"Kau mau ke mana?" tanya Daren setelah dia berhasil menguasai dirinya."Aku mau pulang. Sekarang sudah waktunya untuk kembali ke rumah," jawab Adriana sambil berusaha menjaga nada bicaranya."Tinggal lah di sini sebentar," pinta Daren saat melihat Adriana hendak meninggalkan ruangannya.Adriana menghentikan langkahnya. Pikirannya berkecamuk. Sekarang ini dia tidak ingin berada di dekat Daren. Dia tidak bisa memberi penghiburan pada laki-laki itu, meskipun Daren sangat membutuhkannya. Tanpa menoleh dia berkata, "Aku tidak bisa." Lalu Adriana memutar kenop pintu, menariknya hingga terbuka lebar. Dia meninggalkan Daren.Adriana merasakan Daren tengah menatap punggungnya begitu dia keluar dari ruangan itu. Bulu kuduknya berdiri karena merasakan tatapan Daren. Dia pun tidak berani menoleh ke belakang, terus berjalan hingga masuk ke dalam lift.Ting. Pintu lift terbuka. Adriana baru teringat kalau dia telah meninggalkan sesuatu di mejanya. Jari telunjuknya menekan tombol, lift itu kembali
"Kau bisa melepaskan aku sekarang," ucap Adriana pelan, lalu menepis kedua tangan Daren dari tangannya.Daren bergeming. Kedua tangannya tidak bergerak, justru menarik Adriana semakin mendekat. Dia bisa merasakan hembusan napas Adriana di wajahnya."Tubuhmu semakin berat," kata Daren disertai senyum jenaka.Kedua pipi Adriana langsung bersemu merah begitu mendengar kata-kata Daren. Entah itu pujian, atau olok-olok, yang pasti membuat dia merasa malu. Malu karena mengetahui bahwa Daren diam-diam memperhatikan penampilannya."Akhir-akhir ini selera makanku memang tinggi. Mungkin berat badanku naik beberapa kilo," ujar Adriana polos. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada daun-daun di pepohonan depan rumahnya yang tengah bergoyang.Perlahan Daren menarik tangannya, memastikan Adriana bisa berdiri seimbang, dan tidak limbung. "Aku belum ingin pulang. Aku akan merasa gembira bila kau bersedia memberiku secangkir kopi," kata Daren setelah itu.Adriana menangkap sorot serius di mata Daren. S
Adriana melompat turun dari taksi, lalu berjalan cepat melewati beberapa orang yang berkerumun di pinggir jalan. Dia merutuk dalam hati, menyesal telah menolak ajakan Daren untuk datang ke kafe tempat Keanu menyelenggarakan pesta ulang tahun. Mungkin dia tidak akan datang terlambat, dan sekarang dia bisa bersama dengan yang lain duduk di dalam kafe dengan tenang.Adriana berhenti di depan kafe itu sambil menarik napas panjang. Dari balik dinding kaca dia melihat teman-temannya bersorak gembira hingga suara mereka terdengar sampai ke luar. Mereka tengah menunggu Keanu meniup lilin di atas kue ulang tahunnya. Tidak mau menunggu waktu lebih lama, dia mendorong pintu kaca kafe itu, lalu melangkah masuk. Sontak semua mata tertuju padanya, tanpa terkecuali."Adriana.... Sebelah sini." Salah seorang staf wanita yang tidak terlalu akrab dengan Adriana menunjuk kursi kosong di sebelahnya.Adriana mengangguk, lalu melewati beberapa orang dengan kepala tertunduk. "Terima kasih," ucap dia seraya t
Daren mundur beberapa langkah hingga tubuhnya membentur meja. Kata-kata Keanu barusan seperti dengungan lebah yang memekakkan telinga. Sangat memekakkan dan menyakitkan."Bisakah kau meninggalkan kami sekarang?" pinta Daren pada Adriana. Suaranya terdengar sangat tegas dan matanya memancarkan sorot kemarahan yang nyata.Tidak ingin membantah, Adriana berjalan cepat meninggalkan Daren dan Keanu. Telapak tangannya berkeringat, lalu dia mengusapkannya di pinggiran roknya. Entah kenapa mendadak dia merasa tidak enak, dan perutnya bergejolak. Seperti ada sesuatu yang buruk yang tengah menantinya, tapi dia tidak mengetahui apa pastinya.***"Kau tadi bilang ada yang berkhianat. Siapa?" tanya Daren setelah hanya tinggal mereka berdua."Aku belum bisa memastikannya. Tapi, sebelum itu kau harus melihat berita ini."Keanu berjalan mendekat. Dia menyalakan ponselnya, lalu memberikannya pada Daren. Sebuah berita terpampang di atas layar.Daren melihat isi berita itu dengan mata melotot. Salah satu
"Pelakunya adalah Adriana."Adriana langsung terhuyung ke belakang saat mendengar kalimat itu meluncur ringan dari bibir Keanu. Kepalanya seperti berputar-putar. Tubuhnya limbung, dan hampir jatuh ke lantai. Beruntungnya dia berhasil berpegangan pada sandaran sofa. Kedua matanya bertemu pandang dengan mata Daren. Air muka Daren keras dan kaku. Matanya menyipit dan menatap Adriana dengan sorot membakar. Saat ini situasi tidak terlalu mendukungnya. Daren dibenturkan oleh kepercayaan dan penyangkalan yang mendatanginya secara bersamaan. Adriana tidak mungkin mengkhianatinya. Keanu juga pasti tidak asal-asalan mengarang cerita tanpa bukti yang kuat. Sekarang, siapa yang harus dia percaya? Keanu atau Adriana?"Apa kau bisa mempertanggungjawabkan semua kata-katamu barusan?" tanya Daren pada Keanu.Keanu mendengus, lalu tersenyum sinis. "Apa kau tidak mempercayaiku? Orang yang setia bersamamu selama bertahun-tahun? Yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk berjuang bersamamu." Keanu meman
"Selamat siang," sapa Adriana pada seorang pengunjung yang datang ke butik Airin. Dia mengulas senyum lebar, perlahan menghampiri wanita itu. Adriana menerka usia wanita itu pasti tidak jauh dari usianya. Mungkin selisih dua atau tiga tahun di bawahnya."Selamat siang. Aku ingin bertemu Airin. Apakah dia ada di sini?" "Silakan duduk. Saya akan memanggilnya ke sini." Setelah memastikan tamunya duduk dengan tenang, Adriana meninggalkannya untuk mencari Airin. Adriana berjalan ke ruangan Airin. Sesampainya di sana ruangan itu kosong. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dalam hati dia bertanya, ke mana Airin pergi. Biasanya sahabatnya itu memberi tahu dia bila ingin pergi ke suatu tempat. Tapi, siang ini Airin tidak mengatakan apa-apa, dan pergi entah ke mana."Saya minta maaf. Airin tidak ada di ruangannya," kata Adriana dengan raut wajah sedih.Wanita itu menunjukkan ekspresi kecewa setelah mendengar ucapan Adriana. Dia menggigit bibirnya kuat. Matanya menatap ke arah lain dengan
Beberapa menit yang lalu.Daren menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia menatap ke arah seberang sambil memikirkan sesuatu. Sepertinya dia melakukan kesalahan dengan berada di sini. Otaknya bekerja dan bertentangan dengan hati nuraninya. Tidak seharusnya dia berada di sini.Saat akan menyalakan mesin mobilnya, Daren menangkap sesosok bayangan dari pantulan gorden jendela. Tanpa melihat secara langsung, Daren mengenal siapa pemilik bayangan itu. Adriana. Dia telah hapal setiap jengkal dan lekukan tubuh Adriana. Daren memperhatikan Adriana keluar dari butik itu, lalu Adriana naik sebuah taksi. Melihat itu, dia langsung menyalakan mobilnya, dan mengikuti taksi yang ditumpangi Adriana. Baru satu menit berjalan Daren melihat titik air hujan menimpa kaca mobilnya. Tidak lama berselang, di tengah perjalanan hujan turun dengan derasnya.***Adriana melihat ke luar jendela. Hatinya menciut saat mengetahui hujan turun sangat lebat. Dia tidak membawa payung. Tubuhnya pasti akan basah kuyup
Suara sirine ambulan meraung-raung membelah kepadatan lalu lintas di sepanjang jalan menuju rumah sakit. Airin duduk di samping tubuh Adriana yang tergolek tidak sadarkan diri. Seorang tenaga medis berusaha menenangkannya dan meminta dia menghentikan tangisnya."Adriana..."Airin memanggil nama sahabatnya dengan tersedu-sedu. Berkali-kali dia mengusap air mata yang jatuh bercucuran di kedua pipinya. Siapa yang menyangka bahwa mereka akan mengalami musibah seperti itu. Padahal beberapa menit sebelumnya mereka masih baik-baik saja. Ambulan itu akhirnya sampai di depan rumah sakit. Dengan gesit beberapa orang tenaga medis membawa Adriana masuk ke ruang IGD. Airin mengikuti mereka dengan langkah tertatih, lalu menghampiri seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa seorang pasien. Dia sendiri juga memerlukan perawatan meskipun luka yang dia derita tidak separah Adriana.Lima belas menit kemudian."Siapa wali pasien ini?" Seorang perawat, wanita paruh baya, bertanya sambil menunjuk ke