********“Rebecca, kau yakin akan mengikuti kompetisi ini?” tanya Ahmed yang tiba-tiba muncul dari arah pantry dan berhasil membuat Rebecca terkejut.“Tentu saja, kenapa? Tidak boleh?” jawab Rebecca tak acuh. Setelah sempat terkejut dengan kehadiran Ahmed yang secara tiba-tiba, Rebecca kembali mencoba fokus pada adonan mouse yang ia masak. Dengan telaten Rebecca mengaduk peach mouse tersebut agar tercampur rata. Sekarang sudah memasuki bulan Desember dan Burj Al Arab sangat ramai pengunjung, tidak tanggung-tanggung bahkan 200 kamarnya terisi penuh. Jadi dapat dipastikan restoran akan penuh dengan pelanggan, mulai dari yang menyukai makanan Arab yang autentik, makanan asia hingga makanan yang bercita rasa Internasional. Kebetulan Rebecca ditempatkan di dapur pastry untuk makanan western.“Bukan begitu... tapi ‘kan kau itu wanita.” Ahmed menatap Rebecca lekat, seolah dia mengatakan ‘kau wanita, kau tidak pantas!’.“Jadi karena aku wanita, maka aku tidak memiliki kesempatan untuk mengikut
Sudah berulang kali Rebecca menguap dan mengusap wajah lelahnya. Seorang pelayan menghampirinya dan meletakkan secangkir cappucinno panas berlabel Home Bakery di meja. Tersenyum ramah, pelayan tersebut meninggalkan meja Rebecca dan melayani pelanggan lainnya. Minggu ini adalah minggu sibuk bagi Rebecca. Konsentrasinya terpusat pada kompetisi yang dia ikuti. Kemarin siang Rebecca sudah menyerahkan draft resep dan sample makanan yang dia ikutkan lomba, seharian fokus pada masakannya lalu ditambah bekerja shift malam dan baru bisa pulang pukul 9 pagi tadi, padahal menurut jadwal, jam kerjanya berakhir pada pukul 7 pagi. Rebecca menghela napas panjang, memang apa yang dia harapkan saat bekerja di sebuah hotel mewah yang diklaim sebagai hotel berbintang 7 dan menjadi ikon kemajuan dari Dubai. Bayaran yang tinggi tentu saja menuntut profesionalitas yang tinggi pula. Jadi sudah sepantasnya Rebecca merelakan waktu tidurnya jika tidak ingin didepak dari hotel tersebut.Perlahan Rebecca menyes
Rebecca menggelengkan kepalanya beberapa kali, sedetik kemudian ia memejamkan matanya. Tidak berapa lama, ia kembali membuka matanya dan menatap lurus ke langit-langit kamar. Pikirannya menerawang dan kembali memutar kejadian beberapa jam lalu. Entah dunia yang terlalu sempit atau memang hidup Rebecca hanya bergerak di seputaran ini saja. Resah semakin menggelayuti hatinya tatkala bayangan Hamdan yang tersenyum seraya mengucapkan selamat terlintas di kepalanya.Memutar posisi tidurnya berkali-kali namun Rebecca tak kunjung tertidur, resah terlanjur menggerus habis rasa kantuknya. Tanpa sadar tangan kirinya bergerak mengusap telapak tangan kanannya. Rebecca memejamkan matanya saat dengan anehnya ia masih merasakan bekas hangat disana. Bekas jemari Hamdan yang menjabat tangannya sewaktu mengucapkan selamat karena Rebecca berhasil menjadi sepuluh besar. Bahkan Rebecca berada diurutan lima terbaik."Ini gila, benar-benar gila," gumam Rebecca berkali-kali. Tidak banyak interaksi yang terja
"Mas Adri mau teh atau kopi?" setengah berteriak Rebecca bertanya pada Adrian yang duduk di sofa."Teh dek," sahut Adrian singkat. "Oke," jawab Rebecca tak kalah singkat.Tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Rebecca sibuk dengan cangkir dan air panas sedangkan Adrian lebih tertarik dengan tumpukan majalah kuliner di meja kopi yang berada di hadapannya. Rebecca tak berniat membuka percakapan, karena jujur saja ia lebih nyaman seperti ini. Kehadiran Adrian beberapa hari ini begitu mengganggunya, menimbulkan badai di hati kecilnya. Sekuat apapun hatinya, ia tak akan dapat bertahan lama menanggung sakit hatinya. Dalam diam Rebecca menuangkan air panas ke dalam cangkir keramik yang sudah diisinya dengan kantung teh celup berlabel Paul Arabia kesukaannya. Sesekali Rebecca melirik Adrian yang duduk membelakanginya.Menghela napas pelan, Rebecca mengangkat cangkir tersebut dan melangkah ke tempat Adrian. Rebecca meletakkan satu cangkir di hadapan Adrian lalu tersenyum saat Adrian men
Saat mendengar suara pintu di tutup, Rebecca jatuh terduduk dan luruh dalam tangis. Sedari tadi ia menahan isakannya, bahkan kakinya lemas tak dapat menahan beban tubuhnya. Dua tahun sudah Rebecca menahan perasaan ini. Berbagai macam cara sudah ia lakukan hingga setahun belakangan Dubai menjadi pilihannya untuk lari. Meski ia berasal dari kalangan berada, tapi Rebecca rela bekerja keras demi melupakan kejadian pahit tersebut. Dua tahun sudah ia menelan kekecewaannya pada Adrian. Rebecca tidak menyangka jika Adrian lelaki yang dicintainya hanyalah seorang lelaki pengecut yang tega memanfaatkannya. Dan selesai sudah. Malam ini adalah malam terakhir ia menanggung semua rasa itu. Ikatan mereka sudah terputus. Tak perlu ada lagi sandiwara yang harus ia mainkan di hadapan ibu dan keluarganya. Tak apa jika hatinya sakit, tak apa jika ia merasa terluka, karena Rebecca yakin seiring berjalannya waktu semua rasa sakit ini akan sembuh. Begitu juga dengan cintanya, Rebecca yakin suatu saat cinta
"Apa kau tahu siapa yang mengambil foto tersebut?" Ali Al Harbi meletakkan cangkir kopinya dan matanya fokus menatap Hamdan. Sedangkan Hamdan justru tak berpaling dari iPhone-nya. Tapi ia masih menyahuti pertanyaan Ali. "Aku tidak tahu, Zabeel dan Essa tidak akan berani menyebarkan foto sejenis itu. Lagipula sewaktu di Omnia aku tidak bersama Essa dan timnya. Saat itu aku datang sendiri, dan datang lebih awal karena aku langsung mampir sepulang dari gym," jelas Hamdan panjang lebar dan masih tidak mengalihkan pandangannya dari benda canggih di genggaman tangannya."Kau harus lebih berhati-hati, bagaimana bisa kau bertingkah bodoh seperti itu?" Ali menaikkan suaranya. Menuntut Hamdan agar memerhatikannya.Tapi sayang sepertinya Hamdan masih tak berniat meninggalkan layar ponselnya. Bahkan Mohammed kecil yang meminta perhatian darinya tak ia pedulikan. Hamdan masih asyik memangku dagunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya masih sibuk dengan ponselnya."Ah... aku ingat sekara
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Hamdan.Rebecca mengangguk. Ia menunduk dan menatap jemarinya yang memainkan pinggiran cangkir tehnya. Setelah kejadian memalukan yang berhubungan dengan parasut tadi, Rebecca benar-benar tidak punya muka untuk menghadapi Hamdan. Tapi kini ia justru berakhir di Godiva duduk berhadapan dengan Hamdan. Setelah bebas dari gulungan parasut dan mendapat tatapan aneh serta menjadi bahan tertawaan banyak orang, Hamdan memaksa Rebecca untuk ikut bersamanya. Memaksa Rebecca duduk di kursi nyaman yang berada di sudut dalam lalu memesankan chocolate pecan cake, teh dan pistachio macaron. 'Bagaimana perasaanmu?" Hamdan kembali bertanya karena Rebecca tak kunjung menjawab pertanyaannya."Baik," jawab Rebecca singkat. Menghilangkan gugup yang sedari tadi tidak juga menghilang, Rebecca menyesap tehnya."Apa kau masih bekerja?" Hamdan menelusuri penampilan Rebecca yang masih memakai chef jacket dan dasi. "Tidak, aku sudah selesai.""Lalu kenapa kau tidak pulang dan j
“Ya Hamdan, apa yang terjadi akhir-akhir ini?”Hamdan terkejut hingga tersedak teh yang ia minum. Ia terkejut setengah mati saat mendapati ibunya tiba-tiba berdiri di ambang pintu penghubung teras belakang dengan kolam renang indoor. Meletakkan cangkir tehnya, Hamdan bangkit dari duduknya dan menyambut ibunya dengan sebuah pelukan hangat.“Ibu, apa yang membawamu kesini?” Hamdan mengecup punggung tangan ibunya. “Apa seorang ibu dilarang untuk mengunjugi puteranya?” mata indah milik Sheikha Hind berkedip lucu. Hamdan tertawa membalas pertanyaan ibunya, “aku juga merindukanmu ibu.” Hamdan kembali memeluk ibunya lalu membimbing beliau untuk duduk di sofa tempatnya menghabiskan sore di halaman belakang House of Falasi—tempat tinggal Hamdan.“Siapa yang mengantar ibu kemari?” tanya Hamdan, jemarinya menggenggam tangan ibunya erat.“Adikmu Ahmed yang mengantar ibu kesini, tapi langsung pergi.”“Apa ibu sudah makan?”“Dan... berhenti mengalihkan pembicaraan, jawab dulu pertanyaan ibu tenta