Bab654°pov Bagus°Hari ke hari, kehidupan rumah tanggaku dengan Amira, semakin tidak nyaman lagi.Kadang aku berpikir, apakah ini karma? Apakah aku begitu sombong dan menyakiti perasaan seseorang? Entahlah, kurasa tidak ada.Biar bagaimanapun, aku sombong wajar, aku ber-uang. Tidak seperti Enggar, untuk mengakui dia saudara saja aku enggan. Malu, tentu saja, bahkan terkadang aku berpura-pura tidak mengenalinya.Enggar, entah kenapa nasibnya tidak sebaik diriku. Wajar sih, dia sepertinya di takdirkan menjadi miskin, jadi ketika bertemu denganku di restoran pun, aku membuang wajah dan tidak mau menyapanya. Enggar paham, dia pun diam saja. Aku tahu, dia pasti bukan datang untuk makan, atau membeli makanan. Tapi karena membelikan pesanan orang, memang payah kehidupannya.Andai dia kaya walau hanya sedikit, mungkin aku tidak akan malu di buatnya.Para penagih hutang mulai berdatangan, entah Amira berhutang di mana saja, hal itu membuatku semakin tidak tenang dan frustasi.Aku harus menemu
Bab655"Ya Allah, beginikah rasanya punya anak yang suka memaksakan kehendaknya? Tiba- tiba hatiku menjadi dilema. Apakah ini karmaku? Yang dulu juga suka memaksakan kehendak pada Mamah Elea?" batin Jelita."Bukan tidak mampu aku membantu Bagus, hanya saja hatiku meragu. Apakah dia benar- benar butuh uang, atau dia hanya ingin memanfaatkan kelebihan yang saat ini aku punya? Andai tidak ada harta dan warisan, apakah Bagus akan tetap ingat padaku dan adiknya?"Batin Jelita diliputi perasaan yang tidak tenang. "Bu ...." Enggar mendekati Jelita, yang terus termenung seorang diri."Ya, Nak." Enggar duduk di dekat Jelita, lelaki itu datang membawakan segelas susu, kopi dan cemilan, untuk menemani mereka ngobrol di saung."Ibu masih mikirin mas Bagus? Minta uang sebanyak itu, untuk apa katanya, Bu?" tanya Enggar, yang tidak begitu tahu pembicaraan mereka tadi."Katanya dia terlilit hutang, Nak.""Terus Ibu mau bantuin?"Sejenak Jelita menatap getir pada Enggar. Sebagai seorang Ibu, perasaan
Bab656"Dua bulan lagi rumah ini akan lunas, meskipun tidak ada mobil lagi, aku akan segera bisa membelinya lagi. Aku tinggal jaminkan saja sertifikat rumah ini nantinya ke Bank, biar bisa membeli mobil lagi," batin Bagus.Senyum sumringah Bagus pagi itu seketika langsung menghilang, ketika tiga lelaki berpakaian rapi, datang ke rumah mereka."Apakah benar, ini kediaman Ibu Amira?" tanya salah satu, dari tiga lelaki tadi."Benar sekali, ada apa ya mencari istri saya?" tanya Bagus.Amira mendengar suara orang berbincang di luar rumah, dia merasa penasaran dan berjalan ke arah luar.Melihat ketiga lelaki itu, Amira kembali masuk ke dalam rumah."Kami kemari untuk menagih cicilan yang macet, atas nama Ibu Amira, sudah 5 bulan, tapi tidak kunjung Ibu Amira bayar."Bagus terkejut, mendengar penuturan salah satu dari orang itu."Kami dari Bank *******, Ibu Amira meminjam sejumlah uang, dengan jaminan sertifikat rumah ini." Mereka pun memperlihatkan perjanjian kontraknya."Astaga, kok bisa,
Bab657"Aggrrhhh, brengsek." Bagus meninju diudara, kemudian pergi menjauhi Amira yang sumpah serapahnya mengikuti langkah Bagus keluar kamar."Dasar suami tidak berguna ....""Suami sialan ....""Anak haram ....""Anak terbuang ...."Begitulah sumpah serapah Amira kepada Bagus. Bagus tidak memperdulikannya, lelaki itu terus melangkah, menuju keluar rumah.Di pesannya taksi online, menuju ke rumah temannya. Perasaannya benar- benar kalut, dia butuh ketenangan._______Arman, lelaki itu terkejut, ketika mendengar cerita kehidupan Bagus yang semakin berada di kondisi terpuruk."On the way menuju miskin kamu, Bro? Sia- sia selama ini yang kalian kumpulkan," ujar Arman, teman satu profesi Bagus di kantor."Mobil sudah nggak ada, rumah juga nyaris di sita, malang betul nasibmu kawan," lanjut Arman."Aku benar- benar bingung, Man. Semenjak kami mulai menikmati hidup enak, Amira mulai berubah. Apalagi saat dia mulai menjabat sebagai Manager, berpenghasilan lebih besar dari aku, dia mulai ber
Bab658Pov Bagus."Yaudah, Man. Sepertinya aku sudah terlalu lama di sini, aku mau pulang dulu," ujarku pada Arman.Bukannya solusi yang aku dapatkan, malah ceramah dari Arman yang membuat hati semakin tidak nyaman.Aku tidak melakukan kesalahan apapun pada Ibu, yang salah adalah Amira, bukan aku. Lagian, Ibu memang pilih kasih, lebih mementingkan Enggar dari pada aku. "Oke, Gus. Renungkan ucapanku tadi, surgamu ada pada Ibumu, Gus."Aku hanya mengangguk, tidak ingin melanjutkan obrolan yang memuakkan itu. Surga apa? Ibuku saja belum tentu masuk surga.Aku melangkah dengan lunglai, menyusuri jalanan komplek perumahan tempat tinggal Arman tadi.Kupesan taksi online, untuk pulang ke rumah. Rasanya kepalaku semakin berat, perasaan stress ini sangat membebani hati dan pikiranku.Aku membayar tagihan taksi online dengan hati perih, sebab uang di dompetku yang tersisa, hanyalah selembar uang berwarna merah, pedih sekali.Aku berjalan ke depan pintu dan menarik gagangnya. Aku terkejut, mel
Bab659Mau tidak mau, Bagus tidur di kursi taman kota. Hanya itu pilihan terakhirnya, setelah sekian jam dia mencari akal dan bantuan, tapi tidak ada teman mau pun kenalan yang mau menampungnya.Perasaan Bagus benar- benar terluka. Bagaimana pun kehidupan sulit di masa lalu, tidak pernah membuatnya tidur di jalan seperti sekarang ini.Tidur di beratapkan langit, berteman dengan nyamuk dan udara malam hari, membuat Bagus benar- benar tersiksa. "Amira, kejam sekali kamu ...." Bagus berteriak dalam hati, merutuki sikap Amira yang menggembok pintu rumah mereka.Jam 12 malam lewat 20 menit, tiba- tiba ada 4 pemuda yang tengah di pengaruhi oleh minuman yang memabukkan, berjalan menuju tempat Bagus tertidur."Liat di sana, siapa orang itu? Dia tertidur di tempat tongkrongan kita kawan- kawan," ucap salah satu, dari 4 pemuda itu."Mangsa," sahut yang lainnya.Mereka berempat tersenyum jahat, dan mendekati Bagus.Plak ....Salah satu dari mereka, memukul bahu Bagus dengan cukup keras.Bagus t
Bab660"Man, Bagus mana?" tanya Amira, ketika bertemu Arman di ruang divisi pemasaran."Saya nggak tau, Bu. Dari tadi, Bagus nggak ada ke kantor.""Nomornya kok nggak aktif ya, Man?" ujar Amira lagi.Arman hanya mengendikkan bahu, sebagai jawaban tidak tahu- menahu. Amira pergi meninggalkan divisi pemasaran dengan perasaan kecewa lagi."Dimana dia? Apakah dia sudah di rumah Ibunya? Enak sekali dia di sana, sedangkan kami tinggal di wisma. Aku juga nggak mungkin tetap tinggal di situ, uangku sudah sangat tipis," batin Amira.Apalagi, kini dirinya menjadi wanita pengangguran, dan di tuntut mengembalikan uang perusahaan yang dia gelapkan."Hanya mobil ini yang aku punya, rumah sudah tidak mungkin lagi. Aku harus ke rumah Ibu mas Bagus dulu, mana tau dia mau memberikan kami uang ...."Amira melajukan mobilnya, menuju rumah Jelita. Sesampainya di rumah mertuanya itu, Amira ikut kecewa, karena Jelita dan keluarganya belum kembali ke kota."Kalau Ibu nggak ada di sini, jadi mas Bagus kemana
Bab661"Sebelum kembali ke rumah, kita ke Mall dulu, beli perlengkapan baju kerja untuk kamu, Nak.""Iya, Bu." "Kita ke Mall, Nek?" tanya Adam dengan wajah berbinar. "Tentu saja, besok Bapak kamu sudah mulai bekerja.""Wah, Adam mau mainan boleh nggak?" tanya anak lelaki itu pada Jelita."Tentu saja, apa sih yang enggak buat Adam. Tapi ada syarat.""Apa itu, Nek?""Doa sebelum makan harus hapal dulu, baru nanti Nenek kasih mainannya.""Yah Nenek." Wajah Adam mendadak lesu.Jelita terkekeh."Sanggup nggak? Nenek akan bayar, apapun mainan yang kamu beli. Tapi, mainan itu akan menjadi milik kamu, setelah kamu selesai dengan misi yang Nenek berikan."Mau tidak mau, demi mainan impiannya, Adam pun menyanggupi. Jelita tersenyum senang, dan mereka pun telah sampai di parkiran mobil.Jelita dan keluarga kecilnya memasuki pusat perbelanjaan, tiba- tiba, suara memekik memanggil kata Ibu, terdengar jelas dari arah belakang mereka.Mereka semua menoleh, terlihat Amira dan Rara yang berjalan set