Saat mendengar suara pintu di tutup, Rebecca jatuh terduduk dan luruh dalam tangis. Sedari tadi ia menahan isakannya, bahkan kakinya lemas tak dapat menahan beban tubuhnya. Dua tahun sudah Rebecca menahan perasaan ini. Berbagai macam cara sudah ia lakukan hingga setahun belakangan Dubai menjadi pilihannya untuk lari. Meski ia berasal dari kalangan berada, tapi Rebecca rela bekerja keras demi melupakan kejadian pahit tersebut. Dua tahun sudah ia menelan kekecewaannya pada Adrian. Rebecca tidak menyangka jika Adrian lelaki yang dicintainya hanyalah seorang lelaki pengecut yang tega memanfaatkannya.
Dan selesai sudah. Malam ini adalah malam terakhir ia menanggung semua rasa itu. Ikatan mereka sudah terputus. Tak perlu ada lagi sandiwara yang harus ia mainkan di hadapan ibu dan keluarganya. Tak apa jika hatinya sakit, tak apa jika ia merasa terluka, karena Rebecca yakin seiring berjalannya waktu semua rasa sakit ini akan sembuh. Begitu juga dengan cintanya, Rebecca yakin suatu saat cintanya akan bermuara pada orang yang tepat. Dan bukan Adrian....*****Rebecca mematikan ponselnya tepat saat panggilan Adrian berhenti dan hanya menjadi panggilan tak terjawab. Terakhir Rebecca membaca pesan Adrian yang ingin bertemu dengannya sebelum Adrian pulang ke Indonesia. Sudah dua hari ini ia mengabaikan Adrian. Bahkan hari ini sepulang kerja ia tidak pulang dulu ke flat untuk sekedar membersihkan diri. Rebecca lebih memilih menumpang mandi di mess dan langsung menuju ke Omnia Gourmet tempat pertemuan pertama tim Hamdan Food and Nutrition Organization diselenggarakan.Sebenarnya undangannya jam delapan malam, tapi Rebecca sudah duduk manis di Omnia sejak jam enam sore. Bahkan Rebecca sudah menghabiskan segelas chia smoothies dan memesan sepiring pasta verde, tidak mungkin kan ia hanya menumpang duduk saja."Hei, bukankah kau juga sepuluh besar yang terpilih?" seorang wanita berambut pirang dengan potongan pendek seperti laki-laki menghampiri tempat duduk Rebecca.Mulut Rebecca terbuka, "Ya Tuhan... Mrs. Rowe? Sylvenia Rowe?" Rebecca terkejut bukan main, seorang Sylvenia Rowe chef wanita terbaik di Dubai menghampiri dan menyapanya?"Ya, Rowe... siapa lagi?" Sylvenia tersenyum dan menjabat tangan Rebecca."Rebecca Vanderzee," Rebecca memperkenalkan namanya."Katakan padaku, kenapa kau datang sesore ini? bukankah pertemuan akan dilaksanakan jam delapan nanti?" Sylvenia menaikkan alisnya menuntut jawaban."Aku tinggal sedikit jauh dari Burj al Arab, jadi kurasa jika langsung kesini akan sedikit efisien, dan juga... aku butuh suasana lain," jelas Rebecca yang disambung dengan tawa."Ah... baiklah. Nikmati makanannya, aku ada sedikit urusan di belakang dan akan bergabung lagi jam delapan nanti," Sylvenia mengerling lalu meninggalkan Rebecca.Sylvenia Rowe merupakan chef asal London yang memelajari kuliner khas Emirati dan memutuskan membuat restoran berkualitas yang menyajikan hidangan emirati dengan sentuhan eropa. Kabar baiknya Sylvenia juga masuk ke dalam tim Hamdan Food and Nutrition Organization, bahkan Sylvenia menempati nomor satu di kompetisi kemarin. Sedikit rasa bangga membuat hati Rebecca berbunga, ia akan bekerja sama dengan orang-orang hebat kali ini.Seorang pelayan menghampiri Rebecca dengan segelas blue lemonade, "salam dari Mrs. Rowe," ujar pelayan tersebut sesaat setelah meletakkan gelas di meja Rebecca. Rebecca berterima kasih lalu tersenyum.Baru saja Rebecca menyuapkan pastanya, seseorang menarik kursi dan duduk di hadapannya. Hampir saja Rebecca tersedak saat melihat orang yang duduk di depannya. Hamdan duduk di hadapannya dengan seulas senyum ramah seperti biasanya. Hanya saja penampilannya sedikit berbeda dari yang biasa Rebecca lihat. T-shirt putih dengan jaket biru membuat hamdan terlihat jauh lebih santai."Yang Mulia," Rebecca berdiri lalu ia membungkuk memberi hormat."Rebecca, berhenti bersikap seperti itu, bersikap saja seperti bisa. Seperti dengan teman contohnya," Hamdan memasang wajah seriusnya."Ah, iya baiklah," Rebecca mengangguk menyetujui permintaan Hamdan. Meski sebenarnya ia merasa tidak nyaman."Apa Sylvenia menyediakan tempat pertemuannya disini?" tanya Hamdan."Saya rasa tidak, sebenarnya saya datang terlalu awal sehingga saya memutuskan untuk menikmati makan malam terlebih dahulu," jawab Rebecca."Oh ayolah, apa yang kukatakan padamu tentang bersikap seperti teman? Apa aku semenakutkan itu sehingga kau harus bersikap sopan seperti ini?" Hamdan memainkan serbet makan di hadapannya, tapi pandangan matanya fokus pada Rebecca."Maaf," lirih Rebecca.Hamdan tertawa dan ia segera memanggil pelayan untuk memesan secangkir kopi. Setelah pelayan mencatat pesanannya dan berlalu, Hamdan kembali memerhatikan Rebecca. Matanya melembut saat manik coklat pekatnya bertemu dengan milik Rebecca."Rebecca, apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?" ucap Rebecca. Sudah dua hari ini ia tidak tenang karena menyimpan sebuah pertanyaan yang mengganggunya."Aku melihat fotomu di fotografi award yang aku selenggarakan, apa aku boleh tahu, apa hubunganmu dengan fotografer bernama Adrian itu?"Rebecca mengangkat kepalanya menatap Hamdan. Matanya mengerjap tak percaya. Dan tanpa sadar Rebecca sudah menjawab pertanyaan Hamdan begitu saja, "dia temanku... dari Indonesia." Rebecca mengernyit saat ia dapat melihat kilat tak percaya dari mata Hamdan.Hamdan mengangguk mahfum, "aku membeli foto tersebut kemarin. Aku menyukai ekspresimu disana. Apa kau sengaja dibuat menangis atau kau memang menangis dengan perasaanmu?""Ah, itu diambil secara candid," jawab Rebecca."Apa aku boleh tahu kenapa kau menangis?" Hamdan menaikkan sebelah alisnya.Mulut Rebecca terbuka lalu tertutup lagi. Otaknya bekerja keras menyususn kalimat sebagai jawaban. Lalu hati kecilnya berkata, dia bukan siapa-siapamu, kau berhak tidak menjawab pertanyaannya.Rebecca mengulas senyum, "kurasa aku berhak untuk tidak mengatakan alasan di balik air mata tersebut, Yang Mulia,' ujar Rebecca dengan penuh penekanan di kalimat terakhir.Hamdan merasa takjub, baru kali ini ada seorang wanita selain ibunya yang berani berbicara dengan nada tegas padanya. Tiba-tiba saja ide jahil muncul di kepalanya."Oh ya, foto itu," kata Hamdan menggantung menunggu reaksi dari Rebecca. Saat Rebecca menatapnya, Hamdan melanjutkan kalimatnya, "aku memasangnya di salah satu dinding kamarku yang tepat berada di depan tempat tidurku, dan anehnya aku bermimpi buruk karena sebelumnya aku memandangi fotomu hingga aku tertidur dan lupa berdoa," Hamdan mengakhiri kalimatnya dengan seulas senyum miring. Rasa geli berkilat-kilat dari sepasang matanya.Rebecca menatap Hamdan tak percaya. Sepasang mata bundarnya membulat sempurna, bahkan bibirnya sedikit terbuka. Kemudian Rebecca mencebik kesal sembari melemparkan serbet makan ke arah Hamdan saat dengan tak bersalah Hamdan mengatakan jika dia hanya bercanda."Maaf, maaf, aku refleks melakukannya," ujar Rebecca cepat saat ia sadar jika ia melemparkan serbet makan ke wajah orang nomor dua di Dubai tersebut.Hamdan sempat shock saat serbet makan itu mendarat di wajahnya. Sebelumnya tidak ada yang berani melakukan hal seperti ini padanya. Dan kini seorang Rebecca cupcake melakukannya, anehnya ia tidak bisa marah. Terlebih saat ia melihat sorot mata bersalah milik Rebecca. Semua rasa kesalnya menguap begitu saja dan justru berganti dengan rasa bahagia yang terwujud dengan gelak tawanya yang lepas.*****"Dek, besok pagi mas sudah harus kembali ke Indonesia," ujar Adrian pelan. Tangannya bermain-main dengan pinggiran gelas di hadapannya.Setelah lebih dari dua hari akhirnya ia berhasil bertemu dengan Rebecca. Itu pun harus ia lakukan dengan penuh perjuangan. Seharian tadi Adrian menunggu Rebecca pulang bekerja di depan pintu flat Rebecca. Beruntung karena Rebecca masih memiliki perasaan dan mempersilahkan Adrian masuk ke dalam. Bahkan Rebecca menyuguhkan makanan kecil dan jus jeruk untuknya."Hati-hati ya mas, salam buat ibu dan keluarga disana," sahut Rebecca riang, berbanding terbalik dengan suasana hatinya."Mas rasa kita masih harus membicarakan banyak hal sebelum mas pulang. Tentang kita dek," Adrian menghela napas pelan."Bukankah kita sudah sampai di keputusan akhir mas? Kita batalkan perjodohan ini, maka tidak ada yang tersakiti. Kita berdua akan bahagia," Rebecca menatap Adrian yang duduk di sampingnya."Begitu kah?" Adrian mengernyit.Rebecca mengangguk dan menatap mata Adrian meyakinkan. Saat Adrian kembali menunduk menatap gelasnya, Rebecca menyalakan televisi. Berharap rasa canggung yang menyelimuti mereka segera menghilang. Tapi percuma, meski televisi menyala mereka tetap asyik dengan pemikiran mereka masing-masing.Denting microwave memecah keheningan mereka. Tadi Rebecca menghangatkan macaroni schotel yang rencananya untuk makan malam mereka berdua. Rebecca segera bergegas ke dapur. Mengambil sarung tangan, Rebecca membuka microwave dan mengeluarkan macaroni schotel tersebut. Setelah memotongnya menjadi beberapa bagian dan meletakkannya di piring, Rebecca membawanya ke meja makan.Saat Rebecca menuangkan air minum, Adrian memanggilnya. "Dek kesini deh, lihat ini apa?" panggil Adrian.Rebecca berjalan ke ruang tengah, dan ia berhenti di belakang sofa tempat Adrian duduk sambil menonton televisi. Punggungnya menegang dan kakinya membeku tak bisa melangkah. Tayangan televisi yang kini berada di hadapannya sedang menayangkan slideshow beberapa foto.Mungkin tidak akan aneh bagi Rebecca jika foto tersebut tidak menayangkanfoto biasa. Tapi secara bergantian slideshow tersebut menampilkan kebersamaan Rebecca dan Hamdan. Mulai dari pertemuan tidak sengaja mereka di Home Bakery bersama keponakan Hamdan, lalu foto hasil jepretan Adrian yang dibeli Hamdan, berurutan muncul foto Rebecca dan Hamdan saat mereka berada di Omnia Gourmet. Foto terakhir membuat dada Rebecca berdesir saat Hamdan terlihat tertawa lepas seraya menatapnya dengan sorot lembut."Apa karena dia dek? Kamu memutuskan membatalkan perjodohan kita apa karena dia?" nada bicara Adrian terdengar marah. "Kenapa kamu ga bilang ke mas Adri kalau sebenarnya kamu sudah kenal baik dengan putera mahkota itu?" Adrian menatap Rebecca tajam. Bibirnya membentuk satu garis keras.Rebecca terdiam tak bisa menjawab semua pertanyaan sarkatis yang Adrian lontarkan. Kepalanya terlalu penuh untuk sekedar mengatakan sanggahan.To be continued...."Apa kau tahu siapa yang mengambil foto tersebut?" Ali Al Harbi meletakkan cangkir kopinya dan matanya fokus menatap Hamdan. Sedangkan Hamdan justru tak berpaling dari iPhone-nya. Tapi ia masih menyahuti pertanyaan Ali. "Aku tidak tahu, Zabeel dan Essa tidak akan berani menyebarkan foto sejenis itu. Lagipula sewaktu di Omnia aku tidak bersama Essa dan timnya. Saat itu aku datang sendiri, dan datang lebih awal karena aku langsung mampir sepulang dari gym," jelas Hamdan panjang lebar dan masih tidak mengalihkan pandangannya dari benda canggih di genggaman tangannya."Kau harus lebih berhati-hati, bagaimana bisa kau bertingkah bodoh seperti itu?" Ali menaikkan suaranya. Menuntut Hamdan agar memerhatikannya.Tapi sayang sepertinya Hamdan masih tak berniat meninggalkan layar ponselnya. Bahkan Mohammed kecil yang meminta perhatian darinya tak ia pedulikan. Hamdan masih asyik memangku dagunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya masih sibuk dengan ponselnya."Ah... aku ingat sekara
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Hamdan.Rebecca mengangguk. Ia menunduk dan menatap jemarinya yang memainkan pinggiran cangkir tehnya. Setelah kejadian memalukan yang berhubungan dengan parasut tadi, Rebecca benar-benar tidak punya muka untuk menghadapi Hamdan. Tapi kini ia justru berakhir di Godiva duduk berhadapan dengan Hamdan. Setelah bebas dari gulungan parasut dan mendapat tatapan aneh serta menjadi bahan tertawaan banyak orang, Hamdan memaksa Rebecca untuk ikut bersamanya. Memaksa Rebecca duduk di kursi nyaman yang berada di sudut dalam lalu memesankan chocolate pecan cake, teh dan pistachio macaron. 'Bagaimana perasaanmu?" Hamdan kembali bertanya karena Rebecca tak kunjung menjawab pertanyaannya."Baik," jawab Rebecca singkat. Menghilangkan gugup yang sedari tadi tidak juga menghilang, Rebecca menyesap tehnya."Apa kau masih bekerja?" Hamdan menelusuri penampilan Rebecca yang masih memakai chef jacket dan dasi. "Tidak, aku sudah selesai.""Lalu kenapa kau tidak pulang dan j
“Ya Hamdan, apa yang terjadi akhir-akhir ini?”Hamdan terkejut hingga tersedak teh yang ia minum. Ia terkejut setengah mati saat mendapati ibunya tiba-tiba berdiri di ambang pintu penghubung teras belakang dengan kolam renang indoor. Meletakkan cangkir tehnya, Hamdan bangkit dari duduknya dan menyambut ibunya dengan sebuah pelukan hangat.“Ibu, apa yang membawamu kesini?” Hamdan mengecup punggung tangan ibunya. “Apa seorang ibu dilarang untuk mengunjugi puteranya?” mata indah milik Sheikha Hind berkedip lucu. Hamdan tertawa membalas pertanyaan ibunya, “aku juga merindukanmu ibu.” Hamdan kembali memeluk ibunya lalu membimbing beliau untuk duduk di sofa tempatnya menghabiskan sore di halaman belakang House of Falasi—tempat tinggal Hamdan.“Siapa yang mengantar ibu kemari?” tanya Hamdan, jemarinya menggenggam tangan ibunya erat.“Adikmu Ahmed yang mengantar ibu kesini, tapi langsung pergi.”“Apa ibu sudah makan?”“Dan... berhenti mengalihkan pembicaraan, jawab dulu pertanyaan ibu tenta
Langit sudah mulai gelap meski semburat jingga masih nampak. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir keemasan. Beberapa orang terlihat mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil yang khusus mereka gunakan untuk mengangkut barang. Beberapa lagi memasang tenda yang seminggu ini akan menjadi tempat mereka berteduh. Awalnya Rebecca berpikir jika yang ikut rombongan ini hanya anggota tim dan beberapa helper saja. Tapi kehadiran putera mahkota sepertinya membuat segalanya berubah. Berubah menjadi lebih “luar biasa” tentu saja.Rebecca bahkan dibuat mendelik tak percaya saat Sylvenia memberi tahunya jika Hamdan membawa serta pengawal dan juga tim fotografernya. Dan semua rasa ketidakpercayaan Rebecca terjawab sudah saat ia melihat gerombolan laki-laki memenuhi pesawat. Pantas saja Hamdan menyewa pesawat khusus. “Rebecca, kemarilah... ini tenda kita berdua.” Teriakan Sylvenia berhasil membuat Rebecca tersadar dari lamunannya. Segera ia berjalan menghampiri Sylvenia yang tengah ber
"Jadi namanya Dirk Vanderzee?" Hamdan menatap Rebecca tertarik. Beberapa saat lalu Rebecca bercerita tentang ayahnya yang meninggalkan ibunya di saat ia masih berusia 3 tahun. Tidak banyak yang Rebecca ceritakan, hanya sedikit tentang ayahnya dan banyak sekali tentang tempat tinggalnya di Indonesia serta ibunya yang memiliki usaha makanan tradisional. Mungkin lain kali jika ada kesempatan Hamdan ingin mencobanya."Ya, hanya itu yang ibu bagi tentang ayah. Hanya sebuah nama yang ia letakkan di nama belakangku, " Rebecca mengangguk lalu tersenyum saat ia sadar jika baru pertama kali ini ia membagi kisah hidupnya pada orang asing."Vanderzee, artinya dari laut," ujar Hamdan lirih. "Apa?" Rebecca menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Hamdan."Namamu, Vanderzee memiliki arti dari laut.""Ba-bagaimana kau tahu?" Rebecca terlihat antusias.Hamdan terkekeh, "itu bahasa Belanda Rebecca...," ujar Hamdan. Samar ia tersenyum saat Rebecca terlihat begitu polos dan lucu secara bersamaan. Rebecca
Dalam diam Hamdan menatap ke luar jendela mobil. Saat ini ia tengah dalam perjalanan pulang ke House of Falasi, kediamannya. Sekeluarnya dari kediaman ayahnya, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya. Hanya masuk ke dalam mobil tanpa memberi perintah pada supirnya. Dan Mr. Raj pun tidak banyak bertanya. Melihat wajah tegang dan lelah milik tuannya ia langsung saja menjalankan mobil ke House of Falasi yang berada di wilayah private berdekatan dengan Burj Khalifa. Mata Hamdan menerawang menatap gemerlap lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang berderet di kawasan Sheikh Zayeed Road. Sekelebat ingatan masa lalu terefleksi di kepalanya, kemudian tanpa diminta semua kenangan bersama ayahnya bermunculan dan mengalir seperti air. Mulai dari kenangan tentang sepeda pertamanya, latihan berkuda pertamanya, Hamdan yang hampir tenggelam saat belajar berenang hingga sebuah pelukan hangat yang ayahnya berikan saat tahun kemarin Hamdan menjuarai Windsor eundurance race di Inggris.
Rebecca menunduk, menghindari ibunya yang menatap marah dari layar laptop yang sedang membuka aplikasi skype. Sudah hampir lima belas menit dan ibunya tidak mengatakan apapun kecuali menatap Rebecca dingin dan penuh amarah."Ma... Becca," akhirnya Rebecca mengalah, ia membuka suara dan menatap ibunya."Apa? Mau tidur karena besok kerja masuk pagi?" sahut ibunya sengit.Rebecca menggeleng lalu menunduk lagi. Tidak biasanya ibunya menatapnya seperti itu, hal ini membuat Rebecca ingin menangis. Dulu ibunya seperti ini saat ia masih SMP, waktu itu Rebecca menanyakan tentang ayahnya. Dan yang ia dapatkan hanya kemarahan ibunya yang menatapnya dingin dan langsung pergi tanpa memberikan penjelasan.Sekarang ibunya melakukannya lagi. Rebecca meremas jemarinya yang gemetar. Dalam hati ia tahu jika kemarahan ibunya kali ini ada kaitannya dengan Adrian."Kamu berhutang penjelasan pada mama, apa yang kamu bilang ke Adrian? Kok dia bilang kalau kamu nolak perjodohan ini?" "Karena kami tidak sali
Hamdan turun dari mobilnya lalu ia mengenakan bisth-jubah hitam transparan dengan bordiran benang emas di pinggiranya-di atas thawb putih bersihnya. Hari ini ia akan menghadiri pertemuan kenegaraan untuk membahas perjanjian bilateral dengan Afghanistan serta rapat bulanan untuk membahas tentang sejauh mana kesiapan Dubai sebagai tuan rumah untuk world expo tahun 2020 nanti.Lingkar matanya mengitam karena lelah. Sudah beberapa hari ini ia tidak dapat tidur dengan benar. Bukan karena pekerjaannya, hanya saja perang batin yang ia alami beberapa hari ini begitu menguras pikirannya. Hamdan duduk di kursinya, sepertinya ia datang paling awal. Tidak berapa lama kemudian lima orang berjubah sama seperti miliknya memasuki ruangan, dari sudut matanya Hamdan dapat melihat ayahnya sebagai orang paling akhir yang masuk ke dalam ruangan. Jika biasanya Hamdan selalu datang bersama ayahnya, maka akibat perang dingin yang tak berkesudahan akhirnya mereka berangkat sendiri-sendiri. Hamdan berdiri lal