Share

2. Destiny or ....

Penulis: Sashie Rahma
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-29 06:54:02

Sudah berulang kali Rebecca menguap dan mengusap wajah lelahnya. Seorang pelayan menghampirinya dan meletakkan secangkir cappucinno panas berlabel Home Bakery di meja. Tersenyum ramah, pelayan tersebut meninggalkan meja Rebecca dan melayani pelanggan lainnya.

Minggu ini adalah minggu sibuk bagi Rebecca. Konsentrasinya terpusat pada kompetisi yang dia ikuti. Kemarin siang Rebecca sudah menyerahkan draft resep dan sample makanan yang dia ikutkan lomba, seharian fokus pada masakannya lalu ditambah bekerja shift malam dan baru bisa pulang pukul 9 pagi tadi, padahal menurut jadwal, jam kerjanya berakhir pada pukul 7 pagi.

Rebecca menghela napas panjang, memang apa yang dia harapkan saat bekerja di sebuah hotel mewah yang diklaim sebagai hotel berbintang 7 dan menjadi ikon kemajuan dari Dubai. Bayaran yang tinggi tentu saja menuntut profesionalitas yang tinggi pula. Jadi sudah sepantasnya Rebecca merelakan waktu tidurnya jika tidak ingin didepak dari hotel tersebut.

Perlahan Rebecca menyesap isi cangkirnya, menyisakan busa susu yang menempel di bibir atasnya. Segera saja Rebecca mengusap bibirnya dan menyuapkan croisant ke mulutnya. Mengunyahnya perlahan, "ah... ini yang namanya surga," desah Rebecca puas. Pagi ini sebelum pulang dan tidur nyenyak di flat, Rebecca memutuskan untuk mampir ke Home Bakery untuk minum kopi dan menikmati sekeranjang kecil croisant dengan condiment selai coklat favoritnya. Sekedar melepas lelah, pikirnya.

Rebecca tengah berkonsentrasi dengan croisant keduanya saat beberapa orang terdengar berbisik-bisik heboh. Tak banyak kata-kata yang dapat ditangkap oleh Rebecca. bahasa Arab yang dikuasainya hanya sebatas 'ya dan tidak'. Terima kasih untuk otaknya yang lemah pada bidang linguistik. Rebecca memasang wajah datar tak acuh andalannya. Membenarkan hijabnya sebentar dan dia kembali menyuapkan croisant yang berasa manis gurih di lidah tersebut. Belum sempat menelan croisant-nya, Rebecca dibuat tersedak saat seorang wanita yang duduknya berjarak dua meja dari Rebecca menyebutkan 'Sheikh Hamdan' sontak Rebecca memalingkan kepalanya ke arah pintu masuk.

Ekspresi takjub tak dapat Rebecca sembunyikan saat seorang lelaki yang memakai kaus bertuliskan 'SkyDive Dubai' berjalan santai dengan dua bocah laki-laki yang tengah menggandeng kedua tangannya. Terlihat sangat berbeda dengan sosok berkarisma yang mengenakan thawb putih lengkap dengan ghutra dan ighal yang ditemuinya di hotel pada malam itu. Saat ini salah satu lelaki penting di Dubai itu terlihat begitu sederhana, mudah disentuh dan hangat dan mempesona dan... sialnya untuk sepersekian detik Rebecca tak dapat mengalihkan matanya dari Hamdan.

"Hamdan," desis Rebecca sekedar untuk meyakinkan dirinya jika ini nyata. Dan ini memang nyata karena Hamdan saat ini sedang berjalan ke arah tempat duduknya, segera Rebecca memalingkan wajah dan berpura-pura sibuk menatap jendela, berharap lelaki itu tak mengenalinya.

Bagaimanapun juga pertemuan terakhir mereka berlangsung memalukan karena tanpa sengaja Rebecca menjatuhkan tumpukan cupcake dan mengenai thawb putih bersih yang Hamdan kenakan. Belum lagi sekumpulan pria yang juga memakai thawb menarik paksa Rebecca saat Rebecca berusaha membantu membersihkan noda cupcake. Mereka memperlakukan Rebecca seakan Rebecca adalah penyusup yang berniat melukai Hamdan sang Putera Mahkota.

"Miss... Rebecca," panggil Hamdan yang langsung disambut dengan hembusan napas kecewa milik Rebecca. Ternyata dia tidak dapat menghindar dari Hamdan.

Gadis itu memalingkan wajahnya dari jendela ke arah kanan. Berpura-pura terkejut, "masya allah." Rebecca segera memasang senyum lembut miliknya lalu berdiri dan menundukkan kepalanya sekilas tanda penghormatan pada putera mahkota.

Hamdan tersenyum. "Sungguh kebetulan yang mengejutkan, kita bertemu lagi. Dubai sangat sempit ternyata," ujar Hamdan sembari tertawa pelan menampakkan gigi putihnya yang rapi. Gigi rapi yang tiba-tiba saja menjadi favorite Rebecca.

Rebecca menggelengkan kepalanya, mengusir pemikiran gilanya tentang gigi rapi Hamdan. "Ya anda benarYang Mulia , sangat mengejutkan," Rebecca tersenyum. Tentu saja Dubai itu sempit, jika dibandingkan dengan Indonesia, batin Rebecca geli.

Percakapan basa basi mereka terhenti karena mendapat interupsi dari dua anak kembar yang kini asyik menarik tangan Hamdan meminta perhatian. Rebecca kembali duduk dan dalam diam dia memperhatikan Hamdan yang berjongkok untuk menyesuaikan tinggi badannya dengan dua anak lelaki yang terlihat tampan dan menggemaskan. Mereka pasti anak-anaknya, putus Rebecca dalam hati.

"Oh ya Miss, apa anda keberatan jika aku menitipkan keponakanku sebentar?" tanya Hamdan yang kini sudah berdiri dan menatap Rebecca.

Oh... keponakan, batin Rebecca.

Tanpa menunggu jawaban Rebecca, dengan cepat Hamdan sudah mengangkat keponakannya dan mendudukkannya masing-masing di kursi yang terletak di sebelah kiri dan di depan Rebecca. Secepat itu pula Hamdan menghilang dari hadapan Rebecca dan berjalan menuju kasir untuk memesan kopi dan makanan.

Tidak sampai sepuluh menit Hamdan sudah kembali ke meja Rebecca dan tanpa permisi lelaki itu duduk tepat berseberangan dengan Rebecca. "Boleh 'kan aku ikut duduk disini?" tanya Hamdan saat Rebecca menatapnya bingung.

Rebecca hanya mengangguk, toh Hamdan sudah terlanjur duduk, mana berani dia mengusir putera mahkota. Kemudian dia menoleh ke samping kanan saat dia merasakan sebuah tangan mungil menarik ujung blouse hitamnya. Rebecca kembali merutuki otak tumpulnya yang membuatnya tak bisa menguasai bahasa Arab dengan baik. Keponakan Hamdan menatapnya sembari mengoceh tak jelas, yang bisa Rebecca mengerti hanya beberapa kata dan arti dari pandangan anak laki-laki tersebut yang menatap wajahnya serta croisant secara bergantian.

"You want it?" tanya Rebecca sembari mengangkat sebuah croisant ke hadapan anak laki-laki tersebut lalu memberikannya saat bocah lucu itu mengangguk antusias. Rebecca tersenyum lalu memberikan croisant tersebut kepada anak laki-laki yang Rebecca taksir berusia sekitar 4 tahun. Rebecca mengusap puncak kepala anak tersebut saat dengan lucunya dia mengucapkan terima kasih.

"Namanya Zayed, dan yang ini Saeed." Hamdan tersenyum sembari mengusap kepala Saeed yang duduk di sampingnya, "usia mereka 3 tahun 7 bulan dan mereka kembar," tambah Hamdan.

"Ya Yang Mulia, saya dapat melihatnya," ujar Rebecca hampir tak terdengar karena secara bersamaan dua orang pelayan mengantarkan pesanan Hamdan. Dua cangkir cappucino, dua gelas jus jeruk, dua piring scrambled egg lengkap dengan waffle serta sosis goreng dan sepiring roti gandum dengan butter. Uh... Rebecca mengernyit. Betapa membosankannya setumpuk roti gandum itu, batin Rebecca.

Dengan telaten Hamdan meletakkan masing-masing scrambled egg untuk Zayed dan Saeed. Lalu meletakkan gelas jus lebih dekat agar si Kembar lebih mudah mengambilnya. Rebecca terpana, dalam diam dia terus memperhatikan Hamdan. Bagaimana mungkin ada seorang pria yang begitu penyayang dan perhatian pada anak kecil yang bahkan bukan puteranya sendiri.

"Rebecca, kau tidak keberatan bukan jika kita menumpang di mejamu?" tanya Hamdan tiba-tiba dan langsung mendapat gelengan cepat tanda tidak keberatan dari Rebecca. Sedikit rasa nyaman menyentuh hatinya saat ia mendengar Hamdan menyebutnya hanya dengan nama tanpa embel-embel lainnya. Rebecca tiba-tiba merona saat terlintas dipikirannya jika secara tidak langsung mereka berempat terlihat seperti keluarga kecil yang tengah menikmati kebersamaan sewaktu sarapan.

Zayed dan Saeed sepertinya bukanlah tipe anak rewel pada umumnya, mereka terlihat manis dengan sikapnya yang penurut. Terbukti dengan sikap mereka sekarang. Dalam diam mereka menikmati makanannya. Meski sesekali Saeed terlihat lucu karena memakan telurnya hanya dengan tangan tanpa alat makan dan membuat pipinya belepotan saus tomat. Hamdan terkekeh lalu dengan lembut dia mengusap saus tomat di pipi Saeed dengan selembar tissue.

Rebecca tersenyum lalu menatap Hamdan yang kini mulai mengusapkan butter pada permukaan roti gandumnya. Tanpa sadar Rebecca mengusap pergelangan tangannya, lalu mengernyit saat merasakan nyeri yang teramat dari sana. Luka memar yang disebabkan oleh sosok yang sekarang sedang duduk di hadapannya beberapa hari lalu dan baru disadarinya tadi pagi.

Hamdan menggigit rotinya lalu mengangkat kepalanya dan menatap Rebecca yang segera membuang muka menghindari mata sendu milik Hamdan. Tapi jemari lentik Rebecca masih saja mengusap pergelangan tangannya. Hal tersebut tidak luput dari perhatian Hamdan. Sekilas ia dapat melihat memar kebiruan di permukaan kulit pucat Rebecca. Rasa bersalah segera menyeruak di dadanya.

Berdehem sebentar untuk membersihkan tenggorokannya, Hamdan membuka suara, "ehm, maaf sebelumnya. Apa itu luka yang kau dapatkan saat aku menabrakmu beberapa hari lalu?" tanya Hamdan mencoba memastikan.

Rebecca melempar senyum lemahnya lalu menggeleng mahfum, "tidak apa, hanya lebam. Aku bisa mengatasinya," Rebecca kembali tersenyum sembari berusaha menarik manset blouse yang ia kenakan agar menutupi luka memar tersebut.

Hamdan mengangkat tangannya ragu, "apa aku boleh memeriksanya?" tanya Hamdan lagi.

"Eh, i—iya," ragu Rebecca mengulurkan tangannya. Terkesiap, saat jemari besar Hamdan menyentuh telapak tangannya.

"Kalau kau mau kau bisa ikut aku setelah ini, aku akan membantumu menghilanghan bekas memar ini, jika ini terus dibiarkan kau pasti tidak dapat bekerja dengan leluasa," ujar Hamdan panjang lebar. Ia berniat membawa Rebecca ke gym miliknya yang memiliki fasilitas sebuah ruangan dengan suhu minus untuk memulihkan luka memar. Hamdan biasa menggunakannya jika ia terjatuh ataupun saat terkena tendangan kuda.

Tiba-tiba Rebecca merasakan jika mulutnya kering saat dengan lembut Hamdan mengusap permukaan kulitnya. Rasa nyeri yang tadi dirasanya kini seakan menghilang dan Rebecca justru merasa kebat-kebit dengan perlakuan Hamdan yang masih mengusap pergelangan tangannya dengan pola lingkaran. Sontak Rebecca mengangkat kepalanya dan menatap Hamdan.

Ternyata Hamdan juga tengah menatapnya. Mata bertemu mata. Mata bermanik coklat pekat, dengan bulu mata panjang nan lentik itu sanggup menahan Rebecca untuk tidak mengalihkan pandangannya. Aura lembut dan penyayang terlihat dari sepasang mata milik Hamdan. Rebecca mengernyit saat tidak hanya kelembutan yang dilihatnya, melainkan juga penyesalan mendalam.

Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Bahkan Hamdan pun tak dapat bernapas dengan benar seakan oksigen berubah menjadi zat padat. Ini sudah ketiga kalinya ia bertemu dengan Rebecca. berawal dari kecelakaan yang tidak disengaja lalu bersambung dengan insiden kecil yang berawal dari kekaguman Hamdan pada dekorasi cake untuk ulang tahun Aisha tempo hari dan sekarang mereka kembali bertemu di rumah kopi langganan Hamdan.

Hamdan sadar jika ada sesuatu yang lain yang kini mulai tumbuh di antara mereka, bahkan hanya untuk mengalihkan pandangan matanya dari Rebecca pun ia tak bisa. Seakan-akan Rebecca adalah pusat bumi yang memiliki daya tarik gravitasi yang paling kuat sehingga berpaling dari Rebecca saja Hamdan tak kuasa. Entah apa maksud Tuhan dibalik ini semua.

Dalam hati Hamdan beristighfar, saat secara tiba-tiba Rebecca menarik tangannya sembari menggumamkan maaf. Ketika tangannya terlepas Rebecca segera menarik ujung manset agar menutupi tangannya. Menenangkan debaran jantungnya yang menggila, Rebecca menyesap minumanya gugup.

Lelaki ini berbahaya, batin Rebecca.

*****

"Ali, apa semua berkasnya sudah terkumpul? Tidak ada yang terlewatkan?" Hamdan melipat tangannya di atas meja sembari menatap Ali yang tengah berdiri di depannya.

"Sudah Sheikh, Insya Allah," jawab Ali mantab.

"Tapi aku belum menemukan satu draft untuk sample makanan yang dikumpulkan tepat sebelum pendaftaran ditutup." Hamdan mengusap dagunya sembari berpikir.

"Tunggu sebentar Sheikh akan saya cari lagi di ruangan saya, mungkin kemarin sewaktu mendata ada yang terselip," kata Ali. Setelah mengucap salam laki-laki yang usianya sepantaran dengan Hamdan tersebut keluar dari ruang kerja Hamdan.

Baru saja Hamdan terhanyut dengan khayalannya tentang seraut wajah putih pucat yang akhir-akhir ini sering muncul di mimpinya, ia dikagetkan dengan suara pintu yang dibuka. Ali muncul dari baliknya dan Hamdan segera memasang wajah datar seakan tidak terjadi apa-apa. Ali menyerahkan draft dalam map berwarna biru yang berisikan data diri peserta juga rincian resepnya.

Belakangan ini selain disibukkan dengan kompetisi 'Falcony' dan balap kuda dibawah naungan Fazza Foundation, Hamdan juga mencoba sebuah kompetisi yang berbasis amal. Hal ini terinspirasi saat Hamdan mengunjungi Uzbekistan untuk berburu elang. Yang mana disana terdapat perkampungan di daerah gurun yang jauh dari perkotaan dan penduduknya hidup sederhana dengan bahan makanan yang sedikit dan terbatas.

Melihat anak-anak kecil disana hati Hamdan trenyuh. Membuat Hamdan memikirkan kesehatan mereka, apa makanan yang mereka makan sudah cukup gizi, akhirnya setelah bercerita pada ibunya Hamdan memutuskan untuk membuat suatu tim untuk melakukan amal bertajuk 'Memberi makan dunia' yang kemungkinan tidak hanya dilakukan di Uzbekistan tapi juga negara miskin lainya.

Hamdan membolak-balik draft dalam map berwarna biru tersebut, ia sedikit tertarik dengan konsep makanan yang diajukan, tergolong lain daripada peserta lainnya yang kebanyakan masih memikirkan 'kemewahan' bahkan ada beberapa yang menggunakan 3 courses, meski 3 courses termasuk sederhana karena hanya mencakup appetizer, main course dan dessert tapi menurut Hamdan ini kurang tepat untuk acara amal seperti ini.

Dan saat melihat konsep makanan ber-map biru ini Hamdan merasa cocok dan sepaham, yang mana disini dijabarkan jika nanti makanannya akan dihidangkan pada satu tempat makan dengan dessert sederhana yang ditempatkan terpisah dan jumlah serta kecukupan gizi harus diperhatikan bahkan pada resep yang dilampirkan juga ikut dihitung jumlah kalori dan gizinya.

"Ini briliant," Hamdan tersenyum senang. Segera jemarinya membalik halaman untuk mencari halaman data diri peserta. Baru saja membaca namanya Hamdan mengernyitkan dahinya. Nama yang tertera terasa familiar untuknya.

Rebecca Natawijaya Vanderzee

"Rebecca, Rebecca, Rebecca...," Hamdan terus mengulang nama tersebut namun ia masih terus membaca, "Indonesia," gumam Hamdan. Mata Hamdan masih terus bergerak ke kanan dan ke kiri. "Cook pastry, Burj Al Arab Jumeirah," seketika itu Hamdan tersenyum. Dan saat melihat foto berukuran 4x6, Hamdan tersenyum lebar karena dugaannya terjawab sudah. Rebecca Natawijaya Vanderzee adalah Rebecca yang sama dengan Rebecca cupcake yang ia kenal karena insiden tabrakan sepeda tersebut.

Hamdan tertawa lepas. Menertawai kebetulan aneh yang belakangan ini ia alami. Ini gila, batinnya.

*****

Hamdan segera menepikan mobil yang dikendarainya saat ayahnya—His Highness Sheikh Mohammed Al Rasheed—menunjukkan tempat parkir yang kosong. Setelah menginjak rem dan mobil benar-benar berhenti, Hamdan mematikan mesinnya dan segera membuka pintu mobil untuk keluar. Sementara Sheikh Mohammed sudah turun dan diserbu oleh puluhan blitz kamera dari berbagai media yang sedari tadi menunggu mereka.

Hari ini mereka mendatangi sesi pemanasan Eundurance Race, agenda balap kuda tahunan di Uni Emirat Arab yang tahun ini diselenggarakan di Al Wathba Abu Dabhi. Hamdan berjalan menyusul ayahnya yang saat ini sedang diwawancarai oleh salah satu media.

"Sheikh Hamdan, apa anda akan turun juga hari ini?" salah seorang reporter mengarahkan kamera ke arah Hamdan dan langsung melontarkan pertanyaan untuknya.

Hamdan tersenyum ramah. Cuaca cerah sepertinya menyenangkan untuk berkuda. "Tentu saja aku turun hari ini," jawab Hamdan masih dengan senyumnya.

Setelah itu tidak banyak yang harus Hamdan jawab, karena pertanyaannya hanya berputar-putar pada permasalahan rencana peluncuran sistematika strategi pemerintahan Dubai 2021 yang digadang-gadang Hamdan adalah penyusunnya. Hamdan dan ayahnya mengakhiri wawancara dengan sopan kemudian berlalu dan bergabung dengan kerabat yang sudah sampai terlebih dulu.

Berbincang-bincang sebentar, Hamdan memutuskan untuk mengganti thawb yang ia kenakan dengan celana olahraga warna hitam dan t-shirt putih yang dilapisi jaket hoodie berwarna biru langit. Lalu Hamdan mengganti sandalnya dengan sepasang nike warna hitam. Setelah memasang helm dan sarung tangan Hamdan segera menuju ke istal kuda. Temannya—Pangeran Emir Abu Dabhi—bersedia menyediakan kuda untuknya.

Benar saja, Hiss Highness Sheikh Sulaiman sudah menunggunya di depan istal. Hamdan menjabat tangan Sulaiman dan dibalas oleh Sulaiman dengan ciuman di pipi kiri dan kanan.

"Apa kabar? Kudengar istrimu baru saja melahirkan," tanya Hamdan. Sudah lama mereka tidak bertemu dalam keadaan santai seperti ini. Akhir-akhir ini mereka hanya bertemu di dalam forum kenegaraan yang resmi.

"Alhamdulilah, aku sangat baik." Sulaiman tersenyum. "Ya, perempuan. Sangat menakjubkan, namanya Jamilah," Sulaiman terlihat sangat berseri saat menceritakan anak ketiganya yang juga anak perempuan pertamanya. Mereka tertawa bersama saat Sulaiman mengatakan jika dia merasa sangat malu saat membantu istrinya mengganti popok Jamilah.

"Lalu kapan kau akan menikah? Kau tidak mau menyusulku untuk merasakan betapa bahagianya saat puteri kecilmu menangis dan mengompol di pangkuanmu?" Sulaiman bertanya dengan sebelah alis yang terangkat ke atas.

"Kalau hanya untuk merasakan bayi mengompol di pangkuanku aku sudah sering merasakannya," Hamdan tergelak, "mulai dari Ahmed, Latifa, Fatimah, Sheema, Aisha, Zayed, Saeed, sampai si kecil Hamad aku merasakan semua," tambah Hamdan menyebutkan sebagian besar nama keponakannya.

"Tapi mereka bukan milikmu. Yang kau sebutkan adalah keponakanmu semua," ujar Sulaiman yang disambung dengan gelak tawanya.

"Insya Allah secepatnya, doakan saja," putus Hamdan.

"Bagaimana jika kau menikah dengan Rania?" tanya Sulaiman.

"Rania? Bocah kecil itu?" nada bicara Hamdan sengaja dibuat mengejek.

"Hei, dia adikku," gerutu Sulaiman seraya mendaratkan tinjuan di lengan Hamdan.

"Kau ada-ada saja. Bagaimana bisa aku menikah dengan seseorang yang sudah kukenal sejak dia masih memakai popok dan mengompol di depanku?" tawa Hamdan berderai senang. Tapi di dalam hati ia merasa bosan, sudah berpuluh kali ia didesak untuk menikah bahkan sudah banyak gadis yang secara sengaja disodorkan untuk dinikahinya.

Hamdan menghentikan langkahnya saat ia berdiri di depan istal seekor kuda berwarna cokelat gelap. Kuda peranakan asli Kentucky milik Sulaiman yang diberi nama Strider itu terlihat tenang saat Hamdan mengusap kepalanya.

"Kau boleh menaikinya, tapi awas kalau kau membawanya pulang!"

"Terima kasih, kau yang terbaik!" teriak Hamdan sembari mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi saat Sulaiman sudah keluar dari istal.

"Hai teman, kuharap kau bersahabat hari ini," kata Hamdan dengan jemari yang terus menyusuri surai kuda dengan lembut. Setelah dirasa cukup berinteraksi, Hamdan memutuskan untuk membawa Strider keluar seusai ia memasang pelana dan tali kekang.

Strider berjalan pelan dengan Hamdan yang memegang kendali di atasnya. Ternyata di tengah arena sudah banyak yang menunggunya. Salah satunya adalah Khalid bin Ali Al Harbi, pemuda tanggung tersebut langsung berjalan menghampiri Hamdan. Setelah beruluk salam, Hamdan turun dari kudanya dan memeluk Khalid yang langsung menempelkan hidungnya ke hidung Hamdan. Khalid adalah putera pertama dari sahabat Hamdan, tapi lebih dari itu Khalid menganggap Hamdan sebagai seorang mentor dan senior yang Khalid hormati.

"Jadi Sheikh ikut dalam sesi pemanasan kali ini?" tanya Khalid dengan nada bicaranya yang riang.

"Seperti yang kau lihat." Hamdan tersenyum seraya merentangkan tangannya lebar-lebar.

"Ini menakjubkan!" seru Khalid.

*****

Derap kaki kuda yang saling berlomba untuk menjadi yang pertama terdengar bergemuruh memecah pagi. Hamdan dengan jaket warna biru langitnya terlihat mencolok diantara peserta lainnya. Tatapan matanya fokus ke depan dengan kedua tangan yang menggenggam erat tali kekang. Sesekali ia menarik, melonggarkan dan terkadang menyentak keras agar kudanya semakin cepat berlari.

Hamdan meraih botol air minum yang khusus disediakan di beberapa spot jalur yang mereka lewati. Alih-alih meminumnya, Hamdan justru menuangkannya ke kepala kudanya. Setelah isinya habis Hamdan membuangnya ke dalam tong sampah yang disediakan di sepanjang jalur balapan.

Matahari sudah mulai meninggi, dan ia baru mencapai jarak 100 km. Kurang 20 km lagi ia sampai garis finish. Hamdan mengedarkan pandangannya, di sisi kiri ia melihat Khalid yang berusaha keras untuk mendahuluinya. Hal tersebut justru menimbulkan tawanya. Lalu Hamdan mengalihkan pandangannya ke arah kanan.

Mengernyit, Hamdan terkesiap saat melihat sosok mungil berbalut mantel coklat susu dengan hijab warna hitam berdiri di tepi jalur balapan. Seraut wajah putih pucat tersebut mengulas senyum untuknya. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, Hamdan mengerjapkan matanya. Dan sepersekian detik sosok mungil berkulit putih pucat itu menghilang. Belum hilang rasa terkejutnya, sebuah suara yang meneriakinya membuat Hamdan kehilangan orientasi sehingga Hamdan lupa jika ia sedang menunggangi kuda.

"Sheikh! Awas!" Khalid terdengar cemas.

Hamdan belum juga sadar dengan apa yang terjadi, hingga dadanya menubruk tanah. Seketika itu Hamdan sadar, ia terjatuh dari kudanya. Dari sudut matanya ia melihat Khalid yang turun dari kudanya dan berlari mendekatinya. Namun belum sempat Khalid membantunya bangun, seekor kuda yang dinaiki pembalap lain yang tidak sempat menghindar menginjak kaki kanannya.

"Astaghfirullah!" Khalid kembali berteriak dan segera membantu Hamdan berdiri.

"Hati-hati boy, sepertinya kakiku patah." Hamdan mendesis menahan nyeri di kakinya.

Khalid masih berjuang keras membopong Hamdan yang lebih tinggi darinya. Kemudian beberapa orang tergopoh menyongsong mereka berdua dan membantu Hamdan untuk meluruskan kakinya dan segera melakukan pertolongan pertama.

"Apakah kakiku patah?" tanya Hamdan pelan.

"Tidak Sheikh, hanya terkilir dan memar. Tapi kita masih harus memastikannya di rumah sakit. Saya takut jika ada keretakan."

Hamdan menganggukkan kepalanya, kemudian memejamkan matanya. Sekelebat bayangan seraut wajah putih pucat kembali menggangunya. Hamdan menggeleng lalu tersenyum, "Rebecca," gumamnya lirih.

*****

Rebecca berdiri di depan pintu masuk ballroom hotel Hilton. Dari dinding kaca di samping kirinya Rebecca meneliti penampilannya. Kemeja sopan berwarna putih ia masukkan ke dalam rok lebar model high waisted warna hitam berbahan chifon. Lalu pashmina warna hitam membalut rambutnya dengan model sederhana yang ia tiru dari tutorial hijab yang sore tadi baru ia pelajari. Setidaknya pump shoes dengan hak 10 cm membuat penampilannya terlihat tidak memalukan.

Menarik napas panjang Rebecca memantapkan hatinya. Dengan menjinjing clutch bag ia berjalan memasuki ballroom. Tadi siang sepulang dari bekerja ia mendapati undangan untuk menghadiri pengumuman sepuluh besar pemenang kompetisi 'Memberi Makan Dunia'. Nyali Rebecca menciut saat ia melihat sekelilingnya. Ratusan orang yang Rebecca asumsikan sebagai sesama peserta berkumpul di ballroom, sebagian besar adalah makhluk berjenis kelamin pria. Sedangkan untuk wanita hanya bisa dihitung dengan jari.

Gelisah dan merasa tak nyaman, sudah hampir setengah jam Rebecca duduk menunggu tapi acara masih belum dimulai. Hingga sebuah keramaian yang berasal dari kerumunan di pintu masuk menarik perhatiannya.

Sekumpulan pria mengenakan thawb lengkap masuk ke dalam ballroom. Namun bukan itu yang menarik perhatian Rebecca, tapi sosok ramah penuh senyum yang tengah berjalan tertatih dengan sebuah kruk di lengan kanannya lah yang menyita seluruh perhatian Rebecca.

Hamdan mengumbar senyum saat beberapa orang menyapanya dan menyentuhkan hidungnya pada hidung Hamdan. Lelaki itu terlihat ceria meski sesekali mengernyit karena kakinya masih terasa nyeri. Dengan tertatih ia mencoba berjalan ke tempat duduk yang disediakan untuknya. Awalnya dokter menyarankannya untuk menggunakan kursi roda, tapi dengan keras Hamdan menolaknya. Ia hanya terkena tendangan kuda bukan pengidap stroke sehingga tidak ada alasan yang mengharuskannya menggunakan kursi roda.

Saat hampir mencapai tempat duduknya, mata Hamdan terpaku pada seraut wajah putih pucat yang beberapa hari ini mengacaukan harinya. Untuk beberapa detik mata mereka bertemu, kemudian Hamdan tersenyum dan Rebecca menunduk memutus kontak mata mereka

Rebecca terkesiap saat Hamdan menatapnya, mulutnya terasa kering dan ia susah bernapas. Bagaimana bisa ini semua terjadi. Setelah pertemuan tak sengajanya dengan Hamdan, ia justru terus bertemu dengan Hamdan.

Apakah ini takdir yang bermain atau ... hanya kebetulan?

To be continued ....

Bab terkait

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    3. Adrian Sastrohardjo

    Rebecca menggelengkan kepalanya beberapa kali, sedetik kemudian ia memejamkan matanya. Tidak berapa lama, ia kembali membuka matanya dan menatap lurus ke langit-langit kamar. Pikirannya menerawang dan kembali memutar kejadian beberapa jam lalu. Entah dunia yang terlalu sempit atau memang hidup Rebecca hanya bergerak di seputaran ini saja. Resah semakin menggelayuti hatinya tatkala bayangan Hamdan yang tersenyum seraya mengucapkan selamat terlintas di kepalanya.Memutar posisi tidurnya berkali-kali namun Rebecca tak kunjung tertidur, resah terlanjur menggerus habis rasa kantuknya. Tanpa sadar tangan kirinya bergerak mengusap telapak tangan kanannya. Rebecca memejamkan matanya saat dengan anehnya ia masih merasakan bekas hangat disana. Bekas jemari Hamdan yang menjabat tangannya sewaktu mengucapkan selamat karena Rebecca berhasil menjadi sepuluh besar. Bahkan Rebecca berada diurutan lima terbaik."Ini gila, benar-benar gila," gumam Rebecca berkali-kali. Tidak banyak interaksi yang terja

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-29
  • Menjadi Istri Putera Mahkota    4. Tentang Rebecca dan Adrian

    "Mas Adri mau teh atau kopi?" setengah berteriak Rebecca bertanya pada Adrian yang duduk di sofa."Teh dek," sahut Adrian singkat. "Oke," jawab Rebecca tak kalah singkat.Tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Rebecca sibuk dengan cangkir dan air panas sedangkan Adrian lebih tertarik dengan tumpukan majalah kuliner di meja kopi yang berada di hadapannya. Rebecca tak berniat membuka percakapan, karena jujur saja ia lebih nyaman seperti ini. Kehadiran Adrian beberapa hari ini begitu mengganggunya, menimbulkan badai di hati kecilnya. Sekuat apapun hatinya, ia tak akan dapat bertahan lama menanggung sakit hatinya. Dalam diam Rebecca menuangkan air panas ke dalam cangkir keramik yang sudah diisinya dengan kantung teh celup berlabel Paul Arabia kesukaannya. Sesekali Rebecca melirik Adrian yang duduk membelakanginya.Menghela napas pelan, Rebecca mengangkat cangkir tersebut dan melangkah ke tempat Adrian. Rebecca meletakkan satu cangkir di hadapan Adrian lalu tersenyum saat Adrian men

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Menjadi Istri Putera Mahkota    5. Masih Tentang Rebecca dan Adrian

    Saat mendengar suara pintu di tutup, Rebecca jatuh terduduk dan luruh dalam tangis. Sedari tadi ia menahan isakannya, bahkan kakinya lemas tak dapat menahan beban tubuhnya. Dua tahun sudah Rebecca menahan perasaan ini. Berbagai macam cara sudah ia lakukan hingga setahun belakangan Dubai menjadi pilihannya untuk lari. Meski ia berasal dari kalangan berada, tapi Rebecca rela bekerja keras demi melupakan kejadian pahit tersebut. Dua tahun sudah ia menelan kekecewaannya pada Adrian. Rebecca tidak menyangka jika Adrian lelaki yang dicintainya hanyalah seorang lelaki pengecut yang tega memanfaatkannya. Dan selesai sudah. Malam ini adalah malam terakhir ia menanggung semua rasa itu. Ikatan mereka sudah terputus. Tak perlu ada lagi sandiwara yang harus ia mainkan di hadapan ibu dan keluarganya. Tak apa jika hatinya sakit, tak apa jika ia merasa terluka, karena Rebecca yakin seiring berjalannya waktu semua rasa sakit ini akan sembuh. Begitu juga dengan cintanya, Rebecca yakin suatu saat cinta

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-04
  • Menjadi Istri Putera Mahkota    6. Parachute, Chocolate Cake, and a Friend

    "Apa kau tahu siapa yang mengambil foto tersebut?" Ali Al Harbi meletakkan cangkir kopinya dan matanya fokus menatap Hamdan. Sedangkan Hamdan justru tak berpaling dari iPhone-nya. Tapi ia masih menyahuti pertanyaan Ali. "Aku tidak tahu, Zabeel dan Essa tidak akan berani menyebarkan foto sejenis itu. Lagipula sewaktu di Omnia aku tidak bersama Essa dan timnya. Saat itu aku datang sendiri, dan datang lebih awal karena aku langsung mampir sepulang dari gym," jelas Hamdan panjang lebar dan masih tidak mengalihkan pandangannya dari benda canggih di genggaman tangannya."Kau harus lebih berhati-hati, bagaimana bisa kau bertingkah bodoh seperti itu?" Ali menaikkan suaranya. Menuntut Hamdan agar memerhatikannya.Tapi sayang sepertinya Hamdan masih tak berniat meninggalkan layar ponselnya. Bahkan Mohammed kecil yang meminta perhatian darinya tak ia pedulikan. Hamdan masih asyik memangku dagunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya masih sibuk dengan ponselnya."Ah... aku ingat sekara

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • Menjadi Istri Putera Mahkota    7. Parachute, Chocolate Cake, and a Friend

    "Apa kau baik-baik saja?" tanya Hamdan.Rebecca mengangguk. Ia menunduk dan menatap jemarinya yang memainkan pinggiran cangkir tehnya. Setelah kejadian memalukan yang berhubungan dengan parasut tadi, Rebecca benar-benar tidak punya muka untuk menghadapi Hamdan. Tapi kini ia justru berakhir di Godiva duduk berhadapan dengan Hamdan. Setelah bebas dari gulungan parasut dan mendapat tatapan aneh serta menjadi bahan tertawaan banyak orang, Hamdan memaksa Rebecca untuk ikut bersamanya. Memaksa Rebecca duduk di kursi nyaman yang berada di sudut dalam lalu memesankan chocolate pecan cake, teh dan pistachio macaron. 'Bagaimana perasaanmu?" Hamdan kembali bertanya karena Rebecca tak kunjung menjawab pertanyaannya."Baik," jawab Rebecca singkat. Menghilangkan gugup yang sedari tadi tidak juga menghilang, Rebecca menyesap tehnya."Apa kau masih bekerja?" Hamdan menelusuri penampilan Rebecca yang masih memakai chef jacket dan dasi. "Tidak, aku sudah selesai.""Lalu kenapa kau tidak pulang dan j

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-08
  • Menjadi Istri Putera Mahkota    8. Perjalanan ke Uzbekistan

    “Ya Hamdan, apa yang terjadi akhir-akhir ini?”Hamdan terkejut hingga tersedak teh yang ia minum. Ia terkejut setengah mati saat mendapati ibunya tiba-tiba berdiri di ambang pintu penghubung teras belakang dengan kolam renang indoor. Meletakkan cangkir tehnya, Hamdan bangkit dari duduknya dan menyambut ibunya dengan sebuah pelukan hangat.“Ibu, apa yang membawamu kesini?” Hamdan mengecup punggung tangan ibunya. “Apa seorang ibu dilarang untuk mengunjugi puteranya?” mata indah milik Sheikha Hind berkedip lucu. Hamdan tertawa membalas pertanyaan ibunya, “aku juga merindukanmu ibu.” Hamdan kembali memeluk ibunya lalu membimbing beliau untuk duduk di sofa tempatnya menghabiskan sore di halaman belakang House of Falasi—tempat tinggal Hamdan.“Siapa yang mengantar ibu kemari?” tanya Hamdan, jemarinya menggenggam tangan ibunya erat.“Adikmu Ahmed yang mengantar ibu kesini, tapi langsung pergi.”“Apa ibu sudah makan?”“Dan... berhenti mengalihkan pembicaraan, jawab dulu pertanyaan ibu tenta

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-10
  • Menjadi Istri Putera Mahkota    9. Kebersamaan di Uzbekistan

    Langit sudah mulai gelap meski semburat jingga masih nampak. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir keemasan. Beberapa orang terlihat mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil yang khusus mereka gunakan untuk mengangkut barang. Beberapa lagi memasang tenda yang seminggu ini akan menjadi tempat mereka berteduh. Awalnya Rebecca berpikir jika yang ikut rombongan ini hanya anggota tim dan beberapa helper saja. Tapi kehadiran putera mahkota sepertinya membuat segalanya berubah. Berubah menjadi lebih “luar biasa” tentu saja.Rebecca bahkan dibuat mendelik tak percaya saat Sylvenia memberi tahunya jika Hamdan membawa serta pengawal dan juga tim fotografernya. Dan semua rasa ketidakpercayaan Rebecca terjawab sudah saat ia melihat gerombolan laki-laki memenuhi pesawat. Pantas saja Hamdan menyewa pesawat khusus. “Rebecca, kemarilah... ini tenda kita berdua.” Teriakan Sylvenia berhasil membuat Rebecca tersadar dari lamunannya. Segera ia berjalan menghampiri Sylvenia yang tengah ber

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-11
  • Menjadi Istri Putera Mahkota    10. Kegilaan Dimulai

    "Jadi namanya Dirk Vanderzee?" Hamdan menatap Rebecca tertarik. Beberapa saat lalu Rebecca bercerita tentang ayahnya yang meninggalkan ibunya di saat ia masih berusia 3 tahun. Tidak banyak yang Rebecca ceritakan, hanya sedikit tentang ayahnya dan banyak sekali tentang tempat tinggalnya di Indonesia serta ibunya yang memiliki usaha makanan tradisional. Mungkin lain kali jika ada kesempatan Hamdan ingin mencobanya."Ya, hanya itu yang ibu bagi tentang ayah. Hanya sebuah nama yang ia letakkan di nama belakangku, " Rebecca mengangguk lalu tersenyum saat ia sadar jika baru pertama kali ini ia membagi kisah hidupnya pada orang asing."Vanderzee, artinya dari laut," ujar Hamdan lirih. "Apa?" Rebecca menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Hamdan."Namamu, Vanderzee memiliki arti dari laut.""Ba-bagaimana kau tahu?" Rebecca terlihat antusias.Hamdan terkekeh, "itu bahasa Belanda Rebecca...," ujar Hamdan. Samar ia tersenyum saat Rebecca terlihat begitu polos dan lucu secara bersamaan. Rebecca

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-12

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    45. Love Has No Reason

    "Kau mau membaca habibti?" tanya Hamdan. Tangannya membolak-balik lipatan surat kabar mencari headline yang menarik hatinya. Hal itu tak lepas dari pengamatan Rebecca. Namun Rebecca tertegun saat salah satu surat kabar berbahasa inggris yang biasa menjadi langganan Rebecca dan warga asing lainnya justru menampakkan gambar dirinya dengan headline bertinta merah yang dicetak besar-besar. Begitu juga dengan Hamdan. Ia sempat tertegun beberapa saat. Namun ketika tersadar ia segera menutupi tajuk 'Is She Worth It' tersebut dengan harian Dubai yang menyajikan berita Global Economic Syariah yang akan diselenggarakan di Italy bulan depan.Mata cokelat kelamnya mencari mata Rebecca. Hamdan merasakan dadanya berdenyut nyeri saat ia dapat melihat luka di mata Rebecca. "Rebecca... habibti," panggil Hamdan. "Hei, jangan fikirkan itu. Bukankah aku sudah mengatakan padamu jangan memedulikan anggapan orang lain. Jangan dengar apapun jika itu dari orang lain. Lihat aku dan hanya dengar kata-kataku,"

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    44. Is She Worth It?

    Kenapa aku baru melihatnya sekarang?" "Melihat apa?" Hamdan menjawab pertanyaan Rebecca dengan sebuah pertanyaan. Tangan kanannya terus menggenggam erat jemari halus Rebecca dan mengayunkannya ke depan-belakang. "Frosty," jawab Rebecca singkat. Kedua mata lebarnya berbinar, nampak sekali jika ia sedang antusias. "Oh itu," gumam Hamdan seolah tak peduli. Membuat Rebecca mencebikkan bibirnya. Sinar bahagia di matanya kini berganti dengan sebuah kekesalan yang tidak ditutup-tutupi."Dan...." Rebecca merengek lalu berusaha melepaskan genggaman tangan Hamdan.Hamdan tersenyum. Ia berhasil membuat Rebecca kesal dan juga merengek meminta perhatian. Selama ini Rebecca tak pernah sekalipun merengek manja meminta perhatian. Tapi kalau merengek karena, emm... sentuhan Hamdan, rasanya jemari di kedua tangannya sudah tak dapat lagi menghitung berapa jumlahnya."Frosty baru saja dikirim kesini pagi tadi. Dua bulan lalu ia kutitipkan di rumah bibi Fatima untuk dikawinkan. Dan setelah berhasil, pa

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    43. Aku Menginginkanmu... Lagi.

    Mereka berdiri di pijakan batu di english garden yang baru beberapa hari ini ditata ulang karena permintaan Rebecca yang menginginkan Agapanthus warna biru ditambahkan disana. Tinggal beberapa meter saja mereka sampai di kamar, tapi keduanya terpatri dan berdiri membeku seakan-akan ada gaya gravitasi yang membuat mereka tak dapat menggerakkan tubuhnya."Aku bahagia melihat senyummu, tapi aku tersanjung saat melihatmu tertawa karena aku," ujar Hamdan. Suaranya serak dan dalam. Tiba-tiba saja mulut Rebecca terasa kering.Tak kuasa menatap mata Hamdan dalam waktu yang lama, Rebecca menundukkan kepalanya. Sekaligus untuk menyembunyikan pipinya yang merona. Rebecca terkesiap tatkala jemari kasar khas lelaki menyentuh pipinya. Rebecca memejamkan mata, tatkala merasakan ibu jari Hamdan mengusap sudut matanya lalu bergerak menyusuri rahang Rebecca dan berakhir di bibir bawahnya.Hamdan tertegun saat jemarinya menyentuh kelembutan Rebecca. Ia baru menyadari jika efek Rebecca begitu dahsyatnya.

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    42. Dimulai Dengan Senyuman

    Rebecca dan Shammah berjalan beriringan melewati jalan bebatuan yang membelah rerumputan hijau nan empuk di halaman depan House of Falasi, hampir pukul sepuluh malam, seharusnya mereka berdua sampai di rumah tidak lebih dari pukul sembilan.Namun sifat Shammah yang manipulatif membuat Rebecca tidak bisa menolak saat Shammah mengajaknya mampir ke Laduree menikmati secangkir teh ditemani dengan Macaroon rasa vanilla mereka yang legendaris. Sedangkan Shammah memilih Cheese Cake dan Tiramissu.Sejak keluar dari Hamdan bin Mohammed Smart University Shammah terus-terusan mengoceh dengan ceria. Sifatnya hampir berbanding terbalik dengan seluruh kakak perempuannya. Shammah lebih terlihat seperti Ahmed versi perempuan. Mungkin sewaktu kecil Shammah menjadikan Ahmed sebagai pahlawannya. Remaja itu juga tak henti-hentinya memuji Rebecca. Membuat Rebecca kehilangan kata-kata dan hanya menanggapinya dengan senyuman. Jujur ia tak tahu harus menanggapi Shammah seperti apa. Seumur hidup baru kali in

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    41. The Lady Al Rasheed

    Rebecca gelisah di tempat duduknya. Mengabaikan Shammah yang sedari tadi mengoceh entah tentang apa. Hanya kuku patah dan pashmina kusut yang dapat Rebecca tangkap. Sejak meninggalkan House of Falasi, Rebecca hanya bisa meremas-remas tangannya gusar. Siang tadi Hamdan diperbolehkan pulang setelah hasil CT scan, MRI, dan beberapa tes lainnya menunjukkan jika Hamdan tidak mengalami cidera yang berbahaya. Sampai di rumah, sekretaris Hamdan, Mr. Owaisi mendatangi mereka dan menyampaikan jika malam ini Hamdan harus datang di acara penyambutan mahasiswa baru di Hamdan bin Mohammed Smart University. Melihat keadaan Hamdan saat ini, tidak memungkinkan untuknya menyampaikan sambutan. Agak disayangkan memang. Karena seperti biasanya sambutan Hamdan adalah hal yang paling ditunggu-tunggu. Selain Hamdan adalah pemilik Universitas berkualitas internasional tersebut, Hamdan juga selalu menyampaikan pesan-pesan yang selalu menjadi motivasi bagi seluruh mahasiswa. Awalnya Rebecca mengusulkan agar

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    40. Pembelaan Pembelaan Kecil

    "Dia memang kurang ajar, baru kemarin menikah tapi bertingkah konyol dan membuat istrinya menangis. Bukankah seharusnya ia bermesraan dengan istrinya? Kenapa dia justru kencan dengan parasut kuning menjijikkan itu?" Ahmed mencibir namun dengan nada bicara yang penuh humor. Dan berhasil. Guyonan garingnya menimbulkan senyum tipis di bibir Rebecca.Sekuat hati Rebecca menahan diri agar tidak menghambur dan memeluk Hamdan. Ada Sheikha Hind disana. Sejak mendengar pembicaraan suami dan ibu mertuanya, Rebecca menjadi lebih segan kepada Sheikha Hind. Menit demi menit Rebecca tetap bertahan dengan posisinya. Bahkan ia tidak menyingkir sedikitpun saat teman-teman Hamdan pamit untuk pulang. Yang Rebecca lakukan hanya merapal doa, memohon agar Hamdannya baik-baik saja. Ahmed pun sudah lelah karena kakak iparnya selalu menolak permintaannya agar duduk di sofa. Dalam diam mereka memerhatikan Hamdan yang masih belum sadar. Perlahan kelopak mata Hamdan bergerak-gerak. Sekian detik berikutnya Hamd

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    39. Sebuah Penyaluran

    "Kau masih belum bisa disentuh, ya habibty?" bisik Hamdan tepat di telinga Rebecca. kepalanya menyusruk di ceruk leher Rebecca. Diam-diam menghirup wangi tubuh Rebecca. Hal ini membuat Hamdan teringat saat beberapa bulan lalu menghabiskan waktu bersama Rebecca di Uzbekistan. Ia juga diam-diam membaui jaketnya karena aroma Rebecca tertinggal disana. Rebecca memejamkan matanya getir. Samar ia mengangguk. Dan langsung dibalas dengan dengusan oleh Hamdan. Sesak di dada hampir saja membuat Rebecca menangis untuk kesekian kalinya.Ini masih hari kedua ia mengkonsumsi progesterone, setidaknya masih ada satu hari lagi agar hormon tersebut bekerja dengan baik. Tapi sejak ia pertama kali meminum pil itu Rebecca selalu menangis diam-diam. Namun ia selalu mengeraskan hatinya dan tetap meminumnya diam-diam tiap pagi, meski setelahnya ia tak akan keluar dari kamar mandi hanya untuk menyembunyikan tangisannya.Sekuat tenaga Hamdan menahan dirinya sejak hari pertama menikah. Rebecca mengaku sedang b

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    38. Logika yang Dangkal

    "Oh Rebecca! Demi Tuhan! Apa yang membuatmu berani menemuiku?" Sylvenia menggeram marah. "Syl...," lirih Rebecca. Sinar matanya semakin redup. Sesaat setelah ia masuk ke dalam ruangan Sylvenia, wanita berdarah Inggris tersebut langsung menyambutnya dengan dua tanduk di kepalanya. Rebecca meringis, saat ia menyadari kemarahan Sylvenia belum reda. "Apa?" hardik Sylvenia. "Kau sudah membelikan pesananku?" tanya Rebecca dengan senyumnya yang dipaksakan. Sylvenia membuka laci mejanya. Dengan alis yang bertaut Sylvenia melemparkan beberapa strip ke atas meja. "Ini yang kau inginkan? Tapi jangan harap aku akan membiarkanmu membawanya sebelum kau menjelaskan alasanmu." Suara Sylvenia naik sampai tujuh oktaf. Membuat Rebecca merasa gentar karenanya. "Cepatlah Syl... Hamdan menungguku di depan. Aku tidak ingin dia curiga," sambung Rebecca. Sekuat tenaga ia mengeraskan hatinya. Sekuat tenaga ia berusaha menjadi wanita yang tak punya hati di hadapan Sylvenia."Jadi Hamdan ada di depan? Bagu

  • Menjadi Istri Putera Mahkota    37. Semua Akan Baik - Baik Saja

    Hamdan duduk terpekur di meja kerja. Kedua tangannya terkepal di atasnya. Tadi ia dan Ahmed datang langsung ke Burj Al Arab dan secara pribadi menemui Mr. Robin. Manager F&B yang menurut berita memiliki hubungan khusus dengan Rebecca. Mr. Robin memang terlihat sedikit janggal untuk ukuran seorang lelaki. Mr. Robin nampak klinis, lembut dan emm... gemulai. Tapi sambutan Mr. Robin sangat jauh dari bayangannya. Mr. Robin menyambutnya dengan ramah bahkan penuh hormat yang tidak dibuat-buat. Mr. Robin juga menanyakan kabar Rebecca seperti sedang menanyakan kabar puteri kesayangannya. Dari sini Hamdan dapat menyimpulkan kalau Mr. Robin memang tidak ada hubungan apapun dengan Rebecca. Seperti yang Rebecca katakan, mereka berdua hanya sebatas rekan kerja, dan ayah-anak saat di luar tempat kerja. Sampai disini Hamdan bisa bernapas lega. Kemudian Hamdan menyampaikan maksud kedatangannya. Dan kabar baiknya adalah Mr. Robin bersedia melakukan konferensi pers untuk klarifikasi. Namun sepertinya

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status