Setiap manusia, tidak ada yang benar-benar tahu perihal kisah hidupnya seperti apa atau akan menjadi apa. Sebagai manusia, kita hanya bisa merencanakan hal baik untuk masa depan, melangitkan doa-doa baik yang tak berkesudahan namun satu yang harus selalu diingat jika rencana yang indah yang telah kita persiapkan masih ada skenario Tuhan sebagai hasil akhirnya. Bukan artinya tidak dikabulkan jika melenceng dari harapan tapi percayalah, rencana Tuhan jauh lebih indah.Contoh kecilnya saja hubungan Kinar dengan Banyu di masa lalu. Menyangka tidak jika Kinar pernah berpikir jika Banyu adalah pilihan dari Tuhan yang paling terbaik untuk dirinya? Kinar pernah sebodoh itu. Merasa dicintai dan mencintai, merasa ditemukan dan menemukan. Harapan Kinar terlalu tinggi sehingga Tuhan hanya melihatnya sejenak sebelum berakhir dengan sia-sia. Waktu yang Kinar jalani bersama Banyu lebur seketika bersamaan dengan bubarnya hubungan mereka. Kenyataan yang tidak berjalan mulus, rencana hanya tinggal renc
Martabak manis dan kopi hitam pahit memang perpaduan yang tepat. Walau baru beberapa jam menjadi istri Anan, Kinar tahu selera suaminya itu. Walau rasa lelah mendera tak berkesudahan di acara resepsi pernikahan sederhana keduanya, tetap saja tamu yang datang melebihi dari ekspektasi.Bagaimana perasaan Kinar? Malu, tentu saja tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah keputusan yang Kinar ambil. Malu mau pun tidak, Kinar harus menemui semua tamu yang hadir guna memberinya selamat.“Dari siang belum makan?” tanya Anan dengan nada yang cukup terkejut, maksudnya khawatir. Lantaran rasa canggung masih menyelimuti, Anan tidak tahu bagaimana cara bereaksi yang baik. “Kenapa diam saja? Kamu harusnya bilang biar bisa aku ambilkan. Kamu lupa kalau punya magh akut?”“Lebay, deh!” cibir Kinar dengan suara merendah. Melirik sekilas ke sisi kirinya di mana Anan tengah mencemberutkan wajahnya. “Kant ahu sendiri keadaan tamu bagaimana. Lucu kalau tiba-tiba ditinggal makan.”“Itu wajar. Kamu manusia dan buka
Pagi itu, Zahra di buat terkejut dengan informasi yang di bawa oleh asistennya. Ada masalah di kantor cabang meski tidak terlalu serius. Namun cukup membuat Zahra tertegun sejenak karena ini rasanya tumben sekali.“Apa ada sesuatu yang membuatnya bocor dan pihak klien mengetahui kelemahan kita?” tanya Zahra seraya mempelajari dokumen yang bermasalah itu. Tidak ada yang mecurigakan sejauh ini tapi bagaimana bisa, ya?“Saya rasa ada yang tidak beres, Bu. Akan saya selidiki lebih dalam lagi. Sementara hanya dugaan kecil dengan adanya penyusup ke dalam kantor kita.”“Kamu yang kecolongan atau tim manajemen yang bekerja tidak becus? Hal sekecil ini, saya rasa sudah menjadi bagian dari tanggung jawab kamu. Menyeleksi calon karyawan yang akan bergabung dengan kita dan tidak setahun dua tahun kamu membantu keluarga saya.”Pria itu menunduk dalam dengan gumaman maaf. Pertama kalinya selama bekerja di bawah keluarga Zahra, ini adalah kemarahan Zahra yang cukup mengejutkan. Purba, nama sang asis
Di hari kedua pernikahan Anan dan Kinar kehebohan terjadi. Bukan berasal dari kedua pasangan pengantin anyar tersebut melainkan Mama mertua Kinar. Anan sudahlah biasa dengan tingkah unik Mamanya, tapi Kinar? Istrinya itu pasti terkejut dan menilai jika Mama mertuanya seorang pelawak.“Ini reno,” ucapnya memperkenalkan seorang bocah laki-laki berusia sekitar empat atau lima tahun. Rambutnya yang kribo dan sedikit gondrong kontras dengan wajahnya yang kecil nan imut. “Anak dari sepupu Anan. Orang tuanya meninggal.”“Jadi maksud Mama apa?” Anan yang bertanya dengan wajah menahan kantuk. Masih terlalu pagi, pukul setengah enam di saat matahari belum memanasi bumi pasundan dan Mamanya sudah serapi ini. Tak lama Ana tersadar dengan niat Mamanya membawa Reno ke sini. “Jangan bilang Mama ingin—““Benar.” Memotong secepat kilat tebakan yang akan Anan ucapkan hingga Kinar menoleh dengan mata berkedip dan ekspresi wajahnya lucu. “Karena kamu dan Kinar sudah menikah dan ingin segera memiliki ana
“Saya tetap terkejut,” kata Kinar yang sore itu bertemu dengan Ivana. Membawa serta Reno yang dibiarkan bermain sendiri dan tetap dalam pengawasannya. “Walaupun kamu sudah memberi tahu semuanya bahkan hingga ke alasan sedetail mungkin dan yang menguatkan menjadi bukti penting kenapa kamu melakukan ini. Kamu tahu, kamu bodoh. Kamu menanggung semuanya seorang diri padahal jelas-jelas ada Anan yang mampu menjadi penopang kamu.”“Apa gunanya kita memiliki pasangan, kita berstatus sebagai suami istri namun tidak ada rasa bahagia di dalamnya? Kamu tahu hambar tapi kamu memaksakan kehendak untuk terus bertahap. Aku menolak menjadi tolol dan membuang-buang waktu lebih lama lagi. Anggap saja memang kita tidak berjodoh. Hanya sekadar … belajar mungkin.”Jawaban Ivana tidak mengejutkan dirungu Kinar. Namun tetap saja membuat wanita berambut hitam legam itu mendengkus. Kekesalannya membumbung seiring penjelasan Ivana yang tidak masuk akal. Alasannya juga konyol dan Kinar masih tidak habis pikir.
Akhir-akhir ini hubungan Banyu dan Zahra sedang tidak baik. Di samping adanya masalah yang membuat Zahra mau tidak mau sibuk di kantor, Banyu lebih banyak berdebat dengan pikirannya sendiri. Lebih kepada rasa sesal yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Pasalnya, melihat Kinar begitu kekeuh untuk membersamai Anan, Banyu was-was tanpa alasan yang jelas.Lebih jelasnya seperti ini. Dulu, saat Kinar mencurahkan segala cintanya untuk Banyu, menyepelekan bagaikan hal lumrah yang Banyu lakukan. Sampai suatu ketika Kinar memilih pergi, yang hadir di dalam dada Banyu malah perasaan tenang dan senang. Kinar Dewi bagaikan beban yang ingin Banyu buang jauh-jauh dari muka bumi. Lalu sekarang sesal yang tidak ada gunanya itu muncul. Sial! Banyu merutuki dirinya sendiri. Pada saat dicintai bukannya menjaga dengan baik malah berbuat sesuka hati.“Ini karma, pasti. Aku yakin ini memang itu namanya. Kenapa harus ada karma, sih?!”Banyu menggerutu dengan rungsing di dalam kamarnya. Malam ini Bandung di g
Setiap paginya—sebelum Kinar dinikahi oleh Anan—segala aktivitasnya selalu berjalan dengan lancar. Tidak ribet dan banyak drama yang harus Kinar lewati. Karena tinggal seorang diri maka mengurus diri sendiri tidaklah rumit. Lalu sekarang, bak dijatuhi gemuruh meteor dari langit, hari-hari Kinar jungkir balik. Terutama di waktu pagi seperti ini. Kinar diembani tanggung jawab baru sebagai seorang istri yang harus sigap dan melayani suami kapan pun tanpa melihat waktu.“Ini masih subuh.” Kinar menggerutu dengan kedua mata masih terpejam. Anan resek sekali mengganggunya yang baru saja terlelap selama satu jam. “Kamu tidak biasanya sarapan.” Karena Anan masih terus merengek dan Kinar benar-benar mengantuk berat. Kepala Kinar pusing akibat kurang tidur.“Ke pasar, ‘kan, tidak jauh, Nar. Ayolah!”Rengekan Anan melebihi Reno. Kesal yang Kinar rasakan naik hingga ke ubun-ubun membuatnya dengan cepat membuka kedua matanya dan duduk. Amarahnya tidak bisa meluap seenak hujan mengguyur Bandung hin
‘Tidak ada yang seperti dia.’Adalah kalimat yang terus terngiang di pendengaran Kinar hingga sesi memasak di dapur apartemennya berlangsung. Anan Pradipta melontarkan kalimat yang cukup menohok dada Kinar. Tidak menaruh rasa bukan berarti bebas dari sebuah perasaan sakit. Memang sialan pria satu itu! Bedebah dan berengsek! Kalau Ivana tidak ada gantinya, kenapa harus bercerai alih-alih mempertahankan. Harusnya mereka berdua tetap bersama dan tidak perlu membuat torehan luka untuk orang lain. Sial!Kinar dan mulutnya yang terkunci namun segala kata-kata kotor berdengung di kepalanya. Hingga penuh dan siap disemburkan ke Anan. Kali ini tidak ada ampun yang ingin Kinar berikan kepada Anan. Kinar juga ingin berlaku demikian tapi meladeni Anan, bukan sesuatu yang penting untuk Kinar lakukan.“Belum matang?”Kinar membanting spatulanya keras-keras. Hingga Reno yang sedang duduk anteng di meja makan seraya memainkan mobil-mobilannya berjengit kaget. Anan membulatkan matanya tidak menyangka
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
“Emang orangnya kayak gitu?” tanya Anan sambil mendorong troli belanja. Kinar mengajak Anan berbelanja sayur, buah dan kebutuhan lainnya. Mumpung sekalian dekat dengan supermarket.Anan mendengar ucapan terakhir Rika yang menurutnya amatlah nyelekit. Sedangkan Kinar memberi respons yang santai dan biasa saja. Seakan-akan memang istrinya itu sudah biasa mendengar kalimat tersebut.“Mungkin,” jawab Kinar sekenanya sambil memasukkan buah-buahan ke dalam troli. “Aku ketemu dan kenal Rika di komunitas menulis beberapa tahun yang lalu. Dan kita nggak dekat-dekat banget buat bertukar nasib hidup.”“Kamu nggak kesinggung? Minimal kamu keluarin ekspresi marahlah biar dia sungkan dan jera.”“Buat apa?” Kinar membalikkan tubuhnya ke belakang di mana Anan berdiri. “Kalau aku marah, aku nggak ada bedanya sama dia dan aku punya level yang sama kayak dia sedangkan aku paling anti buat lakuin itu.”“Kenapa?” Anan penasaran dan terus mengejar jawaban dari Kinar. “Sesekali marah nggak akan bikin kamu r
“Sebenarnya titik kehidupan masing-masing orang itu berbeda.” Kinar mengatakan sesuai pengalaman yang pernah dialaminya. “Aku berada di posisi ini karena aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku yang mana aku ingin mati. Tapi aku sadar, semengenaskan apa pun kehidupanku waktu itu, selalu ada takdir milik orang lain yang paling mengerikan. Dan untuk itu aku hanya bisa mensyukuri jalanku.”Rika hanya mengangguk. Rekan sesama penulis Kinar itu sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya. Yang jika Kinar menilai itu adalah sebuah ujian yang tiap-tiap orang selalu merasakannya. Kinar enggan berkomentar panjang lebar. Toh masa-masa sulit yang pernah Kinar lalui telah lewat. Sekarang yang tersisa hanyalah secuil nasihat dan kenangan yang memang patut untuk dikenang.“Orang-orang kalau ngomong selalu enak.” Rika seruput es tehnya. “Tau kok soalnya cuma tinggal ngomong doang. Enak ya jadi kamu, seneng ya jadi kamu, nggak perlu effort berlebih hidup kamu udah kejamin. Andai mereka tau g
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru
“Segala sesuatu di dunia ini ada harganya. Tidak ada nilai yang tidak bisa diubah menjadi uang. Orang yang berani mengatakan cinta adalah hal tidak ternilai itu seperti pencuri yang mencuri barang gratis. Jika kamu tidak bisa membeli kebahagiaan dengan uang, itu karena kamu tidak punya cukup uang.”Kinar Dewi hanya memandangi Ivana dengan sungguh-sungguh. Wanita elegan itu menyeruput kopi panasnya yang masih mengeluarkan asap dengan santai. Sore hari di Bandung dan kemacetan yang terjadi di mana-mana. Semilir angin dan gulungan awan hitam bisa Kinar lihat dari kaca jendela. Tempat duduknya memiliki spot tertuju ke mana saja dan pojokan adalah favorit Kinar sejak dulu.“Uang lagi dan cinta bukan sesuatu yang harus kita khawatirkan. Aku membeli Banyu bukan dengan hatiku meski ada kontrak di atas hitam putih tapi uangku lebih berkuasa. Itulah kenapa kita perlu menjadi kaya agar bisa membeli apa pun yang kita mau. Ini terdengar egois karena tidak semua orang terlahir dengan privilege. Ya
Pada akhirnya ....Di dunia ini, ada tiga jenis manusia, yaitu, ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan orang lain, ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.Kinar membaca tulisannya sendiri dengan saksama lalu memberi penjelasan hanya dalam benaknya saja. Kinar malas untuk menjabarkan dengan mengetikkan di layar laptopnya. Selain terlalu panjang dan berbelit-belit, Kinar sedang melawan moodnya yang berantakan.Hari ini Kinar sedang mati kebosanan. Jalan satu-satunya adalah hengkang dari rumah dan berakhir di ruangan Anan. Ternyata pilihan untuk ke kantor Anan juga bukan sesuatu yang tepat. Suaminya itu sedang sibuk dan Kinar tidak punya objek untuk melampiaskan marahnya. Ugh, rasanya dongkol luar biasa.“Mau es krim, Bu?” tawar Kamila yang masuk setelah mengetuk pintu. Senyum wanita yang usianya sepantaran dengan Anan itu terukir. “Akan saya belikan.” Kamila sudah akan membawa kedua kakinya menuju
“Jika sudah tidak bisa berjuang, baiknya jangan memberi harapan kosong.” Itu hanya sepenggal saran yang bisa Anan berikan kepada Teguh. “Dia juga manusia sama seperti kamu. Pastinya saat ada harapan yang telah dia lambungkan lalu tidak bisa digapainya, rasa sakit menyerangnya. Jadi putuskan saja ingin mengambil langkah yang bagaimana. Maju atau mundur, berhenti atau bertahan.”Teguh diam. Duduk dengan wajah penuh kebingungan dan sorot mata yang lelah. Teguh belum mendapatkan keputusan hendak membawa hubungan bersama Rani ke mana. Jika tujuannya adalah pelaminan, itu sudah dari awal Teguh angankan kala hubungan ini terbentuk. Namun restu yang tak kunjung datang membuat Teguh serba galau. Harus bagaimana?“Kamu ini pria. Sejatinya kamu akan memperjuangkan apa yang menurut kamu tepat dan nyaman di hatimu. Tidak lembek seperti kerupuk terguyur air,” cibir Anan. Meski kalimatnya tidak sadis, seharusnya itu mampu menembus harga diri Teguh untuk bisa bangkit dari keterpurukannya. “Jika di aw