Rebecca menunduk, menghindari ibunya yang menatap marah dari layar laptop yang sedang membuka aplikasi skype. Sudah hampir lima belas menit dan ibunya tidak mengatakan apapun kecuali menatap Rebecca dingin dan penuh amarah.
"Ma... Becca," akhirnya Rebecca mengalah, ia membuka suara dan menatap ibunya."Apa? Mau tidur karena besok kerja masuk pagi?" sahut ibunya sengit.Rebecca menggeleng lalu menunduk lagi. Tidak biasanya ibunya menatapnya seperti itu, hal ini membuat Rebecca ingin menangis. Dulu ibunya seperti ini saat ia masih SMP, waktu itu Rebecca menanyakan tentang ayahnya. Dan yang ia dapatkan hanya kemarahan ibunya yang menatapnya dingin dan langsung pergi tanpa memberikan penjelasan.Sekarang ibunya melakukannya lagi. Rebecca meremas jemarinya yang gemetar. Dalam hati ia tahu jika kemarahan ibunya kali ini ada kaitannya dengan Adrian."Kamu berhutang penjelasan pada mama, apa yang kamu bilang ke Adrian? Kok dia bilang kalau kamu nolak perjodohan ini?""Karena kami tidak saling mencintai mama, maka dari itu sebelum semuanya terlanjur lebih baik kami hentikan sekarang juga," jawab Rebecca."Apa gunanya cinta? Mama mencintainya, tapi buktinya dia meninggalkan kita. Cinta itu tidak penting Becca, yang penting itu Adrian lelaki baik-baik, dan dia bisa jagain kamu,"dengan nada putus asa ibunya menatap Rebecca penuh harap.Samar Rebecca dapat melihat kerutan di sudut mata ibunya. Oh ma, maafkan aku...."Kenapa mama selalu mengatakan itu pada Becca? Kenapa mama selalu menggunakan masa lalu mama, masa lalu kita sebagai ancaman agar Becca mau menikah dengan mas Adri?" Rebecca meninggikan nada bicaranya sebagai wujud protes pada ibunya. Oh seandainya ibunya tahu tentang apa yang Adrian janjikan pada Sherina."Kam—kamu tidak mengerti apa yang mama maksud," ujar ibunya, matanya terlihat memerah. "Mama beri kamu waktu satu bulan untuk menyelesaikan urusanmu di sana. Setelah itu pulang dan menikah dengan Adrian. Lihat dia, bahkan setelah kamu menolaknya Adrian masih mau menunggumu.""Becca tidak akan pulang ma, tidak." Rebecca menggelengkan kepalanya berkali-kali."Mama gak mau tahu. Pokoknya bulan depan kamu harus sudah pulang." Bersamaan dengan keputusan bernada final yang berasal dari ibunya, sambungan skype dimatikan.Dengan gerakan seperti robot, Rebecca mematikan laptop. Merapikan headset lalu meletakkannya di meja rias. Dengan kaki gemetar Rebecca berjalan ke tempat tidur dan duduk di sampingnya. Mengusap wajahnya gusar, Rebecca memilih untuk merebahkan tubuhnya. Tidak melakukan apa-apa hanya berbaring menatap langit-langit kamarnya sembari berpikir. Mengingat betapa keras nada bicara ibunya, Rebecca sadar jika ibunya tidak dapat dibantah. Jika Rebecca tidak pulang, maka dapat dipastikan ibunya akan menyeret Rebecca untuk pulang dengan tangannya sendiri.Satu bulan, jangka waktu yang diberikan ibunya. Satu bulan ia harus menyelesaikan semua urusannya. Lalu Rebecca harus mulai darimana? Melepaskan pekerjaan yang selama ini menjadi passion-nya di Burj Al Arab, lalu mengemasi barangnya di flat, mengirim ke Indonesia dan terakhir ia harus memesan tiket kepulangannya.Lalu bagaimana dengan project barunya bersama Hamdan Food and Nutrition Organization? Project baru yang terlanjur ia cintai. Lalu bagaimana dengan Hamdan? Apa yang harus Rebecca katakan padanya? Selama Rebecca bergabung dalam tim tersebut, lelaki itu sudah mengajarkan banyak hal padanya. Kemurahan hati, kasih sayang, keberanian, keceriaan, kerendahan hati dan masih banyak lagi.Hamdan, apa kabarnya lelaki itu? Terakhir ia bertemu dengan Hamdan saat mereka kembali dari Uzbekistan. Setelah itu Rebecca tidak bertemu lagi dengan Hamdan. Bahkan sudah dua kali pertemuan Hamdan tidak hadir.*****"Nona Rebecca, bagaimana menurutmu?"Rebecca terdiam, ia menatap lelaki bernama Ahmed yang dua jam lalu mengenalkan dirinya sebagai adik Hamdan dan mulai hari ini ia yang mengambil alih Hamdan Food and Nutrition Organization. Lelaki yang terlihat sedikit lebih gemuk dari Hamdan tersebut bersikap sangat ramah bahkan penuh canda. Penampilannya yang sedikit selengekan dengan rambut setengah panjang menjadi pembeda dengan Hamdan. Dan juga matanya, tidak sama, mata Ahmed lebih cekung dan tak seindah milik Hamdan."Rebecca, kau mendengarku?" Ahmed memanggil Rebecca, "Rebecca," panggil Ahmed lagi dan sedikit lebih keras."Ah, i—iya maaf," jawab Rebecca geragapan setelah Sylvenia menyiku lengannya."Bagaimana menurutmu jika kunjungan kedua kita nanti ke India saja?" tanya Ahmed, "kau pasti tidak mendengar pertanyaanku," tambahnya."Maaf," Rebecca tersenyum lemah. "Saya rasa tidak masalah, saya setuju.""Baiklah, kurasa hanya ini yang perlu kita bahas. Jika tidak keberatan aku ingin satu kali lagi pertemuan untuk pematangan rencana dan konsep yang kita usung. Terima kasih banyak atas kerja keras kalian." Ahmed menutup pertemuan mereka yang kali ini diadakan di Origami Dubai, rumah makan jepang yang belakangan ini menarik perhatian banyak orang.Melihat anggota tim tidak ada yang beranjak dari duduknya, Ahmed tersenyum lalu berdiri. "Tidak apa, kalian bisa pulang terlebih dulu. Aku masih ingin disini. Kalian tahu,aku butuh waktu sendiri bersama California roll," jelas Ahmed yang langsung disambut dengan tawa oleh yang lain. Begitu juga Rebecca.Satu persatu mulai meninggalkan ruangan yang khusus dipesan untuk acara meeting. Tapi Rebecca sengaja merapikan berkas-berkas dan alat tulisnya sedikit lama. Ada hal yang ingin ia tanyakan pada Ahmed."Ada yang ingin kau tanyakan Rebecca?" Ahmed membuka mulutnya karena sedari tadi ia merasa jika Rebecca sengaja berlama-lama disini. jika tidak salah lihat bahkan dua kali Rebecca mengeluarkan notebook yang sudah ia masukkan ke dalam tas.Rebecca mendongak menatap Ahmed, ragu ia bertanya "Apakah Sheikh Hamdan baik-baik saja? Kenapa anda menggantikan Sheikh Hamdan?" ujar Rebecca pelan. Setelah kalimatnya selesai, Rebecca segera menunduk. Diam-diam ia menepuk bibirnya merasa sudah sangat lancang dengan bertanya seperti itu.Ahmed tertawa, "kalau kau tanya tentang kesehatannya, maka akan kubilang kakakku baik-baik saja. Tapi entah dengan hatinya."Rebecca mengernyit, menatap Ahmed tak paham."Ada lagi yang ingin kau tanyakan?" Ahmed menaikkan sebelah alisnya."Emm, apa rencana keberangkatan kita ke India dapat terealisasi dalam bulan ini?""Itu tergantung dari izin yang kita dapat Rebecca. aku baru akan mengurus perizinan kita besok pagi, paling lambat dua minggu bisa diproses lalu pengurusan visa paling cepat satu minggu. Kenapa kau menanyakan hal ini?" jelas Ahmed panjang lebar. Laki-laki tersebut memiringkan kepalanya ke satu sisi.Sangat mirip dengan Hamdan, batin Rebecca."Tidak, hanya saja... saya akan mengundurkan diri dari tim bulan depan," jawab Rebecca. Nada bicaranya sumbang seakan tidak yakin."Kenapa mengundurkan diri? Apa karena rumor tentang kalian?" tanya Ahmed.Rebecca membelalakan matanya tak percaya. Ia tidak menyangka jika Ahmed akan membahas hal ini. Sedetik kemudian Rebecca menggeleng saat sadar jika Ahmed menunggu jawabannya."Tidak, tapi bulan depan saya harus pulang ke Indonesia," jelas Rebecca, "dan tidak akan kembali," lanjut Rebecca.Terdengar helaan napas panjang dari Ahmed. Ia menatap Rebecca menyelidik, lalu ia menghempaskan punggungnya di sandaran kursi saat tahu jika Rebecca tidak berbohong. "Begini Rebecca, aku tidak dapat memberimu izin untuk mengundurkan diri. Kurasa lebih baik kau hubungi Hamdan saja, dia lebih berhak." putus Ahmed.Rebecca membeku. Haruskah ia bertemu dengan Hamdan?*****Sudah berkali-kali Hamdan menghapus lalu mengetik lagi kata pembuka untuk sambutan yang akan ia sampaikan pada saat membuka pameran bangunan di DTM center. Hatinya gelisah, masih teringat bagaimana kemarahan ayahnya yang bahkan sampai detik ini tidak mau menemuinya. Belum lagi tekanan dari ibunya yang mengatakan jika bulan depan akan melamar Rania sekaligus mengadakan pertunangan mereka.Hamdan menutup macbook-nya keras. Kedua tangannya mengacak rambutnya kesal. Demi Allah, ia tidak bisa menjalani ini semua. Selama ini ia senang-senang saja saat menjalani tugasnya sebagai seorang putera mahkota dan anggota dewan pemerintahan. Tapi kini rasanya ia tidak bisa lagi melakukannya. Entah karena apa hatinya begitu berat dan berpengaruh pada kinerjanya.Selama ini ia melakukan apapun yang menjadi keinginnan ayahnya. Mengambil tugas putera mahkota yang seharusnya jatuh ke tangan Rasheed, kakaknya. Jika saja waktu dapat diputar ulang, pasti Hamdan akan menolak tugas ini dan sekarang ia hidup bebas seperti yang dilakukan Rasheed. Tapi saat itu ia tidak bisa menolak karena ibunya memohon padanya. Dan hal ini kembali terulang saat ibunya meminta ia menikahi Rania. Sanggupkah Hamdan menolak permintaan pemilik surganya? Tidak, ia tidak sanggup.Tapi Ahmed benar, ia harus memperjuangkan cintanya. Meski ia belum bisa menyimpulkan rasa tertariknya pada Rebecca akan berakhir menjadi cinta, paling tidak ia butuh waktu untuk menelaah perasaannya.Hamdan mengembuskan napas gusar. Ia melipat kedua tangannya di meja kerjanya lalu menelungkupkan kepalanya di sana. Ponselnya berbunyi sekali, menandakan jika ada pesan. Dengan malas Hamdan meraih ponsel di sebelah kirinya. Setelah memasukkan kombinasi password ia membuka pesan yang ternyata berasal dari Ahmed.Kurasa ini saatnya kau berjuang, itupun jika kau tidak ingin menyesal seumur hidupmu. Bulan depan gadismu Rebecca akan pulang ke Indonesia. To be continued .... Karya ini sangat jauh dari kata bagus, saya sadar itu. jadi jangan sungkan untuk memberi kritik dan saran. Jangan lupa tinggalkan jejaknya ya... biar saya makin semangat nulisnya.Sungguh saya sangat berterima kasih... love banyak banyak 😘😘 RegardSashie RahmaHamdan turun dari mobilnya lalu ia mengenakan bisth-jubah hitam transparan dengan bordiran benang emas di pinggiranya-di atas thawb putih bersihnya. Hari ini ia akan menghadiri pertemuan kenegaraan untuk membahas perjanjian bilateral dengan Afghanistan serta rapat bulanan untuk membahas tentang sejauh mana kesiapan Dubai sebagai tuan rumah untuk world expo tahun 2020 nanti.Lingkar matanya mengitam karena lelah. Sudah beberapa hari ini ia tidak dapat tidur dengan benar. Bukan karena pekerjaannya, hanya saja perang batin yang ia alami beberapa hari ini begitu menguras pikirannya. Hamdan duduk di kursinya, sepertinya ia datang paling awal. Tidak berapa lama kemudian lima orang berjubah sama seperti miliknya memasuki ruangan, dari sudut matanya Hamdan dapat melihat ayahnya sebagai orang paling akhir yang masuk ke dalam ruangan. Jika biasanya Hamdan selalu datang bersama ayahnya, maka akibat perang dingin yang tak berkesudahan akhirnya mereka berangkat sendiri-sendiri. Hamdan berdiri lal
Semua sudah dibicarakan secara detail hingga diputuskan mereka akan berangkat pada sore hari. Istirahat sebentar dan memulai persiapan untuk keesokan paginya. Desa yang dipilih adalah Banda, sebuah daerah miskin di Uttar Pradesh, India. Banda sendiri adalah desa miskin yang hampir sebagian penduduknya bergantung pada pertanian. Tapi karena daerahnya yang kering, mereka hanya bisa bercocok tanam sekali setahun. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki ketahanan pangan yang cukup.Setiap anggota sudah mengetahui tugas apa saja yang harus mereka kerjakan. Ahmed yang akan langsung memimpin di sana. Diam-diam Rebecca menatap Hamdan di depannya. Lelaki dalam balutan thawb kuning mustard itu terlihat sedikit lebih misterius dari biasanya. Tadi Hamdan mengatakan jika ia hanya mampir untuk makan siang, kedatangannya tidak ada hubungannya dengan Hamdan Food and Nutrition Organization. Rebecca berpikir jika inilah saat terakhir ia bisa bertemu dengan Hamdan. Memikirkan hal tersebut tiba-tiba i
Rebecca menyandarkan punggungnya di kursi pesawat. Termenung sejenak, mata indah gadis itu terpejam. Menghela napas lalu mengembuskannya panjang, seolah-olah beban berat tengah mengimpit dadanya. Dalam diam Rebecca mulai menghitung peristiwa apa saja yang sudah ia alami. Peristiwa demi peristiwa yang tidak pernah sekalipun muncul di dalam bayangannya, bahkan dalam imajinasi terliarnya sekalipun. Mulai dari larinya ia ke Dubai, kota ajaib yang mulai dilirik dunia. Lalu pekerjaan impian di salah satu hotel terbaik di dunia. Hingga sebuah pertemuan tak sengajanya dengan sang putera mahkota kaya penguasa Dubai. Proyek memberi makan dunia, pergi ke Uzbekistan dan sekarang ia duduk nyaman di pesawat kelas satu dalam perjalanan pulang dari India ke Dubai.Tidak ada yang istimewa di India. Tidak ada yang menarik hatinya. Seminggu penuh yang Rebecca lakukan hanyalah berputar-putar pada rutinitas kegiatan amal. Bahkan ia tak menghiraukan Ahmed dan Sylvenia yang mengajaknya menghabiskan hari te
Rebecca menyusuri ruangan terbuka di Omnia Blue. Berbagai macam tanaman rambat menghiasi pilar-pilar di sisi kiri sedangkan di sebelah kanan dindingnya penuh dengan hiasan kaligrafi berwarna biru dan ungu. Siang ini sepulang dari Burj Al Arab, Rebecca ingin mengunjungi Sylvenia. Mengucapkan perpisahan mungkin? Mengingat hal tersebut membuat hati Rebecca berdenyut nyeri. Setelah kemarin ia mengajukan pengunduran diri ke hotel, hari ini pengunduran dirinya sudah diterima. Mungkin tiga hari lagi administrsi dan haknya selama bekerja akan diselesaikan. Kepulangannya ke Indonesia sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari saja. Semalam Adrian menghubunginya, lelaki tersebut menanyakan kapan Rebecca pulang agar ia bisa menjemputnya. Rebecca tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Adrian. Semenjak ibunya memaksa Rebecca untuk pulang, Adrian semakin sering menghubunginya. Rebecca menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pintu kokoh bernuansa emas di depannya. Ini adalah
Rebecca tenggelam dalam antrian panjang untuk check-in pada penerbangan kelas ekonomi yang akan membawanya pulang ke Indonesia. Hanya membawa ransel yang berisikan Mac, dompet, ponsel dan bantal leher tidak ketinggalan. Sedikit barang yang ia bawa karena sebelumnya semua barangnya sudah ia paketkan ke Indonesia. Setelah hampir lima belas menit, akhirnya tiba giliran Rebecca. Seorang petugas perempuan menatapnya malas dari balik komputer. "Name," tanya petugas perempuan tersebut malas."Rebecca, Rebecca Vanderzee," jawab Rebecca."Miss Rebecca Vander... zee?" petugas perempuan tersebut menyebut nama Rebecca dengan nada datar. Petugas tersebut mengetikkan nama Rebecca di komputer, tapi nama Rebecca tidak ada di daftar penumpang. Lagi, ia mengetikkan nama Rebecca dan hasilnya sama. Rebecca tidak terdaftar dalam daftar penumpang untuk penerbangan nomor GA407 kali ini."Maaf Miss, anda tidak terdaftar. Silahkan tinggalkan antrian dan memesan tiket di sana," ujar petugas tersebut seraya me
Hamdan terbangun dari tidurnya saat ia mendengar suara gaduh dari luar. Merentangkan tangannya yang kaku, Hamdan beranjak dari tempat tidur. Masih dengan wajah mengantuknya dan nyawanya yang belum terkumpul, terseok Hamdan berjalan melewati pintu penghubung dan melewati serangkaian sofa serta meja kerja."Ah!" Hamdan memekik kesakitan karena kakinya terantuk kaki meja. Dalam hati ia memaki siapapun yang mengganggu tidurnya. Dengan kasar Hamdan membuka pintu kamarnya. Ia terpaku sesaat, lalu tertawa tanpa suara saat mendapati saudara perempuannya berkumpul di depan pintu kamarnya. "Dan...," pekik girang seorang gadis yang langsung menghambur memeluk Hamdan."Oh, Shammah, Hamdan balas memeluk adik perempuannya yang tahun ini menginjak usia 17 tahun. Dari balik punggung Shammah, Hamdan dapat melihat Maryam dan Latifa yang menekuk wajahnya."Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Hamdan saat Shammah melepaskan pelukannya.Maryam berdecak lalu berjalan menjauh dari Hamdan dan memilih duduk
"Sheikh, sepeda anda sudah kami siapkan," jelas Hasan saat Hamdan keluar dari mobilnya. Setelah memastikan helmnya terpasang dengan benar, Hamdan bergabung dengan yang lain.Hari ini ia meghadiri Dubai car free day, bersama dengan beberapa orang dari pemerintahan, Hamdan ikut serta dalam acara ini. Dengan kaus seragam warna hijau muda Hamdan membaur dengan rakyatnya. Beberapa orang menyapa Hamdan dan menyentuhkan hidungnya pada hidung Hamdan. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saja Hamdan membalas salam dan menjawab pertanyaan yang dianggap penting.Ia hanya diam, terlihat tidak berminat. Sangat bukan Hamdan. Bahkan ia tak peduli dengan beberapa media yang berusaha mengabadikannya. Hamdan tersenyum sekedarnya ketika ada yang meminta berfoto dengannya. Hamdan mulai mengayuh sepeda menyusuri jalan utama di wilayah Burj Khalifa sebagai starter. Ratusan orang mengikuti Hamdan di belakangnya. Di sebelah kiri Hamdan ada Ali Al Harbi dan di sebelah kanannya ada Saif, asisten Hamdan."Kau
"Buka pintunya Becca!" gedoran kasar dan teriakan dari ibunya membuat Rebecca tersentak dari lamunannya. "Buka Rebecca!" teriakan ibunya kembali terdengar.Rebecca segera bangkit dari posisi duduknya yang bergelung malas di atas sofa. Setelah memastikan wajahnya tidak mengerikan akibat menangis, ia membuka pintu kamarnya. "Ada apa...." Rebecca kehilangan kata-katanya saat mendapati ibunya berdiri kaku di depan pintu dengan raut wajah yang sulit dibaca."Apa yang sudah kamu lakukan selama ini?" tanya Kirani. Melihat Rebecca secara langsung setelah apa yang ia dengar dari Adrian sungguh mampu membuatnya tak dapat mengontrol amarahnya. Ia kecewa pada puteri tunggalnya."A—apa maksud mama?" Rebecca tergagap saat melihat mata ibunya memerah. Ia sudah mengikuti kemauan ibunya utnuk pulang, lalu apa yang menyebabkan kemarahan ibunya kali ini."Jangan pura-pura tidak tahu!" hardik Kirani. "Setahu mama, mama tidak pernah mengajarimu seperti itu. Kenapa kamu menghianati Adrian?" lanjut Kirani
"Kau mau membaca habibti?" tanya Hamdan. Tangannya membolak-balik lipatan surat kabar mencari headline yang menarik hatinya. Hal itu tak lepas dari pengamatan Rebecca. Namun Rebecca tertegun saat salah satu surat kabar berbahasa inggris yang biasa menjadi langganan Rebecca dan warga asing lainnya justru menampakkan gambar dirinya dengan headline bertinta merah yang dicetak besar-besar. Begitu juga dengan Hamdan. Ia sempat tertegun beberapa saat. Namun ketika tersadar ia segera menutupi tajuk 'Is She Worth It' tersebut dengan harian Dubai yang menyajikan berita Global Economic Syariah yang akan diselenggarakan di Italy bulan depan.Mata cokelat kelamnya mencari mata Rebecca. Hamdan merasakan dadanya berdenyut nyeri saat ia dapat melihat luka di mata Rebecca. "Rebecca... habibti," panggil Hamdan. "Hei, jangan fikirkan itu. Bukankah aku sudah mengatakan padamu jangan memedulikan anggapan orang lain. Jangan dengar apapun jika itu dari orang lain. Lihat aku dan hanya dengar kata-kataku,"
Kenapa aku baru melihatnya sekarang?" "Melihat apa?" Hamdan menjawab pertanyaan Rebecca dengan sebuah pertanyaan. Tangan kanannya terus menggenggam erat jemari halus Rebecca dan mengayunkannya ke depan-belakang. "Frosty," jawab Rebecca singkat. Kedua mata lebarnya berbinar, nampak sekali jika ia sedang antusias. "Oh itu," gumam Hamdan seolah tak peduli. Membuat Rebecca mencebikkan bibirnya. Sinar bahagia di matanya kini berganti dengan sebuah kekesalan yang tidak ditutup-tutupi."Dan...." Rebecca merengek lalu berusaha melepaskan genggaman tangan Hamdan.Hamdan tersenyum. Ia berhasil membuat Rebecca kesal dan juga merengek meminta perhatian. Selama ini Rebecca tak pernah sekalipun merengek manja meminta perhatian. Tapi kalau merengek karena, emm... sentuhan Hamdan, rasanya jemari di kedua tangannya sudah tak dapat lagi menghitung berapa jumlahnya."Frosty baru saja dikirim kesini pagi tadi. Dua bulan lalu ia kutitipkan di rumah bibi Fatima untuk dikawinkan. Dan setelah berhasil, pa
Mereka berdiri di pijakan batu di english garden yang baru beberapa hari ini ditata ulang karena permintaan Rebecca yang menginginkan Agapanthus warna biru ditambahkan disana. Tinggal beberapa meter saja mereka sampai di kamar, tapi keduanya terpatri dan berdiri membeku seakan-akan ada gaya gravitasi yang membuat mereka tak dapat menggerakkan tubuhnya."Aku bahagia melihat senyummu, tapi aku tersanjung saat melihatmu tertawa karena aku," ujar Hamdan. Suaranya serak dan dalam. Tiba-tiba saja mulut Rebecca terasa kering.Tak kuasa menatap mata Hamdan dalam waktu yang lama, Rebecca menundukkan kepalanya. Sekaligus untuk menyembunyikan pipinya yang merona. Rebecca terkesiap tatkala jemari kasar khas lelaki menyentuh pipinya. Rebecca memejamkan mata, tatkala merasakan ibu jari Hamdan mengusap sudut matanya lalu bergerak menyusuri rahang Rebecca dan berakhir di bibir bawahnya.Hamdan tertegun saat jemarinya menyentuh kelembutan Rebecca. Ia baru menyadari jika efek Rebecca begitu dahsyatnya.
Rebecca dan Shammah berjalan beriringan melewati jalan bebatuan yang membelah rerumputan hijau nan empuk di halaman depan House of Falasi, hampir pukul sepuluh malam, seharusnya mereka berdua sampai di rumah tidak lebih dari pukul sembilan.Namun sifat Shammah yang manipulatif membuat Rebecca tidak bisa menolak saat Shammah mengajaknya mampir ke Laduree menikmati secangkir teh ditemani dengan Macaroon rasa vanilla mereka yang legendaris. Sedangkan Shammah memilih Cheese Cake dan Tiramissu.Sejak keluar dari Hamdan bin Mohammed Smart University Shammah terus-terusan mengoceh dengan ceria. Sifatnya hampir berbanding terbalik dengan seluruh kakak perempuannya. Shammah lebih terlihat seperti Ahmed versi perempuan. Mungkin sewaktu kecil Shammah menjadikan Ahmed sebagai pahlawannya. Remaja itu juga tak henti-hentinya memuji Rebecca. Membuat Rebecca kehilangan kata-kata dan hanya menanggapinya dengan senyuman. Jujur ia tak tahu harus menanggapi Shammah seperti apa. Seumur hidup baru kali in
Rebecca gelisah di tempat duduknya. Mengabaikan Shammah yang sedari tadi mengoceh entah tentang apa. Hanya kuku patah dan pashmina kusut yang dapat Rebecca tangkap. Sejak meninggalkan House of Falasi, Rebecca hanya bisa meremas-remas tangannya gusar. Siang tadi Hamdan diperbolehkan pulang setelah hasil CT scan, MRI, dan beberapa tes lainnya menunjukkan jika Hamdan tidak mengalami cidera yang berbahaya. Sampai di rumah, sekretaris Hamdan, Mr. Owaisi mendatangi mereka dan menyampaikan jika malam ini Hamdan harus datang di acara penyambutan mahasiswa baru di Hamdan bin Mohammed Smart University. Melihat keadaan Hamdan saat ini, tidak memungkinkan untuknya menyampaikan sambutan. Agak disayangkan memang. Karena seperti biasanya sambutan Hamdan adalah hal yang paling ditunggu-tunggu. Selain Hamdan adalah pemilik Universitas berkualitas internasional tersebut, Hamdan juga selalu menyampaikan pesan-pesan yang selalu menjadi motivasi bagi seluruh mahasiswa. Awalnya Rebecca mengusulkan agar
"Dia memang kurang ajar, baru kemarin menikah tapi bertingkah konyol dan membuat istrinya menangis. Bukankah seharusnya ia bermesraan dengan istrinya? Kenapa dia justru kencan dengan parasut kuning menjijikkan itu?" Ahmed mencibir namun dengan nada bicara yang penuh humor. Dan berhasil. Guyonan garingnya menimbulkan senyum tipis di bibir Rebecca.Sekuat hati Rebecca menahan diri agar tidak menghambur dan memeluk Hamdan. Ada Sheikha Hind disana. Sejak mendengar pembicaraan suami dan ibu mertuanya, Rebecca menjadi lebih segan kepada Sheikha Hind. Menit demi menit Rebecca tetap bertahan dengan posisinya. Bahkan ia tidak menyingkir sedikitpun saat teman-teman Hamdan pamit untuk pulang. Yang Rebecca lakukan hanya merapal doa, memohon agar Hamdannya baik-baik saja. Ahmed pun sudah lelah karena kakak iparnya selalu menolak permintaannya agar duduk di sofa. Dalam diam mereka memerhatikan Hamdan yang masih belum sadar. Perlahan kelopak mata Hamdan bergerak-gerak. Sekian detik berikutnya Hamd
"Kau masih belum bisa disentuh, ya habibty?" bisik Hamdan tepat di telinga Rebecca. kepalanya menyusruk di ceruk leher Rebecca. Diam-diam menghirup wangi tubuh Rebecca. Hal ini membuat Hamdan teringat saat beberapa bulan lalu menghabiskan waktu bersama Rebecca di Uzbekistan. Ia juga diam-diam membaui jaketnya karena aroma Rebecca tertinggal disana. Rebecca memejamkan matanya getir. Samar ia mengangguk. Dan langsung dibalas dengan dengusan oleh Hamdan. Sesak di dada hampir saja membuat Rebecca menangis untuk kesekian kalinya.Ini masih hari kedua ia mengkonsumsi progesterone, setidaknya masih ada satu hari lagi agar hormon tersebut bekerja dengan baik. Tapi sejak ia pertama kali meminum pil itu Rebecca selalu menangis diam-diam. Namun ia selalu mengeraskan hatinya dan tetap meminumnya diam-diam tiap pagi, meski setelahnya ia tak akan keluar dari kamar mandi hanya untuk menyembunyikan tangisannya.Sekuat tenaga Hamdan menahan dirinya sejak hari pertama menikah. Rebecca mengaku sedang b
"Oh Rebecca! Demi Tuhan! Apa yang membuatmu berani menemuiku?" Sylvenia menggeram marah. "Syl...," lirih Rebecca. Sinar matanya semakin redup. Sesaat setelah ia masuk ke dalam ruangan Sylvenia, wanita berdarah Inggris tersebut langsung menyambutnya dengan dua tanduk di kepalanya. Rebecca meringis, saat ia menyadari kemarahan Sylvenia belum reda. "Apa?" hardik Sylvenia. "Kau sudah membelikan pesananku?" tanya Rebecca dengan senyumnya yang dipaksakan. Sylvenia membuka laci mejanya. Dengan alis yang bertaut Sylvenia melemparkan beberapa strip ke atas meja. "Ini yang kau inginkan? Tapi jangan harap aku akan membiarkanmu membawanya sebelum kau menjelaskan alasanmu." Suara Sylvenia naik sampai tujuh oktaf. Membuat Rebecca merasa gentar karenanya. "Cepatlah Syl... Hamdan menungguku di depan. Aku tidak ingin dia curiga," sambung Rebecca. Sekuat tenaga ia mengeraskan hatinya. Sekuat tenaga ia berusaha menjadi wanita yang tak punya hati di hadapan Sylvenia."Jadi Hamdan ada di depan? Bagu
Hamdan duduk terpekur di meja kerja. Kedua tangannya terkepal di atasnya. Tadi ia dan Ahmed datang langsung ke Burj Al Arab dan secara pribadi menemui Mr. Robin. Manager F&B yang menurut berita memiliki hubungan khusus dengan Rebecca. Mr. Robin memang terlihat sedikit janggal untuk ukuran seorang lelaki. Mr. Robin nampak klinis, lembut dan emm... gemulai. Tapi sambutan Mr. Robin sangat jauh dari bayangannya. Mr. Robin menyambutnya dengan ramah bahkan penuh hormat yang tidak dibuat-buat. Mr. Robin juga menanyakan kabar Rebecca seperti sedang menanyakan kabar puteri kesayangannya. Dari sini Hamdan dapat menyimpulkan kalau Mr. Robin memang tidak ada hubungan apapun dengan Rebecca. Seperti yang Rebecca katakan, mereka berdua hanya sebatas rekan kerja, dan ayah-anak saat di luar tempat kerja. Sampai disini Hamdan bisa bernapas lega. Kemudian Hamdan menyampaikan maksud kedatangannya. Dan kabar baiknya adalah Mr. Robin bersedia melakukan konferensi pers untuk klarifikasi. Namun sepertinya