mengenakan jaket milik Hamdan, Rebecca berlari ke luar tenda. Sambil merutuki dirinya sendiri Rebecca menghampiri Sylvenia yang sedang menuangkan choco coconut milk pada sepotong almond cake.“Selamat pagi Syl,” sapa Rebecca, matanya menatap Sylvenia bersalah. “maafkan aku, tidak seharusnya aku bangun sesiang ini,” Rebecca menggosokkan kedua tangannya di depan dada bermaksud meminta maaf.Sylvenia menatap Rebecca sejenak, lalu tertawa. “Kau terlihat lebih baik sayang Setelah semalam kau dalam keadaan buruk, aku senang melihatmu memerah pagi ini,” ujar Sylvenia.Rebecca mengangguk-anggukan kepalanya saat ia memahami arti ‘memerah’ yang Sylvenia maksud. “Apa aku dimaafkan Mrs. Rowe?” Rebecca mengerjapkan matanya jenaka. Lalu segera memeluk Sylvenia saat wanita paruh baya tersebut mengangguk.“Aku tahu skandal foto kebersamaan kalian di media. Awalnya aku tidak percaya dan menganggap kalian berdua hanya berteman. Tapi setelah melihatnya sendiri semalam, melihat betapa alaminya tindakan Hamdan yang mengkhawatirkanmu, aku percaya jika kalian memang memiliki hubungan khusus,” kata Sylvenia panjang lebar, bahkan ia mengedipkan matanya menggoda.Sementara itu Rebecca hanya terdiam dan tersenyum kaku tanpa tahu harus menjawab apa. Hingga akhirnya Rebecca memutuskan untuk menjauh dari Sylvenia sebelum Sylvenia menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar dirinya dan Hamdan.Beberapa meja makan dan kursi-kursi panjang disusun rapi di samping container tepat menyimpan bahan makanan. Kursi-kursi tersebut telah penuh dengan warga desa yang menikmati hidangan. Beberapa anak kecil berlarian ke arah kanan Rebecca. karena penasaran Rebecca mengikuti kemana anak-anak kecil tersebut menghilang.Dari kejauhan Rebecca dapat melihat Hamdan tengah bermain-main dengan anak-anak. Hamdan meminta anak-anak tersebut untuk duduk di atas daun kelapa sawit yang mengering lalu Hamdan menariknya dan langsung dibalas dengan teriakan bahagia dari anak-anak tersebut.Rebecca tersenyu lebar, lalu terkikik geli saat Hamdan terjatuh dan diserbu dengan pelukan dari tangan-tangan mungil mereka. Ada perasaan bahagia saat ia melihat kedekatan Hamdan dengan anak-anak kecil. Bahkan tanpa canggung Hamdan menggendong salah satu anak perempuan dan mengajaknya duduk menepi.Tanpa sadar Rebecca berjalan menghampiri Hamdan. Rebecca tersenyum saat Hamdan melihatnya. Kemudian Rebecca mengambil tempat duduk di atas pasir yang tidak jauh dari Hamdan. “Selamat pagi yang Mulia,” sapa Rebecca.“Selamat pagi Rebecca,” jawab Hamdan.“Apa yang anda lakukan disini?”“Berhenti bersikap kaku,” Hamdan menatap Rebecca, lalu dahinya mengernyit saat ia melihat Rebecca masih mengenakan jaket miliknya.“Maaf,” gumam Rebecca. “Apa kau sangat menyukai anak-anak? Aku melihatmu begitu luwes saat berhadapan dengan anak kecil,” lanjut Rebecca.“Ya, anak-anak itu sangat menyenangkan. Lalu apakah kau juga menyukai anak-anak?” Hamdan balik bertanya.Rebecca mengangguk, “ya, aku juga suka saat melihat interaksimu dengan anak kecil. Seperti saat bersama Mohammed contohnya.”“Memangnya ada apa dengan interaksiku dan anak kecil?” Hamdan menaikkan sebelah alisnya. Ia tertarik dengan pernyataan Rebecca.“Setiap melihat interaksi seorang lelaki dewasa dengan anak-anak, aku selalu bertanya-tanya, apakah dulu aku dan ayahku juga seperti itu...,” ucapan Rebecca menggantung. Pandangannya menerawang dan ekspresi wajahnya berubah sedih.“Kenapa dengan ayahmu?” Hamdan teringat dengan perkataan ibunya tempo hari tentang Rebecca yang tidak memiliki ayah. Dan kini rasa penasarannya sedang melambung tinggi.“Ayahku meninggalkanku dan ibuku sewaktu aku masih kecil, hingga aku tidak mengingat sedikitpun tentangnya. Jika aku bertanya pada ibuku, dia justru memarahiku dan memintaku melupakan ayah begitu saja,” Rebecca mengembuskan napas panjang.Ia memalingkan wajahnya ke kiri. Terkesiap saat Hamdan menatapnya dalam dan penuh iba. Sadar dengan apa yang baru saja ia katakan, Rebecca segera memasang wajah ‘baik-baik saja’ seperti biasa lalu tersenyum, “oh ya Allah... kenapa aku melantur,” Rebecca tertawa. “Lupakan saja, mungkin karena kebanyakan tidur makanya aku melantur.”“Ceritakan semua,” ujar Hamdan.Rebecca terkejut, ia menatap Hamdan tak percaya.“Ceritakan semuanya, tentang ayahmu, tentang Rebecca....”To be continued...."Jadi namanya Dirk Vanderzee?" Hamdan menatap Rebecca tertarik. Beberapa saat lalu Rebecca bercerita tentang ayahnya yang meninggalkan ibunya di saat ia masih berusia 3 tahun. Tidak banyak yang Rebecca ceritakan, hanya sedikit tentang ayahnya dan banyak sekali tentang tempat tinggalnya di Indonesia serta ibunya yang memiliki usaha makanan tradisional. Mungkin lain kali jika ada kesempatan Hamdan ingin mencobanya."Ya, hanya itu yang ibu bagi tentang ayah. Hanya sebuah nama yang ia letakkan di nama belakangku, " Rebecca mengangguk lalu tersenyum saat ia sadar jika baru pertama kali ini ia membagi kisah hidupnya pada orang asing."Vanderzee, artinya dari laut," ujar Hamdan lirih. "Apa?" Rebecca menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Hamdan."Namamu, Vanderzee memiliki arti dari laut.""Ba-bagaimana kau tahu?" Rebecca terlihat antusias.Hamdan terkekeh, "itu bahasa Belanda Rebecca...," ujar Hamdan. Samar ia tersenyum saat Rebecca terlihat begitu polos dan lucu secara bersamaan. Rebecca
Dalam diam Hamdan menatap ke luar jendela mobil. Saat ini ia tengah dalam perjalanan pulang ke House of Falasi, kediamannya. Sekeluarnya dari kediaman ayahnya, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya. Hanya masuk ke dalam mobil tanpa memberi perintah pada supirnya. Dan Mr. Raj pun tidak banyak bertanya. Melihat wajah tegang dan lelah milik tuannya ia langsung saja menjalankan mobil ke House of Falasi yang berada di wilayah private berdekatan dengan Burj Khalifa. Mata Hamdan menerawang menatap gemerlap lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang berderet di kawasan Sheikh Zayeed Road. Sekelebat ingatan masa lalu terefleksi di kepalanya, kemudian tanpa diminta semua kenangan bersama ayahnya bermunculan dan mengalir seperti air. Mulai dari kenangan tentang sepeda pertamanya, latihan berkuda pertamanya, Hamdan yang hampir tenggelam saat belajar berenang hingga sebuah pelukan hangat yang ayahnya berikan saat tahun kemarin Hamdan menjuarai Windsor eundurance race di Inggris.
Rebecca menunduk, menghindari ibunya yang menatap marah dari layar laptop yang sedang membuka aplikasi skype. Sudah hampir lima belas menit dan ibunya tidak mengatakan apapun kecuali menatap Rebecca dingin dan penuh amarah."Ma... Becca," akhirnya Rebecca mengalah, ia membuka suara dan menatap ibunya."Apa? Mau tidur karena besok kerja masuk pagi?" sahut ibunya sengit.Rebecca menggeleng lalu menunduk lagi. Tidak biasanya ibunya menatapnya seperti itu, hal ini membuat Rebecca ingin menangis. Dulu ibunya seperti ini saat ia masih SMP, waktu itu Rebecca menanyakan tentang ayahnya. Dan yang ia dapatkan hanya kemarahan ibunya yang menatapnya dingin dan langsung pergi tanpa memberikan penjelasan.Sekarang ibunya melakukannya lagi. Rebecca meremas jemarinya yang gemetar. Dalam hati ia tahu jika kemarahan ibunya kali ini ada kaitannya dengan Adrian."Kamu berhutang penjelasan pada mama, apa yang kamu bilang ke Adrian? Kok dia bilang kalau kamu nolak perjodohan ini?" "Karena kami tidak sali
Hamdan turun dari mobilnya lalu ia mengenakan bisth-jubah hitam transparan dengan bordiran benang emas di pinggiranya-di atas thawb putih bersihnya. Hari ini ia akan menghadiri pertemuan kenegaraan untuk membahas perjanjian bilateral dengan Afghanistan serta rapat bulanan untuk membahas tentang sejauh mana kesiapan Dubai sebagai tuan rumah untuk world expo tahun 2020 nanti.Lingkar matanya mengitam karena lelah. Sudah beberapa hari ini ia tidak dapat tidur dengan benar. Bukan karena pekerjaannya, hanya saja perang batin yang ia alami beberapa hari ini begitu menguras pikirannya. Hamdan duduk di kursinya, sepertinya ia datang paling awal. Tidak berapa lama kemudian lima orang berjubah sama seperti miliknya memasuki ruangan, dari sudut matanya Hamdan dapat melihat ayahnya sebagai orang paling akhir yang masuk ke dalam ruangan. Jika biasanya Hamdan selalu datang bersama ayahnya, maka akibat perang dingin yang tak berkesudahan akhirnya mereka berangkat sendiri-sendiri. Hamdan berdiri lal
Semua sudah dibicarakan secara detail hingga diputuskan mereka akan berangkat pada sore hari. Istirahat sebentar dan memulai persiapan untuk keesokan paginya. Desa yang dipilih adalah Banda, sebuah daerah miskin di Uttar Pradesh, India. Banda sendiri adalah desa miskin yang hampir sebagian penduduknya bergantung pada pertanian. Tapi karena daerahnya yang kering, mereka hanya bisa bercocok tanam sekali setahun. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki ketahanan pangan yang cukup.Setiap anggota sudah mengetahui tugas apa saja yang harus mereka kerjakan. Ahmed yang akan langsung memimpin di sana. Diam-diam Rebecca menatap Hamdan di depannya. Lelaki dalam balutan thawb kuning mustard itu terlihat sedikit lebih misterius dari biasanya. Tadi Hamdan mengatakan jika ia hanya mampir untuk makan siang, kedatangannya tidak ada hubungannya dengan Hamdan Food and Nutrition Organization. Rebecca berpikir jika inilah saat terakhir ia bisa bertemu dengan Hamdan. Memikirkan hal tersebut tiba-tiba i
Rebecca menyandarkan punggungnya di kursi pesawat. Termenung sejenak, mata indah gadis itu terpejam. Menghela napas lalu mengembuskannya panjang, seolah-olah beban berat tengah mengimpit dadanya. Dalam diam Rebecca mulai menghitung peristiwa apa saja yang sudah ia alami. Peristiwa demi peristiwa yang tidak pernah sekalipun muncul di dalam bayangannya, bahkan dalam imajinasi terliarnya sekalipun. Mulai dari larinya ia ke Dubai, kota ajaib yang mulai dilirik dunia. Lalu pekerjaan impian di salah satu hotel terbaik di dunia. Hingga sebuah pertemuan tak sengajanya dengan sang putera mahkota kaya penguasa Dubai. Proyek memberi makan dunia, pergi ke Uzbekistan dan sekarang ia duduk nyaman di pesawat kelas satu dalam perjalanan pulang dari India ke Dubai.Tidak ada yang istimewa di India. Tidak ada yang menarik hatinya. Seminggu penuh yang Rebecca lakukan hanyalah berputar-putar pada rutinitas kegiatan amal. Bahkan ia tak menghiraukan Ahmed dan Sylvenia yang mengajaknya menghabiskan hari te
Rebecca menyusuri ruangan terbuka di Omnia Blue. Berbagai macam tanaman rambat menghiasi pilar-pilar di sisi kiri sedangkan di sebelah kanan dindingnya penuh dengan hiasan kaligrafi berwarna biru dan ungu. Siang ini sepulang dari Burj Al Arab, Rebecca ingin mengunjungi Sylvenia. Mengucapkan perpisahan mungkin? Mengingat hal tersebut membuat hati Rebecca berdenyut nyeri. Setelah kemarin ia mengajukan pengunduran diri ke hotel, hari ini pengunduran dirinya sudah diterima. Mungkin tiga hari lagi administrsi dan haknya selama bekerja akan diselesaikan. Kepulangannya ke Indonesia sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari saja. Semalam Adrian menghubunginya, lelaki tersebut menanyakan kapan Rebecca pulang agar ia bisa menjemputnya. Rebecca tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Adrian. Semenjak ibunya memaksa Rebecca untuk pulang, Adrian semakin sering menghubunginya. Rebecca menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pintu kokoh bernuansa emas di depannya. Ini adalah
Rebecca tenggelam dalam antrian panjang untuk check-in pada penerbangan kelas ekonomi yang akan membawanya pulang ke Indonesia. Hanya membawa ransel yang berisikan Mac, dompet, ponsel dan bantal leher tidak ketinggalan. Sedikit barang yang ia bawa karena sebelumnya semua barangnya sudah ia paketkan ke Indonesia. Setelah hampir lima belas menit, akhirnya tiba giliran Rebecca. Seorang petugas perempuan menatapnya malas dari balik komputer. "Name," tanya petugas perempuan tersebut malas."Rebecca, Rebecca Vanderzee," jawab Rebecca."Miss Rebecca Vander... zee?" petugas perempuan tersebut menyebut nama Rebecca dengan nada datar. Petugas tersebut mengetikkan nama Rebecca di komputer, tapi nama Rebecca tidak ada di daftar penumpang. Lagi, ia mengetikkan nama Rebecca dan hasilnya sama. Rebecca tidak terdaftar dalam daftar penumpang untuk penerbangan nomor GA407 kali ini."Maaf Miss, anda tidak terdaftar. Silahkan tinggalkan antrian dan memesan tiket di sana," ujar petugas tersebut seraya me
"Kau mau membaca habibti?" tanya Hamdan. Tangannya membolak-balik lipatan surat kabar mencari headline yang menarik hatinya. Hal itu tak lepas dari pengamatan Rebecca. Namun Rebecca tertegun saat salah satu surat kabar berbahasa inggris yang biasa menjadi langganan Rebecca dan warga asing lainnya justru menampakkan gambar dirinya dengan headline bertinta merah yang dicetak besar-besar. Begitu juga dengan Hamdan. Ia sempat tertegun beberapa saat. Namun ketika tersadar ia segera menutupi tajuk 'Is She Worth It' tersebut dengan harian Dubai yang menyajikan berita Global Economic Syariah yang akan diselenggarakan di Italy bulan depan.Mata cokelat kelamnya mencari mata Rebecca. Hamdan merasakan dadanya berdenyut nyeri saat ia dapat melihat luka di mata Rebecca. "Rebecca... habibti," panggil Hamdan. "Hei, jangan fikirkan itu. Bukankah aku sudah mengatakan padamu jangan memedulikan anggapan orang lain. Jangan dengar apapun jika itu dari orang lain. Lihat aku dan hanya dengar kata-kataku,"
Kenapa aku baru melihatnya sekarang?" "Melihat apa?" Hamdan menjawab pertanyaan Rebecca dengan sebuah pertanyaan. Tangan kanannya terus menggenggam erat jemari halus Rebecca dan mengayunkannya ke depan-belakang. "Frosty," jawab Rebecca singkat. Kedua mata lebarnya berbinar, nampak sekali jika ia sedang antusias. "Oh itu," gumam Hamdan seolah tak peduli. Membuat Rebecca mencebikkan bibirnya. Sinar bahagia di matanya kini berganti dengan sebuah kekesalan yang tidak ditutup-tutupi."Dan...." Rebecca merengek lalu berusaha melepaskan genggaman tangan Hamdan.Hamdan tersenyum. Ia berhasil membuat Rebecca kesal dan juga merengek meminta perhatian. Selama ini Rebecca tak pernah sekalipun merengek manja meminta perhatian. Tapi kalau merengek karena, emm... sentuhan Hamdan, rasanya jemari di kedua tangannya sudah tak dapat lagi menghitung berapa jumlahnya."Frosty baru saja dikirim kesini pagi tadi. Dua bulan lalu ia kutitipkan di rumah bibi Fatima untuk dikawinkan. Dan setelah berhasil, pa
Mereka berdiri di pijakan batu di english garden yang baru beberapa hari ini ditata ulang karena permintaan Rebecca yang menginginkan Agapanthus warna biru ditambahkan disana. Tinggal beberapa meter saja mereka sampai di kamar, tapi keduanya terpatri dan berdiri membeku seakan-akan ada gaya gravitasi yang membuat mereka tak dapat menggerakkan tubuhnya."Aku bahagia melihat senyummu, tapi aku tersanjung saat melihatmu tertawa karena aku," ujar Hamdan. Suaranya serak dan dalam. Tiba-tiba saja mulut Rebecca terasa kering.Tak kuasa menatap mata Hamdan dalam waktu yang lama, Rebecca menundukkan kepalanya. Sekaligus untuk menyembunyikan pipinya yang merona. Rebecca terkesiap tatkala jemari kasar khas lelaki menyentuh pipinya. Rebecca memejamkan mata, tatkala merasakan ibu jari Hamdan mengusap sudut matanya lalu bergerak menyusuri rahang Rebecca dan berakhir di bibir bawahnya.Hamdan tertegun saat jemarinya menyentuh kelembutan Rebecca. Ia baru menyadari jika efek Rebecca begitu dahsyatnya.
Rebecca dan Shammah berjalan beriringan melewati jalan bebatuan yang membelah rerumputan hijau nan empuk di halaman depan House of Falasi, hampir pukul sepuluh malam, seharusnya mereka berdua sampai di rumah tidak lebih dari pukul sembilan.Namun sifat Shammah yang manipulatif membuat Rebecca tidak bisa menolak saat Shammah mengajaknya mampir ke Laduree menikmati secangkir teh ditemani dengan Macaroon rasa vanilla mereka yang legendaris. Sedangkan Shammah memilih Cheese Cake dan Tiramissu.Sejak keluar dari Hamdan bin Mohammed Smart University Shammah terus-terusan mengoceh dengan ceria. Sifatnya hampir berbanding terbalik dengan seluruh kakak perempuannya. Shammah lebih terlihat seperti Ahmed versi perempuan. Mungkin sewaktu kecil Shammah menjadikan Ahmed sebagai pahlawannya. Remaja itu juga tak henti-hentinya memuji Rebecca. Membuat Rebecca kehilangan kata-kata dan hanya menanggapinya dengan senyuman. Jujur ia tak tahu harus menanggapi Shammah seperti apa. Seumur hidup baru kali in
Rebecca gelisah di tempat duduknya. Mengabaikan Shammah yang sedari tadi mengoceh entah tentang apa. Hanya kuku patah dan pashmina kusut yang dapat Rebecca tangkap. Sejak meninggalkan House of Falasi, Rebecca hanya bisa meremas-remas tangannya gusar. Siang tadi Hamdan diperbolehkan pulang setelah hasil CT scan, MRI, dan beberapa tes lainnya menunjukkan jika Hamdan tidak mengalami cidera yang berbahaya. Sampai di rumah, sekretaris Hamdan, Mr. Owaisi mendatangi mereka dan menyampaikan jika malam ini Hamdan harus datang di acara penyambutan mahasiswa baru di Hamdan bin Mohammed Smart University. Melihat keadaan Hamdan saat ini, tidak memungkinkan untuknya menyampaikan sambutan. Agak disayangkan memang. Karena seperti biasanya sambutan Hamdan adalah hal yang paling ditunggu-tunggu. Selain Hamdan adalah pemilik Universitas berkualitas internasional tersebut, Hamdan juga selalu menyampaikan pesan-pesan yang selalu menjadi motivasi bagi seluruh mahasiswa. Awalnya Rebecca mengusulkan agar
"Dia memang kurang ajar, baru kemarin menikah tapi bertingkah konyol dan membuat istrinya menangis. Bukankah seharusnya ia bermesraan dengan istrinya? Kenapa dia justru kencan dengan parasut kuning menjijikkan itu?" Ahmed mencibir namun dengan nada bicara yang penuh humor. Dan berhasil. Guyonan garingnya menimbulkan senyum tipis di bibir Rebecca.Sekuat hati Rebecca menahan diri agar tidak menghambur dan memeluk Hamdan. Ada Sheikha Hind disana. Sejak mendengar pembicaraan suami dan ibu mertuanya, Rebecca menjadi lebih segan kepada Sheikha Hind. Menit demi menit Rebecca tetap bertahan dengan posisinya. Bahkan ia tidak menyingkir sedikitpun saat teman-teman Hamdan pamit untuk pulang. Yang Rebecca lakukan hanya merapal doa, memohon agar Hamdannya baik-baik saja. Ahmed pun sudah lelah karena kakak iparnya selalu menolak permintaannya agar duduk di sofa. Dalam diam mereka memerhatikan Hamdan yang masih belum sadar. Perlahan kelopak mata Hamdan bergerak-gerak. Sekian detik berikutnya Hamd
"Kau masih belum bisa disentuh, ya habibty?" bisik Hamdan tepat di telinga Rebecca. kepalanya menyusruk di ceruk leher Rebecca. Diam-diam menghirup wangi tubuh Rebecca. Hal ini membuat Hamdan teringat saat beberapa bulan lalu menghabiskan waktu bersama Rebecca di Uzbekistan. Ia juga diam-diam membaui jaketnya karena aroma Rebecca tertinggal disana. Rebecca memejamkan matanya getir. Samar ia mengangguk. Dan langsung dibalas dengan dengusan oleh Hamdan. Sesak di dada hampir saja membuat Rebecca menangis untuk kesekian kalinya.Ini masih hari kedua ia mengkonsumsi progesterone, setidaknya masih ada satu hari lagi agar hormon tersebut bekerja dengan baik. Tapi sejak ia pertama kali meminum pil itu Rebecca selalu menangis diam-diam. Namun ia selalu mengeraskan hatinya dan tetap meminumnya diam-diam tiap pagi, meski setelahnya ia tak akan keluar dari kamar mandi hanya untuk menyembunyikan tangisannya.Sekuat tenaga Hamdan menahan dirinya sejak hari pertama menikah. Rebecca mengaku sedang b
"Oh Rebecca! Demi Tuhan! Apa yang membuatmu berani menemuiku?" Sylvenia menggeram marah. "Syl...," lirih Rebecca. Sinar matanya semakin redup. Sesaat setelah ia masuk ke dalam ruangan Sylvenia, wanita berdarah Inggris tersebut langsung menyambutnya dengan dua tanduk di kepalanya. Rebecca meringis, saat ia menyadari kemarahan Sylvenia belum reda. "Apa?" hardik Sylvenia. "Kau sudah membelikan pesananku?" tanya Rebecca dengan senyumnya yang dipaksakan. Sylvenia membuka laci mejanya. Dengan alis yang bertaut Sylvenia melemparkan beberapa strip ke atas meja. "Ini yang kau inginkan? Tapi jangan harap aku akan membiarkanmu membawanya sebelum kau menjelaskan alasanmu." Suara Sylvenia naik sampai tujuh oktaf. Membuat Rebecca merasa gentar karenanya. "Cepatlah Syl... Hamdan menungguku di depan. Aku tidak ingin dia curiga," sambung Rebecca. Sekuat tenaga ia mengeraskan hatinya. Sekuat tenaga ia berusaha menjadi wanita yang tak punya hati di hadapan Sylvenia."Jadi Hamdan ada di depan? Bagu
Hamdan duduk terpekur di meja kerja. Kedua tangannya terkepal di atasnya. Tadi ia dan Ahmed datang langsung ke Burj Al Arab dan secara pribadi menemui Mr. Robin. Manager F&B yang menurut berita memiliki hubungan khusus dengan Rebecca. Mr. Robin memang terlihat sedikit janggal untuk ukuran seorang lelaki. Mr. Robin nampak klinis, lembut dan emm... gemulai. Tapi sambutan Mr. Robin sangat jauh dari bayangannya. Mr. Robin menyambutnya dengan ramah bahkan penuh hormat yang tidak dibuat-buat. Mr. Robin juga menanyakan kabar Rebecca seperti sedang menanyakan kabar puteri kesayangannya. Dari sini Hamdan dapat menyimpulkan kalau Mr. Robin memang tidak ada hubungan apapun dengan Rebecca. Seperti yang Rebecca katakan, mereka berdua hanya sebatas rekan kerja, dan ayah-anak saat di luar tempat kerja. Sampai disini Hamdan bisa bernapas lega. Kemudian Hamdan menyampaikan maksud kedatangannya. Dan kabar baiknya adalah Mr. Robin bersedia melakukan konferensi pers untuk klarifikasi. Namun sepertinya