Semua sudah dibicarakan secara detail hingga diputuskan mereka akan berangkat pada sore hari. Istirahat sebentar dan memulai persiapan untuk keesokan paginya. Desa yang dipilih adalah Banda, sebuah daerah miskin di Uttar Pradesh, India. Banda sendiri adalah desa miskin yang hampir sebagian penduduknya bergantung pada pertanian. Tapi karena daerahnya yang kering, mereka hanya bisa bercocok tanam sekali setahun. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki ketahanan pangan yang cukup.Setiap anggota sudah mengetahui tugas apa saja yang harus mereka kerjakan. Ahmed yang akan langsung memimpin di sana. Diam-diam Rebecca menatap Hamdan di depannya. Lelaki dalam balutan thawb kuning mustard itu terlihat sedikit lebih misterius dari biasanya. Tadi Hamdan mengatakan jika ia hanya mampir untuk makan siang, kedatangannya tidak ada hubungannya dengan Hamdan Food and Nutrition Organization. Rebecca berpikir jika inilah saat terakhir ia bisa bertemu dengan Hamdan. Memikirkan hal tersebut tiba-tiba i
Rebecca menyandarkan punggungnya di kursi pesawat. Termenung sejenak, mata indah gadis itu terpejam. Menghela napas lalu mengembuskannya panjang, seolah-olah beban berat tengah mengimpit dadanya. Dalam diam Rebecca mulai menghitung peristiwa apa saja yang sudah ia alami. Peristiwa demi peristiwa yang tidak pernah sekalipun muncul di dalam bayangannya, bahkan dalam imajinasi terliarnya sekalipun. Mulai dari larinya ia ke Dubai, kota ajaib yang mulai dilirik dunia. Lalu pekerjaan impian di salah satu hotel terbaik di dunia. Hingga sebuah pertemuan tak sengajanya dengan sang putera mahkota kaya penguasa Dubai. Proyek memberi makan dunia, pergi ke Uzbekistan dan sekarang ia duduk nyaman di pesawat kelas satu dalam perjalanan pulang dari India ke Dubai.Tidak ada yang istimewa di India. Tidak ada yang menarik hatinya. Seminggu penuh yang Rebecca lakukan hanyalah berputar-putar pada rutinitas kegiatan amal. Bahkan ia tak menghiraukan Ahmed dan Sylvenia yang mengajaknya menghabiskan hari te
Rebecca menyusuri ruangan terbuka di Omnia Blue. Berbagai macam tanaman rambat menghiasi pilar-pilar di sisi kiri sedangkan di sebelah kanan dindingnya penuh dengan hiasan kaligrafi berwarna biru dan ungu. Siang ini sepulang dari Burj Al Arab, Rebecca ingin mengunjungi Sylvenia. Mengucapkan perpisahan mungkin? Mengingat hal tersebut membuat hati Rebecca berdenyut nyeri. Setelah kemarin ia mengajukan pengunduran diri ke hotel, hari ini pengunduran dirinya sudah diterima. Mungkin tiga hari lagi administrsi dan haknya selama bekerja akan diselesaikan. Kepulangannya ke Indonesia sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari saja. Semalam Adrian menghubunginya, lelaki tersebut menanyakan kapan Rebecca pulang agar ia bisa menjemputnya. Rebecca tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Adrian. Semenjak ibunya memaksa Rebecca untuk pulang, Adrian semakin sering menghubunginya. Rebecca menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pintu kokoh bernuansa emas di depannya. Ini adalah
Rebecca tenggelam dalam antrian panjang untuk check-in pada penerbangan kelas ekonomi yang akan membawanya pulang ke Indonesia. Hanya membawa ransel yang berisikan Mac, dompet, ponsel dan bantal leher tidak ketinggalan. Sedikit barang yang ia bawa karena sebelumnya semua barangnya sudah ia paketkan ke Indonesia. Setelah hampir lima belas menit, akhirnya tiba giliran Rebecca. Seorang petugas perempuan menatapnya malas dari balik komputer. "Name," tanya petugas perempuan tersebut malas."Rebecca, Rebecca Vanderzee," jawab Rebecca."Miss Rebecca Vander... zee?" petugas perempuan tersebut menyebut nama Rebecca dengan nada datar. Petugas tersebut mengetikkan nama Rebecca di komputer, tapi nama Rebecca tidak ada di daftar penumpang. Lagi, ia mengetikkan nama Rebecca dan hasilnya sama. Rebecca tidak terdaftar dalam daftar penumpang untuk penerbangan nomor GA407 kali ini."Maaf Miss, anda tidak terdaftar. Silahkan tinggalkan antrian dan memesan tiket di sana," ujar petugas tersebut seraya me
Hamdan terbangun dari tidurnya saat ia mendengar suara gaduh dari luar. Merentangkan tangannya yang kaku, Hamdan beranjak dari tempat tidur. Masih dengan wajah mengantuknya dan nyawanya yang belum terkumpul, terseok Hamdan berjalan melewati pintu penghubung dan melewati serangkaian sofa serta meja kerja."Ah!" Hamdan memekik kesakitan karena kakinya terantuk kaki meja. Dalam hati ia memaki siapapun yang mengganggu tidurnya. Dengan kasar Hamdan membuka pintu kamarnya. Ia terpaku sesaat, lalu tertawa tanpa suara saat mendapati saudara perempuannya berkumpul di depan pintu kamarnya. "Dan...," pekik girang seorang gadis yang langsung menghambur memeluk Hamdan."Oh, Shammah, Hamdan balas memeluk adik perempuannya yang tahun ini menginjak usia 17 tahun. Dari balik punggung Shammah, Hamdan dapat melihat Maryam dan Latifa yang menekuk wajahnya."Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Hamdan saat Shammah melepaskan pelukannya.Maryam berdecak lalu berjalan menjauh dari Hamdan dan memilih duduk
"Sheikh, sepeda anda sudah kami siapkan," jelas Hasan saat Hamdan keluar dari mobilnya. Setelah memastikan helmnya terpasang dengan benar, Hamdan bergabung dengan yang lain.Hari ini ia meghadiri Dubai car free day, bersama dengan beberapa orang dari pemerintahan, Hamdan ikut serta dalam acara ini. Dengan kaus seragam warna hijau muda Hamdan membaur dengan rakyatnya. Beberapa orang menyapa Hamdan dan menyentuhkan hidungnya pada hidung Hamdan. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saja Hamdan membalas salam dan menjawab pertanyaan yang dianggap penting.Ia hanya diam, terlihat tidak berminat. Sangat bukan Hamdan. Bahkan ia tak peduli dengan beberapa media yang berusaha mengabadikannya. Hamdan tersenyum sekedarnya ketika ada yang meminta berfoto dengannya. Hamdan mulai mengayuh sepeda menyusuri jalan utama di wilayah Burj Khalifa sebagai starter. Ratusan orang mengikuti Hamdan di belakangnya. Di sebelah kiri Hamdan ada Ali Al Harbi dan di sebelah kanannya ada Saif, asisten Hamdan."Kau
"Buka pintunya Becca!" gedoran kasar dan teriakan dari ibunya membuat Rebecca tersentak dari lamunannya. "Buka Rebecca!" teriakan ibunya kembali terdengar.Rebecca segera bangkit dari posisi duduknya yang bergelung malas di atas sofa. Setelah memastikan wajahnya tidak mengerikan akibat menangis, ia membuka pintu kamarnya. "Ada apa...." Rebecca kehilangan kata-katanya saat mendapati ibunya berdiri kaku di depan pintu dengan raut wajah yang sulit dibaca."Apa yang sudah kamu lakukan selama ini?" tanya Kirani. Melihat Rebecca secara langsung setelah apa yang ia dengar dari Adrian sungguh mampu membuatnya tak dapat mengontrol amarahnya. Ia kecewa pada puteri tunggalnya."A—apa maksud mama?" Rebecca tergagap saat melihat mata ibunya memerah. Ia sudah mengikuti kemauan ibunya utnuk pulang, lalu apa yang menyebabkan kemarahan ibunya kali ini."Jangan pura-pura tidak tahu!" hardik Kirani. "Setahu mama, mama tidak pernah mengajarimu seperti itu. Kenapa kamu menghianati Adrian?" lanjut Kirani
Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, dan sedari tadi Rebecca hanya duduk termangu di depan televisi yang menyala menampilkan entah acara apa yang bahkan Rebecca tidak peduli. Menatap lurus ke depan tapi pandangannya kosong dan tidak fokus. Kerutan di antara alisnya menunjukkan jika Rebecca tengah berpikir keras. Mbok Sum yang sejak lima menit lalu memerhatikan Rebecca dari meja makan hanya bisa mengelus dada. Melihat Rebecca begitu terpuruk seperti ini membuat hatinya ikut terluka. Meski Rebecca bukan puterinya, tapi ia tidak rela jika gadis penurut yang sudah ia asuh dengan tangannya itu justru terlihat tertekan oleh keinginan ibu kandungnya sendiri. "Non Becca," panggil Mbok Sum, wanita paruh baya yang rambutnya sudah memutih itu mengusap punggung tangan Rebecca. Mbok Sum duduk di lantai tepat di depan kaki Rebecca. "Non," panggil Mbok Sum lagi, kali ini ia menggoyangkan lengan Rebecca lebih keras dan berhasil. Rebecca tergeragap dan bingung saat mendapati Mbok Sum duduk bers