Dalam diam Hamdan menatap ke luar jendela mobil. Saat ini ia tengah dalam perjalanan pulang ke House of Falasi, kediamannya. Sekeluarnya dari kediaman ayahnya, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya. Hanya masuk ke dalam mobil tanpa memberi perintah pada supirnya. Dan Mr. Raj pun tidak banyak bertanya. Melihat wajah tegang dan lelah milik tuannya ia langsung saja menjalankan mobil ke House of Falasi yang berada di wilayah private berdekatan dengan Burj Khalifa.
Mata Hamdan menerawang menatap gemerlap lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang berderet di kawasan Sheikh Zayeed Road. Sekelebat ingatan masa lalu terefleksi di kepalanya, kemudian tanpa diminta semua kenangan bersama ayahnya bermunculan dan mengalir seperti air. Mulai dari kenangan tentang sepeda pertamanya, latihan berkuda pertamanya, Hamdan yang hampir tenggelam saat belajar berenang hingga sebuah pelukan hangat yang ayahnya berikan saat tahun kemarin Hamdan menjuarai Windsor eundurance race di Inggris.Kala itu Sheikh Mohammed memeluknya dengan raut bahagia, dengan bangga Sheikh Mohammed menyebutnya 'anakku'. Dan itu semua berbanding terbalik dengan apa yang baru saja terjadi. Sheikh Mohammed menyebutnya kurang ajar bahkan menamparnya yang mana hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Sheikh Mohammed kepada semua anaknya. Kini Hamdan menjadi yang pertama yang menerima tamparan dan kata-kata kasar dari ayahnya yang terkenal lembut serta penyayang tersebut."Sheikh, Sheikh...," Mr. Raj memanggil Hamdan beberapa kali, "sudah sampai," tambah Mr. Raj ketika dengan geragapan Hamdan menanggapi panggilannya."Ah... iya." Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Hamdan keluar dari mobil dan berjalan lurus ke dalam rumah. Terus masuk ke dalam kamar, melewati rangkaian sofa dan meja kerja Hamdan membuka pintu penghubung ke tempat tidurnya dan terus ke kamar mandi. Ia butuh air hangat dan waktu sendiri untuk berpikir.Hampir satu jam dan Hamdan baru keluar dari kamar mandi. Setelah berganti baju dengan kaus longgar dan celana piyama, Hamdan berjalan melewati kopernya yang masih tergeletak di dekat tempat tidurnya dan lebih memilih berbaring di kasurnya yang nyaman.Hamdan memejamkan matanya dengan tangan kiri yang ia gunakan sebagai bantal dan tangan kanan menutupi matanya. Tapi ia tak kunjung tertidur, gelisah masih menguasainya. Hingga seraut wajah pucat yang tengah tersenyum muncul di kepalanya.Ia teringat dengan foto Rebecca yang dibelinya di lelang. Hamdan bangkit dari tidurnya dan berjalan melewati pintu kamarnya dan menuju ke meja kerjanya. Foto Rebecca masih tersimpan rapi dan dibungkus dengan kertas khusus. Perlahan Hamdan membukanya. Termenung, ia menatap refleksi Rebecca di foto tersebut.Tidak dapat Hamdan pungkiri jika ia memang memiliki ketertarikan tersendiri pada Rebecca. Ketertarikan yang setiap hari justru semakin kuat ia rasa. Rebecca berbeda dengan beberapa wanita yang ia kenal, terkadang Rebecca begitu tertutup dan pendiam tapi di lain kesempatan ia begitu berani dan ceria. Sangat menarik. Terlebih senyumannya, lembut dan menenangkan.Ah, Rebecca. Tidak ada apa-apa di antara kita tapi kenapa semua seolah berniat menjauhkan kita? Batin Hamdan gusar.*****"Astagfirullah! Ya Hamdan! Jangan bertindak gila. Aku belum menikahi Madiyah dan kau ingin membunuhku terlebih dulu?" Ahmed berteriak dengan tangan yang berpegangan erat pada sisi tempat duduknya.Sementara itu Hamdan tertawa keras tak menggubris Ahmed yang kembali menjerit akibat ia membelokkan mobil tiba-tiba dan dengan kecepatan tinggi. Hamdan kembali tertawa saat Ahmed mendesis marah kepadanya, bahkan laki-laki yang usianya terpaut lima tahun lebih muda dari Hamdan itu berani memukul kepala Hamdan dengan keras. Tapi Hamdan masih tidak memedulikan Ahmed, ia justru memacu mobilnya semakin cepat melewati jalanan besar menuju Sharjah."Astagfirulah, demi Allah. Jika kau tidak sayang aku, setidaknya pikirkan bugati mahalmu ini," jerit Ahmed."Baiklah-baiklah... kau ini, tidak keren. Hanya usiamu saja yang muda, tapi kau tidak berjiwa muda." Hamdan mulai mengurangi kecepatan dan mengendarai mobilnya dengan tenang. Tujuan mereka hari ini adalah ke teluk Fujairah. Menyelam dan memancing.Tidak sampai satu jam mereka sudah memarkirkan bugati Hamdan yang terlihat mencolok di dermaga. Hamdan dan Ahmed berjalan beriringan ke tempat kapal mereka ditambatkan. Seorang pria berkulit hitam menyambut Hamdan dan Ahmed. Kemudian pria tersebut membimbing Hamdan dan Ahmed masuk ke dalam kapal yang berukuran tidak terlalu besar. Setelah semua siap mereka berlayar ke teluk Fujairah.Hamdan sudah berganti dengan baju selam sedangkan Ahmed sudah siap dengan pancingan yang bahkan kailnya sudah ia lempar ke lautan. "Ah ya, kenapa kau mengajakku memancing?" tanya Ahmed."Tidak kenapa-kenapa, hanya ingin saja." Hamdan menyiapkan tabung oksigennya."Kau tidak sedang patah hati kan kak?" nada bicara Ahmed melunak, bahkan ia menatap Hamdan penuh perhatian.Hamdan tertawa, "bagaimana bisa disebut dengan patah hati jika kenyataannya aku belum memulai apa-apa?" nada bicaranya terdengar ringan tanpa beban."Hmm, jadi itu benar." Ahmed mengangguk-angguk. "Kenapa kau mencintai gadis itu?" tanya Ahmed ingin tahu."Siapa yang bilang aku mencintainya? Aku hanya tertarik padanya," jawab Hamdan."Itu sama saja kak, semua berawal dari rasa tertarik, lalu suka, lalu tak bisa jika tanpanya, lalu rasa rindu muncul dan detik itu juga kau akan mendapat satu kesimpulan, kau mencintainya," kata Ahmed panjang lebar. "Percaya padaku, setidaknya pengalamanku lebih bisa dibanggakan dari pada pengalaman cintamu," tambah Ahmed."Apa yang bisa dibanggakan?" Hamdan mencibir, "kau dijodohkan dengan Madiyah sejak kalian umur 7 tahun," lanjut Hamdan.Ahmed tertawa membenarkan, "kak kalau kau memang mencintai gadis itu, maka perjuangkan," ujar Ahmed mantap."Namanya Rebecca. Ibu tidak menyukainya, ayah memintaku menjauhinya lalu media menghakiminya sebagai wanita penggoda. Untung saja Rebecca tidak menguasai bahasa kita sehingga ia tidak mengerti.""Hmm, namanya Rebecca, lalu...," Ahmed menganggukan kepalanya dan meminta Hamdan melanjutkan penjelasannya. Tapi konsentrasinya mulai terpusat pada kail pancingnya. Merasakan ada tarikan kuat Ahmed segera menarik pancingnya cepat."Untuk beberapa waktu ini aku ingin menjauhinya, aku akan mengikuti keinginan ayah. Jadi aku akan menyerahkan tanggung jawab Hamdan Food and Nutrition Organization padamu." Bersamaan dengan berakhirnya penjelasan Hamdan, terdengar bunyi sesuatu tercebur. Sontak Hamdan menatap ke samping kirinya. Ahmed tidak berada di posisinya berdiri tadi. Hanya ada pancing dan jaring ikan.Sontak Hamdan melongokkan kepalanya menatap ke bawah. Hamdan tertawa saat ia melihat Ahmed timbul tenggelam berenang melawan arus laut sembari melambaikan tangannya meminta tolong agar Hamdan membantunya kembali ke kapal.Dengan bantuan Fadel, Hamdan berhasil menarik Ahmed mendekat ke kapal agar dapat memanjat dari sisi kapal. Hamdan mengulurkan tangannya saat Ahmed sudah sampai di tangga teratas. Tidak sampai disitu saja, Ahmed yang sudah berhasil berada di atas kapal harus terjungkal karena terpeleset akibat kakinya yang basah."Demi Allah! Bersumpahlah kau tidak akan menyebarkan kejadian ini," cerocos Ahmed yang meminta agar Hamdan tidak memberitahu siapapun tentang Ahmed yang tercebur ke dalam laut gara-gara memancing. Dengan napas tersengal, tanpa sungkan Ahmed melepaskan kaus hitam lengan panjangnya."Aku tidak bisa janji. Ini terlalu menyenangkan untuk dilupakan." Hamdan menatap Ahmed menggoda lalu terbahak saat Ahmed menatapnya tajam.*****To be continued.....Rebecca menunduk, menghindari ibunya yang menatap marah dari layar laptop yang sedang membuka aplikasi skype. Sudah hampir lima belas menit dan ibunya tidak mengatakan apapun kecuali menatap Rebecca dingin dan penuh amarah."Ma... Becca," akhirnya Rebecca mengalah, ia membuka suara dan menatap ibunya."Apa? Mau tidur karena besok kerja masuk pagi?" sahut ibunya sengit.Rebecca menggeleng lalu menunduk lagi. Tidak biasanya ibunya menatapnya seperti itu, hal ini membuat Rebecca ingin menangis. Dulu ibunya seperti ini saat ia masih SMP, waktu itu Rebecca menanyakan tentang ayahnya. Dan yang ia dapatkan hanya kemarahan ibunya yang menatapnya dingin dan langsung pergi tanpa memberikan penjelasan.Sekarang ibunya melakukannya lagi. Rebecca meremas jemarinya yang gemetar. Dalam hati ia tahu jika kemarahan ibunya kali ini ada kaitannya dengan Adrian."Kamu berhutang penjelasan pada mama, apa yang kamu bilang ke Adrian? Kok dia bilang kalau kamu nolak perjodohan ini?" "Karena kami tidak sali
Hamdan turun dari mobilnya lalu ia mengenakan bisth-jubah hitam transparan dengan bordiran benang emas di pinggiranya-di atas thawb putih bersihnya. Hari ini ia akan menghadiri pertemuan kenegaraan untuk membahas perjanjian bilateral dengan Afghanistan serta rapat bulanan untuk membahas tentang sejauh mana kesiapan Dubai sebagai tuan rumah untuk world expo tahun 2020 nanti.Lingkar matanya mengitam karena lelah. Sudah beberapa hari ini ia tidak dapat tidur dengan benar. Bukan karena pekerjaannya, hanya saja perang batin yang ia alami beberapa hari ini begitu menguras pikirannya. Hamdan duduk di kursinya, sepertinya ia datang paling awal. Tidak berapa lama kemudian lima orang berjubah sama seperti miliknya memasuki ruangan, dari sudut matanya Hamdan dapat melihat ayahnya sebagai orang paling akhir yang masuk ke dalam ruangan. Jika biasanya Hamdan selalu datang bersama ayahnya, maka akibat perang dingin yang tak berkesudahan akhirnya mereka berangkat sendiri-sendiri. Hamdan berdiri lal
Semua sudah dibicarakan secara detail hingga diputuskan mereka akan berangkat pada sore hari. Istirahat sebentar dan memulai persiapan untuk keesokan paginya. Desa yang dipilih adalah Banda, sebuah daerah miskin di Uttar Pradesh, India. Banda sendiri adalah desa miskin yang hampir sebagian penduduknya bergantung pada pertanian. Tapi karena daerahnya yang kering, mereka hanya bisa bercocok tanam sekali setahun. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki ketahanan pangan yang cukup.Setiap anggota sudah mengetahui tugas apa saja yang harus mereka kerjakan. Ahmed yang akan langsung memimpin di sana. Diam-diam Rebecca menatap Hamdan di depannya. Lelaki dalam balutan thawb kuning mustard itu terlihat sedikit lebih misterius dari biasanya. Tadi Hamdan mengatakan jika ia hanya mampir untuk makan siang, kedatangannya tidak ada hubungannya dengan Hamdan Food and Nutrition Organization. Rebecca berpikir jika inilah saat terakhir ia bisa bertemu dengan Hamdan. Memikirkan hal tersebut tiba-tiba i
Rebecca menyandarkan punggungnya di kursi pesawat. Termenung sejenak, mata indah gadis itu terpejam. Menghela napas lalu mengembuskannya panjang, seolah-olah beban berat tengah mengimpit dadanya. Dalam diam Rebecca mulai menghitung peristiwa apa saja yang sudah ia alami. Peristiwa demi peristiwa yang tidak pernah sekalipun muncul di dalam bayangannya, bahkan dalam imajinasi terliarnya sekalipun. Mulai dari larinya ia ke Dubai, kota ajaib yang mulai dilirik dunia. Lalu pekerjaan impian di salah satu hotel terbaik di dunia. Hingga sebuah pertemuan tak sengajanya dengan sang putera mahkota kaya penguasa Dubai. Proyek memberi makan dunia, pergi ke Uzbekistan dan sekarang ia duduk nyaman di pesawat kelas satu dalam perjalanan pulang dari India ke Dubai.Tidak ada yang istimewa di India. Tidak ada yang menarik hatinya. Seminggu penuh yang Rebecca lakukan hanyalah berputar-putar pada rutinitas kegiatan amal. Bahkan ia tak menghiraukan Ahmed dan Sylvenia yang mengajaknya menghabiskan hari te
Rebecca menyusuri ruangan terbuka di Omnia Blue. Berbagai macam tanaman rambat menghiasi pilar-pilar di sisi kiri sedangkan di sebelah kanan dindingnya penuh dengan hiasan kaligrafi berwarna biru dan ungu. Siang ini sepulang dari Burj Al Arab, Rebecca ingin mengunjungi Sylvenia. Mengucapkan perpisahan mungkin? Mengingat hal tersebut membuat hati Rebecca berdenyut nyeri. Setelah kemarin ia mengajukan pengunduran diri ke hotel, hari ini pengunduran dirinya sudah diterima. Mungkin tiga hari lagi administrsi dan haknya selama bekerja akan diselesaikan. Kepulangannya ke Indonesia sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari saja. Semalam Adrian menghubunginya, lelaki tersebut menanyakan kapan Rebecca pulang agar ia bisa menjemputnya. Rebecca tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Adrian. Semenjak ibunya memaksa Rebecca untuk pulang, Adrian semakin sering menghubunginya. Rebecca menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pintu kokoh bernuansa emas di depannya. Ini adalah
Rebecca tenggelam dalam antrian panjang untuk check-in pada penerbangan kelas ekonomi yang akan membawanya pulang ke Indonesia. Hanya membawa ransel yang berisikan Mac, dompet, ponsel dan bantal leher tidak ketinggalan. Sedikit barang yang ia bawa karena sebelumnya semua barangnya sudah ia paketkan ke Indonesia. Setelah hampir lima belas menit, akhirnya tiba giliran Rebecca. Seorang petugas perempuan menatapnya malas dari balik komputer. "Name," tanya petugas perempuan tersebut malas."Rebecca, Rebecca Vanderzee," jawab Rebecca."Miss Rebecca Vander... zee?" petugas perempuan tersebut menyebut nama Rebecca dengan nada datar. Petugas tersebut mengetikkan nama Rebecca di komputer, tapi nama Rebecca tidak ada di daftar penumpang. Lagi, ia mengetikkan nama Rebecca dan hasilnya sama. Rebecca tidak terdaftar dalam daftar penumpang untuk penerbangan nomor GA407 kali ini."Maaf Miss, anda tidak terdaftar. Silahkan tinggalkan antrian dan memesan tiket di sana," ujar petugas tersebut seraya me
Hamdan terbangun dari tidurnya saat ia mendengar suara gaduh dari luar. Merentangkan tangannya yang kaku, Hamdan beranjak dari tempat tidur. Masih dengan wajah mengantuknya dan nyawanya yang belum terkumpul, terseok Hamdan berjalan melewati pintu penghubung dan melewati serangkaian sofa serta meja kerja."Ah!" Hamdan memekik kesakitan karena kakinya terantuk kaki meja. Dalam hati ia memaki siapapun yang mengganggu tidurnya. Dengan kasar Hamdan membuka pintu kamarnya. Ia terpaku sesaat, lalu tertawa tanpa suara saat mendapati saudara perempuannya berkumpul di depan pintu kamarnya. "Dan...," pekik girang seorang gadis yang langsung menghambur memeluk Hamdan."Oh, Shammah, Hamdan balas memeluk adik perempuannya yang tahun ini menginjak usia 17 tahun. Dari balik punggung Shammah, Hamdan dapat melihat Maryam dan Latifa yang menekuk wajahnya."Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Hamdan saat Shammah melepaskan pelukannya.Maryam berdecak lalu berjalan menjauh dari Hamdan dan memilih duduk
"Sheikh, sepeda anda sudah kami siapkan," jelas Hasan saat Hamdan keluar dari mobilnya. Setelah memastikan helmnya terpasang dengan benar, Hamdan bergabung dengan yang lain.Hari ini ia meghadiri Dubai car free day, bersama dengan beberapa orang dari pemerintahan, Hamdan ikut serta dalam acara ini. Dengan kaus seragam warna hijau muda Hamdan membaur dengan rakyatnya. Beberapa orang menyapa Hamdan dan menyentuhkan hidungnya pada hidung Hamdan. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saja Hamdan membalas salam dan menjawab pertanyaan yang dianggap penting.Ia hanya diam, terlihat tidak berminat. Sangat bukan Hamdan. Bahkan ia tak peduli dengan beberapa media yang berusaha mengabadikannya. Hamdan tersenyum sekedarnya ketika ada yang meminta berfoto dengannya. Hamdan mulai mengayuh sepeda menyusuri jalan utama di wilayah Burj Khalifa sebagai starter. Ratusan orang mengikuti Hamdan di belakangnya. Di sebelah kiri Hamdan ada Ali Al Harbi dan di sebelah kanannya ada Saif, asisten Hamdan."Kau