"Apa kau tahu siapa yang mengambil foto tersebut?" Ali Al Harbi meletakkan cangkir kopinya dan matanya fokus menatap Hamdan.
Sedangkan Hamdan justru tak berpaling dari iPhone-nya. Tapi ia masih menyahuti pertanyaan Ali. "Aku tidak tahu, Zabeel dan Essa tidak akan berani menyebarkan foto sejenis itu. Lagipula sewaktu di Omnia aku tidak bersama Essa dan timnya. Saat itu aku datang sendiri, dan datang lebih awal karena aku langsung mampir sepulang dari gym," jelas Hamdan panjang lebar dan masih tidak mengalihkan pandangannya dari benda canggih di genggaman tangannya."Kau harus lebih berhati-hati, bagaimana bisa kau bertingkah bodoh seperti itu?" Ali menaikkan suaranya. Menuntut Hamdan agar memerhatikannya.Tapi sayang sepertinya Hamdan masih tak berniat meninggalkan layar ponselnya. Bahkan Mohammed kecil yang meminta perhatian darinya tak ia pedulikan. Hamdan masih asyik memangku dagunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya masih sibuk dengan ponselnya."Ah... aku ingat sekarang. Bukankah gadis itu adalah salah satu peserta yang terpilih menjadi sepuluh besar?" tanya Ali.Hamdan mengangguk."Lalu bagaimana bisa kalian saling bertemu di luar?" Ali kembali melakukan intervensi."Sebelum ada kompetisi itu aku sudah bertemu dengannya. Tiga kali. Pertama aku tak sengaja menabraknya sewaktu bersepeda di Deira. Lalu kedua saat ulang tahun Aisha, selanjutnya saat aku mengajak Zayed dan Saeed sarapan di Home Bakery aku kembali bertemu dengan Rebecca," jelas Hamdan tak mempedulikan Ali yang nampak mulai kesal padanya."Jadi namanya Rebecca hum?" Ali menaikkan sebelah alisnya saat Hamdan kembali meresponnya dengan anggukan kepala. Ali mengernyit saat ia melihat tingkah Mohammed—putera kelimanya—yang tengah berdiri di samping Hamdan dan ikut menatap lurus pada layar ponsel Hamdan. Ekspresi Mohammed terlihat sangat lucu."Ya Hamdan! Apa kau masih menganggapku ada?" Ali benar-benar terlihat kesal. Menurutnya Hamdan sudah bertingkah sangat tidak sopan padanya. Dari segi status dan kedudukan, boleh saja Hamdan seorang pangeran, tapi dari segi umur Ali jauh lebih tua dari Hamdan. Dan tidak seharusnya Hamdan tidak mengacuhkannya seperti saat ini."Sheikh...," panggil Mohammed pada Hamdan, "whos te girl?" anak laki-laki berusia 4 tahun itu bertanya dengan kalimat berbahasa Inggris yang tak jelas namun masih dapat dimengerti oleh Ali. Ali membulatkan matanya tertarik. Segera saja ia berdiri dan menghampiri tempat duduk Hamdan.Ali berdiri di belakang Hamdan yang tidak menyadari tindakannya. Hampir saja tawa Ali menyembur saat ia tahu apa obyek yang sedari tadi menyita perhatian Hamdan. Tapi sayangnya sifat jahil Ali sedang di atas angin, dan dengan cepat ia merebut ponsel Hamdan."Oh Ya Allah... sepertinya ada yang sedang dimabuk cinta kurasa," Ali tersenyum lebar dan tak bisa menyembunyikan rasa geli di matanya. Jadi sedari tadi Hamdan tak mengacuhkannya karena Hamdan sedang memandangi foto Rebecca di ponselnya. Ali menatap layar ponsel dan Hamdan secara bergantian dengan alis yang dinaik-turunkan.Hamdan tersenyum, "Ayo Mohammed, saatnya kita...," Hamdan meraih Mohammed ke dalam gendongannya, ia menggantung kalimatnya berharap Mohammed menyahutinya."Jump... and fly!" teriak Mohammed riang dengan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu membentuk tanda khas Uni Emirat Arab—mengacungkan jempol, telunjuk dan jari tengah, sedangkan jari manis dan kelingking terlipat ke dalam.*****Rebecca menutup pintu lokernya dengan sangat keras. Napasnya tersengal menahan amarah. Ia mendengar beberapa staff wanita membicarakannya di ruang ganti. Bahkan mereka tidak perlu sungkan hanya untuk mengecilkan suaranya. Menggunakan bahasa Inggris pula.Mencengkeram apron dengan erat, Rebecca memejamkan matanya yang memanas tatkala serangkaian kalimat penuh tuduhan kembali terdengar."Rebecca tidaklah lebih dari seorang gadis penggoda. Lihat apa yang dilakukannya pada putera mahkota kita.""Menurutku Rebecca menggodanya agar dia bisa memenangkan kompetisi kemarin. Dia hanya gadis busuk yang tidak bisa apa-apa. Dan anehnya Mr. Jacques, chef restoran fine dining yang ahli masakan Perancis itu justru tidak masuk dalam sepuluh besar tersebut.""Rebecca memang menjijikkan.""Kukira cukup Robin korbannya, tak kusangka jika Sheikh Hamdan juga terjebak pada perangkapnya."Sial! Bahkan mereka tidak menghentikan gunjingan mereka meskipun Rebecca masuk ke dalam ruang ganti. Rebecca menatap mereka satu persatu. Tapi tidak ada reaksi apapun, mereka terus membicarakan Rebecca seolah-olah Rebecca tidak ada di depannya.Tak tahan dengan semua perlakuan itu, Rebecca berbalik dan segera keluar dari ruang ganti. Dengan marah ia membanting pintu dengan keras. Rebecca melangkahkan kakinya lebar-lebar. Tak terasa air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk matanya kini meluncur bebas ke pipinya.Lift pegawai adalah satu-satunya tujuan Rebecca sekarang. Dan dapur adalah tempat terakhir yang ingin ia datangi saat ini. Lift pegawai yang lumayan luas tersebut segera meluncur ke bawah. Basement adalah tujuan utama Rebecca sekarangSetelah berada di basement, Rebecca segera keluar dari lift dan berjalan cepat. Pada pilar ke lima Rebecca berbelok ke kiri. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Terus berjalan hingga ia dapat melihat seberkas cahaya yang lebih terang dibanding pencahayaan basement yang minim.Hamparan pasir di pantai Jumeirah menyapa pengelihatannya. Rebecca bisa merasakan safety shoes-nya menginjak pasir. Menghirup napas sebanyak-banyaknya, Rebecca mencoba membuat hatinya lapang. Ini sudah hari ketiga kebebasannya dirampas secara paksa. Hari pertama sangat buruk, kemanapun ia pergi semua orang mengenalinya. Memandangnya sinis penuh rasa tak suka.Hari kedua para pencari berita mulai berbondong-bondong menunggunya di depan flat, di setiap jalanan menuju Burj al Arab, bahkan ada yang nekat menyerobot masuk ke dalam dapur restoran. Dan hari ini adalah yang terburuk. Rekan kerjanya dengan sepihak menuduhnya menjadi wanita tidak benar yang menggoda seorang pangeran. Sial! Rebecca mengumpat dalam hati.Rebecca berjalan cepat menuju tepi pantai. Agak kesulitan memang, mungkin karena efek safety shoes yang ia gunakan sehingga ia sedikit terseok saat berjalan melewati pasir putih bersih di bawah kakinya.Perasaannya masih campur aduk. Kesal, marah, sedih, benci dan apapun namanya yang pasti semuanya membuat dada Rebecca sesak. Menghentikan langkahnya Rebecca berteriak kencang, "Sial! Nadira sialan! Ahmed sialan! Shameera sialan! Robin juga sialan! Paparazi sialan! Reporter sialan! Semuanya sialan!"Rebecca tersengal, matanya memanas tapi dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan air mata sialan itu agar tak menetes dari matanya. Baru kali ini ia merasa sendirian dan kesepian. Tidak ada seorangpun yang benar-benar tulus berteman dengannya, bahkan Naina yang sudah dianggapnya saudara ternyata membicarakan hal buruk di belakangnya.Beberapa orang yang berada di pantai Jumeirah menatap Rebecca aneh. Selain karena Rebecca yang berteriak juga karena bahasa yang Rebecca gunakan. Tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya, bahkan ada beberapa laki-laki yang melambaikan tangan seperti sedang mengusir Rebecca.Bukannya pergi, Rebecca justru berkacak pinggang dan kembali berteriak, "Siaaal! Naina sialan! Kalian yang ada disini juga sialan! dan—dan sialan Hamdan lelaki sialan! Benar-benar lelaki siala—" umpatan Rebecca terpotong dan disusul dengan tubuhnya yang tersungkur di pasir dan kain lebar berwarna kuning menutupi tubuhnya. Lalu sekarang ditambah dengan tubuh lain yang menindih punggungnya."Ya Allah, ya Allah...." sebuah suara yang berat membuat Rebecca menegang. Sontak ia menggerakkan tubuhnya agar terbebas dari sesuatu yang menindih punggungnya.Ketika Rebecca berusaha melepaskan diri, ia justru semakin terbelit oleh tali temali yang tersambung dengan kain lebar yang menutupi tubuhnya hingga Rebecca kembali terjerembab dan Rebecca justru menubruk tubuh asing di bawahnya.Rebecca merasakan de javu. Sejenak ia mengalami disorientasi lalu ia mengerjapkan matanya saat sepasang tangan menyentuh pinggangnya. "Rebecca, jangan banyak bergerak. Kau justru membuat kita berdua semakin terbungkus dan terbelit tali parasut." Suara itu terasa tidak asing. Bahkan orang itu menyebut namanya.Rebecca mendongak, matanya terbelalak saat ia melihat siapa sosok yang berada di bawah tubuhnya. "Dan—Ham—Dan," ucap Rebecca seperti orang gagap. Sedangkan Hamdan yang terbaring di bawah tubuhnya tengah tersenyum geli seakan menikmati posisi mereka berdua. Mata mereka bertemu dan seketika itu juga waktu seakan berhenti. Senyum Hamdan menghilang. Jantung Rebecca berdetak tak karuan, setiap detiknya bertambah semakin cepat. Bahkan Rebecca sempat berpikir dia akan mati saat itu juga. Bagaimana tidak, saat ini saja napasnya sudah berhenti."Bernapas Rebecca," bisik Hamdan lalu ia kembali terkekeh geli saat dengan gelagapan Rebecca menghirup udara rakus.Bersamaan dengan itu parasut yang menutupi mereka terbuka. Beberapa orang terlihat panik dan membantu Hamdan serta Rebecca keluar dari sana. Ali Al Harbi menghentikan gerakan tangannya saat ia menyadari keadaan Hamdan dan sedang bersama siapa ia sekarang.Tersenyum geli, "sudah biarkan saja. Mereka bisa sendiri," kata Ali. Ia justru pergi menjauh dan mengajak temannya pergi meninggalkan Rebecca dan Hamdan yang masih terbungkus parasut.Rebecca ternganga tak percaya. Sedangkan Hamdan lebih bisa menguasai dirinya. "Rebecca," panggil Hamdan."Ya," jawab Rebecca."Kau mau keluar dari sini atau masih ingin disini bersamaku?" tanya Hamdan.Rebecca mengernyit tak mengerti."Kau ingin bebas dari posisi ini atau masih suka terbungkus denganku seperti gulungan shawarma?" Hamdan mengedip lalu terbahak saat Rebecca merona.*** To be continued ***"Apa kau baik-baik saja?" tanya Hamdan.Rebecca mengangguk. Ia menunduk dan menatap jemarinya yang memainkan pinggiran cangkir tehnya. Setelah kejadian memalukan yang berhubungan dengan parasut tadi, Rebecca benar-benar tidak punya muka untuk menghadapi Hamdan. Tapi kini ia justru berakhir di Godiva duduk berhadapan dengan Hamdan. Setelah bebas dari gulungan parasut dan mendapat tatapan aneh serta menjadi bahan tertawaan banyak orang, Hamdan memaksa Rebecca untuk ikut bersamanya. Memaksa Rebecca duduk di kursi nyaman yang berada di sudut dalam lalu memesankan chocolate pecan cake, teh dan pistachio macaron. 'Bagaimana perasaanmu?" Hamdan kembali bertanya karena Rebecca tak kunjung menjawab pertanyaannya."Baik," jawab Rebecca singkat. Menghilangkan gugup yang sedari tadi tidak juga menghilang, Rebecca menyesap tehnya."Apa kau masih bekerja?" Hamdan menelusuri penampilan Rebecca yang masih memakai chef jacket dan dasi. "Tidak, aku sudah selesai.""Lalu kenapa kau tidak pulang dan j
“Ya Hamdan, apa yang terjadi akhir-akhir ini?”Hamdan terkejut hingga tersedak teh yang ia minum. Ia terkejut setengah mati saat mendapati ibunya tiba-tiba berdiri di ambang pintu penghubung teras belakang dengan kolam renang indoor. Meletakkan cangkir tehnya, Hamdan bangkit dari duduknya dan menyambut ibunya dengan sebuah pelukan hangat.“Ibu, apa yang membawamu kesini?” Hamdan mengecup punggung tangan ibunya. “Apa seorang ibu dilarang untuk mengunjugi puteranya?” mata indah milik Sheikha Hind berkedip lucu. Hamdan tertawa membalas pertanyaan ibunya, “aku juga merindukanmu ibu.” Hamdan kembali memeluk ibunya lalu membimbing beliau untuk duduk di sofa tempatnya menghabiskan sore di halaman belakang House of Falasi—tempat tinggal Hamdan.“Siapa yang mengantar ibu kemari?” tanya Hamdan, jemarinya menggenggam tangan ibunya erat.“Adikmu Ahmed yang mengantar ibu kesini, tapi langsung pergi.”“Apa ibu sudah makan?”“Dan... berhenti mengalihkan pembicaraan, jawab dulu pertanyaan ibu tenta
Langit sudah mulai gelap meski semburat jingga masih nampak. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir keemasan. Beberapa orang terlihat mengeluarkan koper-koper dari dalam mobil yang khusus mereka gunakan untuk mengangkut barang. Beberapa lagi memasang tenda yang seminggu ini akan menjadi tempat mereka berteduh. Awalnya Rebecca berpikir jika yang ikut rombongan ini hanya anggota tim dan beberapa helper saja. Tapi kehadiran putera mahkota sepertinya membuat segalanya berubah. Berubah menjadi lebih “luar biasa” tentu saja.Rebecca bahkan dibuat mendelik tak percaya saat Sylvenia memberi tahunya jika Hamdan membawa serta pengawal dan juga tim fotografernya. Dan semua rasa ketidakpercayaan Rebecca terjawab sudah saat ia melihat gerombolan laki-laki memenuhi pesawat. Pantas saja Hamdan menyewa pesawat khusus. “Rebecca, kemarilah... ini tenda kita berdua.” Teriakan Sylvenia berhasil membuat Rebecca tersadar dari lamunannya. Segera ia berjalan menghampiri Sylvenia yang tengah ber
"Jadi namanya Dirk Vanderzee?" Hamdan menatap Rebecca tertarik. Beberapa saat lalu Rebecca bercerita tentang ayahnya yang meninggalkan ibunya di saat ia masih berusia 3 tahun. Tidak banyak yang Rebecca ceritakan, hanya sedikit tentang ayahnya dan banyak sekali tentang tempat tinggalnya di Indonesia serta ibunya yang memiliki usaha makanan tradisional. Mungkin lain kali jika ada kesempatan Hamdan ingin mencobanya."Ya, hanya itu yang ibu bagi tentang ayah. Hanya sebuah nama yang ia letakkan di nama belakangku, " Rebecca mengangguk lalu tersenyum saat ia sadar jika baru pertama kali ini ia membagi kisah hidupnya pada orang asing."Vanderzee, artinya dari laut," ujar Hamdan lirih. "Apa?" Rebecca menaikkan sebelah alisnya lalu menatap Hamdan."Namamu, Vanderzee memiliki arti dari laut.""Ba-bagaimana kau tahu?" Rebecca terlihat antusias.Hamdan terkekeh, "itu bahasa Belanda Rebecca...," ujar Hamdan. Samar ia tersenyum saat Rebecca terlihat begitu polos dan lucu secara bersamaan. Rebecca
Dalam diam Hamdan menatap ke luar jendela mobil. Saat ini ia tengah dalam perjalanan pulang ke House of Falasi, kediamannya. Sekeluarnya dari kediaman ayahnya, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya. Hanya masuk ke dalam mobil tanpa memberi perintah pada supirnya. Dan Mr. Raj pun tidak banyak bertanya. Melihat wajah tegang dan lelah milik tuannya ia langsung saja menjalankan mobil ke House of Falasi yang berada di wilayah private berdekatan dengan Burj Khalifa. Mata Hamdan menerawang menatap gemerlap lampu dari gedung-gedung pencakar langit yang berderet di kawasan Sheikh Zayeed Road. Sekelebat ingatan masa lalu terefleksi di kepalanya, kemudian tanpa diminta semua kenangan bersama ayahnya bermunculan dan mengalir seperti air. Mulai dari kenangan tentang sepeda pertamanya, latihan berkuda pertamanya, Hamdan yang hampir tenggelam saat belajar berenang hingga sebuah pelukan hangat yang ayahnya berikan saat tahun kemarin Hamdan menjuarai Windsor eundurance race di Inggris.
Rebecca menunduk, menghindari ibunya yang menatap marah dari layar laptop yang sedang membuka aplikasi skype. Sudah hampir lima belas menit dan ibunya tidak mengatakan apapun kecuali menatap Rebecca dingin dan penuh amarah."Ma... Becca," akhirnya Rebecca mengalah, ia membuka suara dan menatap ibunya."Apa? Mau tidur karena besok kerja masuk pagi?" sahut ibunya sengit.Rebecca menggeleng lalu menunduk lagi. Tidak biasanya ibunya menatapnya seperti itu, hal ini membuat Rebecca ingin menangis. Dulu ibunya seperti ini saat ia masih SMP, waktu itu Rebecca menanyakan tentang ayahnya. Dan yang ia dapatkan hanya kemarahan ibunya yang menatapnya dingin dan langsung pergi tanpa memberikan penjelasan.Sekarang ibunya melakukannya lagi. Rebecca meremas jemarinya yang gemetar. Dalam hati ia tahu jika kemarahan ibunya kali ini ada kaitannya dengan Adrian."Kamu berhutang penjelasan pada mama, apa yang kamu bilang ke Adrian? Kok dia bilang kalau kamu nolak perjodohan ini?" "Karena kami tidak sali
Hamdan turun dari mobilnya lalu ia mengenakan bisth-jubah hitam transparan dengan bordiran benang emas di pinggiranya-di atas thawb putih bersihnya. Hari ini ia akan menghadiri pertemuan kenegaraan untuk membahas perjanjian bilateral dengan Afghanistan serta rapat bulanan untuk membahas tentang sejauh mana kesiapan Dubai sebagai tuan rumah untuk world expo tahun 2020 nanti.Lingkar matanya mengitam karena lelah. Sudah beberapa hari ini ia tidak dapat tidur dengan benar. Bukan karena pekerjaannya, hanya saja perang batin yang ia alami beberapa hari ini begitu menguras pikirannya. Hamdan duduk di kursinya, sepertinya ia datang paling awal. Tidak berapa lama kemudian lima orang berjubah sama seperti miliknya memasuki ruangan, dari sudut matanya Hamdan dapat melihat ayahnya sebagai orang paling akhir yang masuk ke dalam ruangan. Jika biasanya Hamdan selalu datang bersama ayahnya, maka akibat perang dingin yang tak berkesudahan akhirnya mereka berangkat sendiri-sendiri. Hamdan berdiri lal
Semua sudah dibicarakan secara detail hingga diputuskan mereka akan berangkat pada sore hari. Istirahat sebentar dan memulai persiapan untuk keesokan paginya. Desa yang dipilih adalah Banda, sebuah daerah miskin di Uttar Pradesh, India. Banda sendiri adalah desa miskin yang hampir sebagian penduduknya bergantung pada pertanian. Tapi karena daerahnya yang kering, mereka hanya bisa bercocok tanam sekali setahun. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki ketahanan pangan yang cukup.Setiap anggota sudah mengetahui tugas apa saja yang harus mereka kerjakan. Ahmed yang akan langsung memimpin di sana. Diam-diam Rebecca menatap Hamdan di depannya. Lelaki dalam balutan thawb kuning mustard itu terlihat sedikit lebih misterius dari biasanya. Tadi Hamdan mengatakan jika ia hanya mampir untuk makan siang, kedatangannya tidak ada hubungannya dengan Hamdan Food and Nutrition Organization. Rebecca berpikir jika inilah saat terakhir ia bisa bertemu dengan Hamdan. Memikirkan hal tersebut tiba-tiba i
"Kau mau membaca habibti?" tanya Hamdan. Tangannya membolak-balik lipatan surat kabar mencari headline yang menarik hatinya. Hal itu tak lepas dari pengamatan Rebecca. Namun Rebecca tertegun saat salah satu surat kabar berbahasa inggris yang biasa menjadi langganan Rebecca dan warga asing lainnya justru menampakkan gambar dirinya dengan headline bertinta merah yang dicetak besar-besar. Begitu juga dengan Hamdan. Ia sempat tertegun beberapa saat. Namun ketika tersadar ia segera menutupi tajuk 'Is She Worth It' tersebut dengan harian Dubai yang menyajikan berita Global Economic Syariah yang akan diselenggarakan di Italy bulan depan.Mata cokelat kelamnya mencari mata Rebecca. Hamdan merasakan dadanya berdenyut nyeri saat ia dapat melihat luka di mata Rebecca. "Rebecca... habibti," panggil Hamdan. "Hei, jangan fikirkan itu. Bukankah aku sudah mengatakan padamu jangan memedulikan anggapan orang lain. Jangan dengar apapun jika itu dari orang lain. Lihat aku dan hanya dengar kata-kataku,"
Kenapa aku baru melihatnya sekarang?" "Melihat apa?" Hamdan menjawab pertanyaan Rebecca dengan sebuah pertanyaan. Tangan kanannya terus menggenggam erat jemari halus Rebecca dan mengayunkannya ke depan-belakang. "Frosty," jawab Rebecca singkat. Kedua mata lebarnya berbinar, nampak sekali jika ia sedang antusias. "Oh itu," gumam Hamdan seolah tak peduli. Membuat Rebecca mencebikkan bibirnya. Sinar bahagia di matanya kini berganti dengan sebuah kekesalan yang tidak ditutup-tutupi."Dan...." Rebecca merengek lalu berusaha melepaskan genggaman tangan Hamdan.Hamdan tersenyum. Ia berhasil membuat Rebecca kesal dan juga merengek meminta perhatian. Selama ini Rebecca tak pernah sekalipun merengek manja meminta perhatian. Tapi kalau merengek karena, emm... sentuhan Hamdan, rasanya jemari di kedua tangannya sudah tak dapat lagi menghitung berapa jumlahnya."Frosty baru saja dikirim kesini pagi tadi. Dua bulan lalu ia kutitipkan di rumah bibi Fatima untuk dikawinkan. Dan setelah berhasil, pa
Mereka berdiri di pijakan batu di english garden yang baru beberapa hari ini ditata ulang karena permintaan Rebecca yang menginginkan Agapanthus warna biru ditambahkan disana. Tinggal beberapa meter saja mereka sampai di kamar, tapi keduanya terpatri dan berdiri membeku seakan-akan ada gaya gravitasi yang membuat mereka tak dapat menggerakkan tubuhnya."Aku bahagia melihat senyummu, tapi aku tersanjung saat melihatmu tertawa karena aku," ujar Hamdan. Suaranya serak dan dalam. Tiba-tiba saja mulut Rebecca terasa kering.Tak kuasa menatap mata Hamdan dalam waktu yang lama, Rebecca menundukkan kepalanya. Sekaligus untuk menyembunyikan pipinya yang merona. Rebecca terkesiap tatkala jemari kasar khas lelaki menyentuh pipinya. Rebecca memejamkan mata, tatkala merasakan ibu jari Hamdan mengusap sudut matanya lalu bergerak menyusuri rahang Rebecca dan berakhir di bibir bawahnya.Hamdan tertegun saat jemarinya menyentuh kelembutan Rebecca. Ia baru menyadari jika efek Rebecca begitu dahsyatnya.
Rebecca dan Shammah berjalan beriringan melewati jalan bebatuan yang membelah rerumputan hijau nan empuk di halaman depan House of Falasi, hampir pukul sepuluh malam, seharusnya mereka berdua sampai di rumah tidak lebih dari pukul sembilan.Namun sifat Shammah yang manipulatif membuat Rebecca tidak bisa menolak saat Shammah mengajaknya mampir ke Laduree menikmati secangkir teh ditemani dengan Macaroon rasa vanilla mereka yang legendaris. Sedangkan Shammah memilih Cheese Cake dan Tiramissu.Sejak keluar dari Hamdan bin Mohammed Smart University Shammah terus-terusan mengoceh dengan ceria. Sifatnya hampir berbanding terbalik dengan seluruh kakak perempuannya. Shammah lebih terlihat seperti Ahmed versi perempuan. Mungkin sewaktu kecil Shammah menjadikan Ahmed sebagai pahlawannya. Remaja itu juga tak henti-hentinya memuji Rebecca. Membuat Rebecca kehilangan kata-kata dan hanya menanggapinya dengan senyuman. Jujur ia tak tahu harus menanggapi Shammah seperti apa. Seumur hidup baru kali in
Rebecca gelisah di tempat duduknya. Mengabaikan Shammah yang sedari tadi mengoceh entah tentang apa. Hanya kuku patah dan pashmina kusut yang dapat Rebecca tangkap. Sejak meninggalkan House of Falasi, Rebecca hanya bisa meremas-remas tangannya gusar. Siang tadi Hamdan diperbolehkan pulang setelah hasil CT scan, MRI, dan beberapa tes lainnya menunjukkan jika Hamdan tidak mengalami cidera yang berbahaya. Sampai di rumah, sekretaris Hamdan, Mr. Owaisi mendatangi mereka dan menyampaikan jika malam ini Hamdan harus datang di acara penyambutan mahasiswa baru di Hamdan bin Mohammed Smart University. Melihat keadaan Hamdan saat ini, tidak memungkinkan untuknya menyampaikan sambutan. Agak disayangkan memang. Karena seperti biasanya sambutan Hamdan adalah hal yang paling ditunggu-tunggu. Selain Hamdan adalah pemilik Universitas berkualitas internasional tersebut, Hamdan juga selalu menyampaikan pesan-pesan yang selalu menjadi motivasi bagi seluruh mahasiswa. Awalnya Rebecca mengusulkan agar
"Dia memang kurang ajar, baru kemarin menikah tapi bertingkah konyol dan membuat istrinya menangis. Bukankah seharusnya ia bermesraan dengan istrinya? Kenapa dia justru kencan dengan parasut kuning menjijikkan itu?" Ahmed mencibir namun dengan nada bicara yang penuh humor. Dan berhasil. Guyonan garingnya menimbulkan senyum tipis di bibir Rebecca.Sekuat hati Rebecca menahan diri agar tidak menghambur dan memeluk Hamdan. Ada Sheikha Hind disana. Sejak mendengar pembicaraan suami dan ibu mertuanya, Rebecca menjadi lebih segan kepada Sheikha Hind. Menit demi menit Rebecca tetap bertahan dengan posisinya. Bahkan ia tidak menyingkir sedikitpun saat teman-teman Hamdan pamit untuk pulang. Yang Rebecca lakukan hanya merapal doa, memohon agar Hamdannya baik-baik saja. Ahmed pun sudah lelah karena kakak iparnya selalu menolak permintaannya agar duduk di sofa. Dalam diam mereka memerhatikan Hamdan yang masih belum sadar. Perlahan kelopak mata Hamdan bergerak-gerak. Sekian detik berikutnya Hamd
"Kau masih belum bisa disentuh, ya habibty?" bisik Hamdan tepat di telinga Rebecca. kepalanya menyusruk di ceruk leher Rebecca. Diam-diam menghirup wangi tubuh Rebecca. Hal ini membuat Hamdan teringat saat beberapa bulan lalu menghabiskan waktu bersama Rebecca di Uzbekistan. Ia juga diam-diam membaui jaketnya karena aroma Rebecca tertinggal disana. Rebecca memejamkan matanya getir. Samar ia mengangguk. Dan langsung dibalas dengan dengusan oleh Hamdan. Sesak di dada hampir saja membuat Rebecca menangis untuk kesekian kalinya.Ini masih hari kedua ia mengkonsumsi progesterone, setidaknya masih ada satu hari lagi agar hormon tersebut bekerja dengan baik. Tapi sejak ia pertama kali meminum pil itu Rebecca selalu menangis diam-diam. Namun ia selalu mengeraskan hatinya dan tetap meminumnya diam-diam tiap pagi, meski setelahnya ia tak akan keluar dari kamar mandi hanya untuk menyembunyikan tangisannya.Sekuat tenaga Hamdan menahan dirinya sejak hari pertama menikah. Rebecca mengaku sedang b
"Oh Rebecca! Demi Tuhan! Apa yang membuatmu berani menemuiku?" Sylvenia menggeram marah. "Syl...," lirih Rebecca. Sinar matanya semakin redup. Sesaat setelah ia masuk ke dalam ruangan Sylvenia, wanita berdarah Inggris tersebut langsung menyambutnya dengan dua tanduk di kepalanya. Rebecca meringis, saat ia menyadari kemarahan Sylvenia belum reda. "Apa?" hardik Sylvenia. "Kau sudah membelikan pesananku?" tanya Rebecca dengan senyumnya yang dipaksakan. Sylvenia membuka laci mejanya. Dengan alis yang bertaut Sylvenia melemparkan beberapa strip ke atas meja. "Ini yang kau inginkan? Tapi jangan harap aku akan membiarkanmu membawanya sebelum kau menjelaskan alasanmu." Suara Sylvenia naik sampai tujuh oktaf. Membuat Rebecca merasa gentar karenanya. "Cepatlah Syl... Hamdan menungguku di depan. Aku tidak ingin dia curiga," sambung Rebecca. Sekuat tenaga ia mengeraskan hatinya. Sekuat tenaga ia berusaha menjadi wanita yang tak punya hati di hadapan Sylvenia."Jadi Hamdan ada di depan? Bagu
Hamdan duduk terpekur di meja kerja. Kedua tangannya terkepal di atasnya. Tadi ia dan Ahmed datang langsung ke Burj Al Arab dan secara pribadi menemui Mr. Robin. Manager F&B yang menurut berita memiliki hubungan khusus dengan Rebecca. Mr. Robin memang terlihat sedikit janggal untuk ukuran seorang lelaki. Mr. Robin nampak klinis, lembut dan emm... gemulai. Tapi sambutan Mr. Robin sangat jauh dari bayangannya. Mr. Robin menyambutnya dengan ramah bahkan penuh hormat yang tidak dibuat-buat. Mr. Robin juga menanyakan kabar Rebecca seperti sedang menanyakan kabar puteri kesayangannya. Dari sini Hamdan dapat menyimpulkan kalau Mr. Robin memang tidak ada hubungan apapun dengan Rebecca. Seperti yang Rebecca katakan, mereka berdua hanya sebatas rekan kerja, dan ayah-anak saat di luar tempat kerja. Sampai disini Hamdan bisa bernapas lega. Kemudian Hamdan menyampaikan maksud kedatangannya. Dan kabar baiknya adalah Mr. Robin bersedia melakukan konferensi pers untuk klarifikasi. Namun sepertinya