Share

11. Dilema

Dalam diam Hamdan menatap ke luar jendela mobil. Saat ini ia tengah dalam perjalanan pulang ke House of Falasi, kediamannya. Sekeluarnya dari kediaman ayahnya, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya. Hanya masuk ke dalam mobil tanpa memberi perintah pada supirnya. Dan Mr. Raj pun tidak banyak bertanya. Melihat wajah tegang dan lelah milik tuannya ia langsung saja menjalankan mobil ke House of Falasi yang berada di wilayah private berdekatan dengan Burj Khalifa.

Mata Hamdan menerawang menatap gemerlap lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang berderet di kawasan Sheikh Zayeed Road. Sekelebat ingatan masa lalu terefleksi di kepalanya, kemudian tanpa diminta semua kenangan bersama ayahnya bermunculan dan mengalir seperti air. Mulai dari kenangan tentang sepeda pertamanya, latihan berkuda pertamanya, Hamdan yang hampir tenggelam saat belajar berenang hingga sebuah pelukan hangat yang ayahnya berikan saat tahun kemarin Hamdan menjuarai Windsor eundurance race di Inggris.

Kala itu Sheikh Mohammed memeluknya dengan raut bahagia, dengan bangga Sheikh Mohammed menyebutnya 'anakku'. Dan itu semua berbanding terbalik dengan apa yang baru saja terjadi. Sheikh Mohammed menyebutnya kurang ajar bahkan menamparnya yang mana hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Sheikh Mohammed kepada semua anaknya. Kini Hamdan menjadi yang pertama yang menerima tamparan dan kata-kata kasar dari ayahnya yang terkenal lembut serta penyayang tersebut.

"Sheikh, Sheikh...," Mr. Raj memanggil Hamdan beberapa kali, "sudah sampai," tambah Mr. Raj ketika dengan geragapan Hamdan menanggapi panggilannya.

"Ah... iya." Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Hamdan keluar dari mobil dan berjalan lurus ke dalam rumah. Terus masuk ke dalam kamar, melewati rangkaian sofa dan meja kerja Hamdan membuka pintu penghubung ke tempat tidurnya dan terus ke kamar mandi. Ia butuh air hangat dan waktu sendiri untuk berpikir.

Hampir satu jam dan Hamdan baru keluar dari kamar mandi. Setelah berganti baju dengan kaus longgar dan celana piyama, Hamdan berjalan melewati kopernya yang masih tergeletak di dekat tempat tidurnya dan lebih memilih berbaring di kasurnya yang nyaman.

Hamdan memejamkan matanya dengan tangan kiri yang ia gunakan sebagai bantal dan tangan kanan menutupi matanya. Tapi ia tak kunjung tertidur, gelisah masih menguasainya. Hingga seraut wajah pucat yang tengah tersenyum muncul di kepalanya.

Ia teringat dengan foto Rebecca yang dibelinya di lelang. Hamdan bangkit dari tidurnya dan berjalan melewati pintu kamarnya dan menuju ke meja kerjanya. Foto Rebecca masih tersimpan rapi dan dibungkus dengan kertas khusus. Perlahan Hamdan membukanya. Termenung, ia menatap refleksi Rebecca di foto tersebut.

Tidak dapat Hamdan pungkiri jika ia memang memiliki ketertarikan tersendiri pada Rebecca. Ketertarikan yang setiap hari justru semakin kuat ia rasa. Rebecca berbeda dengan beberapa wanita yang ia kenal, terkadang Rebecca begitu tertutup dan pendiam tapi di lain kesempatan ia begitu berani dan ceria. Sangat menarik. Terlebih senyumannya, lembut dan menenangkan.

Ah, Rebecca. Tidak ada apa-apa di antara kita tapi kenapa semua seolah berniat menjauhkan kita? Batin Hamdan gusar.

*****

"Astagfirullah! Ya Hamdan! Jangan bertindak gila. Aku belum menikahi Madiyah dan kau ingin membunuhku terlebih dulu?" Ahmed berteriak dengan tangan yang berpegangan erat pada sisi tempat duduknya.

Sementara itu Hamdan tertawa keras tak menggubris Ahmed yang kembali menjerit akibat ia membelokkan mobil tiba-tiba dan dengan kecepatan tinggi. Hamdan kembali tertawa saat Ahmed mendesis marah kepadanya, bahkan laki-laki yang usianya terpaut lima tahun lebih muda dari Hamdan itu berani memukul kepala Hamdan dengan keras. Tapi Hamdan  masih tidak memedulikan Ahmed, ia justru memacu mobilnya semakin cepat melewati jalanan besar menuju Sharjah.

"Astagfirulah, demi Allah. Jika kau tidak sayang aku, setidaknya pikirkan bugati mahalmu ini," jerit Ahmed.

"Baiklah-baiklah... kau ini, tidak keren. Hanya usiamu saja yang muda, tapi kau tidak berjiwa muda." Hamdan mulai mengurangi kecepatan dan mengendarai mobilnya dengan tenang. Tujuan mereka hari ini adalah ke teluk Fujairah. Menyelam dan memancing.

Tidak sampai satu jam mereka sudah memarkirkan bugati Hamdan yang terlihat mencolok di dermaga. Hamdan dan Ahmed berjalan beriringan ke tempat kapal mereka ditambatkan. Seorang pria berkulit hitam menyambut Hamdan dan Ahmed. Kemudian pria tersebut membimbing Hamdan dan Ahmed masuk ke dalam kapal yang berukuran tidak terlalu besar. Setelah semua siap mereka berlayar ke teluk Fujairah.

Hamdan sudah berganti dengan baju selam sedangkan Ahmed sudah siap dengan pancingan yang bahkan kailnya sudah ia lempar ke lautan. "Ah ya, kenapa kau mengajakku memancing?" tanya Ahmed.

"Tidak kenapa-kenapa, hanya ingin saja." Hamdan menyiapkan tabung oksigennya.

"Kau tidak sedang patah hati kan kak?" nada bicara Ahmed melunak, bahkan ia menatap Hamdan penuh perhatian.

Hamdan tertawa, "bagaimana bisa disebut dengan patah hati jika kenyataannya aku belum memulai apa-apa?" nada bicaranya terdengar ringan tanpa beban.

"Hmm, jadi itu benar." Ahmed mengangguk-angguk. "Kenapa kau mencintai gadis itu?" tanya Ahmed ingin tahu.

"Siapa yang bilang aku mencintainya? Aku hanya tertarik padanya," jawab Hamdan.

"Itu sama saja kak, semua berawal dari rasa tertarik, lalu suka, lalu tak bisa jika tanpanya, lalu rasa rindu muncul dan detik itu juga kau akan mendapat satu kesimpulan, kau mencintainya," kata Ahmed panjang lebar. "Percaya padaku, setidaknya pengalamanku lebih bisa dibanggakan dari pada pengalaman cintamu," tambah Ahmed.

"Apa yang bisa dibanggakan?" Hamdan mencibir, "kau dijodohkan dengan Madiyah sejak kalian umur 7 tahun," lanjut Hamdan.

Ahmed tertawa membenarkan, "kak kalau kau memang mencintai gadis itu, maka perjuangkan," ujar Ahmed mantap.

"Namanya Rebecca. Ibu tidak menyukainya, ayah memintaku menjauhinya lalu media menghakiminya sebagai wanita penggoda. Untung saja Rebecca tidak menguasai bahasa kita sehingga ia tidak mengerti."

"Hmm, namanya Rebecca, lalu...," Ahmed menganggukan kepalanya dan meminta Hamdan melanjutkan penjelasannya. Tapi konsentrasinya mulai terpusat pada kail pancingnya. Merasakan ada tarikan kuat Ahmed segera menarik pancingnya cepat.

"Untuk beberapa waktu ini aku ingin menjauhinya, aku akan mengikuti keinginan ayah. Jadi aku akan menyerahkan tanggung jawab Hamdan Food and Nutrition Organization padamu." Bersamaan dengan berakhirnya penjelasan Hamdan, terdengar bunyi sesuatu tercebur. Sontak Hamdan menatap ke samping kirinya. Ahmed tidak berada di posisinya berdiri tadi. Hanya ada pancing dan jaring ikan.

Sontak Hamdan melongokkan kepalanya menatap ke bawah. Hamdan tertawa saat ia melihat Ahmed timbul tenggelam berenang melawan arus laut sembari melambaikan tangannya meminta tolong agar Hamdan membantunya kembali ke kapal.

Dengan bantuan Fadel, Hamdan berhasil menarik Ahmed mendekat ke kapal agar dapat memanjat dari sisi kapal. Hamdan mengulurkan tangannya saat Ahmed sudah sampai di tangga teratas. Tidak sampai disitu saja, Ahmed yang sudah berhasil berada di atas kapal harus terjungkal karena terpeleset akibat kakinya yang basah.

"Demi Allah! Bersumpahlah kau tidak akan menyebarkan kejadian ini," cerocos Ahmed yang meminta agar Hamdan tidak memberitahu siapapun tentang Ahmed yang tercebur ke dalam laut gara-gara memancing. Dengan napas tersengal, tanpa sungkan Ahmed melepaskan kaus hitam lengan panjangnya.

"Aku tidak bisa janji. Ini terlalu menyenangkan untuk dilupakan." Hamdan menatap Ahmed menggoda lalu terbahak saat Ahmed menatapnya tajam.

*****

To be continued.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status