"Sheikh, sepeda anda sudah kami siapkan," jelas Hasan saat Hamdan keluar dari mobilnya. Setelah memastikan helmnya terpasang dengan benar, Hamdan bergabung dengan yang lain.Hari ini ia meghadiri Dubai car free day, bersama dengan beberapa orang dari pemerintahan, Hamdan ikut serta dalam acara ini. Dengan kaus seragam warna hijau muda Hamdan membaur dengan rakyatnya. Beberapa orang menyapa Hamdan dan menyentuhkan hidungnya pada hidung Hamdan. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saja Hamdan membalas salam dan menjawab pertanyaan yang dianggap penting.Ia hanya diam, terlihat tidak berminat. Sangat bukan Hamdan. Bahkan ia tak peduli dengan beberapa media yang berusaha mengabadikannya. Hamdan tersenyum sekedarnya ketika ada yang meminta berfoto dengannya. Hamdan mulai mengayuh sepeda menyusuri jalan utama di wilayah Burj Khalifa sebagai starter. Ratusan orang mengikuti Hamdan di belakangnya. Di sebelah kiri Hamdan ada Ali Al Harbi dan di sebelah kanannya ada Saif, asisten Hamdan."Kau
"Buka pintunya Becca!" gedoran kasar dan teriakan dari ibunya membuat Rebecca tersentak dari lamunannya. "Buka Rebecca!" teriakan ibunya kembali terdengar.Rebecca segera bangkit dari posisi duduknya yang bergelung malas di atas sofa. Setelah memastikan wajahnya tidak mengerikan akibat menangis, ia membuka pintu kamarnya. "Ada apa...." Rebecca kehilangan kata-katanya saat mendapati ibunya berdiri kaku di depan pintu dengan raut wajah yang sulit dibaca."Apa yang sudah kamu lakukan selama ini?" tanya Kirani. Melihat Rebecca secara langsung setelah apa yang ia dengar dari Adrian sungguh mampu membuatnya tak dapat mengontrol amarahnya. Ia kecewa pada puteri tunggalnya."A—apa maksud mama?" Rebecca tergagap saat melihat mata ibunya memerah. Ia sudah mengikuti kemauan ibunya utnuk pulang, lalu apa yang menyebabkan kemarahan ibunya kali ini."Jangan pura-pura tidak tahu!" hardik Kirani. "Setahu mama, mama tidak pernah mengajarimu seperti itu. Kenapa kamu menghianati Adrian?" lanjut Kirani
Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, dan sedari tadi Rebecca hanya duduk termangu di depan televisi yang menyala menampilkan entah acara apa yang bahkan Rebecca tidak peduli. Menatap lurus ke depan tapi pandangannya kosong dan tidak fokus. Kerutan di antara alisnya menunjukkan jika Rebecca tengah berpikir keras. Mbok Sum yang sejak lima menit lalu memerhatikan Rebecca dari meja makan hanya bisa mengelus dada. Melihat Rebecca begitu terpuruk seperti ini membuat hatinya ikut terluka. Meski Rebecca bukan puterinya, tapi ia tidak rela jika gadis penurut yang sudah ia asuh dengan tangannya itu justru terlihat tertekan oleh keinginan ibu kandungnya sendiri. "Non Becca," panggil Mbok Sum, wanita paruh baya yang rambutnya sudah memutih itu mengusap punggung tangan Rebecca. Mbok Sum duduk di lantai tepat di depan kaki Rebecca. "Non," panggil Mbok Sum lagi, kali ini ia menggoyangkan lengan Rebecca lebih keras dan berhasil. Rebecca tergeragap dan bingung saat mendapati Mbok Sum duduk bers
"Ada apa denganmu?" Hamdan tersenyum saat sebuah tepukan yang disusul dengan usapan lembut mendarat di punggungnya. Ia hanya menggumam menjawab pertanyaan dari wanita yang ia hormati seperti ibunya tersebut."Apa yang membawamu kesini huh?" wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang hampir mencapai kepala enam itu kembali menepuk punggung Hamdan."Aku merindukanmu bibi Fatima," jawab Hamdan dengan senyum lebarnya. Wanita yang dipanggil bibi oleh Hamdan pun tersenyum. "Oh ya? Sangat bukan Hamdan," Fatima berdecak lalu tertawa geli, "biasanya kau menemuiku jika ada masalah. Jadi sejak kapan tujuanmu berubah menjadi merindukanku?" imbuh Fatima yang langsung disambut tawa Hamdan.Tawa Hamdan terhenti dan berganti dengan raut wajah serius. "Aku jatuh cinta," gumam Hamdan lirih namun masih dapat didengar oleh Fatima."Hmm, itu bagus." Fatima tersenyum, menatap Hamdan menelisik mencari tahu apa isi hati Hamdan melalui mata coklatnya. "Lalu apa yang membuatmu terlihat begitu bersedih
Angin berembus kencang dengan langitnya yang mulai menggelap. Beruntung malam ini tidak turun hujan. Padahal biasanya di Dubai saat pertengahan bulan Februari hingga awal Maret curah hujan berada pada puncaknya. Dari balik jendela mobil, Rebecca memerhatikan keramaian di kawasan City walk of Dubai. Deretan tempat makan terkenal serta merk mode ternama tak pernah sepi pengunjung. Di sini semua berkumpul, tua muda dan anak-anak saling berbaur."Sayang, Becca, bener ini orangnya nak?" panggilan ibunya membuat Rebecca memalingkan wajah ke samping.Rebecca tersenyum, diremasnya jemari ibunya yang berada di genggaman tangannya. "Iya ma," jawab Rebecca meyakinkan ibunya yang menatap punggung Hamdan sangsi."Benar dia nak?" tanya Kirani lagi."Iya ma... astaghfirullah, ini sudah kelima kalinya mama bertanya," jawab Rebecca sedikit jengkel kemudian tertawa.Mendengar perdebatan dari kursi penumpang membuat Hamdan memutar tubuhnya ke belakang. Ia mendapati Rebecca yang sedang tertawa dan duduk
Tiga hari terasa begitu lama bagi Rebecca. Membayangkan pertemuannya dengan keluarga besar Hamdan membuatnya merasa takut dan juga gugup luar biasa. Awalnya Hamdan menginginkan ibunya juga ikut serta. Tapi setelah melewati perdebatan dengan Rebecca, akhirnya Hamdan mengalah dan menerima alasan Rebecca yang mengatakan ia tidak ingin mengecewakan ibunya jika seandainya keluarga Hamdan tidak menerima Rebecca. Bahkan Hamdan tertawa saat Rebecca berkata jujur soal ketakutannya karena tidak ada yang menjamin apakah keluarga Hamdan akan memperlakukannya dengan baik.Mereka sudah tidak bertemu sejak tiga hari lalu, namun mereka tidak pernah berhenti bertukar pesan. Seperti pagi ini contohnya. Hamdan menelponnya karena ingin mendengar suara Rebecca sebelum ia turun ke arena endurance. Dan sebelum menutup telponnya Hamdan mengucap rindu untuk Rebecca yang langsung saja merona karenanya.Rebecca tersenyum, tangan kirinya mengusap pipinya yang sepertinya kembali merona. Sejak satu jam lalu Rebecc
"Aunty Becca," seorang gadis kecil berhambur memeluk kaki Rebecca. Membuat Rebecca terkejut bukan main. Ia menatap Hamdan penuh tanya. Tapi ia tetap membalas pelukan gadis kecil tersebut. Ketegangan yang awalnya muncul di wajah Rebecca kini mulai menghilang. Gadis kecil bermata bulat dengan senyum lebar itu berhasil membuat ketakutan Rebecca teralihkan. Hamdan berdehem meminta perhatian dari semua keluarganya yang berada di ruangan. Beberapa keponakannya terlihat tak peduli dan kembali asyik bermain di sudut ruangan yang lepas tanpa adanya perabotan. "Kenalkan, namanya Rebecca Natawijaya Vanderzee. Mungkin beberapa dari kalian tidak tahu dia siapa. Tapi aku yakin rahasia tidak akan aman jika berada di tangan Ahmed," Hamdan berujar sembari melirik Ahmed yang tersenyum konyol dan mengacungkan jempolnya ke arah Hamdan.Rebecca membeku di tempatnya berdiri. Semua orang melihatnya, menilai. Beberapa ada yang berbisik, lalu terkikik."Calon istri huh?" tanya seorang pria yang mulai kewala
Rebecca tengah menikmati sarapannya pagi ini. Hembusan lembut angin di akhir musim dingin membuat Rebecca sangat menikmati sarapannya kali ini. Sarapan khas kuliner emirati dengan rangkaian Al Jabab yang dihidangkan bersama sirup kurma dan ghee. Kemudian ada kopi hitam yang ditempatkan di cawan khusus dengan hiasan emas yang dapat dinikmati dengan cara apapun, baik dengan susu, krim, gula atau diminum begitu saja. Belum lagi Shakshuka dan bubur gandum dengan lentil dan daging kambing yang lembut. Semuanya terasa terlalu berlebihan jika kau hanya sarapan sendirian.Ia menghela napasnya berat, semua terasa begitu cepat. Pertunangan sudah diumumkan. Lalu Rebecca dipaksa menempati sebuah mansion mewah milik keluarga Hamdan, dengan tujuan agar mama Noura lebih mudah mengawasi dan mengajarinya segala sesuatu tentang budaya Dubai termasuk bahasanya. Mama Noura mengajarinya dengan sabar dan lembut, seharusnya tidak ada yang bisa membuat Rebecca takut. Hanya saja berada di bawah pengawasan la
"Kau mau membaca habibti?" tanya Hamdan. Tangannya membolak-balik lipatan surat kabar mencari headline yang menarik hatinya. Hal itu tak lepas dari pengamatan Rebecca. Namun Rebecca tertegun saat salah satu surat kabar berbahasa inggris yang biasa menjadi langganan Rebecca dan warga asing lainnya justru menampakkan gambar dirinya dengan headline bertinta merah yang dicetak besar-besar. Begitu juga dengan Hamdan. Ia sempat tertegun beberapa saat. Namun ketika tersadar ia segera menutupi tajuk 'Is She Worth It' tersebut dengan harian Dubai yang menyajikan berita Global Economic Syariah yang akan diselenggarakan di Italy bulan depan.Mata cokelat kelamnya mencari mata Rebecca. Hamdan merasakan dadanya berdenyut nyeri saat ia dapat melihat luka di mata Rebecca. "Rebecca... habibti," panggil Hamdan. "Hei, jangan fikirkan itu. Bukankah aku sudah mengatakan padamu jangan memedulikan anggapan orang lain. Jangan dengar apapun jika itu dari orang lain. Lihat aku dan hanya dengar kata-kataku,"
Kenapa aku baru melihatnya sekarang?" "Melihat apa?" Hamdan menjawab pertanyaan Rebecca dengan sebuah pertanyaan. Tangan kanannya terus menggenggam erat jemari halus Rebecca dan mengayunkannya ke depan-belakang. "Frosty," jawab Rebecca singkat. Kedua mata lebarnya berbinar, nampak sekali jika ia sedang antusias. "Oh itu," gumam Hamdan seolah tak peduli. Membuat Rebecca mencebikkan bibirnya. Sinar bahagia di matanya kini berganti dengan sebuah kekesalan yang tidak ditutup-tutupi."Dan...." Rebecca merengek lalu berusaha melepaskan genggaman tangan Hamdan.Hamdan tersenyum. Ia berhasil membuat Rebecca kesal dan juga merengek meminta perhatian. Selama ini Rebecca tak pernah sekalipun merengek manja meminta perhatian. Tapi kalau merengek karena, emm... sentuhan Hamdan, rasanya jemari di kedua tangannya sudah tak dapat lagi menghitung berapa jumlahnya."Frosty baru saja dikirim kesini pagi tadi. Dua bulan lalu ia kutitipkan di rumah bibi Fatima untuk dikawinkan. Dan setelah berhasil, pa
Mereka berdiri di pijakan batu di english garden yang baru beberapa hari ini ditata ulang karena permintaan Rebecca yang menginginkan Agapanthus warna biru ditambahkan disana. Tinggal beberapa meter saja mereka sampai di kamar, tapi keduanya terpatri dan berdiri membeku seakan-akan ada gaya gravitasi yang membuat mereka tak dapat menggerakkan tubuhnya."Aku bahagia melihat senyummu, tapi aku tersanjung saat melihatmu tertawa karena aku," ujar Hamdan. Suaranya serak dan dalam. Tiba-tiba saja mulut Rebecca terasa kering.Tak kuasa menatap mata Hamdan dalam waktu yang lama, Rebecca menundukkan kepalanya. Sekaligus untuk menyembunyikan pipinya yang merona. Rebecca terkesiap tatkala jemari kasar khas lelaki menyentuh pipinya. Rebecca memejamkan mata, tatkala merasakan ibu jari Hamdan mengusap sudut matanya lalu bergerak menyusuri rahang Rebecca dan berakhir di bibir bawahnya.Hamdan tertegun saat jemarinya menyentuh kelembutan Rebecca. Ia baru menyadari jika efek Rebecca begitu dahsyatnya.
Rebecca dan Shammah berjalan beriringan melewati jalan bebatuan yang membelah rerumputan hijau nan empuk di halaman depan House of Falasi, hampir pukul sepuluh malam, seharusnya mereka berdua sampai di rumah tidak lebih dari pukul sembilan.Namun sifat Shammah yang manipulatif membuat Rebecca tidak bisa menolak saat Shammah mengajaknya mampir ke Laduree menikmati secangkir teh ditemani dengan Macaroon rasa vanilla mereka yang legendaris. Sedangkan Shammah memilih Cheese Cake dan Tiramissu.Sejak keluar dari Hamdan bin Mohammed Smart University Shammah terus-terusan mengoceh dengan ceria. Sifatnya hampir berbanding terbalik dengan seluruh kakak perempuannya. Shammah lebih terlihat seperti Ahmed versi perempuan. Mungkin sewaktu kecil Shammah menjadikan Ahmed sebagai pahlawannya. Remaja itu juga tak henti-hentinya memuji Rebecca. Membuat Rebecca kehilangan kata-kata dan hanya menanggapinya dengan senyuman. Jujur ia tak tahu harus menanggapi Shammah seperti apa. Seumur hidup baru kali in
Rebecca gelisah di tempat duduknya. Mengabaikan Shammah yang sedari tadi mengoceh entah tentang apa. Hanya kuku patah dan pashmina kusut yang dapat Rebecca tangkap. Sejak meninggalkan House of Falasi, Rebecca hanya bisa meremas-remas tangannya gusar. Siang tadi Hamdan diperbolehkan pulang setelah hasil CT scan, MRI, dan beberapa tes lainnya menunjukkan jika Hamdan tidak mengalami cidera yang berbahaya. Sampai di rumah, sekretaris Hamdan, Mr. Owaisi mendatangi mereka dan menyampaikan jika malam ini Hamdan harus datang di acara penyambutan mahasiswa baru di Hamdan bin Mohammed Smart University. Melihat keadaan Hamdan saat ini, tidak memungkinkan untuknya menyampaikan sambutan. Agak disayangkan memang. Karena seperti biasanya sambutan Hamdan adalah hal yang paling ditunggu-tunggu. Selain Hamdan adalah pemilik Universitas berkualitas internasional tersebut, Hamdan juga selalu menyampaikan pesan-pesan yang selalu menjadi motivasi bagi seluruh mahasiswa. Awalnya Rebecca mengusulkan agar
"Dia memang kurang ajar, baru kemarin menikah tapi bertingkah konyol dan membuat istrinya menangis. Bukankah seharusnya ia bermesraan dengan istrinya? Kenapa dia justru kencan dengan parasut kuning menjijikkan itu?" Ahmed mencibir namun dengan nada bicara yang penuh humor. Dan berhasil. Guyonan garingnya menimbulkan senyum tipis di bibir Rebecca.Sekuat hati Rebecca menahan diri agar tidak menghambur dan memeluk Hamdan. Ada Sheikha Hind disana. Sejak mendengar pembicaraan suami dan ibu mertuanya, Rebecca menjadi lebih segan kepada Sheikha Hind. Menit demi menit Rebecca tetap bertahan dengan posisinya. Bahkan ia tidak menyingkir sedikitpun saat teman-teman Hamdan pamit untuk pulang. Yang Rebecca lakukan hanya merapal doa, memohon agar Hamdannya baik-baik saja. Ahmed pun sudah lelah karena kakak iparnya selalu menolak permintaannya agar duduk di sofa. Dalam diam mereka memerhatikan Hamdan yang masih belum sadar. Perlahan kelopak mata Hamdan bergerak-gerak. Sekian detik berikutnya Hamd
"Kau masih belum bisa disentuh, ya habibty?" bisik Hamdan tepat di telinga Rebecca. kepalanya menyusruk di ceruk leher Rebecca. Diam-diam menghirup wangi tubuh Rebecca. Hal ini membuat Hamdan teringat saat beberapa bulan lalu menghabiskan waktu bersama Rebecca di Uzbekistan. Ia juga diam-diam membaui jaketnya karena aroma Rebecca tertinggal disana. Rebecca memejamkan matanya getir. Samar ia mengangguk. Dan langsung dibalas dengan dengusan oleh Hamdan. Sesak di dada hampir saja membuat Rebecca menangis untuk kesekian kalinya.Ini masih hari kedua ia mengkonsumsi progesterone, setidaknya masih ada satu hari lagi agar hormon tersebut bekerja dengan baik. Tapi sejak ia pertama kali meminum pil itu Rebecca selalu menangis diam-diam. Namun ia selalu mengeraskan hatinya dan tetap meminumnya diam-diam tiap pagi, meski setelahnya ia tak akan keluar dari kamar mandi hanya untuk menyembunyikan tangisannya.Sekuat tenaga Hamdan menahan dirinya sejak hari pertama menikah. Rebecca mengaku sedang b
"Oh Rebecca! Demi Tuhan! Apa yang membuatmu berani menemuiku?" Sylvenia menggeram marah. "Syl...," lirih Rebecca. Sinar matanya semakin redup. Sesaat setelah ia masuk ke dalam ruangan Sylvenia, wanita berdarah Inggris tersebut langsung menyambutnya dengan dua tanduk di kepalanya. Rebecca meringis, saat ia menyadari kemarahan Sylvenia belum reda. "Apa?" hardik Sylvenia. "Kau sudah membelikan pesananku?" tanya Rebecca dengan senyumnya yang dipaksakan. Sylvenia membuka laci mejanya. Dengan alis yang bertaut Sylvenia melemparkan beberapa strip ke atas meja. "Ini yang kau inginkan? Tapi jangan harap aku akan membiarkanmu membawanya sebelum kau menjelaskan alasanmu." Suara Sylvenia naik sampai tujuh oktaf. Membuat Rebecca merasa gentar karenanya. "Cepatlah Syl... Hamdan menungguku di depan. Aku tidak ingin dia curiga," sambung Rebecca. Sekuat tenaga ia mengeraskan hatinya. Sekuat tenaga ia berusaha menjadi wanita yang tak punya hati di hadapan Sylvenia."Jadi Hamdan ada di depan? Bagu
Hamdan duduk terpekur di meja kerja. Kedua tangannya terkepal di atasnya. Tadi ia dan Ahmed datang langsung ke Burj Al Arab dan secara pribadi menemui Mr. Robin. Manager F&B yang menurut berita memiliki hubungan khusus dengan Rebecca. Mr. Robin memang terlihat sedikit janggal untuk ukuran seorang lelaki. Mr. Robin nampak klinis, lembut dan emm... gemulai. Tapi sambutan Mr. Robin sangat jauh dari bayangannya. Mr. Robin menyambutnya dengan ramah bahkan penuh hormat yang tidak dibuat-buat. Mr. Robin juga menanyakan kabar Rebecca seperti sedang menanyakan kabar puteri kesayangannya. Dari sini Hamdan dapat menyimpulkan kalau Mr. Robin memang tidak ada hubungan apapun dengan Rebecca. Seperti yang Rebecca katakan, mereka berdua hanya sebatas rekan kerja, dan ayah-anak saat di luar tempat kerja. Sampai disini Hamdan bisa bernapas lega. Kemudian Hamdan menyampaikan maksud kedatangannya. Dan kabar baiknya adalah Mr. Robin bersedia melakukan konferensi pers untuk klarifikasi. Namun sepertinya