“Saya tetap terkejut,” kata Kinar yang sore itu bertemu dengan Ivana. Membawa serta Reno yang dibiarkan bermain sendiri dan tetap dalam pengawasannya. “Walaupun kamu sudah memberi tahu semuanya bahkan hingga ke alasan sedetail mungkin dan yang menguatkan menjadi bukti penting kenapa kamu melakukan ini. Kamu tahu, kamu bodoh. Kamu menanggung semuanya seorang diri padahal jelas-jelas ada Anan yang mampu menjadi penopang kamu.”“Apa gunanya kita memiliki pasangan, kita berstatus sebagai suami istri namun tidak ada rasa bahagia di dalamnya? Kamu tahu hambar tapi kamu memaksakan kehendak untuk terus bertahap. Aku menolak menjadi tolol dan membuang-buang waktu lebih lama lagi. Anggap saja memang kita tidak berjodoh. Hanya sekadar … belajar mungkin.”Jawaban Ivana tidak mengejutkan dirungu Kinar. Namun tetap saja membuat wanita berambut hitam legam itu mendengkus. Kekesalannya membumbung seiring penjelasan Ivana yang tidak masuk akal. Alasannya juga konyol dan Kinar masih tidak habis pikir.
Akhir-akhir ini hubungan Banyu dan Zahra sedang tidak baik. Di samping adanya masalah yang membuat Zahra mau tidak mau sibuk di kantor, Banyu lebih banyak berdebat dengan pikirannya sendiri. Lebih kepada rasa sesal yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Pasalnya, melihat Kinar begitu kekeuh untuk membersamai Anan, Banyu was-was tanpa alasan yang jelas.Lebih jelasnya seperti ini. Dulu, saat Kinar mencurahkan segala cintanya untuk Banyu, menyepelekan bagaikan hal lumrah yang Banyu lakukan. Sampai suatu ketika Kinar memilih pergi, yang hadir di dalam dada Banyu malah perasaan tenang dan senang. Kinar Dewi bagaikan beban yang ingin Banyu buang jauh-jauh dari muka bumi. Lalu sekarang sesal yang tidak ada gunanya itu muncul. Sial! Banyu merutuki dirinya sendiri. Pada saat dicintai bukannya menjaga dengan baik malah berbuat sesuka hati.“Ini karma, pasti. Aku yakin ini memang itu namanya. Kenapa harus ada karma, sih?!”Banyu menggerutu dengan rungsing di dalam kamarnya. Malam ini Bandung di g
Setiap paginya—sebelum Kinar dinikahi oleh Anan—segala aktivitasnya selalu berjalan dengan lancar. Tidak ribet dan banyak drama yang harus Kinar lewati. Karena tinggal seorang diri maka mengurus diri sendiri tidaklah rumit. Lalu sekarang, bak dijatuhi gemuruh meteor dari langit, hari-hari Kinar jungkir balik. Terutama di waktu pagi seperti ini. Kinar diembani tanggung jawab baru sebagai seorang istri yang harus sigap dan melayani suami kapan pun tanpa melihat waktu.“Ini masih subuh.” Kinar menggerutu dengan kedua mata masih terpejam. Anan resek sekali mengganggunya yang baru saja terlelap selama satu jam. “Kamu tidak biasanya sarapan.” Karena Anan masih terus merengek dan Kinar benar-benar mengantuk berat. Kepala Kinar pusing akibat kurang tidur.“Ke pasar, ‘kan, tidak jauh, Nar. Ayolah!”Rengekan Anan melebihi Reno. Kesal yang Kinar rasakan naik hingga ke ubun-ubun membuatnya dengan cepat membuka kedua matanya dan duduk. Amarahnya tidak bisa meluap seenak hujan mengguyur Bandung hin
‘Tidak ada yang seperti dia.’Adalah kalimat yang terus terngiang di pendengaran Kinar hingga sesi memasak di dapur apartemennya berlangsung. Anan Pradipta melontarkan kalimat yang cukup menohok dada Kinar. Tidak menaruh rasa bukan berarti bebas dari sebuah perasaan sakit. Memang sialan pria satu itu! Bedebah dan berengsek! Kalau Ivana tidak ada gantinya, kenapa harus bercerai alih-alih mempertahankan. Harusnya mereka berdua tetap bersama dan tidak perlu membuat torehan luka untuk orang lain. Sial!Kinar dan mulutnya yang terkunci namun segala kata-kata kotor berdengung di kepalanya. Hingga penuh dan siap disemburkan ke Anan. Kali ini tidak ada ampun yang ingin Kinar berikan kepada Anan. Kinar juga ingin berlaku demikian tapi meladeni Anan, bukan sesuatu yang penting untuk Kinar lakukan.“Belum matang?”Kinar membanting spatulanya keras-keras. Hingga Reno yang sedang duduk anteng di meja makan seraya memainkan mobil-mobilannya berjengit kaget. Anan membulatkan matanya tidak menyangka
“Siapa?” tanya Kinar penuh penasaran. Kinar bertanya tanpa rasa malu atau akan dicurigai oleh Anan sebagai istri yang pencemburu tepat setelah Anan mematikan sambungan nirkabel itu.“Zahra.”“Secepat itu?” Kinar sudah paham ke mana arahnya dan Anan mengangguk dengan wajah semringah. “Wah, siapa yang sangka jika Zahra bisa berpaling dari Banyu. Memang ya …” Kinar telisik Anan dari ujung rambut hingga kaki lalu berhenti tepat di wajah pria itu.”Pesona duda tiada duanya.”“Heh!” Anan tidak terima dikatai demikian. “Jangan membuat orang lain yang mendengarnya salah paham. Jelas-jelas kita sudah menikah, lupa?” Anan angkat tangan kanannya yang tersemat cincin nikah lalu mengangkat tangan Kanan Kinar yang juga tersemat cincin nikah darinya. “Jangan berani-beraninya merubah status di saat kamu milikku dan aku milikmu!”Kinar meringis menahan rasa sakit. Tangan Anan mencengkeramnya terlalu kuat sehingga Kinar kesulitan untuk memberontak.“Aku bercanda—menggoda lebih tepatnya. Ini juga bagian
Drama rumah tangga itu selalu ada. Dalam sebuah pernikahan, tidak ada jalan yang benar-benar mulus untuk dilalui. Kinar Dewi percaya itu karena pertengkaran, perdebatan dan perselisihan pendapat menjadi suatu nilai plus dalam kelanggengan hubungan.Dalam berumah tangga tidak melulu soal kata ‘I love you’, yang harus diucapkan setiap saat bahkan setiap hari. Ada yang lebih realistis daripada sekadar ucapan. Ada tindakan yang harus dilakukan dan juga ada perut yang wajib diberi makan setiap harinya. Kata ‘I love you’ saja tidak akan membuat kenyang atau memenuhi segala kebutuhan. Hidup itu realistis dan terus berjalan.Itu juga yang sedang Kinar alami saat ini. Sebagai seorang istri, Kinar memiliki peran yang tidak mudah meski terlihat sepele. Setelah menikah dengan Anan dan tahu tabiatnya, Kinar tidak pernah berhenti mendebatkan hal-hal kecil yang berujung terbentuknya interaksi.“Kenapa secepat itu?” Kinar sedang memasak di dapur. Bukan karena Anan yang meminta. Kali ini atas kehendak
Kinar hanya patuh kepada Anan karena tahu itu salah satu bentuk pengabdian istri kepada suami. Bukan karena mau di atur-atur sesuka hati apa lagi menjadi babu di rumah sendiri. Beruntungnya Anan bukan tipe suami yang menuntut istri untuk selalu berada di dapur dan melayaninya kapan pun Anan butuh. Menikah, hidup Kinar masih menjadi milik Kinar. Kinar masih bebas melakukan apa saja dan bisa berekspresi sama seperti sebelumnya. Pada dasarnya Ana tidak memberi tali kekang bak anjing bertuan.“Yakin tidak mau di sewakan saja?” Kinar mengangguk dengan kepala masih memandangi gedung apartemen yang dirinya tinggali belum ada satu bulan. “Kalau begitu, aku akan meminta orang untuk membersihkannya seminggu sekali. Kamu juga masih bisa berkunjung ke sini. Kita masih bisa menghabiskan waktu kapan pun kamu mau.”“Hm, begitu lebih baik.” Kinar menjawab dengan helaan napas panjang. Menundukkan kepalanya ke bawah, sibuk menatapi kedua tangannya yang saling terpaut. Berdebat dengan Anan perkara di ma
Hubungan Banyu dan Zahra mulai merenggang entah sejak kapan. Banyu merasakannya terlebih dahulu namun karena merasa itu tidaklah penting dan biasa terjadi di hubungan manapun, Banyu mengabaikannya. Banyu tidak mau membahas masalah ini dan merusak mood Zahra. Di samping dirinya yang sedang sibuk karena akhir bulan dan sering lembur, yang bisa Banyu lakukan adalah bersenang-senang sendiri.“Kamu yakin ini bukan masalah serius?” tanya teman kerja Banyu yang duduk di sampingnya. “Kalau aku jadi kamu, aku tidak mau mengambil risiko kehilangan setelah berada dijenjang serius seperti ini.”“Yang menikah saja bisa bercerai. Apalagi aku dan Zahra yang hanya masih bertunangan. Semua keinginan kita tidak harus selalu terwujud, Ndri.” Andri namanya. Banyu menatapnya sejenak lalu mengambil botol minuman dan menuangkannya ke dalam gelasnya. “Jika harus berakhir, aku bisa apa? Aku tidak mau menahan langkah seseorang yang ingin menjangkau mimpi ke depan setinggi mungkin. Aku tidak suka dikekang maka