Sudah berulang kali Rebecca menguap dan mengusap wajah lelahnya. Seorang pelayan menghampirinya dan meletakkan secangkir cappucinno panas berlabel Home Bakery di meja. Tersenyum ramah, pelayan tersebut meninggalkan meja Rebecca dan melayani pelanggan lainnya.
Minggu ini adalah minggu sibuk bagi Rebecca. Konsentrasinya terpusat pada kompetisi yang dia ikuti. Kemarin siang Rebecca sudah menyerahkan draft resep dan sample makanan yang dia ikutkan lomba, seharian fokus pada masakannya lalu ditambah bekerja shift malam dan baru bisa pulang pukul 9 pagi tadi, padahal menurut jadwal, jam kerjanya berakhir pada pukul 7 pagi.
Rebecca menghela napas panjang, memang apa yang dia harapkan saat bekerja di sebuah hotel mewah yang diklaim sebagai hotel berbintang 7 dan menjadi ikon kemajuan dari Dubai. Bayaran yang tinggi tentu saja menuntut profesionalitas yang tinggi pula. Jadi sudah sepantasnya Rebecca merelakan waktu tidurnya jika tidak ingin didepak dari hotel tersebut.
Perlahan Rebecca menyesap isi cangkirnya, menyisakan busa susu yang menempel di bibir atasnya. Segera saja Rebecca mengusap bibirnya dan menyuapkan croisant ke mulutnya. Mengunyahnya perlahan, "ah... ini yang namanya surga," desah Rebecca puas. Pagi ini sebelum pulang dan tidur nyenyak di flat, Rebecca memutuskan untuk mampir ke Home Bakery untuk minum kopi dan menikmati sekeranjang kecil croisant dengan condiment selai coklat favoritnya. Sekedar melepas lelah, pikirnya.
Rebecca tengah berkonsentrasi dengan croisant keduanya saat beberapa orang terdengar berbisik-bisik heboh. Tak banyak kata-kata yang dapat ditangkap oleh Rebecca. bahasa Arab yang dikuasainya hanya sebatas 'ya dan tidak'. Terima kasih untuk otaknya yang lemah pada bidang linguistik. Rebecca memasang wajah datar tak acuh andalannya. Membenarkan hijabnya sebentar dan dia kembali menyuapkan croisant yang berasa manis gurih di lidah tersebut. Belum sempat menelan croisant-nya, Rebecca dibuat tersedak saat seorang wanita yang duduknya berjarak dua meja dari Rebecca menyebutkan 'Sheikh Hamdan' sontak Rebecca memalingkan kepalanya ke arah pintu masuk.
Ekspresi takjub tak dapat Rebecca sembunyikan saat seorang lelaki yang memakai kaus bertuliskan 'SkyDive Dubai' berjalan santai dengan dua bocah laki-laki yang tengah menggandeng kedua tangannya. Terlihat sangat berbeda dengan sosok berkarisma yang mengenakan thawb putih lengkap dengan ghutra dan ighal yang ditemuinya di hotel pada malam itu. Saat ini salah satu lelaki penting di Dubai itu terlihat begitu sederhana, mudah disentuh dan hangat dan mempesona dan... sialnya untuk sepersekian detik Rebecca tak dapat mengalihkan matanya dari Hamdan.
"Hamdan," desis Rebecca sekedar untuk meyakinkan dirinya jika ini nyata. Dan ini memang nyata karena Hamdan saat ini sedang berjalan ke arah tempat duduknya, segera Rebecca memalingkan wajah dan berpura-pura sibuk menatap jendela, berharap lelaki itu tak mengenalinya.
Bagaimanapun juga pertemuan terakhir mereka berlangsung memalukan karena tanpa sengaja Rebecca menjatuhkan tumpukan cupcake dan mengenai thawb putih bersih yang Hamdan kenakan. Belum lagi sekumpulan pria yang juga memakai thawb menarik paksa Rebecca saat Rebecca berusaha membantu membersihkan noda cupcake. Mereka memperlakukan Rebecca seakan Rebecca adalah penyusup yang berniat melukai Hamdan sang Putera Mahkota.
"Miss... Rebecca," panggil Hamdan yang langsung disambut dengan hembusan napas kecewa milik Rebecca. Ternyata dia tidak dapat menghindar dari Hamdan.
Gadis itu memalingkan wajahnya dari jendela ke arah kanan. Berpura-pura terkejut, "masya allah." Rebecca segera memasang senyum lembut miliknya lalu berdiri dan menundukkan kepalanya sekilas tanda penghormatan pada putera mahkota.
Hamdan tersenyum. "Sungguh kebetulan yang mengejutkan, kita bertemu lagi. Dubai sangat sempit ternyata," ujar Hamdan sembari tertawa pelan menampakkan gigi putihnya yang rapi. Gigi rapi yang tiba-tiba saja menjadi favorite Rebecca.
Rebecca menggelengkan kepalanya, mengusir pemikiran gilanya tentang gigi rapi Hamdan. "Ya anda benarYang Mulia , sangat mengejutkan," Rebecca tersenyum. Tentu saja Dubai itu sempit, jika dibandingkan dengan Indonesia, batin Rebecca geli.
Percakapan basa basi mereka terhenti karena mendapat interupsi dari dua anak kembar yang kini asyik menarik tangan Hamdan meminta perhatian. Rebecca kembali duduk dan dalam diam dia memperhatikan Hamdan yang berjongkok untuk menyesuaikan tinggi badannya dengan dua anak lelaki yang terlihat tampan dan menggemaskan. Mereka pasti anak-anaknya, putus Rebecca dalam hati.
"Oh ya Miss, apa anda keberatan jika aku menitipkan keponakanku sebentar?" tanya Hamdan yang kini sudah berdiri dan menatap Rebecca.
Oh... keponakan, batin Rebecca.
Tanpa menunggu jawaban Rebecca, dengan cepat Hamdan sudah mengangkat keponakannya dan mendudukkannya masing-masing di kursi yang terletak di sebelah kiri dan di depan Rebecca. Secepat itu pula Hamdan menghilang dari hadapan Rebecca dan berjalan menuju kasir untuk memesan kopi dan makanan.
Tidak sampai sepuluh menit Hamdan sudah kembali ke meja Rebecca dan tanpa permisi lelaki itu duduk tepat berseberangan dengan Rebecca. "Boleh 'kan aku ikut duduk disini?" tanya Hamdan saat Rebecca menatapnya bingung.
Rebecca hanya mengangguk, toh Hamdan sudah terlanjur duduk, mana berani dia mengusir putera mahkota. Kemudian dia menoleh ke samping kanan saat dia merasakan sebuah tangan mungil menarik ujung blouse hitamnya. Rebecca kembali merutuki otak tumpulnya yang membuatnya tak bisa menguasai bahasa Arab dengan baik. Keponakan Hamdan menatapnya sembari mengoceh tak jelas, yang bisa Rebecca mengerti hanya beberapa kata dan arti dari pandangan anak laki-laki tersebut yang menatap wajahnya serta croisant secara bergantian.
"You want it?" tanya Rebecca sembari mengangkat sebuah croisant ke hadapan anak laki-laki tersebut lalu memberikannya saat bocah lucu itu mengangguk antusias. Rebecca tersenyum lalu memberikan croisant tersebut kepada anak laki-laki yang Rebecca taksir berusia sekitar 4 tahun. Rebecca mengusap puncak kepala anak tersebut saat dengan lucunya dia mengucapkan terima kasih.
"Namanya Zayed, dan yang ini Saeed." Hamdan tersenyum sembari mengusap kepala Saeed yang duduk di sampingnya, "usia mereka 3 tahun 7 bulan dan mereka kembar," tambah Hamdan.
"Ya Yang Mulia, saya dapat melihatnya," ujar Rebecca hampir tak terdengar karena secara bersamaan dua orang pelayan mengantarkan pesanan Hamdan. Dua cangkir cappucino, dua gelas jus jeruk, dua piring scrambled egg lengkap dengan waffle serta sosis goreng dan sepiring roti gandum dengan butter. Uh... Rebecca mengernyit. Betapa membosankannya setumpuk roti gandum itu, batin Rebecca.
Dengan telaten Hamdan meletakkan masing-masing scrambled egg untuk Zayed dan Saeed. Lalu meletakkan gelas jus lebih dekat agar si Kembar lebih mudah mengambilnya. Rebecca terpana, dalam diam dia terus memperhatikan Hamdan. Bagaimana mungkin ada seorang pria yang begitu penyayang dan perhatian pada anak kecil yang bahkan bukan puteranya sendiri.
"Rebecca, kau tidak keberatan bukan jika kita menumpang di mejamu?" tanya Hamdan tiba-tiba dan langsung mendapat gelengan cepat tanda tidak keberatan dari Rebecca. Sedikit rasa nyaman menyentuh hatinya saat ia mendengar Hamdan menyebutnya hanya dengan nama tanpa embel-embel lainnya. Rebecca tiba-tiba merona saat terlintas dipikirannya jika secara tidak langsung mereka berempat terlihat seperti keluarga kecil yang tengah menikmati kebersamaan sewaktu sarapan.
Zayed dan Saeed sepertinya bukanlah tipe anak rewel pada umumnya, mereka terlihat manis dengan sikapnya yang penurut. Terbukti dengan sikap mereka sekarang. Dalam diam mereka menikmati makanannya. Meski sesekali Saeed terlihat lucu karena memakan telurnya hanya dengan tangan tanpa alat makan dan membuat pipinya belepotan saus tomat. Hamdan terkekeh lalu dengan lembut dia mengusap saus tomat di pipi Saeed dengan selembar tissue.
Rebecca tersenyum lalu menatap Hamdan yang kini mulai mengusapkan butter pada permukaan roti gandumnya. Tanpa sadar Rebecca mengusap pergelangan tangannya, lalu mengernyit saat merasakan nyeri yang teramat dari sana. Luka memar yang disebabkan oleh sosok yang sekarang sedang duduk di hadapannya beberapa hari lalu dan baru disadarinya tadi pagi.
Hamdan menggigit rotinya lalu mengangkat kepalanya dan menatap Rebecca yang segera membuang muka menghindari mata sendu milik Hamdan. Tapi jemari lentik Rebecca masih saja mengusap pergelangan tangannya. Hal tersebut tidak luput dari perhatian Hamdan. Sekilas ia dapat melihat memar kebiruan di permukaan kulit pucat Rebecca. Rasa bersalah segera menyeruak di dadanya.
Berdehem sebentar untuk membersihkan tenggorokannya, Hamdan membuka suara, "ehm, maaf sebelumnya. Apa itu luka yang kau dapatkan saat aku menabrakmu beberapa hari lalu?" tanya Hamdan mencoba memastikan.
Rebecca melempar senyum lemahnya lalu menggeleng mahfum, "tidak apa, hanya lebam. Aku bisa mengatasinya," Rebecca kembali tersenyum sembari berusaha menarik manset blouse yang ia kenakan agar menutupi luka memar tersebut.
Hamdan mengangkat tangannya ragu, "apa aku boleh memeriksanya?" tanya Hamdan lagi.
"Eh, i—iya," ragu Rebecca mengulurkan tangannya. Terkesiap, saat jemari besar Hamdan menyentuh telapak tangannya.
"Kalau kau mau kau bisa ikut aku setelah ini, aku akan membantumu menghilanghan bekas memar ini, jika ini terus dibiarkan kau pasti tidak dapat bekerja dengan leluasa," ujar Hamdan panjang lebar. Ia berniat membawa Rebecca ke gym miliknya yang memiliki fasilitas sebuah ruangan dengan suhu minus untuk memulihkan luka memar. Hamdan biasa menggunakannya jika ia terjatuh ataupun saat terkena tendangan kuda.
Tiba-tiba Rebecca merasakan jika mulutnya kering saat dengan lembut Hamdan mengusap permukaan kulitnya. Rasa nyeri yang tadi dirasanya kini seakan menghilang dan Rebecca justru merasa kebat-kebit dengan perlakuan Hamdan yang masih mengusap pergelangan tangannya dengan pola lingkaran. Sontak Rebecca mengangkat kepalanya dan menatap Hamdan.
Ternyata Hamdan juga tengah menatapnya. Mata bertemu mata. Mata bermanik coklat pekat, dengan bulu mata panjang nan lentik itu sanggup menahan Rebecca untuk tidak mengalihkan pandangannya. Aura lembut dan penyayang terlihat dari sepasang mata milik Hamdan. Rebecca mengernyit saat tidak hanya kelembutan yang dilihatnya, melainkan juga penyesalan mendalam.
Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Bahkan Hamdan pun tak dapat bernapas dengan benar seakan oksigen berubah menjadi zat padat. Ini sudah ketiga kalinya ia bertemu dengan Rebecca. berawal dari kecelakaan yang tidak disengaja lalu bersambung dengan insiden kecil yang berawal dari kekaguman Hamdan pada dekorasi cake untuk ulang tahun Aisha tempo hari dan sekarang mereka kembali bertemu di rumah kopi langganan Hamdan.
Hamdan sadar jika ada sesuatu yang lain yang kini mulai tumbuh di antara mereka, bahkan hanya untuk mengalihkan pandangan matanya dari Rebecca pun ia tak bisa. Seakan-akan Rebecca adalah pusat bumi yang memiliki daya tarik gravitasi yang paling kuat sehingga berpaling dari Rebecca saja Hamdan tak kuasa. Entah apa maksud Tuhan dibalik ini semua.
Dalam hati Hamdan beristighfar, saat secara tiba-tiba Rebecca menarik tangannya sembari menggumamkan maaf. Ketika tangannya terlepas Rebecca segera menarik ujung manset agar menutupi tangannya. Menenangkan debaran jantungnya yang menggila, Rebecca menyesap minumanya gugup.
Lelaki ini berbahaya, batin Rebecca.
*****
"Ali, apa semua berkasnya sudah terkumpul? Tidak ada yang terlewatkan?" Hamdan melipat tangannya di atas meja sembari menatap Ali yang tengah berdiri di depannya.
"Sudah Sheikh, Insya Allah," jawab Ali mantab.
"Tapi aku belum menemukan satu draft untuk sample makanan yang dikumpulkan tepat sebelum pendaftaran ditutup." Hamdan mengusap dagunya sembari berpikir.
"Tunggu sebentar Sheikh akan saya cari lagi di ruangan saya, mungkin kemarin sewaktu mendata ada yang terselip," kata Ali. Setelah mengucap salam laki-laki yang usianya sepantaran dengan Hamdan tersebut keluar dari ruang kerja Hamdan.
Baru saja Hamdan terhanyut dengan khayalannya tentang seraut wajah putih pucat yang akhir-akhir ini sering muncul di mimpinya, ia dikagetkan dengan suara pintu yang dibuka. Ali muncul dari baliknya dan Hamdan segera memasang wajah datar seakan tidak terjadi apa-apa. Ali menyerahkan draft dalam map berwarna biru yang berisikan data diri peserta juga rincian resepnya.
Belakangan ini selain disibukkan dengan kompetisi 'Falcony' dan balap kuda dibawah naungan Fazza Foundation, Hamdan juga mencoba sebuah kompetisi yang berbasis amal. Hal ini terinspirasi saat Hamdan mengunjungi Uzbekistan untuk berburu elang. Yang mana disana terdapat perkampungan di daerah gurun yang jauh dari perkotaan dan penduduknya hidup sederhana dengan bahan makanan yang sedikit dan terbatas.
Melihat anak-anak kecil disana hati Hamdan trenyuh. Membuat Hamdan memikirkan kesehatan mereka, apa makanan yang mereka makan sudah cukup gizi, akhirnya setelah bercerita pada ibunya Hamdan memutuskan untuk membuat suatu tim untuk melakukan amal bertajuk 'Memberi makan dunia' yang kemungkinan tidak hanya dilakukan di Uzbekistan tapi juga negara miskin lainya.
Hamdan membolak-balik draft dalam map berwarna biru tersebut, ia sedikit tertarik dengan konsep makanan yang diajukan, tergolong lain daripada peserta lainnya yang kebanyakan masih memikirkan 'kemewahan' bahkan ada beberapa yang menggunakan 3 courses, meski 3 courses termasuk sederhana karena hanya mencakup appetizer, main course dan dessert tapi menurut Hamdan ini kurang tepat untuk acara amal seperti ini.
Dan saat melihat konsep makanan ber-map biru ini Hamdan merasa cocok dan sepaham, yang mana disini dijabarkan jika nanti makanannya akan dihidangkan pada satu tempat makan dengan dessert sederhana yang ditempatkan terpisah dan jumlah serta kecukupan gizi harus diperhatikan bahkan pada resep yang dilampirkan juga ikut dihitung jumlah kalori dan gizinya.
"Ini briliant," Hamdan tersenyum senang. Segera jemarinya membalik halaman untuk mencari halaman data diri peserta. Baru saja membaca namanya Hamdan mengernyitkan dahinya. Nama yang tertera terasa familiar untuknya.
Rebecca Natawijaya Vanderzee
"Rebecca, Rebecca, Rebecca...," Hamdan terus mengulang nama tersebut namun ia masih terus membaca, "Indonesia," gumam Hamdan. Mata Hamdan masih terus bergerak ke kanan dan ke kiri. "Cook pastry, Burj Al Arab Jumeirah," seketika itu Hamdan tersenyum. Dan saat melihat foto berukuran 4x6, Hamdan tersenyum lebar karena dugaannya terjawab sudah. Rebecca Natawijaya Vanderzee adalah Rebecca yang sama dengan Rebecca cupcake yang ia kenal karena insiden tabrakan sepeda tersebut.
Hamdan tertawa lepas. Menertawai kebetulan aneh yang belakangan ini ia alami. Ini gila, batinnya.
*****
Hamdan segera menepikan mobil yang dikendarainya saat ayahnya—His Highness Sheikh Mohammed Al Rasheed—menunjukkan tempat parkir yang kosong. Setelah menginjak rem dan mobil benar-benar berhenti, Hamdan mematikan mesinnya dan segera membuka pintu mobil untuk keluar. Sementara Sheikh Mohammed sudah turun dan diserbu oleh puluhan blitz kamera dari berbagai media yang sedari tadi menunggu mereka.
Hari ini mereka mendatangi sesi pemanasan Eundurance Race, agenda balap kuda tahunan di Uni Emirat Arab yang tahun ini diselenggarakan di Al Wathba Abu Dabhi. Hamdan berjalan menyusul ayahnya yang saat ini sedang diwawancarai oleh salah satu media.
"Sheikh Hamdan, apa anda akan turun juga hari ini?" salah seorang reporter mengarahkan kamera ke arah Hamdan dan langsung melontarkan pertanyaan untuknya.
Hamdan tersenyum ramah. Cuaca cerah sepertinya menyenangkan untuk berkuda. "Tentu saja aku turun hari ini," jawab Hamdan masih dengan senyumnya.
Setelah itu tidak banyak yang harus Hamdan jawab, karena pertanyaannya hanya berputar-putar pada permasalahan rencana peluncuran sistematika strategi pemerintahan Dubai 2021 yang digadang-gadang Hamdan adalah penyusunnya. Hamdan dan ayahnya mengakhiri wawancara dengan sopan kemudian berlalu dan bergabung dengan kerabat yang sudah sampai terlebih dulu.
Berbincang-bincang sebentar, Hamdan memutuskan untuk mengganti thawb yang ia kenakan dengan celana olahraga warna hitam dan t-shirt putih yang dilapisi jaket hoodie berwarna biru langit. Lalu Hamdan mengganti sandalnya dengan sepasang nike warna hitam. Setelah memasang helm dan sarung tangan Hamdan segera menuju ke istal kuda. Temannya—Pangeran Emir Abu Dabhi—bersedia menyediakan kuda untuknya.
Benar saja, Hiss Highness Sheikh Sulaiman sudah menunggunya di depan istal. Hamdan menjabat tangan Sulaiman dan dibalas oleh Sulaiman dengan ciuman di pipi kiri dan kanan.
"Apa kabar? Kudengar istrimu baru saja melahirkan," tanya Hamdan. Sudah lama mereka tidak bertemu dalam keadaan santai seperti ini. Akhir-akhir ini mereka hanya bertemu di dalam forum kenegaraan yang resmi.
"Alhamdulilah, aku sangat baik." Sulaiman tersenyum. "Ya, perempuan. Sangat menakjubkan, namanya Jamilah," Sulaiman terlihat sangat berseri saat menceritakan anak ketiganya yang juga anak perempuan pertamanya. Mereka tertawa bersama saat Sulaiman mengatakan jika dia merasa sangat malu saat membantu istrinya mengganti popok Jamilah.
"Lalu kapan kau akan menikah? Kau tidak mau menyusulku untuk merasakan betapa bahagianya saat puteri kecilmu menangis dan mengompol di pangkuanmu?" Sulaiman bertanya dengan sebelah alis yang terangkat ke atas.
"Kalau hanya untuk merasakan bayi mengompol di pangkuanku aku sudah sering merasakannya," Hamdan tergelak, "mulai dari Ahmed, Latifa, Fatimah, Sheema, Aisha, Zayed, Saeed, sampai si kecil Hamad aku merasakan semua," tambah Hamdan menyebutkan sebagian besar nama keponakannya.
"Tapi mereka bukan milikmu. Yang kau sebutkan adalah keponakanmu semua," ujar Sulaiman yang disambung dengan gelak tawanya.
"Insya Allah secepatnya, doakan saja," putus Hamdan.
"Bagaimana jika kau menikah dengan Rania?" tanya Sulaiman.
"Rania? Bocah kecil itu?" nada bicara Hamdan sengaja dibuat mengejek.
"Hei, dia adikku," gerutu Sulaiman seraya mendaratkan tinjuan di lengan Hamdan.
"Kau ada-ada saja. Bagaimana bisa aku menikah dengan seseorang yang sudah kukenal sejak dia masih memakai popok dan mengompol di depanku?" tawa Hamdan berderai senang. Tapi di dalam hati ia merasa bosan, sudah berpuluh kali ia didesak untuk menikah bahkan sudah banyak gadis yang secara sengaja disodorkan untuk dinikahinya.
Hamdan menghentikan langkahnya saat ia berdiri di depan istal seekor kuda berwarna cokelat gelap. Kuda peranakan asli Kentucky milik Sulaiman yang diberi nama Strider itu terlihat tenang saat Hamdan mengusap kepalanya.
"Kau boleh menaikinya, tapi awas kalau kau membawanya pulang!"
"Terima kasih, kau yang terbaik!" teriak Hamdan sembari mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi saat Sulaiman sudah keluar dari istal.
"Hai teman, kuharap kau bersahabat hari ini," kata Hamdan dengan jemari yang terus menyusuri surai kuda dengan lembut. Setelah dirasa cukup berinteraksi, Hamdan memutuskan untuk membawa Strider keluar seusai ia memasang pelana dan tali kekang.
Strider berjalan pelan dengan Hamdan yang memegang kendali di atasnya. Ternyata di tengah arena sudah banyak yang menunggunya. Salah satunya adalah Khalid bin Ali Al Harbi, pemuda tanggung tersebut langsung berjalan menghampiri Hamdan. Setelah beruluk salam, Hamdan turun dari kudanya dan memeluk Khalid yang langsung menempelkan hidungnya ke hidung Hamdan. Khalid adalah putera pertama dari sahabat Hamdan, tapi lebih dari itu Khalid menganggap Hamdan sebagai seorang mentor dan senior yang Khalid hormati.
"Jadi Sheikh ikut dalam sesi pemanasan kali ini?" tanya Khalid dengan nada bicaranya yang riang.
"Seperti yang kau lihat." Hamdan tersenyum seraya merentangkan tangannya lebar-lebar.
"Ini menakjubkan!" seru Khalid.
*****
Derap kaki kuda yang saling berlomba untuk menjadi yang pertama terdengar bergemuruh memecah pagi. Hamdan dengan jaket warna biru langitnya terlihat mencolok diantara peserta lainnya. Tatapan matanya fokus ke depan dengan kedua tangan yang menggenggam erat tali kekang. Sesekali ia menarik, melonggarkan dan terkadang menyentak keras agar kudanya semakin cepat berlari.
Hamdan meraih botol air minum yang khusus disediakan di beberapa spot jalur yang mereka lewati. Alih-alih meminumnya, Hamdan justru menuangkannya ke kepala kudanya. Setelah isinya habis Hamdan membuangnya ke dalam tong sampah yang disediakan di sepanjang jalur balapan.
Matahari sudah mulai meninggi, dan ia baru mencapai jarak 100 km. Kurang 20 km lagi ia sampai garis finish. Hamdan mengedarkan pandangannya, di sisi kiri ia melihat Khalid yang berusaha keras untuk mendahuluinya. Hal tersebut justru menimbulkan tawanya. Lalu Hamdan mengalihkan pandangannya ke arah kanan.
Mengernyit, Hamdan terkesiap saat melihat sosok mungil berbalut mantel coklat susu dengan hijab warna hitam berdiri di tepi jalur balapan. Seraut wajah putih pucat tersebut mengulas senyum untuknya. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Hamdan mengerjapkan matanya. Dan sepersekian detik sosok mungil berkulit putih pucat itu menghilang. Belum hilang rasa terkejutnya, sebuah suara yang meneriakinya membuat Hamdan kehilangan orientasi sehingga Hamdan lupa jika ia sedang menunggangi kuda.
"Sheikh! Awas!" Khalid terdengar cemas.
Hamdan belum juga sadar dengan apa yang terjadi, hingga dadanya menubruk tanah. Seketika itu Hamdan sadar, ia terjatuh dari kudanya. Dari sudut matanya ia melihat Khalid yang turun dari kudanya dan berlari mendekatinya. Namun belum sempat Khalid membantunya bangun, seekor kuda yang dinaiki pembalap lain yang tidak sempat menghindar menginjak kaki kanannya.
"Astaghfirullah!" Khalid kembali berteriak dan segera membantu Hamdan berdiri.
"Hati-hati boy, sepertinya kakiku patah." Hamdan mendesis menahan nyeri di kakinya.
Khalid masih berjuang keras membopong Hamdan yang lebih tinggi darinya. Kemudian beberapa orang tergopoh menyongsong mereka berdua dan membantu Hamdan untuk meluruskan kakinya dan segera melakukan pertolongan pertama.
"Apakah kakiku patah?" tanya Hamdan pelan.
"Tidak Sheikh, hanya terkilir dan memar. Tapi kita masih harus memastikannya di rumah sakit. Saya takut jika ada keretakan."
Hamdan menganggukkan kepalanya, kemudian memejamkan matanya. Sekelebat bayangan seraut wajah putih pucat kembali menggangunya. Hamdan menggeleng lalu tersenyum, "Rebecca," gumamnya lirih.
*****
Rebecca berdiri di depan pintu masuk ballroom hotel Hilton. Dari dinding kaca di samping kirinya Rebecca meneliti penampilannya. Kemeja sopan berwarna putih ia masukkan ke dalam rok lebar model high waisted warna hitam berbahan chifon. Lalu pashmina warna hitam membalut rambutnya dengan model sederhana yang ia tiru dari tutorial hijab yang sore tadi baru ia pelajari. Setidaknya pump shoes dengan hak 10 cm membuat penampilannya terlihat tidak memalukan.
Menarik napas panjang Rebecca memantapkan hatinya. Dengan menjinjing clutch bag ia berjalan memasuki ballroom. Tadi siang sepulang dari bekerja ia mendapati undangan untuk menghadiri pengumuman sepuluh besar pemenang kompetisi 'Memberi Makan Dunia'. Nyali Rebecca menciut saat ia melihat sekelilingnya. Ratusan orang yang Rebecca asumsikan sebagai sesama peserta berkumpul di ballroom, sebagian besar adalah makhluk berjenis kelamin pria. Sedangkan untuk wanita hanya bisa dihitung dengan jari.
Gelisah dan merasa tak nyaman, sudah hampir setengah jam Rebecca duduk menunggu tapi acara masih belum dimulai. Hingga sebuah keramaian yang berasal dari kerumunan di pintu masuk menarik perhatiannya.
Sekumpulan pria mengenakan thawb lengkap masuk ke dalam ballroom. Namun bukan itu yang menarik perhatian Rebecca, tapi sosok ramah penuh senyum yang tengah berjalan tertatih dengan sebuah kruk di lengan kanannya lah yang menyita seluruh perhatian Rebecca.
Hamdan mengumbar senyum saat beberapa orang menyapanya dan menyentuhkan hidungnya pada hidung Hamdan. Lelaki itu terlihat ceria meski sesekali mengernyit karena kakinya masih terasa nyeri. Dengan tertatih ia mencoba berjalan ke tempat duduk yang disediakan untuknya. Awalnya dokter menyarankannya untuk menggunakan kursi roda, tapi dengan keras Hamdan menolaknya. Ia hanya terkena tendangan kuda bukan pengidap stroke sehingga tidak ada alasan yang mengharuskannya menggunakan kursi roda.
Saat hampir mencapai tempat duduknya, mata Hamdan terpaku pada seraut wajah putih pucat yang beberapa hari ini mengacaukan harinya. Untuk beberapa detik mata mereka bertemu, kemudian Hamdan tersenyum dan Rebecca menunduk memutus kontak mata mereka
Rebecca terkesiap saat Hamdan menatapnya, mulutnya terasa kering dan ia susah bernapas. Bagaimana bisa ini semua terjadi. Setelah pertemuan tak sengajanya dengan Hamdan, ia justru terus bertemu dengan Hamdan.
Apakah ini takdir yang bermain atau ... hanya kebetulan?
To be continued ....