"Jadi namanya Dirk Vanderzee?" Hamdan menatap Rebecca tertarik. Beberapa saat lalu Rebecca bercerita tentang ayahnya yang meninggalkan ibunya di saat ia masih berusia 3 tahun. Tidak banyak yang Rebecca ceritakan, hanya sedikit tentang ayahnya dan banyak sekali tentang tempat tinggalnya di Indonesia serta ibunya yang memiliki usaha makanan tradisional. Mungkin lain kali jika ada kesempatan Hamdan ingin mencobanya.
"Ya, hanya itu yang ibu bagi tentang ayah. Hanya sebuah nama yang ia letakkan di nama belakangku, " Rebecca mengangguk lalu tersenyum saat ia sadar jika baru pertama kali ini ia membagi kisah hidupnya pada orang asing."Vanderzee, artinya dari laut," ujar Hamdan lirih."Apa?" Rebecca menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Hamdan."Namamu, Vanderzee memiliki arti dari laut.""Ba-bagaimana kau tahu?" Rebecca terlihat antusias.Hamdan terkekeh, "itu bahasa Belanda Rebecca...," ujar Hamdan. Samar ia tersenyum saat Rebecca terlihat begitu polos dan lucu secara bersamaan.Rebecca menunduk dengan bibir mengerucut kesal. Lagi-lagi ia merutuki dirinya yang selalu terlihat bodoh saat berurusan dengan bahasa asing. Bodohnya lagi ia tidak memelajari bahasa Belanda, negara asal ayahnya. Bagaimana jika nanti ia bertemu dengan ayahnya tapi ia tidak mengerti apa yag ayahnya katakan? Oh itu sangat menakutkan. Rebecca menggeleng gusar"Apa kau baik-baik saja?" tanya Hamdan.Sadar sudah melakukan tindakan konyol, Rebecca mendongak lalu mengangguk menjawab pertanyaan Hamdan."Sudah tidak kedinginan seperti semalam?" tanya Hamdan lagi dan Rebecca hanya menggeleng dengan mulut yang masih bungkam. Sangat menggemaskan."Alhamdulilah...." kata Hamdan. Ia berdiri dengan gadis kecil di gendongannya. Berjalan menjauhi Rebecca dan kembali hanyut dengan aktivitasnya bersama anak-anak yang kini bermain berkejaran lalu tertawa lepas saat mengayunkan seorang anak laki-laki ke udara dan menangkapnya.Rebecca hanya terdiam saat melihat interaksi Hamdan dan anak-anak tersebut. Dalam hati dia merasa kagum, entah bagaimana cara lelaki ini dibesarkan sehingga saat dewasa ia begitu terlihat rendah hati dan menyenangkan meski di belakang namanya ia menyandang gelar Putera Mahkota Dubai yang sekaligus menjabat sebagai dewan eksekutif di pemerintahan Uni Emirat Arab.*****Karena sewaktu di hotel Rebecca bekerja di bagian pastry, maka ia diberi tugas khusus untuk membuat makanan penutup dan sesuatu yang berbau roti. Saat ini ia tengah berkutat dengan tepung gula dan mentega untuk adonan crumble. Setelah selesai dengan adonan crumble Rebecca segera menyiapkan loyang yang sudah diberi alas dengan kertas roti."Ada yang bisa dibantu?" Hamdan muncul dari belakang Rebecca."Yakin mau membantu?" Rebecca menatap Hamdan sekilas lalu kembali sibuk dengan adonan crumblenya."Tentu saja, aku juga bisa membuat kue," sahut Hamdan."Oh ya?" Rebecca terlihat meremehkan."Jangan remehkan aku nona. Aku sering membuat cake coklat saat Sheema mampir ke rumahku," jelas Hamdan. Dengan usilnya ia meraih sebuah strawberry lalu memakannya dalam sekali suap."Sheema?" Rebecca menghentikan pekerjaannya lalu menatap Hamdan."Iya Sheema, keponakanku. Puteri pertama dari adik perempuanku," jelas Hamdan, ia kembali memakan strawberry.Diam-diam Rebecca tersenyum saat mendengar penjelasan Hamdan. Ada bagian dalam dirinya yang merasa lega saat mendengar penjelasan Hamdan. "Astaga, jangan dimakan terus. Itu untuk makanan penutup kita malam ini. Lebih baik kau bantu aku memotong strawberry saja," Rebecca berdecak sebal lalu menyerahkan pisau ke arah Hamdan.Tidak beberapa lama mereka tenggelam dengan aktivitas mereka masing-masing. Hamdan dengan strawberry dan Rebecca dengan simple syrup dan gula halus. Hingga Rebecca mengingat sesuatu. Dengan pipi memerah ia menatap Hamdan malu-malu."Hmm, Dan...," panggil Rebecca menutut perhatian."Ya?" Hamdan berhenti memotong strawberry lalu memiringkan kepalanya ke satu sisi dan menatap Rebecca."Emm, jaketnya aku kembalikan sepulang dari sini saja ya?" tanya Rebecca pelan."Kenapa memangnya?""Emm, kemarin aku memakainya tidur semalaman. Jadi aku akan mengembalikannya seusai mencucinya dengan benar," Rebecca menatap Hamdan dengan pandangan mata 'maafkan aku'."Tidak usah, kembalikan sekarang saja." Sahut Hamdan."Tapi jaketnya... bau," lirih Rebecca. Pipinya merona menggemaskan."Tidak tidak! Kembalikan sekarang saja! Aku bisa mencuci sendiri." Hamdan meninggikan nada bicaranya.Hingga Rebecca mengkerut dibuatnya. Hamdan terlihat berbeda, berubah menjadi tukang perintah yang sedikit kekanakan, dan sedikit menakutkan. Dalam hati Rebecca bertanya-tanya sebenarnya apa isi kepala Hamdan."Sekarang... Rebecca...." Hamdan memberi penekanan pada tiap kata."Ya-ya, tunggu sebentar aku akan mengambilnya," tergesa Rebecca berlalu meninggalkan meja kerjanya. Setengah berlari ia menuju ke tendanya. Dalam hati ia merutuki Hamdan yang sangat mengesalkan.Tidak berapa lama kemudian Rebecca kembali dengan jaket north face biru di tangannya. Ia menghampiri Hamdan yang berdiri menunggunya. Masih dalam keadaan bingung Rebecca menyerahkan jaket tersebut pada Hamdan."Kau yakin tidak ingin dicuci dulu?" tanya Rebecca.Hamdan menggeleng, ia mengulurkan tangan menerima jaketnya. "Lanjutkan pekerjaanmu."Hamdan tersenyum menang lalu ia berlalu meninggalkan Rebecca yang masih menatapnya bingung. Dengan langkah ringan Hamdan berjalan ke tendanya. Saat sampai di dalam, Hamdan menghentikan langkah kakinya tepat di depan pintu tenda. Perlahan ia mendekatkan jaket biru tersebut ke wajahnya. Mengendus jaketnya pelan, Hamdan tersenyum lebar saat wangi khas parfum Hayaati merasuk ke indera penciumannya. Wangi Rebecca.Segera Hamdan mengucap istighfar ketika ia sadar jika ia telah bertingkah seperti maniak. Rebecca benar-benar merubahnya menjadi seseorang yang bukan dirinya.*****Rebecca keluar dari tendanya dengan menenteng koper. Ia menyusul Sylvenia yang sudah keluar dari tenda terlebih dulu. Beberapa laki-laki-rombongan khusus Hamdan-terlihat merapikan meja-meja dan mengangkutnya ke dalam mobil container. Beberapa lagi membersihkan sisa-sisa api unggun.Tidak terasa sudah satu minggu mereka di sini. Rebecca menghela napas panjang. Sepertinya ia akan merindukan tempat ini. Merindukan warga desa yang ramah meskipun mereka tidak dapat berkomunikasi dengan benar. Selain itu Rebecca juga merasa sangat senang dan bangga karena ternyata ia masih berguna bagi orang lain. Ia sadar, menjadi bagian dari Hamdan Food and Nutrition Organization akan membawanya melihat dunia yang lebih luas dan yang belum pernah ia bayangkan.Dari kejauhan Rebecca dapat melihat Hamdan beserta beberapa anggota tim sedang berinterasi dengan warga desa. Saling menjabat tangan, bahkan ada seorang ibu-ibu paruh baya yang memeluk Hamdan lalu mencium puncak kepala Hamdan. Lalu Hamdan beralih kepada sekumpulan anak-anak yang semingguan ini menjadi teman baiknya.Hamdan mencium satu-persatu kening mereka. Kemudian memeluk seorang anak perempuan yang berusia sekitar 3 tahunan. Memeluknya sekilas lalu memberikan anak perempuan yang Rebecca tahu bernama Amira tersebut kepada ibunya. Tapi Amira justru menangis dan memeluk leher Hamdan dengan erat.Melihat hal tersebut refleks Rebecca melangkahkan kakinya ke tempat Hamdan. Saat jaraknya semakin dekat, samar ia mendengar Hamdan menenangkan Amira dan berjanji untuk kembali secepatnya. Rebecca terharu dibuatnya, ia tidak menyangka jika kedekatan Hamdan dan warga desa selama seminggu ini telah berhasil membuat ikatan kasih sayang yang kuat.Rebecca terkejut saat seorang ibu-ibu memeluknya dan mencium pipinya. Dengan sedikit cangung Rebecca balas memeluk ibu tersebut. Tubuhnya menegang, ia tidak terbiasa menerima perlakuan seperti ini terlebih dari orang asing. Rebecca menatap Hamdan yang ternyata juga menatapnya. Hamdan tersenyum seakan mengatakan tidak apa, mereka orang baik.Sepertinya Hamdan telah berhasil menenangkan Amira yang kini sudah berada di gendongan ibunya. Hamdan memutuskan untuk sedikit menjauh, menghindari Amira agar tidak rewel lagi. Saat Hamdan melewati Rebecca, ia berhenti."Ayo Rebecca, kita harus segera pergi jika tidak ingin terlambat," kata Hamdan. Tangannya terulur ke udara lalu berhenti di puncak kepala Rebecca. Menepuk pelan kepala Rebecca yang tertutup hijab.****Hamdan mendorong trolinya cepat saat melewati pintu kedatangan. Beberapa pengawalnya berjalan di belakangnya. Sebenarnya Owaisi sudah meminta troli Hamdan agar ia yang mendorongnya tapi Hamdan menolaknya dengan alasan, ia masih kuat mendorong troli. Jika sudah seperti itu pengawalnya tidak berani membantah.Beberapa menit yang lalu, tepat saat pesawat sudah landing dan Hamdan menyalakan ponselnya, sebuah panggilan masuk dengan id caller 'Ayah' menginterupsinya. Saat Hamdan mengangkatnya, tanpa banyak bicara ayahnya langsung menyuruh Hamdan ke Rasheed residence. Ayahnya ingin bertemu dengannya saat ini juga.Itulah kenapa Hamdan sangat tergesa-gesa saat ini. Dari kejauhan Hamdan dapat melihat Mr. Raj supirnya yang berasal dari India sudah menunggunya dan membukakan pintu mobil untuknya. Dengan sigap laki-laki bertubuh gempal tersebut meraih koper-koper milik Hamdan dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Saat Hamdan sudah duduk di dalam mobil, Mr. Raj segera duduk di kursi kemudi dan menjalankan mobil meninggalkan bandara.Hamdan melihat Rebecca berdiri menunggu taksi. Ingin rasanya Hamdan menghentikan mobil dan menawari Rebecca pulang bersama jika saja ia tidak ingat ayahnya yang sedang menunggunya.Mobil berhenti di halaman depan Rasheed residence. Hamparan rerumputan hijau menyambut Hamdan. Tanpa menunggu Raj membukakan pintu untuknya Hamdan segera keluar dari mobil dan berlalu ke dalam rumah. Dua orang penjaga memberi hormat padanya. Tanpa basa basi Hamdan segera menuju ruang kerja ayahnya.Mengetuk pintu tiga kali, lalu membukanya. Sheikh Mohammed tengah duduk di balik meja kerja. Terlihat serius dengan kacamata baca bulan sabitnya."Assalamualaikum," Hamdan mengucap salam. Sedetik kemudian Sheikh Mohammed mendongak dan menatap Hamdan.Tidak menjawab salam Hamdan, Sheikh Mohammed justru bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Hamdan. Beliau berdiri tepat di depan Hamdan.Hamdan hendak mencium tangan ayahnya tapi Sheikh Mohammed menepis tangan Hamdan. Hamdan terkejut dengan sikap ayahnya, ia menatap Sheikh Mohammed tak percaya.Belum sempat Hamdan bertanya ada apa dengan ayahnya, sebuah tamparan mendarat di pipinya. Sheikh Mohammed menatap Hamdan marah, "kurang ajar! Aku tidak mendidikmu untuk bermain-main dengan wanita!""Siapa namanya? Rebecca? Jauhi dia dan segera menikah dengan wanita pilihan ibumu," tegas Sheikh Mohammed. Tidak memedulikan keadaan anak kesayangannya, beliau keluar dari ruang kerja meninggalkan Hamdan seorang diri.Hamdan terdiam. Perih di pipinya terasa menyengat. Tapi bukan itu yang menjadi fokus utamanya. Ayahnya marah, itu buruk. Tidak pernah sekalipun selama 30 tahun ia hidup ayahnya bertindak kasar padanya. Tapi kali ini beliau menamparnya. Dan berhasil membuat Hamdan terguncang.To be continued....Dalam diam Hamdan menatap ke luar jendela mobil. Saat ini ia tengah dalam perjalanan pulang ke House of Falasi, kediamannya. Sekeluarnya dari kediaman ayahnya, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya. Hanya masuk ke dalam mobil tanpa memberi perintah pada supirnya. Dan Mr. Raj pun tidak banyak bertanya. Melihat wajah tegang dan lelah milik tuannya ia langsung saja menjalankan mobil ke House of Falasi yang berada di wilayah private berdekatan dengan Burj Khalifa. Mata Hamdan menerawang menatap gemerlap lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang berderet di kawasan Sheikh Zayeed Road. Sekelebat ingatan masa lalu terefleksi di kepalanya, kemudian tanpa diminta semua kenangan bersama ayahnya bermunculan dan mengalir seperti air. Mulai dari kenangan tentang sepeda pertamanya, latihan berkuda pertamanya, Hamdan yang hampir tenggelam saat belajar berenang hingga sebuah pelukan hangat yang ayahnya berikan saat tahun kemarin Hamdan menjuarai Windsor eundurance race di Inggris.
Rebecca menunduk, menghindari ibunya yang menatap marah dari layar laptop yang sedang membuka aplikasi skype. Sudah hampir lima belas menit dan ibunya tidak mengatakan apapun kecuali menatap Rebecca dingin dan penuh amarah."Ma... Becca," akhirnya Rebecca mengalah, ia membuka suara dan menatap ibunya."Apa? Mau tidur karena besok kerja masuk pagi?" sahut ibunya sengit.Rebecca menggeleng lalu menunduk lagi. Tidak biasanya ibunya menatapnya seperti itu, hal ini membuat Rebecca ingin menangis. Dulu ibunya seperti ini saat ia masih SMP, waktu itu Rebecca menanyakan tentang ayahnya. Dan yang ia dapatkan hanya kemarahan ibunya yang menatapnya dingin dan langsung pergi tanpa memberikan penjelasan.Sekarang ibunya melakukannya lagi. Rebecca meremas jemarinya yang gemetar. Dalam hati ia tahu jika kemarahan ibunya kali ini ada kaitannya dengan Adrian."Kamu berhutang penjelasan pada mama, apa yang kamu bilang ke Adrian? Kok dia bilang kalau kamu nolak perjodohan ini?" "Karena kami tidak sali
Hamdan turun dari mobilnya lalu ia mengenakan bisth-jubah hitam transparan dengan bordiran benang emas di pinggiranya-di atas thawb putih bersihnya. Hari ini ia akan menghadiri pertemuan kenegaraan untuk membahas perjanjian bilateral dengan Afghanistan serta rapat bulanan untuk membahas tentang sejauh mana kesiapan Dubai sebagai tuan rumah untuk world expo tahun 2020 nanti.Lingkar matanya mengitam karena lelah. Sudah beberapa hari ini ia tidak dapat tidur dengan benar. Bukan karena pekerjaannya, hanya saja perang batin yang ia alami beberapa hari ini begitu menguras pikirannya. Hamdan duduk di kursinya, sepertinya ia datang paling awal. Tidak berapa lama kemudian lima orang berjubah sama seperti miliknya memasuki ruangan, dari sudut matanya Hamdan dapat melihat ayahnya sebagai orang paling akhir yang masuk ke dalam ruangan. Jika biasanya Hamdan selalu datang bersama ayahnya, maka akibat perang dingin yang tak berkesudahan akhirnya mereka berangkat sendiri-sendiri. Hamdan berdiri lal
Semua sudah dibicarakan secara detail hingga diputuskan mereka akan berangkat pada sore hari. Istirahat sebentar dan memulai persiapan untuk keesokan paginya. Desa yang dipilih adalah Banda, sebuah daerah miskin di Uttar Pradesh, India. Banda sendiri adalah desa miskin yang hampir sebagian penduduknya bergantung pada pertanian. Tapi karena daerahnya yang kering, mereka hanya bisa bercocok tanam sekali setahun. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki ketahanan pangan yang cukup.Setiap anggota sudah mengetahui tugas apa saja yang harus mereka kerjakan. Ahmed yang akan langsung memimpin di sana. Diam-diam Rebecca menatap Hamdan di depannya. Lelaki dalam balutan thawb kuning mustard itu terlihat sedikit lebih misterius dari biasanya. Tadi Hamdan mengatakan jika ia hanya mampir untuk makan siang, kedatangannya tidak ada hubungannya dengan Hamdan Food and Nutrition Organization. Rebecca berpikir jika inilah saat terakhir ia bisa bertemu dengan Hamdan. Memikirkan hal tersebut tiba-tiba i
Rebecca menyandarkan punggungnya di kursi pesawat. Termenung sejenak, mata indah gadis itu terpejam. Menghela napas lalu mengembuskannya panjang, seolah-olah beban berat tengah mengimpit dadanya. Dalam diam Rebecca mulai menghitung peristiwa apa saja yang sudah ia alami. Peristiwa demi peristiwa yang tidak pernah sekalipun muncul di dalam bayangannya, bahkan dalam imajinasi terliarnya sekalipun. Mulai dari larinya ia ke Dubai, kota ajaib yang mulai dilirik dunia. Lalu pekerjaan impian di salah satu hotel terbaik di dunia. Hingga sebuah pertemuan tak sengajanya dengan sang putera mahkota kaya penguasa Dubai. Proyek memberi makan dunia, pergi ke Uzbekistan dan sekarang ia duduk nyaman di pesawat kelas satu dalam perjalanan pulang dari India ke Dubai.Tidak ada yang istimewa di India. Tidak ada yang menarik hatinya. Seminggu penuh yang Rebecca lakukan hanyalah berputar-putar pada rutinitas kegiatan amal. Bahkan ia tak menghiraukan Ahmed dan Sylvenia yang mengajaknya menghabiskan hari te
Rebecca menyusuri ruangan terbuka di Omnia Blue. Berbagai macam tanaman rambat menghiasi pilar-pilar di sisi kiri sedangkan di sebelah kanan dindingnya penuh dengan hiasan kaligrafi berwarna biru dan ungu. Siang ini sepulang dari Burj Al Arab, Rebecca ingin mengunjungi Sylvenia. Mengucapkan perpisahan mungkin? Mengingat hal tersebut membuat hati Rebecca berdenyut nyeri. Setelah kemarin ia mengajukan pengunduran diri ke hotel, hari ini pengunduran dirinya sudah diterima. Mungkin tiga hari lagi administrsi dan haknya selama bekerja akan diselesaikan. Kepulangannya ke Indonesia sudah semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari saja. Semalam Adrian menghubunginya, lelaki tersebut menanyakan kapan Rebecca pulang agar ia bisa menjemputnya. Rebecca tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Adrian. Semenjak ibunya memaksa Rebecca untuk pulang, Adrian semakin sering menghubunginya. Rebecca menghentikan langkahnya saat sampai di depan sebuah pintu kokoh bernuansa emas di depannya. Ini adalah
Rebecca tenggelam dalam antrian panjang untuk check-in pada penerbangan kelas ekonomi yang akan membawanya pulang ke Indonesia. Hanya membawa ransel yang berisikan Mac, dompet, ponsel dan bantal leher tidak ketinggalan. Sedikit barang yang ia bawa karena sebelumnya semua barangnya sudah ia paketkan ke Indonesia. Setelah hampir lima belas menit, akhirnya tiba giliran Rebecca. Seorang petugas perempuan menatapnya malas dari balik komputer. "Name," tanya petugas perempuan tersebut malas."Rebecca, Rebecca Vanderzee," jawab Rebecca."Miss Rebecca Vander... zee?" petugas perempuan tersebut menyebut nama Rebecca dengan nada datar. Petugas tersebut mengetikkan nama Rebecca di komputer, tapi nama Rebecca tidak ada di daftar penumpang. Lagi, ia mengetikkan nama Rebecca dan hasilnya sama. Rebecca tidak terdaftar dalam daftar penumpang untuk penerbangan nomor GA407 kali ini."Maaf Miss, anda tidak terdaftar. Silahkan tinggalkan antrian dan memesan tiket di sana," ujar petugas tersebut seraya me
Hamdan terbangun dari tidurnya saat ia mendengar suara gaduh dari luar. Merentangkan tangannya yang kaku, Hamdan beranjak dari tempat tidur. Masih dengan wajah mengantuknya dan nyawanya yang belum terkumpul, terseok Hamdan berjalan melewati pintu penghubung dan melewati serangkaian sofa serta meja kerja."Ah!" Hamdan memekik kesakitan karena kakinya terantuk kaki meja. Dalam hati ia memaki siapapun yang mengganggu tidurnya. Dengan kasar Hamdan membuka pintu kamarnya. Ia terpaku sesaat, lalu tertawa tanpa suara saat mendapati saudara perempuannya berkumpul di depan pintu kamarnya. "Dan...," pekik girang seorang gadis yang langsung menghambur memeluk Hamdan."Oh, Shammah, Hamdan balas memeluk adik perempuannya yang tahun ini menginjak usia 17 tahun. Dari balik punggung Shammah, Hamdan dapat melihat Maryam dan Latifa yang menekuk wajahnya."Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Hamdan saat Shammah melepaskan pelukannya.Maryam berdecak lalu berjalan menjauh dari Hamdan dan memilih duduk